BAB I PENDAHULUAN. ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa. Hal ini tercermin dari semakin

dokumen-dokumen yang mirip
KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

ABSTRAK Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

I. PENDAHULUAN. tanggung jawab yang telah diembankan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seseorang yang mengkonsumsinya (Wikipedia, 2013). Pada awalnya, alkohol

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau yayasan, orangtua, guru, dan juga siswa-siswi itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan budaya dan karakter bangsa merupakan isu yang mengemuka di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan di berbagai bidang pendidikan. Pendidikan sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (aspek keterampilan motorik). Hal ini sejalan dengan UU No.20 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah membinatang. Orang orang

BAB I PENDAHULUAN. Taqwa, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 1. Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 7.

BAB I PENDAHULUAN. mendalam di seluruh dunia dikarenakan jumlah penderita autisme yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. yang dimilikinya. Salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia adalah

Judul Buku Seri Pendidikan Orang Tua : Menumbuhkan Sikap Toleran pada Anak Cetakan Pertama Desember 2016

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Abdullah Qurbi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

2015 PENGARUH PENGGUNAAN TEKNIK TOKEN EKONOMI DALAM MENGURANGI PERILAKU KEKERASAN PADA SISWA KELAS VI DI MADRASAH IBTIDAIYAH AISYAH KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran, di antaranya: pendidikan dan pelatihan guru, pengadaan sarana dan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa kanak-kanak merupakan bagian dari perjalanan panjang bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

Universitas Pendidikan Indonesia pernah menyatakan, Dalam era globalisasi, seluruh aspek kehidupan. bangsa terguncang dahsyat hingga daya adaptif kita

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gia Nikawanti, 2015 Pendidikan karakter disiplin pada anak usia dini

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN. Remaja berasal dari bahasa latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kenakalan remaja lainnya yang menyebabkan terhambatnya kreatifitas siswa.

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Yanah, 2014 Peranan Karang Taruna dalam mengembangkan kesadaran moral pemuda

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Kenakalan remaja, seperti sebuah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. sumbangsih bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. norma yang berlaku di masyarakat ataukah tidak. faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Sebagai pengajar dan

BAB I. pendidikan informal dalam rangka pembentukan nilai-nilai, sopan santun, (1991) bahwa keluarga, yakni orangtua merupakan sumber pengasuhan dan

Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application

BAB I PENDAHULUAN. Masalah-masalah moral yang terjadi sekarang ini jauh lebih kompleks

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah sekelompok individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. penuh dengan kenangan yang tidak mungkin akan terlupakan. Menurut. dari masa anak ke masa dewasa yang mengalami perkembangan semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. merupakan peralihan transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada masa-masa tersebut. sebagai masa-masa penuh tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. asing bisa masuk ke negara Indonesia dengan bebas dan menempati sector-sektor

BAB I PENDAHULUAN. psikis, maupun secara social (Sudarsono, 2004). Inilah yang disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sendiri. Namun, sangat disayangkan dari produksi yang ada mayoritas disisipi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah

BAB IV ANALISIS PERANAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN MORAL KLIEN ANAK DI BALAI PEMASYARAKATAN KLAS I SEMARANG A.

BAB I PENDAHULUAN. agama. Hal tersebut sangat berkaitan dengan jiwa Nasionalisme bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini permasalahan yang terjadi di kalangan remaja semakin beragam. Permasalahan yang muncul tidak

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. Pembahasan kriminalitas di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya pergeseran pola penyebab tindak kriminalitas. World Health

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB I PENDAHULUAN. bersifat fisik maupun rohani (Ahid, 2010: 99). Beberapa orang juga

BAB I PENDAHULUAN. Dari ketiga hal tersebut terlihat jelas bahwa untuk mewujudkan negara yang

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik dan psikisnya. Karena dalam

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia kini mengalami krisis moral yang menegaskan terjadinya ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa. Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya kriminalitas, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan hukum, kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai pelosok negeri, pergaulan bebas, pornografi dan pornoaksi, tawuran yang terjadi di kalangan remaja, kekerasan dan kerusuhan serta korupsi yang kian merambah pada semua sektor kehidupan. Pembangunan karakter bangsa yang sudah diupayakan dengan berbagai bentuk, hingga kini belum terlaksana dengan optimal (Setiawan, 2013). Sepanjang tahun 2011 KomNas Anak menerima 1.851 pengaduan (dari 730 kasus pada 2010) anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) yang diajukan ke pengadilan. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan. Temuan BNN, 12.848 siswa SD di Indonesia teridentifikasi mengkonsumsi Narkoba. Sementara itu, menurut data Yayasan Buah Hati, 83,7% anak SD kelas IV dan Kelas V yang diteliti telah kecanduan pornografi. Ini merupakan fakta-fakta yang diperoleh Komnas Perlindungan Anak sepanjang tahun 2011 (http://komnaspa.wordpress.com/ 2011/12/21/catatan-akhir-tahun- 2011-komisi-nasional-perlindungan-anak). Terjadi pula peningkatan hampir 2 kali lipat untuk kasus tawuran pelajar. Perilaku tersebut muncul karena anak 1

