BAB I PENDAHULUAN. karena telah ada sejak era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. 1. masalah baru di Indonesia, karena sejak era tahun 1950-an telah banyak terjadi.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. atau terjepit maka sangat dimungkinkan niat dan kesempatan yang ada

BAB I PENDAHULUAN. terjadi kasus pidana anak dibawah umur yang menyebabkan kematian, baik

BAB IV. A. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Hukuman Kumulatif. Dari Seluruh Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim, menunjukkan bahwa

BAB III METODE PENELITIAN. harus mengacu pada metode-metode yang relevan dengan objek yang diteliti. Hal ini

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. melanggar hukum perundang-undangan, baik hukum Islam maupun hukum

BAGI PEJABAT NEGARA PENERIMA GRATIFIKASI YANG MELAPORKAN DIRI KEPADA KPK BERDASARKAN HUKUM POSITIF DAN FIKIH JINAYAH

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta tugas dan wewenang Kejaksaan, maka dapat disimpulkan bahwa:

MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG GRATIFIKASI, SEBAGAI AWAL DARI KORUPSI. Oleh : Ennoch Sindang Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK, Kementerian Keuangan

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan

Oleh : Nik Mirah Mahardani Pembimbing: I Gede Artha Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal ini sesuai dengan konstitusi negara

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB IV ANALISIS TENTANG SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian upaya perlindungan terhadap

Kajian Gratifikasi Seks Dalam Perspektif Hukum Pidana Oleh Hervina Puspitosari, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB IV ANALISIS TENTANG SANKSI PENGGELAPAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. bertujuan mempelajari secara intensif mengenai latar belakang dan dilakukan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pelanggaran prosedur perceraian bagi PNS di

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB III METODE PENELITIAN. Bank yang diteliti adalah Bank Muamalat Indonesia Cabang Kota Malang, yang beralamat di Jl. Kawi Atas No. 36A Malang.

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengganggu ketenangan pemilik barang. Perbuatan merusak barang milik. sebagai orang yang dirugikan dalam tindak pidana tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. secara biasa, tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa. juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB III METODE PENELITIAN

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

BAB III METODE PENELITIAN

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS STATUS MATA KULIAH : LOKAL WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan.

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. kasus korupai yang terungkap dan yang masuk di KPK (Komisi. korupsi telah merebak ke segala lapisan masyarakat tanpa pandang bulu,

BAB I PENDAHULUAN. adanya hukum dalam lingkup Islam yang mengatur mengenai hukuman bagi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. masalah penelitian hanya dapat dijawab berdasarkan temuan-temuan data empiris dari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah

BAB III METODE PENELITIAN

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

III. METODE PENELITIAN. beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Selain itu, juga

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerukan manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB IV. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

III. METODE PENELITIAN. 1. Pendekatan Yuridis Normatif (library Research)

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

BAB IV ANALISIS JARI<MAH TA ZI<R TERHADAP SANKSI HUKUM MERUSAK ATAU MENGHILANGKAN TANDA TANDA BATAS NEGARA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Perbankan di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang

BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia, karena telah ada sejak era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintah negara. Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi banyak menemui kegagalan. Kegagalan tersebut salah satunya disebabkan penegakan oleh berbagai institusi yang dibentuk untuk pemberantasan korupsi tidak menjalankan fungsinya dengan efektif, perangkat hukum yang lemah, ditambah dengan aparat penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh menyadari akibat serius dari tindakan korupsi. 1 Dengan begitu, untuk menanggulangi korupsi diperlukan aturan hukum dan penegakannya yang memberi kepastian hukum kepada setiap orang, agar keadilan dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. 2 Sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, gratifikasi menjadi perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang baru dalam perundang-undangan dan perlu sosialisasi yang lebih optimal. Udang-Undang 1 Chaerudin, et al, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung : PT. Refika Aditama, Cet. I, 2008, hlm. 1. 2 Nurdjana, Korupsi dalam Praktik Bisnis: Pemberdayaan Penegakan Hukum Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi, Jakarta: PT. Gramedia Utama, 2005, hlm. 20. 1

