PERMASALAHAN HUKUM TERHADAP ISI BUTIR-BUTIR PERJANJIAN RI-GAM DALAM HAL KEWARGANEGARAAN

dokumen-dokumen yang mirip
RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA

Nota Kesepahaman. antara Pemerintah Republik Indonesia Dan. Gerakan Aceh Merdeka

BAB I PENDAHULUAN. partai politik lokal. partai politik lokal telah menjadi instrumen utama rakyat

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN

RechtsVinding Online. Aktor Non-Negara

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Nota Kesepahaman. antara. Pemerintah Republik Indonesia. dan. Gerakan Aceh Merdeka

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan rangkaian ribuan pulau di sekitar khatulistiwa yang

-1- QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. Warga negara merupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam.

(Negara dan Kedaulatan)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing.

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehadiran Partai Politik Lokal di Aceh merupakan suatu bukti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) menempati tingkatan

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA MENJAGA KESEIMBANGAN ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA ( WNI )

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

I.PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

d. Mendeskripsikan perkembangan politik sejak proklamasi kemerdekaan.

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENGAPA TAPOL DI PAPUA TOLAK RENCANA PEMBERIAN GRASI?

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, manusia selalu

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

KASUS KASUS KEWARGANEGARAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

Oleh : Gea Tri Gusti* ABSTRAK

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

BAB I PENDAHULUAN. 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem Demokrasi, kata tersebut

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

Transkripsi:

MAKALAH PERMASALAHAN HUKUM TERHADAP ISI BUTIR-BUTIR PERJANJIAN RI-GAM DALAM HAL KEWARGANEGARAAN Disusun oleh MAHATMA HADHI RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA Jakarta,

ABSTRAK Dengan dimulai melalui proklamasi 4 Desember 1976 di Desa Tiro, Kabupaten Pidie, GAM telah menyatakan berpisah dari induk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi tersebut memberikan implikasi banyaknya rakyat Aceh yang tergabung dalam GAM menyatakan untuk melepaskan status kewarganegaraan Indonesianya untuk mengikuti jejak para elit/pimpinan GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya terlebih dahulu dan berpindah menjadi warga negara asing. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan hukum karena melepaskan status kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan karena akan menimbulkan berbagai akibat hukum bagi dirinya. Dalam melepaskan kewarganegaraan ada banyak hal yang perlu diperhatikan karena kewarganegaraan Indonesia secara yuridis hendak mendekatkan pada paham kewarganegaraan secara sosiologis, yaitu ke arah satu bangsa Indonesia nasional hegemoni. Rakyat Indonesia terutama rakyat Aceh telah dibingungkan mengenai untuk siapakah pemerintah berunding dan untuk siapakah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang. Karena selama ini pemerintah Indonesia dirasakan kurang peduli terhadap nasib rakyat Aceh yang selama puluhan tahun telah diabaikan hak-hak asasinya sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Sebagai obat dari sakit hati rakyat Aceh kepada pemerintah Indonesia maka melalui nota kesepahaman RI-GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah memasukkan beberapa pasal yang memberikan perlakuan istimewa terhadap para pemberontak eks-gam yang sebagian telah meninggalkan status kewarganegaraan Indonesianya. Didapatnya perlakuan khusus tersebut perlu mendapat perhatian lebih dari masyarakat karena jangan sampai muncul perasaan ketidakadilan oleh masyarakat karena eks- GAM secara sosiologis juga sama-sama Warga Negara Indonesia walaupun pernah mengkhianati mendapat perlakuan istimewa sedangkan Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri yang setia terhadap negaranya tidak mendapat perlakuan istimewa. Memberikan kembali status kewarganegaraan sebenarnya bukanlah solusi yang terbaik mengingat sesungguhnya Pemerintah RI juga memiliki posisi tawar yang baik dengan mempergunakan argumen yang seperti disebutkan di atas. Akan tetapi, memang permasalahan separatisme ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Sehingga solusi dianggap lebih baik dibandingkan apabila harus menempuh cara-cara kekerasan. (Mahatma Hadhi, Rizky Argama) 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, kewarganegaraan seseorang merupakan suatu hal yang penting. Kewarganegaraan ini memegang peranan pula di lapangan lain, yaitu lapangan hukum publik. Dalam hubungan antara negara dan perseorangan lebih nyata pentingnya status kewarganegaraan seseorang. Apakah seseorang termasuk warga negara atau orang asing besar sekali konsekuensinya dalam kehidupan publik ini. Lebih-lebih dalam suasana hubungan perseorangan, maka dalam bidang publik ini terasa betapa pentingnya status kewarganegaraan. Hal ini adalah logis, mengingat bahwa sebenarnya kewarganegaraan itu tidak lain artinya dari keanggotaan dari sesuatu negara. Secara sederhana kita dapat mengadakan perumpamaan dengan mengambil organisasi atau perkumpulan sebagai contoh. Negara pun sama halnya dengan organisasi. Suatu organisasi tentunya memerlukan pula orang-orang yang dapat merupakan inti darinya. Demikian pula dengan para anggota dari suatu negara yang lazim disebut dengan istilah warga negara. Suatu organisasi tanpa anggota tidak akan ada, begitu pula dengan negara. Negara 2

