BAB I PENDAHULUAN. untuk kemakmuran rakyat. Kata dikuasai dalam pasal ini

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sumber daya tambang (bahan galian). Negara Indonesia termasuk negara yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kegiatan pembangunan pada hakekatnya adalah kegiatan manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Untuk tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia maka

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan keperduliannya terhadap masalah-masalah lingkungan

PERAN KANTOR PELAYANAN PERIZINAN DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN TERHADAP PERTAMBANGAN RAKYAT DI KABUPATEN SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi pertambangan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sekarang tanpa harus merugikan generasi yang akan datang. longsor dan banjir. Namun kekurangan air juga dapat menimbulkan masalah

BAB I PENDAHULUAN. berupa mineral bukan logam dan batuan berkualitas super, sumberdaya ini berasal

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan

BAB I PENDAHULUAN. dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. mendapatkan devisa Negara paling besar, namun keberadaan kegiatan dan/

BAB I PENDAHULUAN. konservasi, lindung dan produksi. 2

BABI PENDAHULUAN. dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya dengan baik. Potensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang).

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern saat ini. Pada tahun 2014, Indonesia, menurut Survei

karena harus mengorbankan aspek lingkungan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh bahan dari alam yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan usaha pelestarian fungsi air terutama pemerintah pusat

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 59 SERI E

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) 1945 menentukan bahwa bumi, air. dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULAUN. dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Oleh: ARI YANUAR PRIHATIN, S.T. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bangka Tengah

BAB I PENDAHULUAN. digunakan dalam kegiatan industri dan pertanian. menyebabkan terjadinya berkurangnya sumber air bersih.

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

BAB I PENDAHULUAN. sekitarnya. Menurut isi dari Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun tentang Perindustrian, Industri adalah :

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang. Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa yang dimaksud pekerja/buruh adalah

RINGKASAN SKRIPSI / NASKAH PUBLIKASI PENGENDALIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN BERKENAAN DENGAN INDUSTRI BATU BATA DI KECAMATAN PIYUNGAN KABUPATEN BANTUL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

kemandirian dan kemajuan suatu bangsa. rata-rata negara dengan kekayaan sejahtera. Namun, hal ini harus diiringi dengan pengelolaan yang baik dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kelompok maupun perorangan. Landasan hukum tersebut ialah

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yang semakin meningkat mengandung resiko pencemaran dan. yang menjadi pendukung kehidupan manusia telah rusak.

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

BUPATI SERUYAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2010 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

SKRIPSI PELAKSANAAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN (IUP) SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DI KABUPATEN SLEMAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. betapa besar potensi laut sebagai sumber daya alam. Laut tidak saja

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk sebesar-besarnya kemakmuran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. lainnya adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dan meningkatkan pembangunan nasional. Didalam sungai

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keberadaan sampah tidak lepas dari adanya aktivitas manusia di

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN dituangkan dalam Undang-Undang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pasal 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

BENCANA LINGKUNGAN PASCA TAMBANG

DIY. 3. Dinas 1) 2) 3) 4) B. Permohonan 1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, perkembangan

BUPATI TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK PETA PADA BIDANG PERTAMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Cipta. hlm Salim HS Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka

PEDOMAN PEMBERIAN IZIN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DI JAWA TIMUR

Menggali Kehancuran di Sunda Kecil

BAB I PENDAHULUAN. dewasa ini masih menemui banyak kendala sebagai akibat dari belum terwujudnya

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

EXSPOSE PENGELOLAAN PERTAMBANGAN, KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DI PROVINSI LAMPUNG

PROGRES IMPLEMENTASI 5 SASARAN RENCANA AKSI KOORDINASI DAN SUPERVISI MINERAL DAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan hidup sehingga pembangunan nasional berwawasan lingkungan tidak

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diamandemen ke-4, Bab

PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PENJUALAN DAN/ATAU RENCANA PENGIRIMAN HASIL TAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari

PROGRES IMPLEMENTASI 5 SASARAN RENCANA AKSI KORSUPWAS MINERBA di Daerah Istimewa Yogyakarta

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Negara. Kemajuan perindustrian tidak lepas dari peran pemerintah. memberi kemudahan di sektor perizinan industri.