2 Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai amanat reformasi yang ingin menuntaskan praktik busuk korupsi dinilai belum memadai. Untuk itulah melalui Ketetapan MPR RI Tahun 2001 ditambahkan delik baru mengenai pemberian atau yang dalam UU Nomor 20 tahun 2001 dipakai istilah gratifikasi. Masuknya item gratifikasi dalam khasanah hukum (pidana) terbilang baru. 3 Gratifikasi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap bentuk pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Artinya, pemberian kepada pejabat publik itu akibat dari kewenangan yang dimilikinya, bukan disebabkan adanya relasi atau intimitas yang sifatnya personal semata, tanpa embel-embel statusnya sebagai pejabat publik. Pemberian dimaksud di atas adalah pemberian dalam arti luas meliputi: pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. 4 Menurut Pasal 12 B UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 dikatakan Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Namun, menurut Pasal 12 3 http//www.google.com. diakses 22 April 2009. 4 Undang-Undang RI No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Koruspi dan Undang-Undang RI No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Beserta Penjelasannya, Bandung: Citra Umbara.

3 C 5 UU No 20 Tahun 2001 gratifikasi tidak dianggap sebagai suap jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak gratifikasi diterima. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 12 C UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 tahun 1999 gratifikasi tidak dianggap sebagai suap jika penerima melaporkan gratifikasinya, hal ini berarti juga tidak dapat dipidananya penerima gratifikasi tersebut. Penerima baru dapat dipidana apabila tidak melapor kepada KPK, perumusan Pasal 12 C ini terkesan sebagai alasan penghapus pidana. 6 Dilihat secara substansial terdapat kesenjangan, karena seolah-seolah sifat melawan hukumnya perbuatan atau sifat patut dipidananya si penerima digantungkan pada ada atau tidaknya laporan (yang bersifat administratif prosedural). Persyaratan administratif tidak dipidananya tindak pidana korupsi ini dirasakan janggal, sekiranya korupsi dipandang sebagai perbuatan yang pada hakikatnya sangat tercela (intrinsically wrong). 7 Pelarangan atas segala bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait kapasitasnya sebagai pejabat atau penyelenggara negara bukanlah sesuatu yang baru. Tradisi Islam sendiri mewariskan kepada kita jejak sejarah mengenai hal tersebut. Salah satu contoh gratifikasi yang 5 Dalam Pasal 12 C dinyatakan bahwa: (1) Gratifikasi tidak dianggap sebagai suap jika si penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, (2) Si penerima gratifikasi melaporkan ke KPK paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak gratifikasi diterima, (3) KPK dalam waktu 30 (tiga puluh) hari menentukan status gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Ibid. 6 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 112. 7 Ibid, hlm. 113.

4 diartikan sebagai suap pada zaman Nabi Muhammad saw. adalah kasus pemberian hadiah kepada Ibn al-lutbiyyah (ada yang mengatakan Ibn Utbiyyah), seorang pejabat yang diangkat oleh Rasulullah sebagai penarik shadaqoh (zakat) di Distrik Bani Sulaim. Setelah melaksanakan tugasnya, Ibn al-lutbiyyah melaporkan hasil kerjanya kepada Rasulullah. Dia menyerahkan harta zakat yang dipungutnya, tetapi ada sebagian harta yang tidak diserahkan. Menurut pengakuannya harta itu diberikan kepadanya sebagai hadiah, Rasulullah tidak mau menerima pengakuannya sebab ia tidak mungkin mendapatkan hadiah kalau dia tidak diberi tugas memungut shadaqoh (zakat). 8 Menanggapi hal itu, Nabi Muhammad memerintahkan Ibn al- Lutbiyyah untuk duduk saja di rumahnya dan menunggu apakah dia akan memperoleh hadiah atau tidak. Maksud Nabi adalah bahwa Ibn al-lutbiyyah hanya akan menerima hadiah karena statusnya sebagai pejabat. Malam harinya dalam suatu pidato, Nabi Muhammad menjelaskan kasus tersebut dan melarang petugas mengambil sesuatu dari pungutan untuk negara, karena hadiah yang diterima petugas adalah suatu bentuk dari penggelapan atau korupsi. 9 Dengan demikian, perolehan yang pada prinsipnya dibolehkan, seperti infak, sedekah, pemberian, dan hadiah, namun dapat berubah status hukumnya menjadi haram jika yang menerima itu adalah para pejabat pemerintah atau penyelenggara negara, karena pemberian tersebut dapat 8 Ervyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulloh (eds), Fiqh Korupsi: Amanah Vs Kekuasaan, NTB: Solidaritas Masyarakat Transparansi, Cet. I, 2003, hlm. 286. 9 Ibid, hlm. 287.

