BAB II TINDAKAN PENGOPLOSAN BERAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821]

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 32/Permentan/OT.140/3/2007 TENTANG

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

BUKU SEDERHANA MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA

PELABELAN DAN IKLAN PANGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656]

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELABELAN. informasi verbal tentang produk atau penjualnya. 17

KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

PERILAKU KONSUMEN. Maya Dewi Savitri, MSi.

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

BAB II PENGERTIAN PELAKU USAHA, KONSUMEN, DAN PENGOPLOSAN. Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Menimbang : Mengingat :

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

VT.tBVV^ WALIKOTA BANJARMASIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TENTANG PERLINDUNGAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI KONTEN LABEL PRODUK ROKOK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. 109 TAHUN 2012

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PANGAN SEHAT DAN BEBAS BAHAN BERBAHAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAYAKUMBUH,

BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKU USAHA ROKOK ATAU PRODUSEN ROKOK YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN PELABELAN ROKOK MENURUT PP NO.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

Menimbang : Mengingat :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2011 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki

Keamanan Pangan Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 3 Tahun : 2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 40 TAHUN 2016 TENTANG KEAMANAN PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN BARANG BEREDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SORONG,

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah. Mayoritas konsumen Indonesia sendiri adalah konsumen makanan, jadi

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 3 Tahun : 2016

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

BAB XX KETENTUAN PIDANA

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 22 TAHUN 2008

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG LARANGAN PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN BERBAHAYA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TENTANG KOSMETIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL [LN 1981/11, TLN 3193]

5 Mei (Muhammad, 2010) Ini merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud makanan adalah segala sesuatu. pembuatan makanan atau minuman. 1

2 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Regulasi Pangan di Indonesia

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016

ANALISIS KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Supriyanta Dosen Fak. Hukum UNISRI Surakarta

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KATEGORI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN

BAB 4 ANALISIS PERMASALAHAN

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 27 TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN PANGAN OLAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terusmenerus. terpadu, terarah, dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan suatu

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB III. A. Jual Beli Fashion Hijab Secara Online di Instagram #tashaproject Jual beli telah dipraktekkan oleh masyarakat primitif ketika uang

BAB I PENDAHULUAN. minuman memberikan asupan gizi yang berguna untuk kelangsungan hidup. bidang produksi pengolahan bahan makanan dan minuman bagi

BUPATI HULU SUNGAI UTARA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 722/MENKES/PER/IX/88 TENTANG BAHAN TAMBAHAN MAKANAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 722/MENKES/PER/IX/88 TENTANG BAHAN TAMBAHAN MAKANAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

Menimbang : Mengingat :

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Transkripsi:

BAB II TINDAKAN PENGOPLOSAN BERAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengoplosan Beras Untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dibutuhkan makanan yang aman, bermutu, bergizi dan tersedia secara cukup. Dengan demikian pengadaan dan pendistribusian makanan tersebut harus dilakukan secara jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia makanan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.382/Men.Kes/Per/IV/89 tentang Pendaftaran Makanan, Makanan diartikan sebagai barang yang dimasudkan untuk dimakan dan diminum oleh manusia, serta semua bahan yang digunakan pada produksi makanan dan minuman. 47 Pengertian pangan juga dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan: 48 (1) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari: sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumen manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain digunakan dalam proses penyiapan, pengelolaan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Berkaitan dengan pemenuhan makanan yang aman, bermutu, bergizi dan tersedia secara cukup, utamanya dalam pemenuhan pangan pokok yaitu beras, tidak tertutup kemungkinan terdapat upaya-upaya yang tidak jujur dari pelaku usaha dalam menghasilkan 47 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 382/men.Kes/Per/IV/89 Tentang Pendaftaran Makanan. 48 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan

