HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG KETENTUAN IMPOR DAN EKSPOR BERAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

2016, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Neg

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 9/MPP/Kep/1/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR BERAS

2014, No Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Org

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2018 TENTANG KETENTUAN IMPOR JAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2018, No Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 2.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56,

-2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Or

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

2 d. bahwa hasil pembahasan Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional telah memutuskan untuk mengenakan Tindakan Pengamanan Perdagangan berupa kuota terha

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pe

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

2 diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

2016, No Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian; Mengingat: 1. Undang-Undang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 40/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR KACA LEMBARAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan.

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tamba

2018, No Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan T

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia

, No.1551 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdag

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1890, 2015 KEMENDAG. Impor. Mesin. Multifungsi. Berwarana. Fotokopi. Berwarana. Printer Berwarna. Pencabutan.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lem

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/M-DAG/PER/1/2007 TENTANG VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS IMPOR KERAMIK

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA

2017, No sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23/M-DAG/PER/3/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perd

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

2017, No Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 T

BAB I. PENDAHULUAN A.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERDAGANGAN

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 35/M-DAG/PER/5/2012

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

Transkripsi:

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pengaturan Larangan Impor Beras Saat Musim Panen di Indonesia Ditinjau Dari Ketentuan World Trade Organization Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal (Ketenutan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012). Sejauh ini produk beras Indonesia belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan dengan adanya liberalisasi perdagangan, sampai saat ini beras Indonesia dinilai belum mampu untuk bersaing dengan produk-produk dari luar negeri. Hal ini dibuktikan dengan Indonesia yang masih terus melakukan impor dari berbagai negara, pada Tahun 2014 Indonesia mengimpor beras dari Thailand sebesar 90.763 ton atau US$ 42,6 juta, disusul India 61.546 ton atau US$ 22,3 juta, Pakistan 8.950 ton atau US$ 3,33 juta. Vietnam berada di peringkat keempat dengan 6.206 ton atau US$ 3,3 juta, dan Myanmar 8.136 ton atau US$ 2,7 juta. Beberapa negara lainnya juga menjadi negara pengekspor beras ke Indonesia dengan kisaran sebesar 675 ton atau US$ 1,9 juta (http://www.bps.go.id/linktabelstatis/view/id/10/). Apabila hal ini terus dibiarkan maka akan semakin merugikan dan memperburuk kondisi petani beras di Indonesia, Oleh karena itu, untuk melindungi petani beras dalam negeri, dikeluarkanlah kebijakan-kebijakan pro petani dalam negeri, salah satunya adalah melalui ketentuan impor dan ekspor 54

beras Indonesia. Ketentuan impor dan ekspor ini berisi tentang syarat-syarat impor dan ekspor, jenis beras yang dapat diimpor dan diekspor, serta aturan-aturan administratif mengenai impor dan ekspor beras. Dalam ketentuan impor dan ekspor beras Indonesia terdapat aturan mengenai larangan impor beras pada saat musim panen. Larangan impor beras pada saat musim panen akan meminimalisir masuknya beras dari negara lain ke Indonesia dan harga beras lokal akan terangsang naik, Dengan naiknya permintaan, secara otomatis pendapatan petani dapat meningkat. Hal ini akan mendorong petani untuk bekerjasama dengan pihalpihak terkait guna meningkatkan produksi dan kualitas demi memenuhi permintaan beras dalam negeri. Meningkatnya pendapatan petani menjadi awal dari berkembangnya sektor pertanian Indonesia, khususnya komoditas beras, hingga perlahan-lahan Indonesia dapat memenuhi target swasembada pangan. Beras merupakan komoditi strategis sebagai bahan pangan bagi masyarakat Indonesia, sehingga kegiatan produksi, penyediaan, pengadaan dan distribusi beras menjadi sangat penting untuk ketahanan pangan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani beras, kepentingan konsumen serta menciptakan stabilitas ekonomi nasional (Permendag Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008). Kedudukan beras memiliki peranan penting dalam kegiatan perdagangan internasional. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya perjanjian khusus WTO yang memuat mengenai produk pertanian (termasuk beras). Indonesia sebagai anggota WTO secara otomatis terikat dan memiliki kewajiban untuk menaati seluruh aturan yang ditetapkan oleh WTO, termasuk aturan WTO mengenai perdagangan bebas produk pertanian, khususnya beras. Wujud dari kebebasan dalam melakukan transaksi perdagangan internasional ditandai dengan dihapusnya hambatan tarif dan hambatan non-tarif yang membuka jalan bagi negara-negara dalam melakukan kegiatan ekspor dan impor. Penghapusan kebijakan ini sangat menguntungkan negara-negara yang telah memiliki kekuatan dalam perdagangan, namun dikhawatirkan justru akan merugikan negara berkembang. Perdagangan bebas dikhawatirkan hanya menjadikan negara berkembang sebuah pasar yang potensial untuk dikuasai oleh negara yang perekonomiannya lebih maju. Usaha pemerintah Indonesia dalam pengaturan impor beras dimulai pada Tahun 2004 dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan 55

Perdagangan (KMPP) Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan KMPP Nomor 368/MPP/Kep/5/2004. Dalam KMPP Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 terdapat klausul mengenai larangan impor beras saat musim panen, yaitu dalam Pasal 3 ayat (1) raya, selama panen raya dan 2 (dua) Pada perubahan kedua dalam KMPP Nomor 357/MPP/Kep/5/2004 ditambahkan keterangan di Pasal 3 ayat ( diperpanjang atau dipersingkat sesuai dengan pencapaian produksi padi pada masa perubahan ketiga tidak merubah ketentuan mengenai larangan impor beras saat musim panen pada perubahan sebelumnya. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan ini juga memuat mengenai tata cara pelaksanaan dan syarat-syarat impor beras. KMPP ini juga dapat dikatakan sebagai usaha pemerintah Indonesia untuk melindungi petani dalam negeri, usaha ini kemudian dipertegas dalam SK Departemen Perdagangan No. 1718/M-DAG/XII/2005 mengenai tata niaga impor beras untuk melindungi petani pada saat musim panen. Pada perkembangannya, dikarenakan KMPP Nomor 368/MPP/Kep/5/2004 tentang Ketentuan Impor Beras dinilai sudah tidak sesuai lagi, maka pada tanggal 11 April 2008, pemerintah Indonesia mencabut aturan tersebut dan menggantikannya dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor (Permendag) 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Permendag Nomor 06/M- DAG/PER/2/2012. Namun aturan mengenai larangan impor beras saat musim panen masih dimuat sebagai berikut: a. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras Ketentuan impor dan ekspor beras memuat tentang aturan-aturan mengenai impor dan ekspor beras, mulai dari jenis beras yang dapat diimpor maupun diekspor, syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan impor dan ekspor beras, serta prosedur administratif terkait kegiatan impor dan ekspor beras, yang memiliki sistematika sebagai berikut. 56