membutuhkan warganegara untuk dapat menunjukkan bahwa negara tersebut ada 1. Beberapa tahun belakangan ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mendapat sorotan dunia internasional dalam menangani konflik separatisme yang terjadi di dalam negerinya. Konflik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah keberadaan Gerakan Aceh Merdeka dalam wilayah NKRI. Kelompok yang mengatasnamakan rakyat Aceh tersebut terbentuk dari berbagai macam kekecewaan rakyat Aceh akan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Telah banyak darah mengucur akibat konflik kepantingan pusat dan para tokoh politik Aceh sendiri. Rakyat Indonesia terutama rakyat Aceh telah dibingungkan mengenai untuk siapakah pemerintah berunding dan untuk siapakah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang. Karena selama ini pemerintah Indonesia dirasakan kurang peduli terhadap nasib rakyat Aceh yang selama puluhan tahun telah diabaikan hak-hak asasinya sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Sebagai obat dari sakit hati rakyat Aceh kepada pemerintah Indonesia maka melalui nota kesepahaman RI-GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah memasukkan beberapa pasal yang memberikan perlakuan istimewa terhadap para pemberontak eks-gam yang sebagian telah meninggalkan status 1 Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, (Bandung: Alumni, 1992). 3

kewarganegaraan Indonesianya. Didapatnya perlakuan khusus tersebut perlu mendapat perhatian lebih dari masyarakat karena jangan sampai muncul perasaan ketidakadilan oleh masyarakat karena eks-gam secara sosiologis juga samasama Warga Negara Indonesia walupun pernah mengkhianati mendapat perlakuan istimewa sedangkan Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri yang setia terhadap negaranya tidak mendapat perlakuan istimewa. Dengan dimulai melalui proklamasi 4 Desember 1976 di Desa Tiro, Kabupaten Pidie, GAM telah menyatakan berpisah dari induk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi tersebut memberikan implikasi banyaknya rakyat Aceh yang tergabung dalam GAM menyatakan untuk melepaskan status kewarganegaraan Indonesianya untuk mengikuti jejak para elit/pimpinan GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya terlebih dahulu dan berpindah menjadi warga negara asing. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan hukum karena melepaskan status kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan karena akan menimbulkan berbagai akibat hukum bagi dirinya. Dalam melepaskan kewarganegaraan ada banyak hal yang perlu diperhatikan karena kewarganegaraan Indonesia secara yuridis hendak mendekatkan pada paham kewarganegaraan secara sosiologis, yaitu ke arah satu bangsa Indonesia nasional hegemoni. Paham ini didasari untuk mencegah didapatnya kewarganegaraan bipatride bagi seluruh rakyat Indonesia. 4