5 menjadi suap (al-risywah). Hal ini diberlakukan dengan pertimbangan kekhawatiran rusaknya mental pejabat dan pudarnya objektivitas penyelenggara negara dalam melakukan tugas atau menangani suatu perkara. Dalam terminologi filsafat hukum Islam, hal ini dilakukan untuk mencegah sesuatu yang buruk atau yang lebih dikenal dengan prinsip sadd al-dzari'ah. Apalagi dalam Islam, jabatan dan kepentingan publik bukan hanya bermakna kepentingan rakyat, melainkan juga amanat Allah untuk rakyat. Dengan adanya larangan pemberian segala macam hadiah kepada pejabat, lantas bagaimanakah pandangan hukum pidana Islam terhadap adanya gratifikasi dan penghapusan pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima gratifikasi yang melaporkan gratifikasinya kepada KPK? Berpijak pada penjelasan di atas, maka dalam skripsi ini penulis mengambil judul Penghapusan Pidana bagi Pejabat Negara Penerima Gratifikasi yang Melaporkan Diri pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) (Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 12 C) UU No. 31 tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ) B. Permasalahan Permasalahan adalah upaya untuk menyatakan secara implisit beragam pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya. 10 Oleh sebab itu berdasarkan 10 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet. VIII, 1994, hlm. 312.

6 latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Apa latar belakang penghapusan pidana bagi pejabat negara penerima gratifikasi yang melaporkan diri kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Pasal 12 C UU No. 31/1999 jo. Undang- Undang No.20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi? 2. Bagaimanakah perspektif hukum pidana Islam terhadap gratifikasi dan penghapusan pidana bagi pejabat negara penerima gratifikasi yang melaporkan diri kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Pasal 12 C Undang-Undang No. 31/1999 jo. UU No.20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi? C. Tujuan Penelitian Berpijak pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui latar belakang penghapusan pidana bagi pejabat negara penerima gratifikasi yang melaporkan diri kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Pasal 12 C UU No. 31/1999 jo. Undang-Undang No. 20/2001 tentang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Untuk mengetahui perspektif hukum pidana Islam terhadap penghapusan pidana bagi pejabat negara penerima gratifikasi yang melaporkan diri kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Pasal

7 12 C UU No. 31/1999 jo. Undang-Undang No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. B. Telaah Pustaka Telaah Pustaka Penulis terlebih dahulu menelaah buku-buku, skripsi dan artikel yang ada relevansinya dengan permasalahan untuk menghindari kekhawatiran apakah permasalahan yang diangkat sudah ada yang meneliti atau belum, maka dari itu perlu dilakukan validitasnya. Dalam skripsi ini penulis telah melakukan telaah pustaka dengan membaca buku, skripsi dan artikel sebagai berikut: Pertama, buku karya Barda Nawawi Arief yang berjudul Kapita Selekta Pidana. Buku ini diantaranya menjelaskan berbagai aspek penegakan hukum, antara lain berkaitan dengan masalah korupsi dan pembahasannya lebih difokuskan pada kebijakan yang tertuang dalam berbagai produk perundang-undangan yang berlaku maupun yang ada dalam Rancangan Undang-Undang. Kedua, buku yang berjudul Terapi Penyakit Korupsi, Abu Fida Abdur Rafi. Buku tersebut menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan mengenai bentuk dan hukuman tindak pidana korupsi menurut syariat Islam. Ketiga, skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam tentang Sanksi Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Analisis Undang-undang No. 31/1999 tentang korupsi) ditulis oleh M. Elmi Setiawan, (2198120). Skripsi tersebut menjelaskan bahwa korupsi merupakan jarimah ta zir, hukuman bagi pelaku jarimah korupsi menurut sebagian fuqoha dapat berupa