beras tersebut sehingga beras yang diterima oleh masyarakat tidak memenuhi syarat : aman, bermutu dan bergizi, akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sebagai antisipasinya para konsumen dituntut untuk bersikap kritis dan cerdas dalam mencermati pemilihan beras yang akan dikonsumsi. Untuk menyatukan persepsi dalam pembahasan tentang pengoplosan beras, maka perlu diberikan pembatasan pengertian tentang oplos. Dari berbagai literatur yang ditelusuri, kata Oplos berasal dari Bahasa Belanda 49, yaitu : oplossen yang berarti larut. Di Indonesia istilah oplos sering dikonotasikan sebagai usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan kualitas. Mencampur adalah memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa benda lainnya kemudian diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang lain 50. Rahardi Ramelan, menyatakan mencampur dalam arti kata blending, merupakan usaha yang biasa dilakukan di dalam perdagangan, khusunya komoditi pertanian untuk mendapatkan komposisi dan rasa khas maupun kualitas yang diinginkan konsumen, penggilingan besar melakukan blending untuk mendapatkan kualitas dan harga yang tepat dan memakai merek atau brand tertentu untuk memudahkan pemasarannya. Demikian juga yang dilakukan pedagang besar yang menampung beras dari berbagai daerah, melakukan blending untuk menghasilkan rasa, kualitas dan harga yang tepat bagi konsumen. 51 Proses pelaksanaan pengoplosan beras dapat digambarkan sebagai berikut: 49 Susi Moeimam, Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005) 50 Goentoer Albertus, http://albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur, diakses tanggal 10 Maret 2010 51 Rahardi Ramelan, Oplos Atau Blending, http://www.leapidea.com/presentation?id=93. di akses tanggal 08 Februari 2010

Beras Kualitas A x dicampur Beras Kualitas B > menghasilkan Beras Kualitas C Menteri Perdagangan dalam kunjungannya ke Pasar Induk Beras Cipinang, 21 Januari 2010, menyatakan apabila pedagang melakukan pencampuran beras, pelaku usaha harus tetap berpatokan kepada undang-undang perlindungan konsumen. Apabila pedagang mencampur beras berkualitas medium tiga dengan beras berkualitas medium satu, pedagang harus menjual beras dengan beras kualitas medium dua, jangan lantas menjualnya dengan harga medium satu sehingga kembali mengorbankan konsumen. 52 Nurul Khumaida, menyebutkan pemberitaan di salah satu majalah Jepang, dimana Polisi Jepang menangkap pedagang beras karena dituduh melakukan tindakan kriminal yakni mencampur beras yang berbeda kualitas. Pengoplosan itu diduga dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya yakni dengan cara mencampur beras kualitas A dengan beras kualitas B, lantas hasil pencampuran tersebut dijual dengan beras Kualitas A. Polisi Jepang dengan mudah menangkap pelaku usaha tersebut karena polisi dengan gamblang dapat membedakan beras kualitas A dengan beras oplosan. 53 B. Perbuatan yang dilarang Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dan Perundang-undangan lainnya Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara umum hanya menyebut dan mengatur barang dan atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu : 52 http://anindityo@ mediaindonesia.com, diakses tanggal 07 Mei 2010 53 Nurul Khumaida, http://www.mail.archive.com/iasa@yahoogroups.com/msg00341.html, diakses tanggal 12-04-2010

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan, tidak sesuai dengan berat bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut, tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut, tidak sesuai dengan mutu tingkatan, komposisi, proses pengolahannya, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut, tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut, tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal yang dicantumkan dalam label, tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat, tidak mencantumkan informasi dan /atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang tersebut

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Selain perbuatan yang dilarang pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yaitu Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 18, serta Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pada Bab II Pasal 5, yang menyebutkan beberapa larangan bagi pelaku usaha, sebagai berikut: 54 1. UU Nomor 7 Tahun 1996 a. Pasal 8 Setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran makanan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi. b. Pasal 10 A. Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan. B. Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). c. Pasal 18: (1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan. 54 Lihat Pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 18 UU No.7 tahun 1996 Tentang Pangan