1.2 Pokok Permasalahan Oleh karena nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM memiliki pengaruh yang besar terhadap ketatanegaraan khususnya masalah kewarganegaraan, maka diperlukanlah analisis yang mendalam dalam mencermati pasal-pasal mengenai pemberian kembali status kewarganegaraan eks-gam beserta hak-hak istimewa yang didapatkannya. Mendasarkan hal tersebut di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: 1. Apakah status GAM dalam hukum internasional? 2. Bagaimana implikasi hukum terhadap para anggota GAM yang telah melepaskan status kewarganegaraan Indonesianya? 3. Akibat-akibat apa saja yang akan terjadi dengan memberikan kembali status kewarganegaraan terhadap eks-gam terutama pada tokoh politik GAM? 1.3 Metodologi Penulisan Dalam menyusun makalah ini, penulis mendapatkan data dengan mengambil referensi dari buku-buku mengenai kewarganegaraan. Penulis juga mencari referensi dari media surat kabar untuk mengikuti perkembangan terkini. Selain itu, dengan kemajuan teknologi informasi penulis juga mendapatkan data-data berkaitan dengan naskah nota kesepahaman Helsinki 15 Agustus 2005. 5

BAB II GAM: ANTARA INTERNASIONALISASI DAN STATUS SEBAGAI BELLIGERENT 2.1 Status GAM dalam Hukum Internasional Sebelum membahas lebih jauh mengenai Nota Kesepahaman antara RI GAM, perlu diketahui dahulu status GAM di dalam hukum internasional. GAM dalam hukum internasional belumlah menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan kesepakatan dengan subyek hukum internasional lain dalam hal ini adalah Negara Kesaturan Republik Indonesia. Melalui konvensi-konvensi internasional subyek hukum yang diklasifikasikan sebagai subyek hukum internasional antara lain adalah negara, Tahta suci, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang perorangan/individu (dalam arti yang terbatas) dan pemberontak dalam sengketa 2. Di antara subyek-subyek hukum tersebut, negara merupakan subyek hukum yang utama dikarenakan negara memiliki kedaulatan. Dengan kedaulatan tersebut, negara memiliki hak-hak khusus terhadap negaranya yang tidak dapat diganggu gugat oleh negara lain. Dengan melihat dari sudut ilmu ketatanegaraan, yang dapat memberikan status warga negara hanyalah negara. 2 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2003). 6

Karena itu, apabila ada penduduk Aceh yang tergabung dalam GAM menyatakan melepaskan status kewarganegaraannya tentunya selanjutnya dipertanyakan warga negara manakah yang ia anut ataukah dia tidak memiliki kewarganegaraan (apatride)? 2.2 Unsur-unsur Negara pada GAM GAM agar dapat menjadi sebuah negara yang dapat memberikan status kewarganegaraan terhadap penduduk Aceh haruslah memenuhi unsur-unsur yang terbagi menjadi dua jenis yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur obyektif ada tiga, yang pertama adalah wilayah. Wilayah merupakan batas/yuridiksi/wilayah hukum kewenangan suatu negara. Dalam kasus Aceh, wilayah yang diklaim oleh GAM adalah wilayah Aceh berdasarkan perjanjian Sumatera 1 Juli 1956 antara pemimpin Aceh pada masa itu dengan kolonial Belanda pada abad ke-17. Kedua adalah penduduk, yang dianggap sebagai penduduk yang sah adalah sekelompok manusia yang memiliki kesamaan (keturunan, ciri, ataupun tempat) yang menyatakan bahwa mereka merupakan suatu negara. Ada beberapa kriteria tidak tertulis yang harus dipenuhi dalam menilai unsur penduduk. Kriterianya adalah sebagai berikut. 1. Proporsionalitas jumlah penduduk dengan luas wilayahnya. 7

