TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1 Abstraksi Perdagangan manusia di Indonesia merupakan suatu fenomena yang luar biasa di Indonesia. Perdagangan manusia kini telah menjadi suatu perusahaan kriminal terbesar di dunia. Penyalur dana yang digunakan untuk membiayai segala macam aktivitas kriminal, seperti pembelian dan penyaluran atau penyelundupan obat-obatan terlarang (Narkotika), pembelian senjata-senjata illegal dan aktivitas kriminal lainnya. Indonesia menjadi salah satu sumber pemasok perdagangan orang di dunia. Setiap tahunnya rata rata sebanyak tiga ribu sampai empat ribu perempuan dan anak anak diperdagangkan, dengan iming iming pekerjaan dan gaji besar. Mereka dijadikan sebagai pekerja seks komersial (eksploitasi seks), pembantu rumah tangga dengan upah yang sangat minim atau malah dengan upah yang tidak dibayarkan, bahkan tidak jarang adanya penyiksaan fisik maupun psikologis bahkan pengantin pesanan hingga adanya penjualan bayi. Saat ini, pengaturan-pengaturan tentang tindak pidana perdagangan orang, di Indonesia di atur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan mengenai cara, proses dan tujuan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana perdagangan orang. Namun undangundang tersebut masih belum dianggap sepenuhnya mengakomodir permasalahan yang ada. A. PENDAHULUAN Perdagangan orang merupakan kejahatan yang keji terhadap Hak Asasi Manusia yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, tidak diperbudak, dan lainnya. Dalam hal perdagangan orang, perempuan dan anak adalah yang banyak menjadi korban, menempatkan mereka pada posisi yang beresiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya, baik secara fisik maupun mental spiritual, serta sangat rentan terhadap tindak kekeerasan, kehamilan yang tidak dikehendaki serta infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Sebanyak 1,2 juta orang di seluruh dunia menjadi korban perdagangan setiap tahunnya, hal tersebut berdasarkan perkiraan dari United Nations Childrens Fund (UNICEF), yang menyatakan bahwa korban terbesar adalah perempuan dan anak-anak yang dipekerjakan sebagai buruh berupah rendah dan pekerja seksual oleh kelompok kriminal multinasional yang terorganisir, seperti disampaikan oleh EC (European Commission). 2 Adapun pengaturan bagi perdagangan orang sebelumnya diatur dalam KUHP yang dianggap kurang dapat menjangkau pelaku tindak pidana perdagangan orang, menjadikan praktek perdagangan orang di Indonesia semakin merajalela dan tentu saja dapat menimbulkan semakin banyak korban dan kerugian di pihak lain. Sehingga lahirlah peraturan perundang-undangan baru, dengan harapan dapat mengcover kekurangan-kekurangan yang ada di KUHP. Namun pengaturan dalam undang-undang itu pun dianggap kurang mengcover hal-hal yang termasuk dalam tindak pidana perdagangan orang. Khususnya terhadap unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang, yang terdiri dari 3 (tiga) unsur, yakni perbuatan, sarana, dan tujuan. 1 Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia angkatan 2006 2 Erabaru, Perdagangan Manusia di Eropa Melebihi Jumlah Perdagangan Narkoba, terdapat dalam, http://erabaru.net/internasional/35-internasional/2145-perdagangan-manusia-di-eropa-melebihi-penyelundupan-narkoba, tanggal 11 Desember 2009, pukul 23.23 WIB.