2 kurang sosialisasi dengan lingkungan sekitar, tidak bertanggung jawab secara sosial, terganggu secara emosional, dan sangat reaktif, tidak berfungsinya hati nurani, menyukai tantangan dan bahaya, menceburkan diri dalam satu kegiatan tanpa menyadari resikonya, sulit berdisiplin dan mengontrol diri, liar dan cenderung jahat. Disamping itu, anak kurang memiliki pemahaman terhadap nilainilai spritual, perilaku baik, demokrasi, menghargai pluralisme serta dan toleransi, perbedaan pendapat dan hak asasi manusia. Di SD X, Bandung, perilaku kenakalan yang mengarah pada krisis moral sudah mulai tampak. Dari observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti sebagai konselor di sekolah kepada siswa-siswi dan guru-guru senior (pengalaman mengajar berkisar 12-20 tahun) pengamatan mereka akan karakter anak didik menunjukkan penurunan kualitas karakter. Menurut Borba (2001), anak yang memiliki moral yang baik mampu menunju mampu memahami yang benar dan salah, mampu membedakannya dan mampu untuk berlaku benar dengan cara yang terhormat. Untuk siswa kelas 4 A misalnya, menurut wali kelasnya sekitar 70% siswa saat marah atau bersilang pendapat dengan temannya anak tidak dapat menerima perbedaan sudut pandang dan saat perbedaan tersebut meruncing anak mengeluarkan kata-kata yang kasar atau sampai melakukan tindakan fisik kepada anak lain. Wali kelas 4 lainnya juga menyebutkan bahwa ada sekitar 10% anak sering lupa tidak mengerjakan PR dan anak berani berbohong karena takut konsekuensi yang diberikan guru. Secara praktis menurut Borba (2001), anak mampu mengenali kapan orang lain mengalami rasa sakit dan berhenti untuk berbuat jahat; mengontrol perilaku

3 dan menunda pemenuhan kebutuhan, mendengarkan dari berbagai pihak sebelum menilai; menerima dan menghargai perbedaan; menolak pilihan yang tidak etis; berempati; melawan ketidakadilan; dan memperlakukan orang lain dengan belas kasih dan menghargai. Contoh perilaku moral yang baik misalnya pada beberapa anak ia selalu menanyakan terlebih dahulu kepada guru apakah dia boleh melakukan sesuatu atau tidak. Ada pula anak kelas yang lebih besar yang selalu memberikan salam kepada guru. Ada juga anak yang senang membantu temantemannya sehingga menurut ceritanya ia merasa dimanfaatkan oleh temantemannya. Dalam kesehariannya secara umum siswa-siswi sekolah ini masih terus diingatkan supaya bersikap sopan dan dalam berkata-kata masih terus diingatkan untuk mengucapkan kata tolong, terimakasih, permisi. Pengajaran materi kepada siswa-siswi juga diusahakan mencakup pula nilai-nilai moral melalui pendidikan agama dan diberikan juga nasehat dari guru kepada murid-muridnya. Namun bila diamati secara langsung, hanya sedikit anak yang melakukan hal tersebut dengan tulus. Umumnya siswa-siswi masih harus diinstruksikan baik oleh guru maupun orang tua yang mendampingi untuk mengawasi perilaku dan perkataan mereka. Hal ini menunjukkan minimnya kecerdasan moral anak. Pada tahun ajaran 2012/2013, hal yang muncul menjadi permasalahan yang cukup serius menurut pihak sekolah adalah adanya keluhan mengenai kelas 3A (kelas 4 A pada TA. 2013/2014) yang terdiri dari 14 siswa-siswi (menjadi 13 orang pada T.A. 2013/2014, yang kemudian akan disebut sebagai siswa-siswi). Keluhan orang tua dan pihak sekolah, siswa-siswi ini tidak terkendali perilakunya