2. Kemampuan negara tersebut dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan dunia internasional. 3. Ditujukan terhadap penduduk yang berdomisili tetap dalam wilayah tersebut. Dalam konteks kekinian dengan melihat perkembangan yang terjadi di Aceh kebanyakan dari penduduk Aceh telah banyak terjadi pencampuran ras. Selain itu, dengan semakin mudahnya transportasi antarprovinsi dan banyaknya industri di Aceh menjadikan sebagian dari penduduk Aceh bukanlah merupakan penduduk asli Aceh. Akan tetapi, mereka telah terikat secara kultural secara bertahuntahun dengan Aceh sehingga sulit untuk dibedakan dengan penduduk asli Aceh. Ketiga adalah pemerintahan yang mendapat legitimasi dari rakyatnya, dengan melihat sepak terjang GAM dalam melakukan aksinya tidaklah dapat dikatakan GAM mendapat legitimasi oleh rakyat Aceh. Belum jelas siapakah yang diperjuangkan oleh GAM karena selama ini banyak pula tindakan dari GAM yang sewenang-wenang terhadap rakyat Aceh sendiri. Rakyat Aceh masih memberikan legitimasinya terhadap Republik Indonesia. Selain syarat obyektif tersebut masih diperlukan syarat subyektif untuk dapat dikategorikan menjadi negara. Unsur subyektif tersebut adalah pengakuan dari negara lain. Unsur inilah yang diperjuangkan oleh Hasan 8

Tiro dan elit GAM lainnya dari negara lain. Dalam kehidupan politik internasional pengakuan dari negara lain memiliki pengaruh yang kuat dalam terbentuknya suatu negara. Dengan mendapat dukungan dari negara ketiga maka tahapan untuk menjadi negara telah ditempuh. Minimal, walaupun tidak diakui sebagai negara, akan tetapi dapat berkedudukan sebagai subyek hukum internasional lainnya yaitu pihak dalam sengketa (belligerent). 2.3 GAM sebagai Pihak dalam Sengketa (Belligerent) Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam keadaan tertentu. Contoh yang paling mudah adalah Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Untuk mendapatkan status subyek hukum internasional tersebut, GAM haruslah mendapat pengakuan dari negara lain bahwa eksistensinya dapat dibenarkan berdasarkan alasan-alasan yang rasional 3. Dalam menilai siapa saja yang dapat dimasukkan ke pihak dalam sengketa, negara-negara yang hendak memberikan pengakuan dituntut untuk berhati-hati karena pengertian ini sudah berbeda konteks. Konteks yang dimaksud oleh konvensi-konvensi internasional terdahulu adalah mereka yang merupakan suatu bagian terjajah berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan. Sedangkan pada 3 Ibid. 9

masa kini penjajahan dalam arti menyerang kedaulatan negara lain sudah tidak tampak lagi. Bila tidak hati-hati maka dapat dipastikan akan banyak pihak-pihak yang berusaha melepaskan diri dari negara lain, sehingga dapat membahayakan kedaulatan dari tiap-tiap negara. GAM belumlah dapat dianggap sebagai pihak yang bersengketa karena belum adanya negara lain yang mengakui secara tegas eksistensi GAM dalam memperjuangkan pencapaiannya. Adapun negara yang memberikan bantuan terhadap secara tidak langsung terhadap GAM adalah Negara Finlandia. Kedekatan Hasan Tiro dengan Pemerintahan Finlandia telah menimbulkan pertanyaan apakah benar Finlandia telah mengakui eksistensi GAM. Walaupun negara ini telah memberikan bantuan-bantuan berupa kewarganegaraan bagi Hasan Tiro dan sebagai fasilitator perundingan bagi GAM dan Indonesia, negara ini belum pernah memberikan pernyataan secara tegas akan eksistensi GAM. Dengan belum diakuinya GAM sebagai subyek hukum internasional maka kewarganegaraan GAM tentulah tidak dapat diakui karena yang berhak untuk memberikan kewarganegaraan bagi rakyatnya hanyalah negara. Untuk itu perlu disadari penolakan kewarganegaraan Indonesia oleh mereka dapat menyebabkan hilangnya hak-hak dasar mereka sebagai Warga Negara Indonesia. 10