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut. 2. PP. Nomor 69 Tahun 1999, Bab II Pasal 5: 55 (1) Keterangan dan atau pernyataan tentang pangan dalam label harus benar dan tidak menyesatkan, baik mengenai tulisan, gambar, atau bentuk apapun lainnya. (2) Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan. Undang-Undang perlindungan konsumen secara jelas menyatakan beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu pada Bab IV pasal 8 s/d Pasal 17 dan jika larangan tersebut dilanggar akan diancam dengan sanksi pidana. Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya; bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Di samping berbagai larangan di atas, masih banyak larangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan barangnya kepada konsumen, namun secara garis besar, kesemuanya 55 Lihat, Bab II Pasal 5 PP No. 69 Tahun 1999, tentang Label dan Iklan Pangan

adalah mengenai kualitas/kondisi, kegunaan, jaminan atas barang tersebut serta pemberian hadiah kepada pembeli. 56 Secara umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya menyebut dan mengatur barang dan atau jasa yang diproduksi atau yang diperdagangkan, Terhadap barang atau jasa tersebut, dapat disimpulkan 4 (empat) parameter perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu : 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang atau jasa tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dalam hal memperdagangkan barang atau jasa dilarang memberi informasi (iklan, label, brosur, dan lain-lain) yang mengelabui dan menyesatkan konsumen. 3. Pelaku usaha dilarang melakukan cara menjual obral, undian dan lelang yang mengelabui konsumen. 4. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian atau dokumen. C. Pengoplosan Beras ditinjau Dari UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dari berbagai parameter perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti yang telah diuraikan di atas, tidak tercantum dan tidak disebutkan secara jelas 57 56 Miru Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2008) hlm.

bahwa tindakan pencampuran suatu barang yang berbeda kualitas, bertentangan atau merupakan suatu perbuatan yang melanggar undang-undang perlindungan konsumen. Namun pada Pasal 18 ayat 1-2, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan : Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan, kecuali pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut. Oleh karena itu, Beras yang dioplos harus diuji lagi apakah tindakan tersebut melanggar undang-undang perlindungan konsumen jika ditinjau dari parameter : 1) Sisi standar kualitas beras 2) Sisi informasi 3) Sisi cara menjual 4) Sisi klausula baku 1. Sisi standar kualitas beras Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan Pasal 1 angka 6 menyatakan ketentuan yang berkenaan dengan standar mutu makanan/minuman : standar mutu adalah suatu ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan mengenai nama, bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, komposisi, wadah, pembungkus serta ketentuan lain untuk pengujian tiap jenis makanan/minuman:. 57 57 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Men-Kes/XII/1976 Tentang Produksi dan Peredaran Makanan

Peraturan Menteri Pertanian RI No. 32/Permentan/OT.140/3/2007 tanggal 12 Maret 2007 tentang Pelarangan penggunaan bahan kimia berbahaya pada proses penggilingan padi, huller dan penyosohan beras pada Pasal 1 disebutkan sebagai berikut: Pasal 1 butir 8 : (8) Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pasal 1 butir 9 : (9) Mutu beras adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap beras Selanjutnya pada Pasal 3 disebutkan: a. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat atas mutu dan kemananan pangan. b. Memberikan ketentraman bathin masyarakat terhadap beras yang dikonsumsi. Pada Pasal 4 butir 1 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 32/Permentan/OT.140/3/2007 tanggal 12 Maret 2007 disebutkan bahwa : Beras yang diperoleh melalui penggilingan padi, huller dan penyosohan beras dilarang menggunakan bahan kimia berbahaya. Bahan kimia yang berbahaya tersebut diantaranya adalah : 1. Klorin dan senyawanya 2. Bromat dan senyawanya 3. Asam bromat dan senyawanya 4. Asam salisilat dan garam-garamnya 5. Dietilpirokarbonat (diethylpirocarbonate) 6. Dulsin (dulcin) 7. Kloramfenikol (Chloramphenicol) 8. Nitrofurazon (nitrofurazone0

