BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Didalam kesepakatan global yang dituangkan dalam Millennium Development Goals (MDG s) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, membuat target pada tahun 2015 setiap negara harus menurunkan angka kematian anak dibawah 5 tahun sampai dua pertiga dari angka kematian anak pada tahun 1990. Selain itu, didalamnya juga disepakati bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDG s adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (Unicef, 2003). Pembangunan kesehatan merupakan komponen penting dalam pembangunan manusia untuk menuju manusia Indonesia yang berdaya saing tinggi ini. Dalam pelaksanaannya, pembangunan jangka panjang dilakukan secara bertahap dalam pembangunan jangka menengah yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index merupakan Indikator keberhasilan yang digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu bangsa dalam membangun sumberdaya manusia. Tiga faktor utama penentu indeks pembangunan manusia yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut erat kaitannya dengan status gizi masyarakat (UNDP, 2009). Kekurangan gizi merupakan masalah serius yang berkontribusi pada 1 dari 3 kematian balita dan 1 dari 5 kematian ibu (Black et al.,2008), dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang Kesehatan 2010-2014 telah ditetapkan salah satu sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 15% dan 1
2 menurunkan prevalensi balita pendek menjadi setinggi-tingginya 32% (Bappenas, 2010). Untuk mencapai sasaran RPJMN tersebut, dalam Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat telah menetapkan Rencana Strategi Kementerian Kesehatan 2010-2014, indikator kinerja yang harus dicapai pada tahun 2012 yaitu: 1) 75% balita ditimbang berat badannya, 2) 100% balita gizi buruk mendapat perawatan; 3) 80% balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A, 4) 70% bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI Eksklusif, 5) 90% ibu hamil mendapat 90 tablet Fe, 6) 80% rumah tangga mengonsumsi garam beriodium, 7) 100% kabupaten/kota melaksanakan surveilans gizi dan 8) 100% penyediaan stok cadangan (buffer stock) Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) untuk daerah bencana (Kemenkes, 2012). Di Indonesia sampai kini masih terdapat empat masalah gizi utama yang harus ditanggulangi dengan program perbaikan gizi, yaitu : 1) masalah kurang energi protein (KEP), 2) masalah kurang vitamin A, 3) masalah anemia zat gizi, dan 4) masalah gangguan akibat kekurangan yodium. Dilihat dari penyebabnya, status gizi penduduk dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks, seperti : sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, lingkungan alam, maupun penduduk yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Status gizi pada anak balita sering digunakan untuk melihat status gizi masyarakat secara umum karena status gizi pada masa ini sangat menentukan kualitas hidup dan kesehatan untuk sepanjang hidupnya. Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang No 36 tahun 2009 bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat, antara lain melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi dan peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Upaya perbaikan gizi dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan pentahapan dan prioritas pembangunan nasional. Sasaran jangka panjang yang ingin dicapai adalah bahwa masalah gizi tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, berdasarkan ukuran-ukuran universal yang disepakati (Kemenkes, 2010a). Hasil Riskesdas 2010 yaitu sebuah survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di
3 Indonesia adalah 17,9%, balita pendek 35,6% dan kurus 13,3%. Provinsi Aceh memiliki prevalensi gizi buruk dan kurang yang masih berada diatas angka prevalensi nasional yaitu 23,7 %. Hasil ini menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada anak balita telah menurun secara signifikan dari survey Riskesdas 2007 yaitu 26,5 %. Walaupun terjadi penurunan kekurangan gizi (berat badan menurut umur) secara signifikan, kekurangan gizi kronis masih terlihat cukup tinggi yaitu dilihat dari 39,0 % balita yang mengalami stunting (pendek dan sangat pendek, diukur dengan tinggi badan menurut umur) (Depkes 2007 dan Kemenkes 2010b). Indikator ini menunjukkan terjadinya kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lebih panjang atau kronis. Dengan demikian target pencapaian program perbaikan Gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJM) tahun 2015 prevalensi gizi kurang dan buruk sebesar 20% dan target MDG s untuk Indonesia sebesar 18,5% maka target tersebut belum dicapai Provinsi Aceh. Kabupaten Bireuen merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Aceh yang secara administratif terdiri dari 17 Kecamatan, 75 Mukim serta 609 Gampong dengan luas wilayah 190.121 Ha. Secara geografis Kabupaten Bireuen terletak dibagian pantai timur Sumatera yang berada pada koordinat 4.54-5.21 LU dan 96.20.97.21 BT. Kecamatan terluas di Kabupaten Bireuen adalah Kecamatan Peudada yaitu seluas 39.133 Ha dan yang terkecil adalah Kecamatan Kuala yaitu 2.372 Ha. Dari pusat Kota Kabupaten, seluruh Kecamatan dapat dijangkau dengan perjalanan darat dengan jarak terdekat adalah 0 Km yaitu Kecamatan Kota Juang dan yang terjauh yaitu Kecamatan Samalanga dengan jarak 35 Km. Jumlah penduduk Kabupaten Bireuen pada tahun 2011 adalah 398.201 jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 195.393 jiwa atau 49,07% dan penduduk perempuan 202.808 jiwa atau 50,93%, dengan rasio jenis kelamin sebesar 0,97 serta rata-rata kepadatan penduduk untuk setiap kilometer persegi adalah 209 jiwa (BPS Bireuen, 2012). Berdasarkan hasil survei Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2012 menunjukkan prevalensi balita yang mengalami gizi kurang sebesar 24,8% dan gizi buruk sebesar 21,4%. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang (KEP Total) Kabupaten Bireuen dari tahun 2009 sampai dengan 2012 hasil Kegiatan
4 Pemantauan Status Gizi menunjukkan bahwa adanya kecenderungan yang terus meningkat, prevalensi gizi buruk dan kurang terjadi peningkatan yaitu 20,94% pada tahun 2009, meningkat secara signifikan menjadi 23,05% pada tahun 2012, walaupun sempat terjadi penurunan pada tahun 2010 (Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, 2012) seperti terlihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang di Kabupaten Bireuen Tahun 2009 2012 Kecamatan Tahun 2009 2010 2011 2012 Samalanga 20,1 19,6 20,8 20,2 Sp. Mamplam 22,2 20,3 23,0 34,3 Pandrah 20,8 18,0 21,2 18,3 J e u n i e b 24,2 23,7 24,8 26,5 Peulimbang 23,2 20,3 23,8 21,9 Peudada 19,1 17,8 16,6 15,5 Jeumpa 27,3 25,3 30,7 33,8 K u a l a 18,4 16,1 19,3 23,3 Kota Juang 16,3 14,2 18,1 17,4 J u l i 28,3 26,0 27,4 30,3 Peusangan 13,2 13,0 12,1 11,7 Psg. Selatan 19,3 17,6 20,9 23,9 Psg. Siblah Krueng 20,1 18,7 21,9 23,6 J a n g k a 19,5 17,1 18,5 20,3 Kuta blang 17,6 14,4 17,4 18,1 M a k m u r 26,8 22,6 27,0 30,2 Gandapura 19,5 17,3 21,2 22,6 Kabupaten 20,94 18,94 21,45 23,05 Sumber : Laporan Tahunan Program Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen Tahun 2012 Pada laporan PSG juga diketahui terdapat 3 kecamatan dari 17 kecamatan di wilayah kabupaten Bireuen yang memiliki prevalensi gizi kurang dan gizi buruk tinggi yaitu Kecamatan Jeunieb dengan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
5 26,5%, Kecamatan Jeumpa dengan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk 33,8% dan Kecamatan Juli dengan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk 30,3%. Melihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Kabupaten Bireuen yang masih berada di atas prevalensi nasional dan dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia, pencegahan dan penanggulangan masalah gizi merupakan program yang perlu mendapat perhatian khusus, sehingga perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan di semua tingkatan administrasi baik dari tingkat Kabupaten sampai pada tingkat Puskesmas. Sistem informasi yang adekuat memerlukan proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan untuk menghasilkan kualitas informasi yang memadai dalam mendukung pengambil keputusan. Selanjutnya untuk membuat perencanaan yang baik diperlukan keberadaan informasi/data permasalahan gizi yang memadai dan berkualitas di setiap tingkat administrasi. Dalam merumuskan kebijakan yang tepat bagi program pembinaan gizi masyarakat, para pembuat keputusan memerlukan informasi yang tepat tentang status gizi masyarakat. Pemanfaatan sistem informasi kesehatan dalam merumuskan kebijakan terkait program gizi masyarakat di Kabupaten Bireuen masih belum optimal, keputusan diambil berdasarkan permasalahan umum atau berdasarkan evaluasi terhadap keberhasilan kegiatan pembinaan gizi masyarakat secara keseluruhan, sedangkan program perbaikan gizi yang harus mendapat perhatian untuk masing-masing wilayah berbeda. Penanganan masalah