IMPLEMENTASI POLIGAMI ANTINOMI ANTARA INDIVIDUAL RIGHT DAN SOCIAL RIGHT



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG

ANALISIS TERHADAP ISTBAT NIKAH OLEH ISTRI YANG DI POLIGAMI SECARA SIRRI (Studi Putusan Mahkamah Syar iah Nomor: 206/Pdt.G/2013/MS.

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak.


BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HARTA SUAMI - ISTRI DENGAN ADANYA PERJANJIAN KAWIN

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang. atau hala-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK AKIBAT ADANYA PERCERAIAN (SUATU KASUS DI PN DENPASAR)

BAB III. POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

Oleh: IRSAM DIAN BACHTIAR C

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan masyarakat yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion merupakan hal baru dalam

PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM FAKTOR PENYEBAB SERTA AKIBAT HUKUMNYA

HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL,DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM

KEWAJIBAN PELAPORAN DALAM HAL PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

KARAKTERISTIK GUGATAN WARGA NEGARA ( CITIZEN LAWSUIT

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. seperti jual beli, hibah, dan lain-lain yang menyebabkan adanya peralihan hak milik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan dalam agama Islam disebut Nikah yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

Prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No. 1/1974 (Study analisis tentang Monogami dan poligami) Siti Ropiah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

ialah sebagai Negara yang berdasarkan pancasila, sila pertamanya ialah

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN PADA KANTOR CATATAN SIPIL TERHADAP HARTA BERSAMA

BAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan

JURNAL ILMIAH PROSES PELAKSANAAN PENETAPAN PENGADILAN TERHADAP PERMOHONAN AKTA KELAHIRAN ANAK LUAR KAWIN. ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Mataram )

BAB I PENDAHULUAN. diantara mereka. Hal itu dikarenakan setiap manusia memiliki. kepentingannya, haknya, maupun kewajibannya.

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ABSTRAK. Kata Kunci : Hukum Agraria, Hak Milik Atas Tanah, Perjanjian Nominee, WNA ABSTRACT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN. Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim)

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

P U T U S A N Nomor 0264/Pdt.G/2011/ PA.Skh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

ABSTRAK. Adjeng Sugiharti

BAB I PENDAHULUAN. wanita telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan, itu berarti mereka

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN. A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan

Pelaksanaan Perkawinan Di Bawah Umur Melalui Dispensasi Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu. Dea Agustina Suardini, Yunanto*), Mas ut.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

Transkripsi:

51 IMPLEMENTASI POLIGAMI ANTINOMI ANTARA INDIVIDUAL RIGHT DAN SOCIAL RIGHT Oleh: Sanyoto Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Abstract Court of religion have absolute jurisdiction to check and judge polygamy application and then check the material condition and if its fulfilled, husband as applicant obliged to prove the reason. If he success to prove, so there are polygamous permission, but if he fail to prove the reason of polygamy, so the application will be refused. In application of Polygamy, Religion court give register of polygamous permission in form Pdt G. Verification charged upon husband. Wife have to explain about polygamous permission which given this matter shows importance antinomy between Wife, Husband, and society. Polygamous Implementation in Religion court have done according to existing rule, but for this decision many people is disgruntled because its sacrifice the justice for wife. Kata Kunci: Poligami, Antinomi A. Pendahuluan Implementasi atas Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan sebagai peratuan pelaksanaannya khususnya tentang poligami dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini terdapat beberapa tantangan yang secara langsung maupun tidak langsung dari internal maupun eksternal dan menimbulkan polemik dan membutuhkan solusi. Ungkapan yang umum pada dasarnya hukum akan menjadi baik apabila masyarakat menerimanya dengan melaksanakan secara suka rela, sedang sebaliknya hukum menjadi tidak baik apabila masyarakat tidak dapat menerimannya karena tidak sesuai dengan kepentingannya. Poligami dari dulu sampai sekarang telah menjadi fenomena yang menarik dan ada yang melakukan dengan secara legal, dan ada pula yang melakukan secara tidak legal dalam arti tidak dicatatkan. Kedua hal tersebut tentu bila dikatakan menurut ketentuan hukum mempunyai akibat hukum yang berbeda. Undang-Undang Perkawinan pada asasnya menganut asas monogami sedangkan poligami sebagai pengecualian, bila memenuhi syarat materiil maupun formal. Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) pada Pasal (1) menentukan bahwa, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. Pasal 3 ayat (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hal ini menunjukan bahwa dengan istilah pada asasnya berarti boleh ada penyimpangan, hal ini ternyata dalam ayat (2) yang memberikan ketentuan bahwa pengadilan dapat memberikan ijinpada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian pada Pasal 3 ayat (2) ditentukan bahwa Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 ayat (2) juga menentukan bahwa Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. Istri mendapat cacad badab atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