9. Larutan formaldehyde/formalin 10. Rodamin B 11. Parafarmaldehyde 12. Tiroksan atau 13. Kuning metanil Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Men.Kes/Per/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan Yang Aman Digunakan, dikenal beberapa bahan tambahan makanan yang aman digunakan yakni telah diizinkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), di antaranya adalah : 58 1. Pengawet seperti : asam benzoate, asam propionate, asam sorbet, natrium benzoate dan nisin. 2. Pewarna, seperti: tartrazine 3. Pemanis, seperti ; aspartame, sakarin, dan siklamat 4. Penyedap rasa dan aroma, seperti: monosodium glutamat 5. Antikempal, seperti; aluminium silikat, magnesium karbonat dan trikalsium fosfat. 6. Pengemulsi, pemantap, dan pengental, seperti : lesitin, sodium laktat, dan potassium laktat. Sangat disayangkan apabila terdapat pelaku usaha yang melakukan tindakan pencampuran bahan-bahan kimia yang tidak dianjurkan kedalam makanan sehingga 58 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Men.Kes/Per/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan Yang Aman digunakan.

makanan kelihatan baru dan berbau segar, sementara disisi lain hal ini sangat membahayakan dan merugikan konsumen. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi pengambilan tindakan atau penghukuman atas perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian atau bahaya kepada konsumen dalam berbagai bentuk perundang-undangan yang telah ada adalah : 1. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang kesehatan, antara lain: 59 a. Pasal 21 ayat (3) yaitu: makanan dan minuman yang tidak memenuhi standard dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan dilarang diedarkan, ditarik dari peredaran dan disita untuk dimusnahkan sesuai ketentuan ; b. Pasal 80 ayat (4), yaitu: barang siapa dengan sengaja mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000; (tiga ratus juta rupiah) 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan,, juga diatur tentang bahanbahan tambahan pangan/makanan, antara lain: 60 a. Pasal 8 setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran makanan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi b. Pasal 10 a) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan. b) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). c. Pasal 11 59 Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 80 ayat (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan 60 Pasal 8, Pasal 10, 11 dan 20 ayat (1), Pasal 21 huruf (a), Pasal 26 huruf (b), pasal 55 Undang- Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan

Bahan yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamananya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah. d. Pasal 20 (1); setiap orang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi e. Pasal 21 (a): setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. f. Pasal 26 (b) : setiap orang dilarang memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu yang dijanjikan ; g. Pasal 55 Barang siapa dengan sengaja bertentangan dengan Pasal 8, Pasal 21 huruf (a), Pasal 26 huruf (b) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) 3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara lain: 61 Pasal 8 ayat (1) yaitu; Dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. Tidak memenuhi atau sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan. b. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, Komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan pada label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; c. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; d. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atau barang tertentu; e. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label; 61 Pasal 8 dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

f. Tidak memasang label atau memuat informasi penjelasan mengenai barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; g. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; h. Pasal 62 ayat (1) yaitu: pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000; (dua miliar rupiah). 4. Peraturan Menteri Pertanian, No. 32/Permentan/OT.140/3/2007 tanggal 12 Maret 2007 tentang Pelarangan penggunaan bahan kimia berbahaya pada proses penggilingan padi, huller dan penyosohan beras. Pasal 8 (1) Perusahaan penggilingan padi, huller dan penyosohan beras yang terbukti menggunakan bahan kimia berbahaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Diberikan teguran secara tertulis. (2) Apabila teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diindahkan, terhadap perusahaan penggilingan padi, huller dan penyosohan beras diberikan sanksi pencabutan izin usaha. Tindakan pengoplosan beras, jika dilihat dari berbagai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha baik dari kacamata undang-undang perlindungan konsumen maupun dari peraturan perundang-undangan lainnya, beras yang dioplos melanggar ketentuan tentang standar kualitas beras yang telah diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, namun sepanjang hasil dari pengoplosan beras tersebut diberikan informasi yang jelas tepat dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan, pengoplosan bukan merupakan perbuatan yang melanggar undang-undang perlindungan konsumen.