BAB III Mahatma Hadhi dan Rizky Argama MOU RI-GAM DAN PERMASALAHAN KEWARGANEGARAAN DI DALAMNYA 3.1 Permasalahan Kewarganegaraan dalam Memorandum of Understanding (MoU) RI-GAM Semenjak diproklamasikannya Aceh merdeka, para pihak yang tergabung dalam GAM mulai melepaskan status kewarganegaraanya. Ada yang berpindah menjadi warganegara lain dan adapula yang tidak mengakui kewarganegaraan Indonesiannya. Kedua hal tersebut memberikan pengertian yang berbeda. Bagi yang berpindah menjadi warganegara lain maka secara otomatis dia kehilangan status kewarganegaraan Indonesianya. Hal tersebut disebabkan oleh stelsel kewarganegaraan Indonesia menghindarkan kewarganegaraan ganda (bipatride). Ditambah dengan berpindahnya kewarganegaraan tersebut ia tentunya sudah menggunakan haknya di negara lain, contohnya adalah dengan mengikuti pemilu di negara lain. Jadi, dengan berpindah kewarganegaraan tentunya ia telah kehilangan kewarganegaraan RI. Berbeda halnya dengan tidak mengakui kewarganegaraan Indonesia. Mengingat kewarganegaraan lebih merupakan hak bagi penduduk suatu negara maka dengan tidak mengakui kewarganegaraan Indonesia tersebut tidak berarti dia akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Akan tetapi bagi 11

para anggota GAM yang telah ikut latihan militer di Liberia berdasarkan Undang-undang 62 Tahun 1958, dia kehilangan warga negaranya Indonesianya. Mengikuti latihan militer di negara lain berarti dia telah mengikuti dinas militer yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang. Perlu untuk diingat, hilangnya kewarganegaaraan tersebut bukan berarti segala tindakan melawan hukum yang dilakukannya akan lepas dari jeratan hukum Indonesia. Atas dasar melepaskan hak bukan berarti menghapuskan kewajiban untuk patuh terhadap hukum 4. Perundingan Helsinki diharapkan menjadi perundingan yang terakhir antara RI dengan GAM. Dalam perundingan ini, RI memberikan maaf kepada para pihak yang tergabung dalam GAM. Salah satu bentuk pemberian maaf tersebut adalah dengan memberikan hak opsi kepada para anggota GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya. Hak opsi tersebut memiliki syarat bahwa dengan memilih kewarganegaraan Indonesia, maka bila dia masih memiliki kewarganegaraan lain ia diwajibkan untuk melepaskan kewarganegaraan lainnya itu. Pemberian kembali kewarganegaraan RI tersebut memberikan implikasi bahwa mantan pemberontak yang telah mengkhianati tanah airnya mendapatkan kembali hak-haknya sebagai warga negara. Hakhak yang diperolehnya antara lain hak untuk mendapat 4 Abdul Bari Azed, Intisari Kuliah Kewarganegaraan, (Jakarta: Indo Hill Co., 1995). 12

lapangan pekerjaan, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk memilih agama, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk mendapat perlindungan hukum di negara lain, serta hak-hak lainnya yang terdapat dalam Pasal 28 UUD 1945. Kesepakatan mengenai penyelesaian permasalahan kewarganegaraan terdapat dalam bab selanjutnya mengenai amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat bagi para eks-gam. Dalam pasal-pasalnya dijelaskan bahwa paling lambat 15 hari setelah penandatanganan MoU, berdasarkan prosedur UUD 1945, Pemerintah RI akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah ikut serta dalam aktivitas GAM. Tahanan dan tawanan politik yang terkait dengan itu segera dibebaskan tanpa syarat. Penggunaan senjata oleh anggota GAM setelah penandatanganan MoU dianggap sebagai pelanggaran, dan orang tersebut akan didiskualifikasikan dari amnesti. Disepakati, semua pihak yang telah mendapat amnesti, atau yang telah dibebaskan dari penjara mendapat semua hak politik, ekonomi dan sosial, serta bebas berpartisipasi dalam proses politik baik di Aceh maupun tingkat nasional. Bahkan orang-orang yang selama konflik telah melepaskan kewarganegaraan RI, mereka memiliki hak untuk memperoleh kewarganegaraan tersebut. Pemerintah RI dan penguasa-penguasa di Aceh akan membantu mempermudah mantan anggota GAM dalam berintegrasi dan berbaur kembali dengan masyarakat sipil. 13