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka dalam tulisan ini, akan meninjau kelemahan dan kelebihan dari ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana perdagangan orang di Indonesia, khususnya pada ketentuan dalam KUHP dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Guna tulisan ini adalah untuk mengkaji bagaimana kelemahan dan kelebihan suatu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia, agar, nanti dalam penanganannya dapat dilihat sejauh mana aplikasi dari peraturan perundang-undangan tersebut. B. Ketentuan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan mengenai tindak pidana perdagangan orang tercantum dalam pasal 297 mengenai perdagangan perempuan (vrouwenhandel) Pasal 297 KUHP ini berada dalam Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Sehingga pasal 297 KUHP ini, adalah pasal yang sering digunakan dalam kasus prostitusi. Selain pasal 297 KUHP, perdagangan orang juga tercantum dalam pasal 324 mengenai pemberantasan perdagangan budak belian (Slavenhandel). untuk selanjutnya, pasal-pasal tersebut akan dibahas satu persatu. Pasal 297 KUHP berbunyi lengkap sebagai berikut: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun R. Soesilo menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan perniagaan atau perdagangan perempuan ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula disini mereka yang biasanya mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirimkan keluar negeri yang maksudnya tidak lain akan digunakan untuk pelacuran. 3 Pasal 297 KUHP memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan (maximal hanya 6 tahun penjara), bila melihat dampak yang diderita korban akibat kejahatan. Oleh karena itu, diperlukan undangundang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus tersebut untuk mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar negara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi. Sedangkan pada pasal 324 KUHP, mengenai pemberantasan perdagangan budak belian (Slavenhandel). berbunyi: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut diatas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun Pasal 324 KUHP, istilah perniagaan apabila sama artinya dengan perdagangan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, berarti: membeli untuk dijual lagi dan kemudian menjual, maka seorang yang membeli saja atau yang menjual saja, tidak masuk istilah berdagang. Dalam hal ini, perniagaan budak belian adalah untuk di gunakan sendiri, di eksploitasi untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Pasal 324 KUHP mengkhususkan pada perniagaan budak juga tidak memungkinkan untuk menjerat perdagangan manusia yang terjadi saat ini. Meskipun dapat diekstensif-analogikan. Dengan berlakunya UU No. 21 Tahun 2007 maka pasal 297 dan pasal 324 KUHP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun segala perkara tindak pidana perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Sedangkan pasal-pasal yang terkait dengan perdagangan orang seperti pasal 324, 325, 326 dan 327 KUHP tentang perdagangan budak (slavenhandel), dipandang tidak perlu lagi. Lihat pasal V Undang- 3 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Ctk. Ulang Tahun 1996, Politeia, Bogor, 1996, hlm. 217
undang 1946 No. 1. 4 Namun pasal-pasal 328-335 KUHP mengenai soal-soal melarikan orang atau penculikan dinyatakan masih berlaku hingga kini. C. Ketentuan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pengertian perdagangan orang sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) adalah Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Sedangkan pengertian mengenai Eksploitasi terdapat dalam Pasal 1 ayat (7) yaitu: a. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial. b. Pasal 1 ayat (8) yang menyatakan Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Jika dibandingkan dengan KUHP, UU No. 21 Tahun 2007 lebih siap dengan ancaman-ancaman pidananya, keunggulannya juga ada pada norma-norma yang mengaturnya, sehingga lebih bisa mengcover kelemahan-kelemahan yang ada pada ketentuan dalam KUHP. Sanksi pidana UU No. 21 Tahun 2007 jauh lebih menjanjikan. Misalnya pada pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 15, dan pasal 17. Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007 berbunyi: (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah). Sanksi pidana diatur 3-25 tahun penjara dengan denda ratusan juta rupiah. Bahkan bila tindak pidana orang ini sampai menyebabkan kematian korban, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara seumur hidup dan denda maksimal Rp 5 miliar. Pasal 8 UU No. 21 Tahun 2007 berbunyi: (1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, pasal 4, pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya. (3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan 4 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Moeljatno