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi sumber daya alam berlimpah termasuk bahan galian pertambangan. Di dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Kata dikuasai dalam pasal ini mengandung arti bahwa negara diberi kebebasan untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian tambang yang diberikan seluas-luasnya untuk kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pertama kali negara Indonesia menggunakan peraturan pertambangan sejak merdeka adalah peraturan yang berasal dari warisan zaman Belanda yaitu Indische Mijnwet yang diberlakukan berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, sebelum dibentuk peraturan baru berlaku peraturan-peraturan lama. Setelah merdeka 15 tahun Indonesia baru membentuk PERPU No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 37 Prp 1960 yang berlaku. Berselang lebih kurang tujuh tahun, Undang-Undang No.37 Prp Tahun 1960 diganti dengan Undang-Undang No.11 Tahun 1967 Tentang

2 Pertambangan dengan alasan Undang-Undang No.37 Prp Tahun 1960 tersebut sudah tidak lagi memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin berusaha dalam bidang Pertambangan. Masyarakat menghendaki agar kepada pihak swasta lebih diberikan kesempatan melakukan penambangan, sedangkan tugas pemerintah ditekankan kepada usaha pengaturan, bimbingan dan pengawasan pertambangan. Kemudian setelah berjalan lebih kurang 42 Tahun, Undang-Undang No.11 Tahun 1967 diganti dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU MINERBA) dengan pertimbangan Undang-Undang No.11 Tahun 1967 bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Industri pertambangan memberikan kontribusi signifikan dalam ekonomi nasional (3% PDB 2006). 1 Keuntungan ekonomis bagi Indonesia lebih besar dibanding jumlah kontribusi dalam PDB. Hasil dari pengelolaan dan pemanfatan bahan galian tambang tersebut juga berperan bagi pembangunan negara, hal itu secara langsung diwujudkan dalam peningkatan devisa negara melalui pajak atau kewajiban untuk membayar royalti kepada negara, dan juga deviden. Di samping itu, sektor pertambangan juga berkontribusi bagi pengadaan lapangan kerja bagi masyarakat, baik di sekitar area pertambangan maupun masyarakat 1 Adrian Sutedi, 2012, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 103.

3 di luar area pertambangan yang membutuhkan pekerjaan guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. Salah satu wilayah yang mempunyai potensi pertambangan adalah Daerah Provinsi Yogyakarta yang berada di Kabupaten Sleman. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak diantara : 110 33 00 dan 110 13 00 bujur timur, 7 34 51 dan 7 47 30 lintang selatan. luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 Km2 atau sekitar 18% dari luas Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 3.185,80 Km2, dengan jarak terjauh utara-selatan 32 Km,timur-barat 35 Km2, dan secara administratif terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 86 Desa, dan 1.212 Dusun. 2 Dari luas wilayah yang dimiliki Sleman, kekayaan alam dari sumber daya alam yang berpotensi dimiliki oleh Kabupaten Sleman sangatlah besar. Potensi pertambangan yang dimiliki di Kabupaten Sleman adalah mineral bukan logam dan batuan. Hal ini tentunya menarik minat para pelaku usaha dan masyarakat sekitar maupun masyarakat di luar dari kabupaten ini untuk mengelola dan memanfaatkan hasil bahan galian tambang, para pelaku usaha pun beragam dari skala kecil menengah bahkan menengah ke atas tertarik untuk melakukan kegiatan pertambangan dikarenakan bisnis pertambangan sangatlah menguntungkan. Sebelum melakukan kegiatan usaha pertambangan pasir haruslah memiliki izin, setiap usaha pertambangan haruslah mempunyai 2 Pemerintah Kabupaten Sleman, Letak dan Luas Wilayah, http://www.slemankab.go.id/profil-kabupaten-sleman/geografi/letak-dan-luas-wilayah, diakses pada tanggal 09/09/2015 Pukul 11:28 WIB.

4 izin yang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 35 UU MINERBA usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk izin usaha pertambangan (IUP). Pada kenyataannya masih banyak usaha pertambangan yang tidak memiliki izin usaha pertambangan. Menurut Edy Sumantri, beberapa dampak negatif disebabkan oleh kegiatan pertambangan tanpa izin yaitu : Kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, kecelakaan tambang. Negara maupun pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan gejolak sosial. 3 Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha kegiatan pertambangan terutama pertambangan pasir di Kabupaten Sleman, dan masih banyak kegiatan pertambangan dilakukan secara ilegal tanpa memiliki izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah yang diberi wewenang untuk mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP). Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan bahwasebanyak 70 persen penambangan di daerahnya ilegal. Selama perizinan penambangan masih menjadi kewenangan pemerintah kabupaten dan kota, serta baru 22 penambangan yang dinyatakan legal, Sisanya tujuh puluh persen ilegal. 4 3 Edy Sumantri, Pertambangan Tanpa Izin dan Karakteristiknya, www.djmpt.esdm.go.id, diakses pada tanggal 13/09/2015 pada pukul 19:11 Wib. 4 Bisnis tempo news, 70 persen penambangan di yogyakarta ilegal, diakses dari http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/08/10/090690669/sultan-70-persenpenambangan-di-yogyakarta-ilegal, pada tanggal 09/09/2015 pukul 15:03 wib.