8 potong tangan sampai dengan hukuman mati, tergantung kepada penguasa (ulil amri) yang ada pada saat itu, serta dilihat jumlah dan akibat yang ditimbulkan dari jarimah korupsi tersebut. 11 Keempat, skripsi yang berjudul Perbuatan Memperkaya Diri dan Penyalagunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi (Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU No. 31/1999 Jo UU No. 20/2001) ditulis oleh Eka Wijayanti (2104088). 12 Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa pada dasarnya delik korupsi berupa memperkaya diri (Pasal 2 ayat 1) diancam dengan pidana secara kumulatif, sedangkan menyalagunakan kewenangan jabatan atau kedudukan (Pasal 3) diancam pidana secara kumulatif alternatif. Padahal dilihat dari sudut masyarakat, dan dilihat dari hakikat korupsi sebagai delik jabatan, perbuatan menyalagunakan kewenangan jabatan atau kedudukan (Pasal 3) dirasakan lebih berat atau lebih jahat dari pada memperkaya diri (Pasal 2 ayat 1) setidak-tidaknya delik tersebut dipandang sama berat. Dalam skripsi tersebut juga dijelaskan bahwa korupsi adalah perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum syari at dan berbahaya bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Pelaku korupsi pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat dijerat dengan hukuman yang berat (maksimal) yaitu 11 M. Elmi Setiawan (2198120), Tinjauan Hukum Islam tentang Sanksi Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Analisis Undang-undang No. 31/1999 tentang korupsi) Skripsi Mahasiswa Fakultas Syari ah IAIN Walisongo Semarang. 12 Eka Wijayanti (2104088), Perbuatan Memperkaya Diri Dan Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi (Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU No. 31/1999 Jo UU No. 20/2001) Skripsi Mahasiswa Fakultas Syari ah IAIN Walisongo Semarang.

9 penjara seumur hidup atau pun hukuman mati. Ketentuan dalam pasal tersebut bila ditinjau dari hukum Islam termasuk jarimah ta zir, karena dalam nash Al- Qur an korupsi belum terdapat ketentuan mengenai makna korupsi dan hukuman yang jelas. Oleh karena itu pelaku korupsi tersebut diserahkan kepada otoritas hakim (ulil amri). Dengan demikian, menurut tinjauan hukum Islam ketentuan sanksi hukum menurut Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat dikatakan sesuai dan selaras dengan Maqashid al Syari ah yaitu mencegah kerusakan yang lebih besar bagi bangsa dan negara. D. Metode Penelitian Metodologi penelitian adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penulisan, untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan, untuk memperoleh dan membahas data. Penentuan metodologi penelitian sangat penting dalam memecahkan masalah-masalah yang dikemukakan dalam penelitian, sehingga permasalahan tersebut dapat terjawab secara tepat dan terandalkan kesahihannya. 13 Maka dalam penulisan ini Penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut : 2007, hlm. 31. 13 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

10 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian skripsi ini adalah jenis penilitian literatur/kepustakaan (library research) dengan jalan membaca, menelaah buku-buku dan artikelartikel yang berkaitan dengan permasalahan penulisan ini. Penelitian skripsi ini juga termasuk penelitian hukum doktrinal (doctrinal research). Penelitian hukum doktrinal ini merupakan suatu penelitian hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku. 14 Penelitian hukum ini menggunakan analisis hukum induktif, prosesnya bertolak dari premis-premis yang berupa norma-norma hukum positif yang diketahui dan berakhir (sementara) pada penemuan asas-asas hukum atau doktrin. 2. Sumber Data Yang dimaksud sumber data dalam penelitian kepustakaan adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. 15 Data dan sumber data yang diperlukan dalam penulisan ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : a. Data primer Merupakan literatur yang langsung berhubungan dengan permasalahan penulisan, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 30/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya Pasal 12 C. 14 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, edisi I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. hlm. 86. 15 Ibid, hlm. 116.

11 b. Data sekunder Yaitu sumber data yang berupa buku-buku atau artikel-artikel yang dapat mendukung penulisan skripsi ini. 16 Seperti; buku Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (R. Wiyono), buku Kapita Selekta Pidana (Karangan Barda Nawawi Arief), kemudian buku Fiqh Korupsi Amanah Vs Kekuasaan (editor Ervyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulloh. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik data yang digunakan adalah teknik dokumentasi, yaitu cara mengumpulkan data-data tertulis yang telah menjadi dokumen lembaga atau instansi. 17 Dalam penelitian yang berkaitan dengan permasalahan ini penulis menggunakan penelitian dokumentasi, dalam hal ini penelitian dilakukan dengan meneliti sumber-sumber data tertulis yaitu UU No. 20 tahun 2001 jo. UU No. 31/1999, buku-buku hukum pidana positif, buku-buku fiqih jinayah, artikel, makalah seminar, dan tulisan lain yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini. 4. Metode Analisis Data Menurut Bogdan dan Biklen sebagaimana yang dikutip Lexy J. Moleong analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, katagori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang 16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi VI, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. XIII, 2006, hlm. 231. 17 Sutrisno Hadi, Metodologi Risearch, Yogyakarta: Andy Offset, 1997, hlm. 9.