1) BAB I Ketentuan Umum (pasal 1 dan 2). 2) BAB II Impor Berasa Untuk Keperluan Stabilisasi Harga, Penanggulangan Keadaan Darurat, Masyarakat Miskin dan Kerawanan Pangan (pasal 3 dan 4). 3) BAB III Impor Beras Untuk Keperluan Tertentu (pasal 5, 6, dan 7). 4) BAB IV Impor Beras yang Bersumber dari Hibah (pasal 8 dan 9). 5) BAB V Ekspor Beras (pasal 10). 6) BAB VI Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor dan Ekspor Beras (pasal 11, 12, 13, dan 14). 7) BAB VII Pelaporan Pelaksanaan Impor dan Ekspor Beras (pasal 15, 16, 17, dan 18). 8) BAB VIII Sanksi (pasal 19, 20, 21, 22, 23, dan 24). 9) BAB IX Lain-Lain (pasal 25, 26, dan 27). 10) BAB X Penutup (pasal 28, 29, dan 30). Ketentuan umum Permendag ini menyebutkan bahwa beras merupakan komoditi strategis sebagai bahan pangan bagi masyarakat Indonesia, sehingga kegiatan produksi, penyediaan, pengadfaan dan distribusi beras menjadi sangat penting untuk ketahanan pangan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani beras, kepentingan konsumen serta menciptakan stabilitas ekonomi nasional. Aturan mengenai larangan impor beras saat musim panen masih dimuat dalam Permendag ini. Perbedaan Permendag ini dari KMPP yang telah dicabut terletak pada jumlah ayat yang sebelumnya hanya dua ayat menjadi 4 ayat (lebih diperinci). Pasal 3 Permendag 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras mengatur sebagai berikut. (1) Beras yang dapat diimpor untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, masyarakat miskin dan kerawanan pangan adalah Beras (pos tarif/hs 1006.30.90.00) dengan ketentuan tingkat kepecahan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen). (2) Beras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diimpor di luar masa 1 (satu) bulan sebelum panen raya, masa panen raya, dan 2 (dua) bulan setelah panen raya. (3) Penentuan masa panen raya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri Pertanian. (4) Pelaksanaan impor beras sebagaimana disebut pada ayat (2) dapat dikecualikan. 57

Dari ketentuan diatas dapat dilihat adanya penjelasan mengenai kondisi yang memperbolehkan impor beras dan pengecualian terhadap larangan impor beras saat musim panen pada ayat (2). b. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35/M-DAG/PER/8/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M- DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras Permendag ini tidak merubah aturan mengenai larangan impor beras saat musim panen yang ada pada Permendag sebelumnya. Perubahan dilakukan atas Pasal 10 dan Pasal 15 mengenai ketentuan ekspor beras. c. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M- DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras Permendag ini kembali merubah aturan dalam Pasal 3 menjadi berbunyi sebagai berikut: (1) Beras yang dapat diimpor untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, masyarakat miskin dan kerawanan pangan adalah Beras (pos tarif/hs 1006.30.90.00) dengan ketentuan tingkat kepecahan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen). (1a) Penentuan impor beras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil kesepakatan Tim Koordinasi dengan mempertimbangkan: (a) Persediaan beras yang ada di Perusahaan Umum BULOG; (b) Perbedaan harga rata-rata beras terhadap Harga Pembelian Pemerintah (HPP); dan/atau (c) Perkiraan surplus produksi beras nasional. (2) Beras sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diimpor di luar masa 1 (satu) bulan sebelum panen raya, masa panen raya, dan 2 (dua) bulan setelah panen raya. (3) Penentuan masa panen raya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri Pertanian. (4) Pelaksanaan impor beras sebagaimana disebut pada ayat (2) dapat dikecualikan. Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat adanya tambahan penjelasan yang tercantum dalam ayat (1a) mengenai Tim Koodinasi yang bertugas untuk menentukan pelaksanaan impor beras dengan mempertimbangkan ketiga poin yang telah dicantumkan pula dalam ayat (1a). Kebijakan yang mendasari ketentuan impor dan ekspor beras yang didalamnya terkandung aturan mengenai larangan impor beras saat musim panen adalah: 58

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (WTO Agreement) Pengesahan WTO Agreement dilakukan atas dasar kesadaran bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi, diperlukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan, serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional. Indonesia sebagai anggota WTO berdasarkan prinsip pacta sunt servanda wajib untuk mematuhi seluruh aturan WTO dalam melaksanakan kegiatan perdagangan internasional. Setiap kebijakan perdagangan yang dikeluarkan Indonesia tidak boleh melanggar ketentuan WTO dan merugikan negara anggota lain. Undang-Undang ini dapat pula dikatakan sebagai bukti Indonesia sebagai negara anggota yang tunduk terhadap aturan WTO. b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Definisi pangan telah dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Pangan yaitu, segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuh bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minum. Undang-Undang Pangan berisi aturan tentang penyelenggaraan pangan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan produksi pangan mandiri, ketersediaan pangan yang cukup, mempermudah dan meningkatkan akses pangan, meningkatkan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri maupun luar negeri, meningkatkan kesejahteraan petani, serta melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012). Impor pangan diatur dalam Pasal 36-40 Undang-Undang Pangan. Inti dari pengaturan impor pangan dalam Undang-Undang Pangan adalah impor pangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu seperti produksi pangan dalam negeri yang tidak mencukupi dan cadangan pangan nasional tidak 59