Jika kejahatan ini melibatkan unsur penyelenggara negara, sanksinya akan lebih berat lagi. Selain sanksinya ditambah sepertiga, oknum yang bersangkutan juga dikenai sanksi pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya. Pasal 9 UU No. 21 Tahun 2007 berbunyi: Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 240.000.000,- (Dua ratus empat puluh juta rupiah). Tiap orang yang menggerakkan orang untuk melakukan tindak pidana tersebut, meskipun tindak pidana itu tidak terjadi, namun orang tersebut dan orang yang digerakkan, sudah dapat dikenai pidana penjara dan denda yang jumlahnya tidak sedikit, seperti yang sudah tercantum dalam pasal 9 tersebut. Pasal 15 UU No. 21 Tahun 2007 berbunyi: (1) Dalah hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa : a. pencabutan izin usaha; b. perampasan hasil kekayaan hasil tindak pidana; c. pencabutan status badan hukum; d. pemecatan pengurus; dan/atau e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. Sementara perusahaan/korporasi yang terlibat akan dikenai sanksi hingga tiga kali lipat. Bahkan ada sanksi tambahan berupa pencabutan bisnis usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pemecatan pengurus dan pelarangan pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam usaha yang sama. Sanksi yang berlapis dan berat ini, diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Pasal 17 UU. No. 21 Tahun 2007 berbunyi: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). UU No. 21 Tahun 2007 juga memberikan pengaturan khusus terhadap masalah tindak pidana perdagangan anak. Ini dituangkan dalam bentuk pemberian hukum yang lebih berat dengan menambah bobot sanksi sepertiga. UU No. 21 Tahun 2007 mengatur bahwa terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dikenakan pidana penjara dan pidana denda. Untuk pidana penjara, di dalam UU No. 21 Tahun 2007 diatur bahwa minimal selama 3 (tiga) tahun dan maksimal selama 15 (lima belas) tahun. Sedangkan untuk pidana denda, jumlah minimal adalah sebesar Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pengaturan ini terdapat di dalam Pasal 2-6 UU No. 21 Tahun 2007. Jika tindak pidana perdagangan orang tersebut mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, matinya orang, maka jumlah ancaman pidana akan ditambah 1/3 (sepertiga), demikian juga jika tindak pidana perdagangan orang dilakukan terhadap anak. Sedangkan jika mengakibatkan kematian, maka ancaman pidananya menjadi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratusjuta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). UU No. 21 Tahun 2007 banyak mengadopsi ketentuan-ketentuan di dalam Protokol Palermo dan Konvensi-Konvensi Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang. Oleh karena itu, undang-undang ini sudah menjangkau tindak pidana perdagangan orang yang merupakan Transnational Organized Crime. Pasal 3 mengatur mengenai penjatuhan sanksi pidana bagi orang yang memasukkan orang ke wilayah Indonesia untuk dieksploitasi, baik di dalam wilayah Indonesia ataupun di wilayah negara lain. Sedangkan bagi orang yang membawa Warga Negara Indonesia ke Negara lain, untuk dieksplotasi diatur dalam Pasal 4. Unsur utama dari Transnational Organized Crime, selain adanya kegiatan yang melintasi batas Negara, adalah kegiatan tersebut harus dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi. Dalam Pasal 16 UU