Hak politik merupakan hal yang klasik melekat pada status warganegara. Hak politis disini adalah hak untuk turut serta dalam pemerintahan dan badan-badan perwakilan rakyat dengan mempergunakan hak untuk dipilih dan memilih. Bahwa orang yang bukan termasuk dalam warganegara tak diperkenankan turut serta dalam pemilihan umum adalah logis. Undang-undang tentang pemilihan umum juga menegaskan dalam pasal pertamanya bahwa hak untuk dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat disediakan bagi warga negara. Ketentuan yang serupa dapat kita ketemukan dalam peraturan-peraturan mengenai pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu dalam Pasal 18 dan 25 jo Pasal 2 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan-ketentuan ini merupakan pelaksanaan daripada apa yang ditentukan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1). Selain itu, untuk dapat dipilih menjadi Presiden RI menurut UUD 1945 haruslah orang Indonesia asli. Sedangkan dalam UUD Sementara 1950 yang kini tidak berlaku lagi haruslah Warga Negara Indonesia. Proses reintegrasi itu mencakup juga fasilitas ekonomi, dan berlaku tidak hanya bagi mantan aktivis dan pejuang GAM terdahulu, tetapi juga termaktub bagi bekas tahanan politik bahkan orang sipil yang terkena dampak. Dalam hubungan itu RI akan mengalokasikan dana untuk rehabilitasi bangunan publik dan pribadi yang hancur 14

akibat konflik, dana tersebut akan dikelola oleh penguasa di Aceh. Selain itu, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan juga dana kepada penguasa Aceh yang akan dialokasikan kepada semua pejuang GAM terdahulu. Mereka akan menerima tanah pertanian yang sesuai, pemberian kerja, dan jika tidak mampu bekerja akan diberikan jaminan sosial yang memadai dari pihak berwenang di Aceh. Hal itu juga berlaku bagi bekas tahanan politik yang telah mendapat amnesti, termasuk orang sipil yang terkena dampak. Dengan semua hak istimewa tersebut diharapkan para pejuang GAM yang telah menaruh senjatanya diharapkan dapat segera berbaur dengan rakyat Aceh yang lain tanpa harus merasa terasing. Maksud pemerintah RI tersebut memang baik tetapi hal tersebut tentu saja akan menimbulkan kecemburuan sosial di antara rakyat Aceh sendiri dan mungkin saja bagi rakyat provinsi lain bisa juga melakukan hal yang sama seperti usaha-usaha yang dilakukan oleh GAM. Dengan didapatnya kembali status kewarganegaraan Indonesia maka para mantan anggota GAM mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih untuk duduk dalam pemerintahan. Hal tersebut terbuka lebar mengingat dalam pasal-pasal nota kesepahaman antara pemerintah RI-GAM terdapat pengaturan mengenai partisipasi partai politik lokal 15

dalam pemilu. Partai politik lokal tersebut tentunya menjadi tunggangan yang empuk bagi para elit atau tokoh politik GAM untuk kembali memperoleh pengaruhnya dalam pemerintahan Aceh. Bukan tak mungkin partai politik lokal tersebut tak lain merupakan dari perubahan nama GAM saja. Melalui jangka panjang bukan tak mungkin bila konflik Aceh kembali timbul ke permukaan manakala partai politik tersebut merasa tidak puas dengan pemerintahan pusat. Karena bila kita bicara politik kepentingan pribadi dan golonganlah yang bermain di dalamnya. 3.2 Penerimaan Kembali Anggota GAM sebagai WNI Hasil kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM memungkinkan diterimanya kembali para mantan anggota GAM, termasuk pemimpin dan tokohnya, menjadi WNI. Namun, dalam wawancara dan pernyataan para petinggi GAM, terlihat bahwa mereka terkesan menghindari penggunaan istilah bahasa Indonesia, baik untuk merujuk masyarakat maupun negara. Naskah MoU pun tidak menyebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sekalipun. Istilah yang digunakan dalam naskah tersebut adalah Konstitusi. 5 Sikap dan perilaku yang ditunjukkan para petinggi GAM tersebut mengakibatkan berbagai pihak mengusulkan 5 Hikmahanto Juwana, Perspektif Hukum atas Memorandum of Understanding Helsinki, Jurnal Konstitusi (September 2005): 144. 16