52 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No. 1 Januari 2008 c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Kemudian Pasal 5 menyatakan untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) harus dipenuhi syarat sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari isteri-isteri b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Kehendak untuk melakukan poligami dimanapun dan kapanpun meski hukum menentukan adanya syarat yang relatif sulit dipenuhi oleh suami yang tujuannya membentuknya sifatnya untuk mencegah (preventif) ataupun menentukan tindakan preventif dalam arti mengambil tindakan bila dilanggar, dalam implementasi oleh pengadilan menunjukan adanya antinomi antara aspek kepastian hukum, keadilan dan pemanfaatan bagi kepentingan pribadi suami (individual right) atau istri dan keluarga dan masyarakat (Social Right). Permohonan izin poligami yang diajukan suami disamping harus mempunyai alasan dan syarat menurut Undang -Undang yakni adanya persetujuan dari istri serta harus mampu berbuat adil terhadap istri-istri dan anakanaknya. Pengadilan sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan adanya permahonan izin poligami yang diajukan hakimnya diharapkan sikapnya tidak memihak (imparsial) dalam memutuskan apakah akan mengabulkan ataukah akan menolak. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas mengenai fungsi dan peran hakim dalam menghadapi adanya antinomy kepentingan dalam memeriksa permohonan poligami. B. Pembahasan Fungsi Pengadilan Agama sebagai sebuah konstitusi dapat ditinjau dari berbagai fungsi. Pertama dari segi tujuan bernegara, Negara dan pemerintahan Republik Indonesia didirikan sebagimana dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tujuannya antara lain memajukan kesejahteraan umum dalam wujud kemakmuran sebesar-besarnya kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan ini melekat juga pada pengadilan sebagai institusi yang menjalankan fungsi Negara. Pengertian kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sosial tidak semata-mata dalam ari ekonomi melainkan juga meliputi juga hal-hal seperti pelaksanaan hukum yang baik, perlindungan hukum atas segala hal perseorangan atau kelompok masyarakat dan memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama tanpa membedakan kedudukan dan latar belakang. Kedua, mewujudkan tujuan-tujuan hukum seperti keadilan, ketertiban, keseimbangan sosial, kepuasaan pencari keadilan dan lainlain. Fungsi ini dipandang sebagai tradisional pengadilan dan peradilan, sebagai suatu keharusan tetapi sangat sulit diwujudkan. Berbagai tujuan hukum tersebut tidak selalu berjalan seiring, pada waktu dan keadaan tertentu dapat berbeda bahkan mungkin bertentangan satu sama lain. Misalnya antara keadilan dan ketertiban. Keadilan pada umumnya bersifat kasusistik yang bersifat individual, sedangkan ketertiban biasanya bersifat untuk kepentingan orang banyak dan bersifat rata-rata (openbaar orde public order). Ada kemungkinan demi memenuhi ketertiban akan mengurangi sifat dan tuntutan keadilan. Begitu juga antara kepuasan individual dan keseimbangan sosial dimana adakalanya kepuasaan individual dikurangi atau bahkan dikorbankan. Kadang-kadang bermacam-macam tujuan dituntut sekaligus tanpa mengetahui perbedaan-perbedaannya, yang penting masyarakat tertarik semata-mata membangkitkan social sentiment atau social solidarity tanpa memperhitungkan cara mewujudakan apalagi hasilnya. Perbedaan-perbedaan yang berseberangan satu sama lain diperlukan kejernihan masing-masing disesuaikan dengan tempat tuntutan supaya jangan bercampur aduk. Ketiga, segi penegakan hukum esensinya menegakkan hukum adalah menjalankan dan mempertahankan hukum. Konsekuensi men-