mencukupi, namun terdapat persyaratan yang wajib dipenuhi oleh negara pengekspor seperti batas kadaluarsa dan kualitas pangan. Undang-undang tentang Pangan ini menyesuaikan perkembangan eksternal dan internal mengenai pangan di Indonesia, seperti demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan kondisi aktual masyarakat Indonesia. c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Undang-Undang tentang Kepabeanan mengatur mengenai teknis pelaksanaan perdagangan barang (lalu lintas barang masuk atau keluar) di daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Setiap barang impor yang masuk ke Indonesia tidak boleh melanggar aturan Undang-Undang tentang kepabeanan, setiap negara pengekspor pun harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang diatur dalam undang-undang ini. Bagi negara yang melanggar dan atau lalai memenuhi kewajibannya akan dikenakan sanksi yang besarannya telah ditentukan dalam undang-undang ini berdasarkan jenis pelanggarannya. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional yang diatur oleh WTO, WTO memiliki prinsip Non-discrimination, Transparency, Stability and predictability of trade regulation, Use of tariffs as instrument of protection, and Elimination if unfair competition. Negara-negara anggota WTO secara otomatis tunduk terhadap prinsip tersebut dan harus menyesuaikan kebijakan perdagangan negaranya dengan prinsip-prinsip perdagangan internasional WTO. Prinsipprinsip perdagangan ini diterapkan guna menciptakan kesinambungan kerjasama antar negara untuk menjalin perdagangan yang jujur dan berkeadilan (fair treatment). Namun di dalam ketentuan-ketentuan WTO terdapat pengecualian yang disebut dengan remedi perdagangan. Remedi perdagangan, baik berupa Anti-Dumping, Anti-Subsidi maupun Tindakan Pengamanan (Safeguard), merupakan instrumen kebijakan perdagangan internasional yang paling banyak digunakan oleh negara-negara importir anggota WTO untuk melindungi industri dalam negerinya. Kebijakan remedi perdagangan 60

ini pun sangat penting untuk melindungi industri dalam negeri Indonesia. Selama ini Indonesia dibanjiri oleh produk-produk impor dengan harga dunping dan bersubsidi, tak jarang Indonesia mengalami lonjakan impor untuk produk-produk tertentu, tetapi di sisi lain produk ekspor Indonesia seringkali dituduh merupakan produk dumping dan produk bersubsidi, dan sering pula dilakukan inisisasi untuk dikenakan tindakan pengamanan. Ironisnya, sebagai salah satu negara yang paling banyak dituduh melakukan praktek dumping, Indonesia justru dikategorikan sebagai negara yang paling rendah dalam melakukan tuduhan dan penyelidikan dumping (Malangnya Komoditas Ekspor Indonesia, http://www.seputar- Indonesia.com). Tidak mengherankan apabila partisipasi Indonesia masih sangat minim dalam dominasi kasus-kasus perdagangan yang ada dalam Dispute Settlement Body (DSB). Terhambatnya ekspor Indonesia dan banyaknya produk impor yang masuk ke Indonesia mengakibatkan industri dalam negeri mengalami kerugian atau terancam mengalami kerugian yang berdampak pada menurunnya perekonomian, dan pada gilirannya berdampak pula terhadap menyempitnya lapangan kerja atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Melihat kondisi ini, sudah seharusnya Indonesia bersikap lebih proaktif mendayagunakan instrumen remedi perdagangan dalam rangka melindungi industri dalam negeri. Sistem hukum yang kuat baik dari segi substansi, struktur maupun kultutrnya, memiliki peran krusial terhadap efektivitas perlindungan industri dalam negeri, oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memperkuat sistem hukum remedi perdagangan. Secara umum pengertian remedi perdagangan mengacu kepada tindakan atau kebijakan pemerintah untuk meminimalkan dampak negatif dari impor terhadap industri dalam negeri. Remedi perdagangan ini diperlukan mengingat impor, baik yang dilakukan secara tidak jujur (unfair trade) maupun secara jujur (fair trade) dapat merugikan industri dalam negeri. Impor yang dilakukan secara tidak jujur dan merugikan industri dalam negeri adalah impor produk-produk asing dengan harga di bawah harga normal (harga dumping) dan impor produk-produk asing yang bersubsidi. Sedangkan impor yang dilakukan secara jujur tetapi dapat merugikan industri dalam negeri adalah impor yang jumlahnya melonjak secara cepat dan tidak wajar. Remedi perdagangan untuk mengantisipasi produk 61

dumping dan produk bersubsidi diwujudkan dalam bentuk pengenaan bea masuk impor tambahan, yaitu Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) atau Anti-Dumping Duties (ADD) dan Bea Masuk Imbalan (BMI) atau Countervailing Duties (CVD). Remedi perdagangan untuk mengendalikan dampak impor yang melonjak adalah tindakan pengamanan (safeguard) berupa bea masuk tambahan dan pembatasan impor. Secara umum penerapan remedi perdagangan didesain untuk meratakan kembali lapangan permainan (to level the playing field) yang sempat terganggu akibat adanya praktek dagang yang curang yang dimainkan produsen asing atau akibat meningkatnya secara drastis kompetisi yang jujur dengan produsen asing. Dengan kalimat lain, tindakan Anti-Dumping dan Anti-Subsidi dimaksudkan untuk mengeliminasi keunggulan-keunggulan harga yang diperoleh kompetitor asing melalui praktek perdagangan curang, sedangkan tindakan pengamanan (safeguards) dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada industri domestik untuk melakukan penyesuaian dan meminimalisasi dampak-dampak yang berupa destabilisasi akibat lonjakan impor (William H. cooper, 2003 : 2). Remedi perdagangan yang digunakan Indonesia untuk melindungi neraca perdagangan dan produk beras dalam negeri adalah dengan menggunakan tindakan pengamanan (safeguard). Tindakan tersebut berwujud sebuah kebijakan larangan impor saat musim panen dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Permendag Nomor 06/M- DAG/PER/2/2012. Tindakan safeguard diperlukan mengingat akibat konsesikonsesi perdagangan sebagai komitmen terhadap liberalisasi perdagangan akan membuka pasar domestik dan membawa dampak lonjakan impor secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang tidak wajar. Walaupun tidak ada unsur-unsur kecurangan atau ketidak jujuran dalam praktek perdagangan eksportir asing, hal ini tetap merugikan atau berpotensi merugikan industri lokal. Tindakan safeguard sebagai remedi perdagangan baik berupa pengenaan bea masuk tambahan dan/atau pembatasan impor diperlukan untuk memberi kesempatan kepada industri lokal untuk berkembang dari ketatnya kompetisi asing. Industri lokal memiliki kesempatan untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi persaingan selama 62