gizi untuk setiap wilayah secara sistematis menunjukkan determinan yang berpengaruh pada masalah gizi yang dapat terjadi, sehingga upaya perbaikan gizi akan lebih efektif dengan selalu mengkaji faktor penyebab tersebut. Keputusan utama yang dirumuskan oleh pimpinan dalam perbaikan gizi masyarakat di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen adalah : 1) Pemberdayaan posyandu, 2) Pendampingan keluarga dengan balita gizi kurang/buruk, serta 3) Advokasi perencanaan pangan dan gizi di desa. Informasi yang dipakai untuk mendukung pengambilan keputusan program pembinaan gizi masyarakat adalah data laporan program gizi rutin puskesmas, baik data bulanan (F1/Gizi),
6 semesteran (F6/Gizi), maupun data tahunan (Pemantauan Status Gizi). Selama ini proses pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan program pembinaan gizi masyarakat masihlah berpedoman pada evaluasi hasil pencapaian kinerja indikator program gizi rutin saja, belum mengarah kepada analisis situasi lainnya seperti luas lahan, ketahanan pangan, maupun tingkat konsumsi pada rumah tangga yang mampu mengambarkan tentang keadaan pangan dan gizi penduduk terutama golongan penduduk berisiko tinggi terhadap kerawanan pangan dan gizi. Pengambil keputusan di setiap tingkat menggunakan informasi yang akurat dan evidence base dalam menentukan kebijakannya merupakan salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam upaya perbaikan gizi kedepan. Diperlukan sistem informasi yang baik, tepat waktu dan akurat, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang baik dan kajian-kajian intervensi melalui kaidahkaidah yang dapat dipertanggung jawabkan (Azwar, 2004). Pendekatan dan intervensi program gizi yang menggunakan data yang didisain dengan baik untuk menjadi informasi dan benar-benar menggambarkan kondisi riil sesuai kebutuhan program akan dapat dilaksanakan (applicable) dan keberlangsungan program dapat dicapai. Di samping itu dengan sistem informasi manajemen sebagai pendukung pengambilan keputusan diharapkan akan lebih memudahkan dalam penyiapan atau penyajian informasi sehingga dapat memperkuat proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan program gizi kabupaten/kota. B. Perumusan Masalah Permasalahan gizi di Kabupaten Bireuen yang cenderung meningkat berakibat pada kualitas hidup penduduk yang mempunyai andil terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Penanganan yang telah dilakukan selama ini kurang memiliki dampak terhadap penurunan angka kasus gizi buruk dan gizi kurang di Kabupaten Bireuen. Pengambilan keputusan terkait program pembinaan gizi masyarakat di Kabupaten Bireuen belum evidence base, informasi yang selama ini digunakan masih berupa data pencapaian indikator kinerja atau cakupan program yang
7 mewakili kabupaten, belum mengarah pada program pilihan dan wilayah bermasalah gizi yang menjadi prioritas dalam pembinaan gizi masyarakat. Adanya sistem informasi yang dapat memberikan gambaran program dan wilayah prioritas dapat memperbaiki dan meningkatkan kebijakan, sehingga penentuan tujuan akan lebih baik, cepat dan tepat yang pada akhirnya dapat dijadikan dasar dalam proses perencanaan penanggulangan masalah gizi yang ada secara efektif. Oleh karena itu perlu adanya sistem pendukung keputusan untuk program pembinaan gizi masyarakat di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen. Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalahnya adalah bagaimana mengembangkan sistem informasi manajemen sebagai pendukung pengambilan keputusan program pembinaan gizi masyarakat di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen untuk menghasilkan informasi gizi terstruktur yang dapat membantu pimpinan dalam merekomendasikan keputusan program pembinaan gizi masyarakat? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengembangkan sistem informasi manajemen sebagai pendukung pengambilan keputusan untuk program pembinaan gizi masyarakat di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh. 2. Tujuan Khusus a. Menyusun kebutuhan informasi yang berguna untuk sistem informasi manajemen sebagai pendukung pengambilan keputusan program pembinaan gizi masyarakat. b. Menyusun indikator data untuk mendukung sistem informasi manajemen sebagai pendukung pengambilan keputusan program pembinaan gizi masyarakat. c. Mengembangkan sistem informasi manajemen sebagai pendukung pengambilan keputusan untuk program pembinaan gizi masyarakat di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh.