Implementasi Poligami Antinomi 53 Antara Individual Rights dan Social Rights jalankan hukum dan mempertahankan hukum, pengadilan dan peradilan wajib memutus menurut hukum. Praktek keharusan memutus menurut hukum acapkali menghadapkan pengadilan dan peradilan pada aneka ragam makna hukum. Pemaknaan atas hukum sebagai pengertian : 1. Makna normatif memunculkan berbagai pandangan mengenai esensi dan subtansi hukum yakni hukum diartikan sebagai aturan tertulis. Pada pengertian ini tidak semua masalah hukum dimuat dalam aturan tertulis. Ketika hukum diartikan sebagai aturan tertulis dan tidak tertulis tidak serta merta memudahkan untuk menerapkan karena doktrin mengajarkan kalau ada pertentangan antara yang tertulis dan yang tidak tertulis, maka hukum tertulislah yang diutamakan (Prevail). Persoalan lebih lanjut kalau ternyata hukum tidak tertulis lebih disesuaikan dengan kesadaran hukum atas rasa keadilan atau kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Hukum tidak tertulis merupakan the living law sedang secara sosial hukum tertulis merupakan The dead law. Perkembangan yang lain berpendapat agar kenyataan sosial harus menjadi dasar yang dipertimbangkan pengadilan dan peradilan. Hakim dapat mengesampingkan hukum apabila tidak sesuai dengan kenyataan sosial. Tetapi sebaliknya bila terlalu mengutamakan kenyataan sosial akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan penerapan hukum menjadi sangat subyektif. Kedua persoalan itu mengakibatkan rendahnya konsistensi dan sulit melakukan prediksi dalam penerapan hukum. 2. Hukum diartikan sebagai gejala sosial artinya hukum diartikan sebagai tingkah laku warga masyarakat. Ada juga yang mengartikan sangat luas yaitu setiap aturan tingkah laku adalah hukum termasuk kewajibannya yang bersifat kesusilaan, kebiasaan-kebiasaan. Dalam bahasa masyarakat adat, hukum adalah segala sesuatu yang diadatkan. Ada juga yang mengartikan secara sempit yaitu batas pada aturan tingkah laku yang bersanksi. Atas hal ini hakim menghadapi masalah yakni: Pertama aturan tingkah laku antara satu tempat dan tempat lain adalah berbeda-beda. Kedua tidak mudah menentukan apakah suatu hukum atau aturan tingkah laku masih bener-bener hidup atau sudah ditinggalkan dan hanya mempunyai nilai sejarah saja. 3. Memberi arti luas terhadap hukum atau aturan tingkah laku seperti persoalan kenyataan sosial masyarakat dapat menyebabkan penerapan hukum menjadi sangat subyektif tergantung penemuan hukum hakim yang bersangkutan. Hal ini akan berpengaruh pada tuntutan konsistensi, kepastian dan dasar-dasar prediksibilitas aturan hukum. Sebaliknya bila hukum diberi arti yang sempit yaitu sebagai aturan tingkah laku yang bersanksi. Pengertian sosial mengenai sanksi berbeda dengan pengertian normative baik untuk kepastian, konsistensi dan prediksibilitas, sanksi harus definitive baik bentuk isi maupun lingkupnya. Konsep-konsep yang kompleks tersebut diatas berhadapan dengan aturan hukum yang kompleks, peristiwa hukum yang kompleks dan kepentingan yang berbeda dan bahkan ada kemungkinan bertentangan satu sama lain. Problema penegakan hukum nampak mulai menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat, sebagaimana ungkapan ahli menyatakan bahwa hukum mengikuti perkembangan dan tidak pernah mendahului perkembangan masyarakat. Dengan kata lain hukum selalu mengikuti dari belakang. 1 Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib dengan konsekuensi kepentingan manusia menjadi terlindungi (individual right), tetapi juga kepentingan masyarakat/kolektif (social right). Asas kolektif jelas bertentangan dengan asas individualis. Dalam teori hukum disebut 1 Wantu, fence M, 2007, Antinomi dalam Penegakan Hukum, Mimbar Hukum, vol 19 No. 3, hlm. 335