2. Sisi informasi Hak mendapat informasi (The right to be informed) adalah hak yang sangat fundamental karena dengan informasi yang jelas, konsumen mendapatkan data yang lengkap mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya, baik secara langsung maupun secara umum melalui media komunikasi agar tidak menyesatkan. Dengan tersedianya informasi yang memadai maka konsumen akan membeli produk yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadinya Menurut Pasal 7 huruf b pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Selanjutnya pada Pasal 4 huruf c, disebutkan bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pada Pasal 8 ayat 1 butir 6 dan 7 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : (6)Tidak memasang label atau memuat informasi penjelasan mengenai barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; (7)Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Pencantuman informasi yang jelas dan jujur sesuai PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Pangan tidak berlaku bagi;

a. Pangan yang kemasanya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh keterangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah b. Pangan yang dijual dan dikemas secara langsung dihadapan pembeli dalam jumlah kecil-kecil c. Pangan yang dijual dalam jumlah besar (curah) Jika terdapat informasi yang kurang memadai terhadap suatu produk, hal ini berhubungan dengan pemasaran produk tersebut, dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan resiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat dipergunakan sebagaimana dimaksudkan. Dengan demikian, produsen berkewajiban untuk memperhatikan keamanan produknya. Hal ini tidak berakhir hanya sampai pada penempatan produk dalam sirkulasi. 62 Terhadap beras yang dioplos pelaku usaha wajib memberikan informasi atas jenis beras yang dioplos tersebut secara benar, jelas dan jujur. Informasi yang diberikan tidak menggunakan salah satu jenis beras yang dicampur tetapi harus memberikan nama yang berbeda, dengan demikian hak konsumen atas informasi beras yang dioplos dan kemudian dikonsumsi mendapat perlindungan dan kepastian hukum atas informasi yang benar, jelas dan jujur. 62 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit. hlm.161

3. Sisi cara menjual Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa; pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui /menyesatkan konsumen dengan; 1. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; 2. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; 3. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; 4. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain. 5. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; 6. Menaikkan harga atau tariff barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. Jika pelaku usaha/pedagang beras menjual beras hasil oplosan tanpa menjelaskan bahwa beras tersebut adalah beras hasil oplosan atau beras yang dijual seolah-olah telah memenuhi standar mutu jenis beras tertentu yang sudah dikenal masyarakat, maka tindakan pengoplosan dapat dinyatakan melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Tetapi jika pelaku usaha menjual beras dengan menyebutkan dan memberikan informasi yang jelas tentang mutu beras, bahwa beras yang dijual adalah beras hasil oplosan tanpa adanya pencampuran bahan kimia, hal ini tidak bertentangan dengan Undang Undang Perlindungan Konsumen. 4. Sisi cara klausula baku Dalam Pasal 1 ayat 8, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha

yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula baku tersebut biasanya merupakan isi atau ketentuan yang terdapat dalam kontrak standar (standardized contract). Kontrak standar tersebut merupakan perjanjian tertulis berupa formulir yang isi, bentuk serta cara penyelesaiannya dibakukan secara sepihak oleh pelaku usaha dan lazimnya hanya memberikan pilihan take it or leave it 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa klausula baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengandung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut : 64 1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen; 2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; 3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran; 5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen; 6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; 63 Direktorat Perlindungan Konsumen Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Be a smart consumer 64 Ibid

7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; 8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; Contoh klausula baku yang dilarang Undang-Undang Perlindungan Konsumen antara lain sebagai berikut : 65 a. Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh nasabahnya, menyatakan bahwa Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya atau pegawai mereka; b. Kwitansi atau/faktur pembelian barang yang menyatakan; barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan atau barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan. Dari uraian di atas, tindakan pengoplosan beras tidak terkait dengan klausula baku, disebabkan sampai dengan saat ini, dalam setiap kemasan/karung beras belum pernah menguraikan klausula baku. 65 Ibid