12 disarankan oleh data. 18 Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Adapun metode penulisan yang penulis gunakan adalah: a. Metode deskriptif-analitis, metode ini penulis gunakan dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut, kemudian diperoleh kesimpulan. 19 Metode ini penulis gunakan pada bab II dan bab III. Pada bab II penulis berusaha mendeskripsikan beberapa pandangan pakar hukum pidana positif ataupun hukum Islam yang menyangkut ketentuan-ketentuan umum tentang alasan penghapus pidana, alasan pemaaf dan al-riswah (suap). Sedangkan pada bab III mendeskripsikan ketentuan umum mengenai gratifikasi menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001. b. Metode content analisis 20 (analisis isi) melalui proses mengkaji data yang diteliti, sehingga dari hasil analisis ini diharapkan akan mempunyai sumbangan teoritik. Kedua metode ini penulis gunakan pada bab IV, dalam hal ini penulis mengkaji, memaparkan dan menganalisis Pasal 12 C UU No. 20 tahun 2001 jo. UU No. 31/1999, sehingga penulis dapat menemukan jawaban (subtansi) dari permasalahan yang dibahas dan sekaligus dapat diperoleh kesimpulannya. 18 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, hlm. 248. 19 Suharsimi Arikunto, op, cit., hlm. 239. 20 Analisis isi adalah setiap prosedur sistematis yang dirancang untuk mengkaji informasi terekam. Lihat Michael H. Walizer dan Paul L. Wiener, Terjemah Reseearch Methods and Analisys, Alih Bahasa Arif Sukadi Sadiman, Surabaya: Erlangga, Cet. II, 1991, hlm. 48.

13 c. Metode komparatif (comparative study), yaitu berusaha mencari pemecahan tentang hubungan-hubungan sebab akibat yakni meneliti faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan suatu faktor dengan faktor yang lain. 21 Metode ini penulis gunakan pada bab IV, dalam hal ini penulis membandingkan ketentuan-ketentuan mengenai gratifikasi menurut hukum pidana positif dengan ketentuan-ketentuan mengenai al-riswah (gratifikasi) menurut hukum pidana Islam. C. Sistematika Penulisan Skripsi Sebelum menuju pembahasan secara terperinci dari bab ke bab, ada baiknya jika penulis memberikan gambaran singkat sistematika penulisan yang akan disajikan. Sebab dengan demikian diharapkan dapat membantu pembaca untuk mengetahui materi yang ada di dalamnya secara integral. Pembahasan secara keseluruhan dalam skripsi ini terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab memiliki kaitan antara satu dengan yang lainnya. Dalam memaparkan skripsi ini maka penulis akan menyampaikan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan, di dalam bab ini meliputi: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Dari bab ini dapat diketahui apa yang sebenarnya melatar belakangi perlunya pembahasan penelitian ini. Selanjutnya dapat 136. 21 Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1972, hlm. 135-

14 diketahui batasan dan rumusan masalah yang relevan untuk dikaji serta tujuan yang hendak dicapai. Disamping itu dapat pula diketahui metode dan pendekatan apa yang digunakan dalam penelitian ini termasuk sistematika penulisannya. BAB II : Dalam bab ini membahas mengenai tinjauan umum tentang ajaran sifat melawan hukum, alasan pengahapus pidana, alasan pembenar, alasan pemaaf dan al-risywah dalam hukum Islam. BAB III : Dalam bab ini menjelaskan pertama, Ketentuan umum mengenai gratifikasi dalam UU No. 20 tahun 2001 jo. UU No. 31/1999 meliputi: pengertian gratifikasi, macam-macam gratifikasi, unsurunsur gratifikasi, ketentuan pemidanaan gratifikasi. Kedua, penghapusan pidana bagi pejabat negara penerima gratifikasi yang melaporkan diri kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Ketiga, perspektif hukum pidana Islam terhadap gratifikasi dan penghapusan pidana bagi pejabat negara penerima gratifikasi yang melaporkan diri kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Pasal 12 C Undang-Undang No.20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. BAB IV : Dalam bab ini memuat analisis terhadap Pasal 12 C Undang- Undang No.20/2001 jo. UU No. 31/1999 tentang penghapusan pidana bagi pejabat negara penerima gratifikasi yang melaporkan diri kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) serta analisis hukum pidana Islam terhadap gratifikasi dan

15 penghapusan pidana bagi pejabat negara penerima gratifikasi yang melaporkan diri kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Pasal 12 C Undang-Undang No.20/2001 jo. UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. BAB V : Penutup, di dalamnya berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup yang merupakan bab terakhir dari penulisan ini.