diadakannya sebuah pengujian terhadap kesetiaan para ekstokoh GAM kepada NKRI. Pendapat itu menyatakan bahwa seharusnya pemberian amnesti kepada pimpinan dan anggota GAM yang berada di lembaga pemasyarakatan dilakukan dengan syarat pengucapan janji setia. 6 Guru Besar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. merekomendasikan pemerintah untuk menjalankan MoU berdasarkan tafsiran-tafsiran MoU yang telah mereka sampaikan pada masyarakat. Seluruh tafsiran yang disampaikan dalam menyikapi pasal-pasal kontroversial selalu berbasis pada peraturan perundangundangan Indonesia. Beliau juga berpendapat, seruan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar pimpinan dan anggota GAM berikrar setia pada NKRI setelah mendapatkan amnestiatau abolisi perlu diperhatikan oleh pemerintah. Kewajiban ikrar ini merupakan tafsiran yang didasarkan pada bingkai NKRI karena MoU tidak mengaturnya. Ikrar menjadi penting karena pemerintah harus menghindari situasi di mana anggota dan pimpinan GAM menerima abolisi atau amnesti tetapi tidak mengakui NKRI. 7 6 Ibid. 7 Ibid., hlm. 154-155. 17

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut. a. GAM dalam hukum internasional belumlah menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan kesepakatan dengan subyek hukum internasional lain dalam hal ini adalah Negara Kesaturan Republik Indonesia. b. Kewarganegaraan GAM tidak dapat diakui karena yang berhak untuk memberikan kewarganegaraan bagi rakyatnya hanyalah negara. Dengan demikian, penolakan kewarganegaraan Indonesia oleh para anggota GAM dapat menyebabkan hilangnya hak-hak dasar mereka sebagai Warga Negara Indonesia. c. Dengan didapatnya kembali status kewarganegaraan Indonesia maka para mantan anggota GAM mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih untuk duduk dalam pemerintahan. 4.2 Saran Adalah hal yang amat penting bagi Pemerintah RI untuk menjalankan MoU berdasarkan tafsiran-tafsiran dengan berdasar pada bingkai RI, yaitu yang telah 18

disampaikan kepada publik di Indonesia. Namun demikian, perlu disadari bahwa tafsiran ini belum tentu sejalan dengan tafsiran dari GAM. Kemungkinan yang ada adalah GAM menafsirkan dengan berdasar pada keinginan mereka untuk merdeka. Dalam situasi seperti telah dijelaskan di atas, peran lembaga negara seperti DPR serta masyarakat sangat penting untuk memberikan tekanan pada pemerintah agar implementasi MoU selalu mengacu pada peraturan perundangundangan Indonesia. 19

DAFTAR PUSTAKA Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Bari Azed, Abdul. Intisari Kuliah Kewarganegaraan. Jakarta: Indo Hill-Co. 1995. Gautama, Sudargo. Warga Negara dan Orang Asing. Bandung: Alumni. 1992. Juwana, Hikmahanto. Perspektif Hukum atas Memorandum of Understanding Helsinki, Jurnal Konstitusi (September 2005). Kansil, C.S.T. Hukum Kewarganegaraan RI Dtinjau dari UUD 1945. Jakarta: Sinar Grafika. 1992. Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni. 2003. Paulus, B. P. Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945. Jakarta: Pradnya Pramita. 1983. http://www.acehlf.com 20