masa remedi ini, baik dengan cara menambah modal atau meningkatkan performa dengan teknologi terbaru, sehingga di akhir masa remedi industri lokal bisa bersaing dengan eksportir asing (Nandang Sutrisno, 2007: 233). Para ekonom beranggapan bahwa dalam prespektif WTO, remedi perdagangan adalah suatu bentuk proteksi terhadap impor yang mengarah pada inefiensi kesejahteraan ekonomi dan tidak lebih hanya diposisikan sebagai kebijakan terbaik kedua (second-best policy). Meskipun demikian, para ekonom telah menyepakati dimasukkannya remedi perdagangan ke dalam perjanjian perdagangan internasional, dalam hal ini WTO, sebagai pengecualian dengan motivasi insurance (jaminan) dan safety valve (katup pengaman) (Chad P. Bown, 2005: 515-527). Ketentuan mengenai remedi perdagangan penting untuk menjaga keutuhan perjanjian perdagangan internasional. Negara-negara anggota WTO tentunya akan enggan menandatangani perjanjian perdagangan internasional yang mengarah pada liberalisasi secara substansial apabila tidak ada jaminan perlindungan terhadap industri dalam negerinya. Selain itu, pemerintah negara anggota WTO akan merasa tertekan dalam melakukan negoisasi yang berkaitan dengan komitmen liberalisasi tertentu jika tidak ada pengecualian untuk pengamanan industri dalam negerinya. Namun, harus diakui bahwa mekanisme remidi perdagangan berupa safeguard ini sangat berpotensi untuk disalahgunakan sebagai usaha proteksi terselubung. Penyalahgunaan ini kontra produktif dengan paradigma liberalisasi perdagangan yang merupakan filosofi dasar dari WTO. Oleh karena itu, implementasi safeguard diatur secara ketat dalam ketentuanketentuan WTO, baik mengenai substansi maupun proseduralnya. Ketentuanketentuan WTO tentang remedi berupa safeguard diatur dalam Article XIX (Emergency Action on Imports of Particular Products) dan dijabarkan lebih lanjut dalam The Agreement on Safeguards (SG Agreement). Dalam penerapannya, mekanisme safeguard harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut (Nandang Sutrisno, 2007: 8): a. Lonjakan impor, baik secara absolut maupun relatif. b. Lonjakan impor tersebut merupakan akibat dari pemenuhan kewajiban berdasarkan perjanjian WTO. 63

c. Kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang menghasilkan barang yang serua atau barang yang langsung tersaingi. d. Hubungan kausalitas yang menunjukkan bahwa kerugian atau ancaman kerugian tersebut benar-benar disebabkan adanya lonjakan impor. Pada dasarnya mekanisme safeguard memiliki beberapa persamaan dengan mekanisme Anti-Dumping dan Anti-Subsidi namun, mekanisme safeguard memiliki perbedaan yang sangat mencolok dari mekanisme Anti-Dumping dan Anti-Subsidi. Pertama, mekanisme safeguard tidak mengharuskan adanya praktek perdagangan curang dari kompetitor asing seperti halnya dalam mekanisme Anti- Dumping dan Anti-Subsidi. Kedua, disamping menggunakan pengenaan bea masuk tambahan, tindakan safeguard dapat dilakukan melalui pembatasan kuantitas impor. Hal ini tidak sebagaimana tindakan Anti-Dumping dan Anti- Subsidi yang hanya dapat dilakukan melalui bea masuk tambahan. Ketiga, tindakan safeguard dapat diambil secara cepat dalam keadaan kritis, lain halnya dengan Anti-Dumping dan Anti-Subsidi yang hanya dapat diterapkan setelah melalui investigasi pendahuluan dimana para pihak yang berkepentingan diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan dan menunjukkan bukti-bukti. Keempat, tindakan safeguard mengharuskan adanya kompensasi terhadap kompetitor asing yang terkena dampak tindakan tersebut. Apabila tidak ada kompensasi, maka kompetitor asing diberikan otoritas untuk melakukan penangguhan konsesi atau kewajiban lain (misalnya retalisasi yang sepadan). Indonesia sendiri telah memiliki instrumen hukum yang mengatur mengenai tindakan safeguard. Adapun ketentuan tentang safeguard diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor. Prosedur penyelidikan safeguard diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 85/MPP/Kep/2/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor. Pelaksanaan penyidikan terhadap adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat meningkatnya impor di Indonesia dilakukan oleh Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Dengan adanya KPPI, pihak-pihak berkepentingan yang terkena dampak secara langsung dapat mengajukan 64

permohonan penyelidikan atas pengamanan kepada Komite. Pihak berkepentingan yang terkena langsung dampak peningkatan produk impor menurut menurut Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 85/MPP/Kep/2/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan atas Pengamanan Industri dari Akibat Lonjakan Impor, adalah sebagai berikut: a. Produsen dalam negeri Indonesia yang menghasilkan barang sejenis barang terselidik dan/atau barang yang secara langsung bersaing. b. Asosiasi produsen barang sejenis barang terselidik dan/atau barang yang secara langsung bersaing. c. Organisasi buruh yang mewakili kepentingan para pekerja industri dalam negeri. Tindakan safeguard hanya dapat dilakukan setelah dilakukan investigasi oleh otoritas yang kompeten berdasarkan prosedur yang telah ada sebelumnya. Namun apabila diperlukan, pemerintah dapat mengajukan penyelidikan kepada Komite dalam rangka perlindungan terhadap industri dalam negeri. Selanjutnya KPPI atas prakarsa sendiri dapat melakukan penyelidikan atas lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius dan/atau mengancam kerugian serius industri dalam negeri. KPPI harus memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang berkepentingan untuk menyampaikan bukti-bukti kepada Komite dalam setiap proses pembuktian yang dilakukan. Kemudian Komite melakukan verifikasi atas data dan informasi yang diperoleh dari para pihak. Selanjutnya, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pengajuan permohonan tindakan pengamanan tersebut diterima lengkap oleh Komite, berdasarkan hasil penelitian serta bukti awal yang lengkap sebagaimana yang diajukan pemohon, berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002, Komite memberi keputusan berupa: a. Menolak permohonan dalam hal permohonan tidak memenuhi persayaratan yang ditentukan; atau b. Menerima permohonan dan memulai penyelidikan dalam hal permohonan memenuhi persyaratan. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon guna mengajukan pelaksanaan penyidikan lonjakan impor ke Komite. Menurut Pasal 3 65

ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, untuk mempermudah proses penyidikan, pemohon harus melengkapi data sekurangkurangnya memuat sebagai berikut: a. Identifikasi pemohon. b. Uraian lengkap barang terselidik. c. Uraian lengkap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaingan. d. Nama eksportir dan negara pengekspor dan/atau negara asal barang. e. Industri dalam negeri yang dirugikan. f. Informasi mengenai kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius. g. Informasi data impor barang terselidik. Berikut disajikan data Volume dan Nilai impor, Volune dan Nilai Ekspor serta Neraca perdagangan Beras Indonesia sebelum diterbitkannya Permendag Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor beras dan yang menjadi alasan pemerintah Indonesia memberlakukan tindakan safeguard: Gambar 1.1 Impor komoditas Dominan Pertanian Tahun 2001-2004 66

Sumber: BPS, 2014 Gambar 1.2 Impor Komoditas Dominan Pertanian Tahun 2005-2009 Sumber: BPS, 2014 Gambar 1.3 Impor Komoditas Dominan Pertanian Tahun 2010-2013 Sumber: BPS, 2014 67

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada Tahun 2001-2003 terjadi kenaikan volume impor beras mencapai angka 1.438.103 Ton, hal ini lah yang kemudian menjadi alasan pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (KMPP) Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan KMPP Nomor 368/MPP/Kep/5/2004, yang di dalamnya memuat larangan impor beras saat musim panen. Fakta yang tercermin dalam tabel diatas membuktikan bahwa KMPP ini efektif menurunkan volume impor beras Indonesia pada Tahun 2005 menjadi 195.015 Ton. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya liberalisasi perdagangan, lonjakan impor beras kembali terjadi pada Tahun 2007 hingga mencapai angka 1.396.598 Ton. Lonjakan impor ini menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah untuk mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (KMPP) Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan KMPP Nomor 368/MPP/Kep/5/2004, yang dinilai sudah kurang efektif/sesuai dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras, yang efektif menurunkan impor beras Indonesia menjadi sejumlah 289.274 Ton. Lonjakan yang sama kembali terjadi pada Tahun 2011 dimana volume impor beras Indonesia mencapai 2.744.261 Ton, hal ini mendorong pemerintah untuk kembali menyempurnakan aturan larangan impor beras Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M- DAG/PER/2/2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras, yang kembali menurunkan volume impor beras menjadi 472.675 Ton pada Tahun 2013. Pengaruh positif juga dapat dilihat dalam ekspor beras Indonesia, beras memang merupakan salah satu sektor unggulan pertanian Indonesia, namun beras tidak termasuk dalam komoditas dominan ekspor yang meliputi kelapa, karet, kelapa sawit, kopi, kakao, manggis, mangga, nenas (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2014: 23), namun beras termasuk dalam kategori tanaman pangan sebagai berikut: 68

Gambar 1.4 Ekspor Pertanian Menurut Sub Sektor Periode Tahun 2001-2004 Sumber: BPS, 2014 Gambar 1.5 Ekspor Pertanian Menurut Sub Sektor Periode Tahun 2005-2009 Sumber: BPS, 2014 Gambar 1.7 Ekspor Pertanian Menurut Sub Sektor Periode Tahun 2010-2013 69

Sumber: BPS, 2014 Walaupun volume dan nilai ekspor tanaman pangan (termasuk didalamnya beras) cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun, namun Growth Rate of Ekspor Index merangkak naik dalam periode Tahun 2001 sampai 2013, dari semula 11,66% menjadi 28,10% untuk volume (ton) dan 17,37% pada periode Tahun 2001 menjadi 2972% pada periode Tahun 2013. Fenomena ini membuktikan bahwa mekanisme safeguard yang diterapkan Indonesia efektif untuk melindungi petani dan produk beras dalam negeri. Mekanisme safeguard yang diterapkan secara bertahap memberi ruang bagi pemerintah dan petani dalam negeri untuk memperbaiki sistem produksi dalam negeri sehingga pada akhirnya dapat mengembangkan akses pasar produk unggulannya, namun kebijakan larangan impor saat musim panen yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia ini dipermasalahkan oleh Thailand dalam sidang ILA WTO. Berikut ini adalah analisis Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012, ditinjau dari ketentuan WTO: a. Ditinjau dari General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994) Tarif tidak secara tegas didefinisikan dalam GATT, melainkan hanya dalam kaitannya dengan kegiatan ekspor-impor (Taryana Sunandar, 1996: 10). Menurut John J. Harter, dikenakan atas barang yang diangkut dari sebuah kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Pajak ini khususnya atas barang yang diimpor dari wilayah 70

kekuasaan politik yang satu ke wilayah yang lain, atau tingkat pajak yang dikenakan atas barang te : 11). Selain hambatan tarif, negara seringkali menerapkan kebijakan perdagangan dalam bentuk hambatan non-tarif yang bentuknya sangat beragam. Hambatan non-tarif yang dilarang oleh GATT 1947 adalah sebagai berikut. 1) Menurut Article III, pajak dalam negeri dan pungutan-pungutan lainnya, demikian juga peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi perdagangan dalam negeri serta produksi tidak boleh diterapkan terhadap barang-barang impor atau produk dalam negeri dengan maksud untuk memberikan proteksi terhadap produk dalam negeri. Pengaturan kuota (quantitative regulation) atas film (exposed cinematograph films) dalam keadaan-keadaan tertentu diperkenankan menurut Article III: 10 dan IV). 2) Article IV mengharuskan adanya kebebasan transit melalui jalur yang paling menguntungkan transit internasional, tanpa penundaan yang tidak perlu dan tanpa membedakan kewarganegaraan sarana transportasi atau barang yang diangkut. Suatu hambatan terhadap pengangkutan merupakan hambatan terhadap perdagangan. Dalam keadaan-keadaan tertentu tindakan anti-dumping dan bea masuk imbalan diperkenankan oleh Article VI. Hambatan administratif terhadap perdagangan sejauh mungkin harus dibatasi menurut Article VII, VIII, dan IX. 3) Menurut Article X, negara-negara peserta berkewajiban untuk mempublikasikan peraturan-peraturan hukum nasionalnya, demikian juga putusan pengadilan dan administratif yang berlaku umum dalam kaitannya dengan sesuatu produk tertentu. Ketiadaan informasi merupakan suatu hambatan non-tarif, karena mencegah persaingan adil. 4) Kuota atas impor maupun ekspor umumnya dilarang Article XI. Namun demikian pembatasan-pembatasan atas produk pertanian, pembatasan untuk melindungi neraca pembayaran, dan untuk melindungi industri baru di negaranegara berkembang di izinkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu menurut Article XI sampai dengan XV dan XVIII. 5) Dalam keadaan-keadaan khusus subsidi diperkenankan sesuatu dengan ketentuan Article XVI. 71