4 dan cenderung kasar. Beberapa kasus yang terjadi, beberapa siswa dari kelas ini pernah melakukan pemukulan kepada siswa kelas lain, suka menjahili teman sampai menangis. Selain itu juga perilaku siswa-siswi di kelas kurang terkontrol dimana mereka cenderung menimpali dan berkata-kata sebelum mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru. Cukup sering pula siswa menanyakan hal yang sebelumnya sudah dipaparkan sejelas mungkin, dengan cara yang kurang sopan bahkan terkadang dengan memotong perkataan guru. Kelas ini meskipun dari segi jumlah merupakan kelas yang paling kecil namun keributan yang ditimbulkan lebih dibandingkan kelas yang lain. Guru-guru yang mengajar di kelas ini pun sudah menunjukkan keengganan untuk mengajar kelas ini. Dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa siswa-siswi tersebut kurang memiliki karakter yang baik (Lickona, 1991). Bila diperhatikan mengenai latar belakang keluarga, anak cenderung berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya bekerja sehingga masalah pengasuhan sering dialihkan kepada pembantu, kakek-nenek, maupun keluarga lainnya. Ada anak yang meskipun sepulang sekolah dibawa ke tempat bekerja orang tuanya (toko ataupun kantor) namun anak melakukan aktivitasnya, sedangkan ayah-ibu akan sibuk dengan urusan toko atau kantor hingga jam pulang kerja. Ada pula yang salah satunya bekerja dan yang lain tidak bekerja, namun sering pula didapatkan keluhan dari guru yang mengajar bahwa orang tua tersebut kurang memperhatikan pendidikan anak. Dengan kenyataan keterbatasan dari orang tua untuk menyampaikan pendidikan karakter pada anak maka tampaknya pihak sekolahlah yang berperan penting dalam pendidikan karakter siswa.

5 Orang yang memiliki karakter yang baik adalah yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral yang baik (Lickona, 1991). Menurut Lickona, ketiga komponen ini harus terbangun secara kontinu untuk dapat mengembangkan moralitas seseorang. Pendidikan moral yang paling awal diterima oleh anak berasal dari keluarga, dimana anak belajar mengikuti standar ayah dan ibunya. Robert Coles (1997), salah satu pencetus awal ide kecerdasan moral, dalam bukunya The Moral Intelligence of Children, menyebutkan bahwa karakter atau perkembangan moral adalah interaksi antara nature dan nurture. Perkembangan moral adalah hasil dari interaksi orang tua, cara pendisiplinan yang seimbang, dan pilihan anak. Teori mengenai kecerdasan moral disusun secara lebih terstruktur lagi oleh Michelle Borba (2001). Ia mengemukakan bahwa ada 7 nilai penting dalam kecerdasan moral. Adapun ke 7 nilai tersebut adalah empathy, conscience, self control, respect, kindness, tolerance, dan fairness. Dalam bukunya Building Moral Intelligence: The Seven Virtues That Teach Kids To Do The Right Thing, kecerdasan moral mensyaratkan 3 moral core yang akan membentuk kecerdasan moral yaitu empathy, conscience dan self control berada pada taraf minimum yang cukup baik sebelum 4 aspek lainnya dapat berkembang. Menurut Borba (2001), bila salah satu dari ketiga nilai tersebut tertinggal perkembangannya maka akan mempengaruhi perkembangan moral anak. Ia juga menekankan pentingnya melatih moralitas anak dan melatih sedini mungkin perilaku moral yang baik. Survei awal yang diberikan kepada guru kelas menggunakan kuesioner yang disusun oleh Michelle Borba (2001) dengan 4 penggolongan yakni baik, lebih

6 baik bila ditingkatkan, memiliki masalah potensial dan tingkatan yang paling rendah adalah memerlukan bantuan. Bila dirumuskan kedalam dua bagian besar yakni golongan atas dan bawah maka moral core 76,9 % siswa-siswi kelas 4 SD X berada pada golongan bawah (memiliki masalah potensial dan memerlukan bantuan) sedangkan 21,3% berada pada golongan atas (lebih baik bila ditingkatkan). Bila dilihat dalam perilakunya sehari-hari siswa-siswi di kelas ini memang sebagian besar menunjukkan perilaku moral yang kurang baik. Dari ketiga moral core yang dimiliki siswa kelas 4 SD X aspek conscience adalah yang paling banyak memerlukan peningkatan yakni 92,3% kemudian disertai dengan self control, 84,7% dan empathy 61,6%. Dilatarbelakangi pemaparan tersebut di atas maka perlu dipertimbangkan adanya pentingnya pengajaran moral sedini mungkin melalui pelatihan pengembangan karakter di sekolah sebagai salah satu upaya yang mendukung perkembangan moral anak untuk mencegah munculnya perilaku tidak bermoral. Untuk itu disusunlah suatu program untuk membantu pengembangan moral siswasiswi di sekolah dengan pelatihan ECS (Empathy, Conscience dan Self-Control). Pelatihan ini bertujuan agar siswa-siswi dapat meningkatkan moral core dari kecerdasan moral khususnya untuk aspek empathy, conscience dan self-control. Metode pelatihan yang digunakan adalah experiential learning dimana anak diajak untuk terlibat secara langsung dalam aktivitas, yang relevan dengan tujuan pelatihan, yang menuntut anak terlibat dengan penuh tanggungjawab, dan dalam penggunaan materinya fleksibel yakni disesuaikan dengan tingkatan pendidikan.