5 Pertambangan ilegal marak dan kerap dilakukan di Kabupaten Sleman. Salah satu kasus yang sangat menyita perhatian publik adalah penambangan pasir dari letusan Merapi pada tahun 2010 silam. Tindakan pemerintah membuat sebuah aturan dalam upaya penanggulangan dan normalilasi aliran sungai kering akibat tertimbun material vulkanik, seperti batu dan pasir. Pemerintah mempunyai tujuan utamayaitu Memulihkan ekonomi warga pasca letusan merapi. Pengambilan pasir dan batu yang dilakukan di lahan wargayang berguna agar secepat mungkin lahan warga yang tertimbun batu dan pasir pasca letusan merapi dapat ditanami dan dilakukan penghijauan kembali. 5 Namun justru sebaliknya hal tersebut menimbulkan banyak masalah, seperti pohonpohon yang tumbuh di sekitar perumahan warga yang seharusnya berfungsi sebagai tempat untuk penyaringan resapan air tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya lagi.semua itu di karenakan pohonpohon yang tumbuh di sekitar perumahan warga tidak dapat tumbuh maupun ditanami kembali. Warga pun menjadi kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk di manfaatkan dalam kebutuhan kehidupan sehari-hari. Para pelaku usaha pertambangan yang telah memperoleh izin usaha pertambangan juga tak luput dari pengawasan pemerintah dan kontrol dari para aparatur pemerintah yang berwenang karena bisa saja 5 Majalah BBC Indonesia, penambangan pasir ancam lingkungan, diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150609_majalah_merapi_pasir, pada tanggal 12/09/ pukul 14:36 wib.

6 menyebabkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan pertambangan pasir yang dilakukan oleh pemilik IUP. Menurut Muchsan, pengawasan merupakan segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. 6 Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat persoalan hukum yang penting untuk diteliti yaitu pelaksanaan izin usaha pertambangan (IUP) sebagai upaya pengendalian kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu : 1. Bagaimanakah pelaksanaan izin usaha pertambangan sebagai upaya pengendalian kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman? 2. Apakah ada kendala atau hambatan di dalam pelaksanaan izin usaha pertambangan (IUP) sebagai pengendalian kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman? 6 Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap Pembuatan Aparatur Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm 37.

7 C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan izin usaha pertambangan (IUP) sebagai upaya pengendalian kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman. 2. Untuk mengetahui kendala atau hambatan di dalam pelaksanaan izin usaha pertambangan (IUP) sebagai pengendalian kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di dunia pendidikan terutama ilmu hukum lingkungan dan hukum pertambangan khususnya pertambangan rakyat. 2. Secara Praktis a. Untuk memberikan masukan bagi pelaku usaha pertambangan dalam rangka menjaga pengendalian kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir khususnya di Kabupaten Sleman. b. Untuk memberikan masukan bagi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Sleman dalam rangka

8 pengawasan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir khususnya di Kabupaten Sleman. c. Untuk memberikan masukan bagi Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman dalam rangka pengendalian kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir khususnya di Kabupaten Sleman. d. Untuk memberikan masukan bagi Dinas Sumber Daya Air, Energi, dan Mineral Kabupaten Sleman dalam rangka pengelolaan khususnya di bidang pertambangan pasir di Kabupaten Sleman. e. Untuk memberikan masukan bagi Dinas Pekerjaan Umum dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Yogyakarta dalam rangka pengelolaan, pengawasan, pemberian IUP dan pembinaan khususnya di dalam bidang pertambangan pasir di Kabupaten Sleman. E. Keaslian Penelitian Berkaitan dengan penelitian ini, ada beberapa tulisan yang mirip dengan judul yang penulis teliti. Namun berbeda fokus permasalahannya yaitu : 1. Deodatus Bhinneka Dutha Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Tahun 2007 dengan judul Pelaksanaan Pengendalian Kawasan Lingkungan Akibat Pertambangan Pasir Dibantaran Sungai Boyong Turgo Hargobinangun Kabupaten Sleman Yogyakarta.