6) Adanya perusahaan dagang negara dapat juga menjadi hambatan non-tarif. Namun dalam keadaan tertentu diperbolehkan sesuai Article XVII. Tokyo Round yang berlangsung dari Tahun 1973-1979 merupakan putaran perundingan GATT yang membahas mengenai hambatan non-tarif secara mendalam. Tokyo Round menghasilkan sejumlah perjanjian (code) yang menyangkut hambatan non-tarif, salah satunya adalah The Agreement on Import Licensing Procedures. Perjanjian ini mengakui bahwa prosedur lisensi impor dapat memiliki kegunaan yang bisa diterima, tetapi prosedur lisensi impor dapat pula dinilai tidak layak sehingga menghambat perdagangan internasional. Perjanjian ini memastikan bahwa tindakan tersebut tidak merupakan suatu restriksi terhadap impor. Ketentuan impor dan ekspor beras Indonesia yang menerapkan kebijakan larangan impor pada musim panen tidak melanggar ketentuan GATT 1994. Kuota atas impor dan ekspor pada umumnya dilarang dalam Article XI. Namun, pembatasan-pembatasan atas produk pertanian, pembatasan untuk melindungi neraca pembayaran, dan untuk melindungi industri baru di negara-negara berkembang di izinkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu menurut Article XI sampai dengan XV dan XVIII GATT 1994. Disini Indonesia sudah memenuhi syarat-syarat tersebut, yakni volume dan nilai neraca perdagangan yang turun serta yang dilindungi adalah produk pertanian. b. Ditinjau Dari Agreement on Agriculture (AoA) Thailand mempermasalahkan larangan impor beras saat musim panen Indonesia karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan mengenai hambatan nontarif dalam WTO. Hambatan non-tarif untuk produk pertanian diatur secara khusus dalam AoA, yaitu dalam Article 4.2 AoA, namun di dalam Article 5.1 AoA tentang Ketentuan Pengamanan Khusus, bahwa meskipun terdapat ketentuan pada alinea 1 (b) Article 2 GATT 1994, suatu negara dapat mengambil jalan lain dari alinea 4 dan 5 di bawah dalam kaitannya dengan produk pertanian, dalam hal ini kebijakan-kebijakan (measures) sebagaimana tersebut pada alinea 2 Article 4 dari Persetujuan ini telah dikonversikan kepada bentuk tarif, dan hal itu ditunjukkan pada jadwaln yang mana ketentuan dari Article ini dapat diajukan, apabila: 72

Volume impor produk yang bersangkutan memasuki wilayah pabean suatu negara anggota yang mengakui ketentuan, selama beberapa tahun melebihi tingkat batas tertentu (triggers levels) sehubungan dengan peluang akses yang berlaku sebagaimana ditetapkan pada alinea 4; atau tetapi tidak bersamaan. Harga produk impor yang masuk wilayah pabean suatu negara anggota yang mengakui ketentuan, berdasarkan harga impor Cost Insurance and Freight (CIF) dari pengapalan yang dinyatakan dalam mata uang dalam negeri yang bersangkutan, berada dibawah trigger price yaitu rata-rata harga selama periode 1986-1988 dari produk yang bersangkutan. c. Ditinjau Dari Agreement on Import Licensing Procedures (ILA) Setiap anggota WTO wajib untuk menyampaikan notifikasi kebijakan impor setiap satu tahun sekali setiap akhir bulan September, kemudian notifikasi ini akan dikaji oleh Committee on Import Licensing setiap dua tahun sekali. Terkait permasalahan larangan impor beras saat musim panen antara Indonesia dan Thailand, aturan ILA yang berkaitan dan berpotensi untuk dilanggar diantaranya: 1) Article 1.2 tentang ketentuan-ketentuan umum bahwa anggota harus memastikan bahwa prosedur-prosedur administratif yang digunakan untuk melaksanakan rezim perizinan impor telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan GATT 1994 yang relevan, termasuk segala lampiran dan protokolnya, sebagaimana ditafsirkan di dalam persetujuan ini, dengan tujuan mencegah distorsi perdagangan yang mungkin timbul dari pelaksanaan prosedurprosedur tersebut yang tidak wajar, dengan mempertimbangkan tujuan pembangunan ekonomi dan kebutuhan keuangan dan perdagangan dari negara anggota. Tidak ada di dalam persetujuan ini yang dapat ditafsirkan bermaksud bahwa dasar, ruang lingkup atau masa berlakunya suatu tindakan yang sedang dilaksanakan melalui prosedur perizinan menjadi dipertanyakan menurut perjanjian ini (Soedjono Dirdjosisworo, 2004: 240). 2) Article 3.2 tentang Perizinan Impor Non-Otomatis, bahwa perizinan nonotomatis tidak boleh berakibat membatasi atau mengganggu impor yang menambah pembatasan yang sudah ada. Prosedur-prosedur perizinan nonotomatis harus, dari segi ruang lingkup dan masa berlakunya, sesuai dengan tindakan yang dilaksanakan dengan prosedur tersebut, dan harus tidak lebih 73