7 Untuk mengetahui derajat moral core dari kecerdasan moral anak maka kepada guru wali kelas diberikan kuesioner untuk masing-masing anak. Adapun rencana kegiatan yang akan diberikan kepada anak adalah berupa informasi atau pengetahuan mengenai nilai-nilai moral ditambah dengan belajar melalui observasi (film/ klip). Di sini aspek yang akan dilatih adalah 3 aspek moral core yaitu empathy, conscience, dan self control yang menurut Borba akan menjadi dasar bagi berkembangnya 4 aspek selanjutnya. Diharapkan dengan meningkatkan ketiga aspek mendasar ini maka anak akan mampu mengoptimalkan 4 aspek selanjutnya. Awalnya anak akan diberi materi yang berupa film yang mencakup ketiga aspek moral core kemudian anak akan diberikan aktivitas yang disusun sedemikian rupa agar saat anak mengerjakan aktivitas tersebut anak dapat mengenai aspek empathy, conscience dan self control-nya. Dengan tahapan kognitif yang masih concrete operational maka anak akan diberi lembar kerja yang berkaitan dengan kejadian sehari-hari. Kemudian akan diberikan evaluasi untuk melihat apakah perilaku anak benar dan apa yang seharusnya dilakukan dalam keseharian. Selain itu anak akan diberikan materi yang merangkum ketiga aspek moral core dan trik-trik praktis yang mudah diingat anak. Setelah beberapa waktu kepada guru wali kelas akan diberikan kembali kuesioner derajat moral core dari kecerdasan moral anak. Hasilnya kemudian akan dibandingkan, apakah akan terjadi perubahan tingkat kecerdasan moral anak atau tidak. Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk merancang dan mengujicobakan modul pelatihan ECS yang dapat digunakan oleh

8 sekolah untuk mengembangkan moral core dari kecerdasan moral siswa-siswi di SD X Bandung. 1.2. Identifikasi Masalah Apakah pelatihan ECS yang diberikan dapat meningkatkan moral core dari kecerdasan moral siswa-siswi kelas 4 di SD X Bandung? 1.3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai apakah program intervensi berupa pelatihan ECS yang diberikan di sekolah akan mengembangkan moral core dari kecerdasan moral pada siswa-siswi kelas 4 SD X Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah intervensi pelatihan ECS yang diberikan pada siswa-siswi berpengaruh pada moral core dari kecerdasan moral siswa-siswi kelas 4 di SD X Bandung.

9 1.4.Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis - Memberikan sumbangan ilmu bagi Psikologi Pendidikan untuk memperdalam pemahaman dan memperkaya pengetahuan mengenai rancangan program pelatihan kecerdasan moral pada anak SD. - Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelatihan kecerdasan moral pada anak SD. 1.4.2. Kegunaan Praktis - Memberikan suatu model intervensi pada pihak sekolah dalam prosesnya membantu mengembangkan kecerdasan moral anak secara optimum. - Memberikan masukan mengenai program preventif agar anak dapat meningkatkan kecerdasan moralnya. - Memberikan informasi kepada guru mengenai tingkat moral core dari kecerdasan moral siswa-siswi kelas 4 di SD X Bandung. - Memberikan masukan kepada guru kelas untuk mengembangkan program yang mendukung kecerdasan moral murid didik mereka. - Memberi informasi kepada siswa-siswi di SD X mengenai kecerdasan moral agar tercipta lingkungan dan perilaku yang bermoral. 1.5. Prosedur Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan modul pelatihan ECS dan melihat signifikasinya terhadap perubahan derajat moral core dari kecerdasan

10 moral sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan pada siswa-siswi kelas 4 SD X di Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah Single Group Pre-Test Post-Test Design (Before-After). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner mengenai moral core dari kecerdasan moral anak yang diisi oleh guru wali kelas sebelum dan sesudah pelatihan. Kuesioner ini disusun oleh Borba (2001) dan dialihbahasakan ke bahasa Indonesia oleh peneliti. Adapun moral core dari kecerdasan moral yang akan dilatihkan adalah empathy, conscience, dan selfcontrol. Treatmen yang diberikan berupa pelatihan dengan metode experiential learning. Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi SD kelas 4 X Bandung. Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Siswa kelas 4 SD X Bandung Modul Pelatihan ECS Signifikansi perubahan derajat moral core dari kecerdasan moral sebelum dan sesudah pelatihan Evaluasi Program Pelatihan ECS Bagan 1.1. Rancangan Penelitian