9 a. Rumusan Masalah : Bagaimana pelaksanaan pengendalian kawasan lingkungan akibat pertambangan pasir di bantaran sungai Boyong Turgo Hargobinangun Sleman Yogyakarta? b. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui pelaksanaan pengendalian kerusakan lingkungan akibat pertambangan pasir di bantara sungai Boyong Turgo Hargobinangun Sleman Yogyakarta. c. Kesimpulan : Dalam rangka pelaksanaan pengendalian kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan pasir dibantaran sungai Boyong diperlukan kerjasama antar instansi terkait dalam pengendalian kawasan lingkungan, karena pada umumnya mereka mempunyai rencana kerja sendiri-sendiri yang sulit disatukan, seperti memaksimalkan sosialisasi tujuan dan program yang dibuat oleh pemda Kab. Sleman dalam pengendalian kawasan lingkungan sehingga tingkat kesadaran masyarakat dari penambang pasir melakukan perbaikan kerusakan lingkungan. 2. Deny Laksono Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Tahun 2009 dengan judul : Aspek Hukum Pengendalian Kerusakan Lingkungan Sebagai Akibat Dari Pertambangan Pasir Tanpa Izin Di Sungan Gendol Kabupaten Sleman. a. Rumusan Masalah : Bagaimana pelaksanaan pengendalian kerusakan lingkungan akibat pertambangan pasir tanpa izin di sungai Gendol Kabupaten Sleman?

10 b. Tujuan Penelitian : 1) Untuk mengetahui apakah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengendalikankerusakan lingkungan akibat pertambangan pasir tanpa izin di daerah Sungai Gendol. 2) Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang muncul dalam upaya mengendalikan kerusakan lingkungan akibat pertambangan pasir tanpa izin di daerah Sungai Gendol. c. Kesimpulan : Upaya pengendalian kerusakan lingkungan sebagai akibat dari pertambangan pasir tanpa izin di Sungai Gendol Kabupaten Sleman belum berjalan dengan baik karena terbatasnya jumblah personal dinas KAPEDAL dan Dinas P3BA Kabupaten Sleman, khususnya yang memiliki latar belakang pertambangan dan belum tersedianya dana yang cukup dan peralatan yang modern untuk memperbaiki atau memulihkan lingkungan yang rusak akibat kegiatan pertambangan pasir yang tidak terkendali, sehingga upaya pencegahan dan penanggulangan dampak lingkungan menjadi terhambat. 3. Ivana Melinda Ohoiulun, NPM 09164 dari Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, melakukan penelitian tahun 2010 :

11 a. Judul : Penegakan Hukum Terhadap Pertambangan Rakyat Illegal Dalam Upaya Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup di Kabupaten Sleman Yogyakarta. b. Rumusan Masalah : Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pertambangan rakyat illegal dalam upaya pengendalian kerusakan lingkungan hidup di kabupaten sleman yogyakarta. c. Hasil Penelitian : 1) Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan pentingnya mendapat izin atas pertambangan rakyat yang dilakukan. 2) Kurangnya SDM yang menghambat petugas yang terkait untuk memberikan pengarahan, penjelasan, pembinaan dan pengawasan terkait dengan pertambangan rakyat. 3) Pada umumnya masyarakat (Pelaku tambang) berfikir bahwa mereka melakukan kegiatan tambang di tempat mereka tinggal yang mana dalam presepsi mereka tempat tersebut beserta isi di dalamnya adalah sepenuhnya milik mereka dan dalam mengusahakan atau memanfaatkan bahan galian tersebut tidak memerlukan izin dari siapapun. Ketiga penelitian diatas berbeda dengan yang ditulis oleh penulis. Penelitian yang pertama difokuskan pada pelaksanaan pengendalian kawasan lingkungan akibat pertambangan pasir dibantaran Sungai Boyong Turgo Hargobinangun Kabupaten Sleman Yogyakarta, penelitian yang kedua difokuskan pada aspek hukum pengendalian

12 kerusakan lingkungan sebagai akibat dari pertambangan pasir tanpa izin di Sungai Gendol Kabupaten Sleman, dan penelitian yang ketiga berfokus pada penegakan hukum terhadap pertambangan rakyat illegal dalam upaya pengendalian kerusakan lingkungan hidup di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis di fokuskan pada pelaksanaan izin usaha pertambangan (IUP) sebagai upaya pengendalian kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman. F. Batasan Konsep 1. Pertambangan Pengertian pertambangan pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 adalah : Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang. 2. Izin usaha pertambangan (IUP) Pengertian IUP berdasarkan Pasal 1 butir 7 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. 3. Kerusakan Lingkungan Hidup Pengertian kerusakan lingkungan hidupdalam Pasal 1 butir 17 Undang- Undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung

13 terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 4. Pengendalian Pengertian Pengendalian dalam Pasal 13 ayat (2) UUPPLH meliputi: a. Pencegahan; b. Penanggulangan; c. Pemulihan; G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian : Penelitian hukum empiris Penelitian hukum empiris merupakan penelitian yang berfokus pada perilaku masyarakat hukum (law in action). Penelitian ini menggunakan data primer sebagai data utamanya yang didukung dengan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 2. Sumber Data a. Data Primer Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden dan narasumber terkait pelaksanaan izin usaha pertambangan (IUP) sebagai upaya pengendalian kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman.