membebankan secara administratif daripada yang sungguh-sungguh perlu untuk mengatur tindakan yang bersangkutan. 3) Article 3.3 tentang Perizinan Impor Non-otomatis, bahwa dalam hal persyaratan perizinan untuk maksud selain pelaksanaan pembatasan kuantitatif, anggota harus menerbitkan informasi yang cukup agar anggota lain dan para pedagang dapat mengetahui dasar pemberitahuan dan/atau penjatahan izin yang bersangkutan. Keberadaan ILA sering dirasakan sebagai beban negara berkembang yang terus menerus mendapat tekanan dari negara maju. Meskipun demikian, setiap anggota WTO yang merasa dirugikan akses pasarnya oleh kebijakan impor negara mitra dagangnya dapat menggunakan notifikasi ini sebagai sarana untuk menekan anggota WTO yang dituju, terlebih lagi anggota yang belum melakukan kewajiban notifikasi mereka. Thailand yang merasa akses pasarnya dirugikan akibat kebijakan larangan impor beras saat musim panen di Indonesia menggunakan mekanisme ini untuk secara tidak langsung menekan Indonesia yang dalam hal ini belum melaksanakan kewajiban notifikasinya. Jika dilihat dari ketentuan-ketentuan WTO seperti GATT Article VIII mengenai bea dan formalitas terkait dengan impor dan ekspor, GATT Article X tentang Publikasi dan Tertib Administrasi Regulasi Perdagangan, dan Pasal-Pasal Notifikasi Import Licensing Procedures WTO sebagai dasar hukum ILA, serta sudut pandang remedi perdagangan (safeguard), aturan larangan impor beras saat musim panen di Indonesia yang dimuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012 tidak melanggar aturan WTO karena, di dalam WTO sendiri terdapat pengecualian terhadap prinsip dan ketentuan WTO guna melindungi perekonomian dalam negeri. Disamping itu Indonesia telah memenuhi persyaratan untuk melakukan tindakan safeguard yaitu nilai impor yang terus naik dan nilai neraca perdagangan yang terus menurun selama kurun waktu empat tahun. Kebijakan larangan impor beras saat musim panen di Indonesia memberi dampak positif terhadap neraca perdagangan beras Indonesia, hal ini dibuktikan dengan menurunnya defisit neraca perdagangan 74

Indonesia dari 463,925US$ pada Tahun 2007 menjadi 122,913US$ pada Tahun 2008. Dampak positif juga dirasakan langsung oleh petani Indonesia karena harga beras lokal dapat terangkat, salah satu contohnya di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, Nilai Tukar Petani (NTP) Subsektor Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Selatan cenderung meningkat dari kurun waktu Tahun 2008-2013, yaitu secara berturut-turut senilai 104,52; 108,2; 114,23; 121,12; 124,63; 124,17 (http://www.bps.go.id/linktabelstatis/view/1483). NTP merupakan indikator proxy kesejahteraan petani yang diperoleh dari perbandingan antara Indeks Harga yang diterima petani (It) dengan Indeks harga yang dibayar petani (Ib). Setiap angka NTP memiliki artinya masing-masing, sebagai berikut (http://www.bps.go.id/subjek/view/id/22#subjekviewtab1 accordion-daftarsubjek2): 1) NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya. 2) NTP = 100, berarti petani mengalami impas. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya. 3) NTP< 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya. 4) NTP memiliki kegunaan dan manfaat sebagai berikut Dari Indeks Harga Yang Diterima Petani (It), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dihasilkan petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian. Dari Indeks Harga Yang Dibayar Petani (Ib), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di pedesaan, serta fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk memproduksi hasil pertanian. Perkembangan Ib juga dapat menggambarkan perkembangan inflasi di pedesaan. NTP mempunyai kegunaan untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi dan 75

konsumsi rumah tangga. Angka NTP menunjukkan tingkat daya saing produk pertanian dibandingkan dengan produk lain. Atas dasar ini upaya produk spesialisasi dan peningkatan kualitas produk pertanian dapat dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan terangkatnya harga beras lokal, maka petani dapat memperoleh keuntungan lebih dari produk yang mereka jual, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani lokal. Pembatasan impor beras dapat dikatakan sebagai wujud nyata nasionalisme yang dilakukan pada tingkat pemerintahan, pembatasan impor beras juga mendorong meningkatnya pengembangan produk pertanian yang telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Pemerintah mulai bergerak untuk mendorong petani menanam beras khusus yang mempunyai spesifikasi khusus terutama beras Jepang misalnya untuk restoran Jepang dan kelas tinggi, serta beras yang dipakai untuk industri makanan dan minuman yaitu beras menir atau broken rice (http://m.detik.com/finance/read/2013/ 03/13/102153/2192489/459/). Larangan impor beras saat musim panen di Indonesia tidak melanggar ketentuan WTO karena dikeluarkan untuk melindungi produk beras dan petani dalam negeri karena lonjakan impor yang menyebabkan neraca perdagangan menjadi defisit, serta mendorong pemerintah melakukan evaluasi terhadap pertanian dalam negeri, sehingga dapat dibenahi dan dapat meningkatkan produksi dalam negeri. Pemerintah tidak serta merta menghentikan impor beras secara keseluruhan, melainkan melakukannya secara bertahap guna melatih petani dalam negeri untuk perlahan-lahan memperbaiki kualitas produk domestik. 2. Penyelesaian Keberatan Thailand Atas Larangan Impor Beras Saat Musim Panen di Indonesia Larangan impor beras saat musim panen di Indonesia diangkat menjadi sebuah permasalahan dalam sidang Agreement on Import Licensing Procedure (ILA) WTO, tanggal 30 April 2009 oleh Thailand yang mengajukan keberatannya atas kebijakan tersebut dan meminta penjelasan tertulis Indonesia akan diberlakukannya larangan impor beras pada saat musim panen dalam kebijakan tata niaga impor Indonesia. Thailand menganggap bahwa kebijakan larangan impor beras pada musim panen demi melindungi petani ini tidak merujuk 76