54 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No. 1 Januari 2008 sebagai antinomi yakni kondisi yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi tidak dapat dipisahkan karena sama-sama saling membutuhkan. 2 Hakim acapkali harus berhati-hati dalam memutus perkara poligami serta tidak boleh menyederhanakan persoalan hukum yang sedang diperiksanya karena apa yang diputuskan akan memberikan pengaruh baik positif atau negatif. Bila dalam mengambil keputusan dalam bentuk penetapan semata-mata bertolak untuk kepentingan publik (masyarakat) maka hakim dituntut melakukan rekayasa hukum tanpa perlu memperhatikan syarat-syarat, serta cara-cara yang ditentukan oleh hukum yang sifatnya kaku, bahkan bila perlu aturan hukum dikesampingkan demi kepentingan publik. Keadaan seperti ini nampaknya, merupakan fenomena dimana tujuan menghalalkan cara (the and justifes the mean). 3 Hakim dalam persoalan ini seharusnya tetap memperhatikan dalam menerapkan hukum agar tetap memperhatikan ketertiban sebab tanpa ketertiban penerapan hukum dan penegakan hukum dapat berakhir dengan anarkis. Ketaatan suami yang mengajukan permohonan poligami ke Pengadilan Agama dengan mengemukakan alasan yang sesuai dengan hukum formal dan pengadilan memutus apakah diterima ijinnya atau ditolak dalam bentuk penetapan memberikan pengaruh tidak hanya pada para pihak tapi juga pada masyarakat. Ketaatan para warga masyarakat terhadap aturan hukum merupakan cerminan budaya hukum (legal culture). Budaya hukum masyarakat turut memberikan peran menciptakan ketaatan hukum. 4 Lawrence Friedman dalam buku The Legal System memandang system sebagai on operating unit with definite bouderies. Memahami kata system sebagai on operating unit mensyaratkan gerak dinamisasi antar pelbagai komponen pendukung sistem (Sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dipahami sebagai seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas). Tiga komponen pada sistem hukum (legal system) yaitu subtansi (subtance or the ruler) struktur (structure) dan budaya hukum (legal culture) berfungsi ibarat jentara yang menggerakan kincir padi, bila salah satu tidak berfungsi niscaya kincir mengalami disfunction (pincang). Poligami dengan berbagai karakteristeriknya yang unik yang dikenal dalam Islam dan telah diujudkan dalam Undang-undang Perkawinan dan berbagai peraturan pelaksanaanya dalam implementasinya terdapat dua kepentingan yang saling berlawanan. Menurut Bagir Manan dalam perkara perdata tidak dibenarkan hakim mengedapankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pihak-pihak (individu), kepentingan masyarakat harus ditempatkan dibelakang kepentingan pihak-pihak. 5 Apabila ada perbedaan antara kepentingan keadilan yang berperkara dalam hal ini misalnya istri yang memberikan ijin dengan rasa keadilan, hakim wajib mendahulukan kepentingan dan keadilan yang berperkara, kecuali benar-benar dapat ditunjukan secara nyata suatu kepentingan masyarakat tanpa merugikan kepentingan dan rasa keadilan yang berperkara. D. Penutup Implementasi tentang ijin poligami yang diajukan suami ke Pengadilan Agama dengan alasan-alasan dan syarat-syarat hukum yang dipenuhi dan tidak melanggar ketentuan hukum Islam. Pengadilan Agama akan memeriksa, mengadili dan memutuskan dengan penetapan yang isinya mengabulkan ijin poligami yang diajukan dengan pertimbangan untuk kemaslahatan para pihak sesuai dengan ajaran Islam. 2 3 4 Ibid. Bagir Manan, 2007, Persepsi Masyarakat Mengenai Pengadilan dan Peradilan yang Baik, Varia Peradilan No. 258 mei 2007, hlm. 9 Laica Marzuki, 2005, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 191 5 Bagir Manan, Op. Cit., hml. 16

Implementasi Poligami Antinomi 55 Antara Individual Rights dan Social Rights Daftar Pustaka Arto, Mukti, 1995. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Manan, Bagir. 2007. Persepsi Masyarakat Mengenai Pengadilan dan Peradilan yang Baik. Varia Peradilan, No. 258. Jakarta: IKAHI; Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group; Marzuki, Laica, 2005. Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Jakarta: Konstitusi Press; Mertokusumo, Sudikno. 2005. Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Liberty; ----------. 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty; Wanta, M. Fence. 2007. Antinomi dalam Penegakan Hukum oleh Hakim. Mimbar Hukum Vol. 19 No. 3 Yogyakarta: FH UGM.