No. 21 Tahun 2007 diatur bahwa jika tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga). Undang-undang tidak luput dari kekurangan. Salah satunya adalah kritik yang menyebut bahwa undang-undang tersebut dinilai mengabaikan hak anak. Koordinator Presidium Indonesia Against Child Trafficking (ACT), Emmy Lucy Smith, menilai undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum sepenuhnya melindungi dan mengakomodir hak anak. Undang-undang tersebut hanya memuat aturan tentang perdagangan orang dengan korban anak, namun bukan aturan tentang perdagangan anak (Tempo Interaktif, 23/3/2007). Kekurangan seperti itu perlu mendapat perhatian agar pemberantasan terhadap perdagangan orang dapat dilakukan secara menyeluruh, tidak parsial. 5 Yang dimaksud disini adalah bahwa Undang-undang ini tidak secara khusus membahas tentang perdagangan anak. Tapi hanya membahas sedikit tentang perdagangan anak. Sehingga dikhawatirkan Undang-undang ini hanya akan memberantas atau mengungkap perdagangan-perdagangan orang dengan korban orang dewasa. D. Kesimpulan Kelebihan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana perdagangan orang yang dalam hal ini adalah KUHP dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah sebagai berikut: Kelebihan: KUHP: Dalam hal ini, KUHP tidak mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun dalam aplikasinya, pasal 297 masih digunakan pada kasus-kasus perdagangan orang yang terjadi sebelum tahun 2007, yakni sesuai asas non-retroaktif. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang: Undang-undang ini, memiliki banyak kelebihan, di antaranya adalah, undang-undang ini tidak hanya menjangkau orang perseorangan saja, namun juga daya jangkaunya meliputi suatu perusahaan atau korporasi, sampai pada oknum penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, undang-undang ini juga memiliki ancaman pidana yang berat pada pelaku tindak pidana perdagangan orang. Sanksi pidananya banyak berupa denda, maupun pidana penjara, yang beratnya pun sangat bervariasi. Misalnya pidana denda yang berkisar antara Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan pidana penjaranya adalah minimal selama 3 (tiga) tahun dan maksimal selama 15 (lima belas) tahun. Kelemahan: KUHP: Dalam hal ini, KUHP memiliki kekurangan dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang, di antaranya, sanksi yang dijatuhkan dirasa belum cukup untuk menjerat para pelaku tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, dengan ringannya sanksi, dianggap belum cukup untuk memberikan efek jera bagi para pelaku ataupun calon pelaku tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, KUHP hanya menjerat orang perseorangan, belum menjerat perusahaan atau koorporasi dan oknum penyelenggara negara, sehingga tidak relevan dengan perkembangan cara dan modus tindak pidana perdagangan orang. Rekomendasi yang di berikan adalah, apabila KUHP nantinya di revisi, hendaknya pada pasalpasal perdagangan orang harus memuat sanksi yang berat bagi para pelakunya. Selain itu, tidak hanya menjerat orang perseorangan saja, tapi harus menjerat korporasi atau instansi-instansi swasta atau pemerintah, yang melakukan praktek tindak pidana perdagangan orang. 5 Happy Susanto, Potret Trafficking di Indonesia, terdapat dalam, happy-susanto-files.blogspot.com/.../potret-trafficking-diindonesia.html, tanggal 26 November 2009, pukul 10.36 WIB.
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang: Salah satunya adalah kritik yang menyebut bahwa undang-undang tersebut dinilai mengabaikan hak anak. Koordinator Presidium Indonesia Against Child Trafficking (ACT), Emmy Lucy Smith, menilai undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum sepenuhnya melindungi dan mengakomodir hak anak. Undang-undang tersebut hanya memuat aturan tentang perdagangan orang dengan korban anak, namun bukan aturan tentang perdagangan anak (Tempo Interaktif, 23/3/2007). Kekurangan seperti itu perlu mendapat perhatian agar pemberantasan terhadap perdagangan orang dapat dilakukan secara menyeluruh, tidak parsial. 6 Yang dimaksud disini adalah bahwa Undang-undang ini tidak secara khusus membahas tentang perdagangan anak. Tapi hanya membahas sedikit tentang perdagangan anak. Sehingga dikhawatirkan Undang-undang ini hanya akan memberantas atau mengungkap perdagangan-perdagangan orang dengan korban orang dewasa. Rekomendasi yang diberikan adalah perlunya pengaturan-pengaturan yang lebih detail mengenai perdagangan orang dengan korban anak, mengingat anak merupakan sosok yang berada dalam posisi yang sangat rentan, dibandingkan orang dewasa. Di dalamnya juga perlu untuk diakomodir perlindungan hak-hak anak. Sehingga undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dapat secara maksimal teraplikasikan dalam penanganan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. 6 ibid