8 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian bermanfaat sebagai alat bantu bagi para pengambil keputusan di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen untuk perencanaan, pemantauan dan penilaian dalam merekomendasikan keputusan yang berbasis bukti (evidence based) berdasarkan kualitas data dari sistem informasi manajemen yang menggambarkan wilayah bermasalah dan program pilihan pembinaan gizi masyarakat. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan pengembangan sistem informasi yang dilakukan sebelumnya antara lain: 1. Solichin (2004) melakukan penelitian tentang Pengembangan Basis Data PWS Program Gizi di kabupaten Serang. Penelitian ini merancang pengembangan basis data pemantauan wilayah setempat program gizi, Pengembangan sistem dilaksanakan di Subdin Kesga Dinas Kesehatan Kabupaten dengan telaahan dokumen yang dilaporkan oleh puskesmas, laporan tersebut diverifikasi diolah dan dinalisis. Keluarannya dalam bentuk tabel, grafik dan peta, sedangkan penelitian yang dilaksanakan adalah pengembangan sistem yang dilaksanakan di puskesmas dengan mendesain sistem pencatatan dan prosedur pelaporan yang mudah, cepat dan tepat sesuai kebutuhan pengguna dan berbasis komputer. 2. Mutalazimah (2005) melakukan penelitian Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Pemantauan Garam Beryodium di Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dengan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan action research yang menekankan pada perancangan dan implementasi sistem. Persamaannya adalah melakukan penelitian pengembangan sistem sedangkan perbedaannya adalah dalam penelitian diatas bertujuan untuk memudahkan pengelolaaan data survey monitoring garam dari masyarakat dalam bentuk komputerisasi sehingga meminimalisasi kesalahan dalam pengolahan data. Sedangkan pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran wilayah prioritas dengan masukan data-data yang rutin maupun
9 tidak rutin yang ada di program gizi. Perbedaan juga terletak dari sistem informasi yang dikembangkan yaitu Survei Monitoring Garam Beryodium, sedangkan pada penelitian ini informasi yang dikembangkan adalah informasi terkait program gizi termasuk hasil monitoring garam namun dalam bentuk data kabupaten, serta perbedaan terletak pada waktu dan tempat penelitian. 3. Tas au (2006) melakukan penelitian tentang Pengaruh pengembangan sistem database terhadap kualitas data dan informasi kesehatan maternal di Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Penelitiannya memfokuskan kepada perbedaan kualitas data antara puskesmas yang menggunakan sistem dengan yang tidak menggunakan sistem (quasi eksperimen). Persamaannya adalah sama-sama melakukan penelitian pengembangan terhadap sistem database sedangkan perbedaannya adalah dalam penelitian diatas puskesmas diberi perlakuan dan lainnya tidak, sedangkan dalam penelitian ini tidak ada perbedaan perlakuan namun mencoba mengembangkan sistem informasi dimana dalam proses pengolahan datanya diberikan bobot penilaian sesuai dengan hasil analisis sistem yang ada yang bertujuan untuk pengambilan keputusan. 4. Waluyo (2006) melakukan penelitian tentang Pengembangan Desain Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) Kota Payakumbuh dengan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan action research yang lebih menekankan pada pengembangan desain sistem informasi puskesmas. Persamaannya adalah melakukan pegembangkan sistem informasi, sedang perbedaannya terletak pada hasil akhir informasi yang dihasilkan serta sistem informasi yang dikembangkan yaitu informasi puskesmas, sedangkan pada penelitian ini informasi yang dikembangkan adalah informasi terkait program gizi saja. 5. Erman (2008) melakukan Pengembangan Model untuk Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Program Kesehatan di Dinkes Kab. Pasaman Barat. Persamaannya adalah sama-sama mencoba mengembangkan sistem yang berbasis data. Perbedaannya adalah pada sistem yang akan dirancang pada penelitian ini data akan diorganisir sedemikian rupa sehingga
10 menghasilkan wilayah prioritas dan program prioritas yang dimaksudkan untuk digunakan dalam membuat keputusan, tidak hanya menampilkan transformasi otomatis tampilan data seperti pada penelitian diatas.