ketentuan WTO mengenai hambatan non-tarif yang berlaku. Thailand menggunakan haknya sebagai anggota WTO untuk meminta penjelasan atas kebijakan perdagangan Indonesia sesuai ketentuan Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing WTO. Tiap anggota WTO dapat meminta klarifikasi tentang peraturan impor anggota WTO lainnya degan menotifikasi pertanyaan mereka ke Committee on Import Licensing WTO. Anggota yang menerima pertanyaan juga wajib menotifikasi jawaban atau tanggapannya ke Committee on Import Licensing agar semua anggota WTO mengetahuinya. Notifikasi Questions and Replies on Import Licensing WTO merupakan satu dari tujuh kebijakan yang wajib untuk dinotifikasi dalam ILA, kebijakan tersebut adalah: a. Publikasi Tata Cara Permohonan Izin (Article 1.4(a)) Setiap anggota harus melakukan notifikasi ke Komite Import Licensing semua sumber informasi terkait dengan publikasi mengenai prosedur perizinan impor dan menyampaikan salinan publikasi tersebut ke Sekretariat WTO. b. Kuesioner Kebijakan Impor yang Berlaku (Article 7.3) Setiap anggota WTO harus menyediakan informasi yang mencakup isi kuesioner yaitu, perizinan impor dan prosedur administratif terkait (visa teknis, sistem pengawasan, rancangan patokan harga minimum, dan tinjauan administratif lainnya). c. Penanda Tangan Tokyo Round (Article 8.2(b)) Tiap anggota WTO harus menginformasikan kepada Komite mengenai segala perubahan undang-undang dan regulasi dimaksud. Notifikasi pertama yang harus dilakukan oleh anggota bukan penandatangan Tokyo Round Code harus memuat teks lengkap undang-undang dan regulasi terkait yang mempunyai relevansi dengan kepentingan anggota lainnya sejak persetujuan WTO mulai berlaku. d. Prosedur Pengajuan Perizinan (Article 5.1-5.4) Para Anggota yang melembagakan prosedur perijinan atau perubahanperubahan atas prosedur tersebut harus melakukan notifikasi ke Komite dalam waktu 60 hari sejak dipublikasikan. Notifikasi dimaksud harus memuat informasi yang termasuk dalam daftar sebagaimana diatur dalam Article 5.2 (yakni, daftar produk yang ditataniagakan, kontak point untuk informasi yang absah, instnasi yang memberikan rekomendasi; tanggal dan nama publikasi diterbitkannya 77

prosedur perijinan tersebut; indikasi otomatis tidaknya prosedur perijinan tersebut sesuai definisi Article 2 dan 3; bilamana perijinan itu bersifat otomatis, maka harus ada penjelasan mengenai tujuan dari tataniaga; namun apabila bersifat nonotomatis, maka harus ada penjelasan ketentuan yang diterapkan melalui perijinan tersebut; harus juga diindikasikan jangka waktu pengaturan prosedur perijinan dimaksud yang dapat diperkirakan batas waktunya, namun jika tidak bias maka harus ada penjelasan mengenai alas an tidak adanya informasi yang dapat diberikan). Setiap anggota WTO harus menotifikasi ke Committee on Import Licensing Procedures segala publikasi yang terkait. e. Notifikasi Kebijakan Impor Negara Lain (Article 5.5) Setiap Anggota WTO yang beranggapan bahwa Anggota WTO lainnya belum menotifikasikan prosedur tata-niaga atau perubahan terhadap kebijakan tata niaga tersebut menurut Article 5.1 5.3, dapat mengangkat masalah ini untuk meminta perhatian Anggota WTO lainnya, dan apabila notifikasi semacam itu belum dilakukan, maka Negara yang bersangkutan harus segera melakukan notifikasi atau perubahan terhadap kebijakan yang telah dinotifikasikan. f. Penundaan Kebijakan Impor WTO (Footnote 5 to Article 2.2) Catatan kaki (Footnote) No. 5 atas Article 2.2 memungkinkan Negara berkembang yang bukan penandatangan Tokyo Round Code untuk menunda selama tahun, penerapan ketentuan termaktub pada Article 2.2(a)(ii) dan (a)(iii) yang terkait dengan ijin otomatis. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M- DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras mengatur bahwa Indonesia tidak menerima impor beras pada masa satu bulan sebelum panen dan dua bulan sebelum panen, hal ini dapat dikatakan sebagai pembatasan jumlah (kuota) beras yang masuk ke Indonesia. Thailand menyebutkan bahwa kebijakan larangan impor beras saat musim panen yang diterapkan oleh Indonesia tidak merujuk pada ketentuan hambatan non-tarif WTO yang berlaku. Ketentuan mengenai hambatan non-tarif dalam WTO yang dapat dijadikan rujukan adalah: a. Article X-3(a) dan X-1 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Article X:3(a) berbunyi: 78

reasonable manner all its laws, regulations, decisions and rulings of the kind described in paragraph 1 of this Article. Setiap negara anggota harus memberlakukan rezim perizinan impor sesuai dengan kebijakan hukum, administrasi dan regulasi perdagangan WTO. Sedangkan Article XI:1 berbunyi: whether made effective through quotas, import or export licences or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory Rezim perizinan impor di WTO menetapkan bahwa pembatasan kuota merupakan larangan pada impor. b. Article 4.2 Agreement on Agriculture, Pasal ini mengatur tentang negara anggota tidak diperkenankan mempertahankan, terpaksa atau kembali kepada berbagai jenis kebijaksanaan yang diwajibkan untuk dikonversikan kepada tarif, kecuali untuk beberapa hal yang sesuai dengan Article 5 dan Lampiran 5. Kebijaksanaan tersebut meliputi import restrictions, variable import levies, minimum import price, discretionary import licensing, serta kebijaksanaan non-tarif melalui state trading enterprises, voluntary exportrestraints dan kebijaksanaan border lainnya selain tarif, baik kebijaksanaan tersebut dilakukan maupun tidak melalui negara khusus yang dikeluarkan dari ketentuan GATT 1947, tetapi bukan kebijaksanaan yang dikelola sesuai ketentuan balance of payments atau kebijaksanaan umum lainnya, ketentuan khusus non pertanian GATT 1994 atau persetujuan perdagangan multilateral lainnya pada lampiran 1A WTO Agreeement (Soedjono Dirdjosisworo, 2004: 33). c. Article 1.2, 3.2, dan 3.3 Agreement on Import Licensing Procedures, Article 1.2 tentang ketentuan-ketentuan umum bahwa anggota harus memastikan bahwa prosedur-prosedur administratif yang digunakan untuk melaksanakan rezim perizinan impor telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan GATT 1994 79