14 b. Data Sekunder Data diperoleh dengan mencari dan mengumpulkan bahan dari buku-buku pustaka yang di pergunakan sebagai refrensi penunjang penelitian. Data sekunder tersebut meliputi : 1) Bahan Hukum Primer, yaitu : a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batuan. d) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. e) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. f) PP No. 25 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan. g) PP No. 23 Tahun 2010 sebagaimana yang telah diubah dalam PP No. 24 Tahun 2012 dan diubah pada perubahan kedua dalam PP No 1 Tahun 2014 serta Perubahan Ketiga dalam PP 77 Tahun 2014Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan MINERBA. h) PP No 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan. i) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. j) Keputusan Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. k) Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 3 Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. l) Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan. m) Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemeritah Kabupaten Sleman. n) Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam, Mineral Bukan Logam dan Batuan. o) Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam, Mineral Bukan Logam dan Batuan. p) Keputusan Gubernur No. 63 Tahun 2003 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha dan/atau Kegiatan

15 Penambangan Bahan Galian Golongan C di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. q) Peraturan Bupati Sleman Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Prosedur Penanganan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Bahan Hukum Sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa pendapat hukum yang diperoleh dari buku, jurnal, hasil penelitian, surat kabar, internet, majalah ilmiah yang berkaitan dengan pelaksanaan IUP sebagai upaya pengendalian kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman dan pendapat hukum dari Narasumber, yaitu Kepala Dinas SDAEM Kabupaten Sleman, Kepala Bidang Tata Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman, Sekretaris Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Sleman dan Seksi Pertambangan Umum DPUP-ESDM Provinsi DIY. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penelitian ini disesuaikan dengan jenis data yang digunakan, yaitu melalui : a. Studi pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan data-data dengan mempelajari regulasi yang terkait, buku buku literatur dan berita dari internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. b. Wawancara, yaitu cara pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber tentang obyek yang diteliti berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya.

16 4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang diambil dalam penelitian ini berada di Kabupaten Sleman. 5. Sampel Berdasarkan wawancara dengan Gusman Yusuf, pemegang IUP ada sebanyak dua puluh di DIY. 7 Penulis mengambil tiga pemegang IUP secara random yang kegiatan pertambangan pasirnya berada di Kabupaten Sleman. Hal tersebut dikarenakan karakteristik pertambangan pasir antara satu dengan yang lainnya sama. 6. Responden dan Narasumber a. Responden dalam penelitian ini : 1) Para pelaku pertambangan pasir di Kabupaten Sleman. a) Beny Setiawan, b) Albertha Rahmayanthie, c) Timbul Pramono, 2) Perwakilan warga di kabupaten Sleman. a) Heri Suprapto selaku Kepala Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman. b) Fatkhul Mujib selaku ketua punokawan Desa Pakem Kabupaten Sleman. b. Narasumber 7 Wawancara dengan Gusman Yusuf selaku Seksi pertambangan umum DPU-ESDM Provinsi Yogyakarta pada tanggal 13 November 2015.

17 Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber adalah sebagai berikut : 1) Ir. Sapto Winarno, M.T selaku Kepala Dinas SDAEM Kabupaten Sleman DIY. 2) Purwoko sasmoyo, S.T, M.M selaku Kepala Bidang Tata Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman DIY. 3) I Wayan Gundana, S.H selaku Sekretaris Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Sleman DIY. 4) Gusman Yusuf, S.T selaku Seksi Pertambangan Umum DPUP- ESDM Provinsi DIY. 7. Metode Analisis Data yang diperoleh di analisis kualitatif, yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu menganalisis, meneliti, dan mempelajari secara utuh apa yang dinyatakan dari prilaku nyata responden. Dalam analisis ini dipakai metodelogi berfikir induktif yaitu menarik kesimpulan dengan proses awal yang khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir dengan suatu kesimpulan (pengetahuan baru) berupa pemikiran yang umum. 8 8 Bambang Sugono, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.10.