BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Pada era JKN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Perwujudan komitmen tentang

BAB I PENDAHULUAN. asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. berpusat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjutan, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengembangan sistem sosial di masyarakat (WHO, 2010).

APOTEKER, FKTP DAN ERA JKN. Oleh Helen Widaya, S.Farm, Apt

VI. PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu program

BAB 1 : PENDAHULUAN. berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 40 tahun 2004

PERSEPSI APOTEKER DAN PASIEN TERHADAP PENERAPAN SISTEM PEMBAYARAN JKN PADA APOTEK

BAB I PENDAHULUAN. sejak 1 Januari 2014 yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dae

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 1.1 TAHUN 2015 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN DANA KAPITASI DAN NON KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 29 TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Karakteristik responden berdasarkan usia. dikelompokkan seperti pada Gambar 3 :

MEKANISME PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

Eksistensi Apoteker di Era JKN dan Program PP IAI

WALIKOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia

BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. IV.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan pasien adalah suatu perasaan pasien yang timbul akibat kinerja

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan semua aspek

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 50 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. melalui upaya peningkatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kemenkes RI, 2012).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Sistem pelayanan kesehatan yang semula berorientasi pada pembayaran

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk Usaha, Bidang Usaha, dan Perkembangan Usaha. Klinik Bhakti Mulya Tangerang merupakan salah satu perusahaan bidang

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 26 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lainnya baik pemerintah maupun swasta. Puskesmas merupakan upaya pelayanan

PROSEDUR DAN TATA LAKSANA PELAYANAN KESEHATAN BAGI PESERTA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Dr. Hj. Y. Rini Kristiani, M. Kes. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Disampaikan pada. Kebumen, 19 September 2013

BERITA DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2014 NOMOR 19 SERI F NOMOR 315 PERATURAN BUPATI SAMOSIR NOMOR 18 TAHUN 2014

SOP. KOTA dr. Lolita Riamawati NIP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

LAPORAN KEMAJUAN. Ketua : Dr. rer.nat. I.M.A.G Wirasuta,M.Si.,Apt.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. (Yustina, 2015). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. program Jamsostek disamping program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PEMBAYARAN KAPITASI BERBASIS PEMENUHAN KOMITMEN PELAYANAN PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

BAB 1 : PENDAHULUAN. orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang

GUBERNUR SULAWESI BARAT

PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN DANA KAPITASI PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Rumah Sakit menjadi

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 50 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN DI PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal dengan meningkatkan

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR : 19 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan. iurannya dibayar oleh pemerintah (Kemenkes, RI., 2013).

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 27 Tahun : 2014

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2015). Sedangkan kesehatan menurut Undang Undang No. 36 Tahun 2009

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat untuk memperoleh

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan adalah hak fundamental setiap warga Negara (UUD 1945 pasal 28

BUPATI SAMBAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan kesehatan merupakan jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Pada era JKN ini untuk pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh semua Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berupa Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Pelayanan jaminan kesehatan dapat terlaksana secara nasional dengan dilakukannya perjanjian kerjasama antara BPJS dan fasilitas kesehatan yang ada diseluruh Indonesia baik milik pemerintah maupun milik swasta. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (Kementerian Kesehatan, 2013). Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan atau pelayanan

kesehatan lainnya (Kementrian Kesehatan, 2014). Fasilitas kesehatan tingkat pertama terdiri dari praktek dokter atau praktek dokter gigi, puskesmas atau yang setara, klinik pratama atau yang setara dan rumah sakit kelas D pratama atau yang setara (Kementrian Kesehatan, 2013). Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif berupa pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan komprehensif tersebut, bagi Fasilitas Kesehatan yang tidak memiliki sarana penunjang wajib membangun jejaring dengan sarana penunjang. Fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tidak memiliki sarana kefarmasian dan juga tidak dapat menunjukkan bukti kerjasama dengan sarana kefarmasian tidak akan dapat bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2013) Salah satu masalah yang sering timbul dan sering menjadi pertanyaan dalam program JKN adalah mutu pelayanan. Masyarakat masih ragu dengan mutu yang diberikan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Menurut Sulastomo ( 2002), Ada dua hal yang meragukan terhadap mutu pelayanan. Pertama, bahwa pasien tidak dapat bebas lagi dalam memilih PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan), baik dokter maupun Rumah Sakit. Kedua, adanya insentif finansial untuk efisiensi

dapat saja menimbulkan kekhawatiran bahwa dokter atau Rumah Sakit tidak akan memberikan yang terbaik, mengurangi atau menurunkan pelayanan yang selayaknya harus diberikan dengan harapan untuk memperoleh insentif finansial yang sebesar-besarnya. Hal ini bisa saja sebagai akibat pembiayaan berdasar kapitasi (capitation system). Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Agyei-Baffour dkk (2013), pada penyedia pelayanan kesehatan di Ghana, menyatakan bahwa pasien tidak menyukai sistem kapitasi, karena tidak memberikan keleluasaan untuk memilih Penyedia Pelayanan Kesehatan dan sistem Kapitasi tidak dapat mencakup sebagian besar obat-obatan. Namun menurut Yesalis dkk. (1984), farmasis berpendapat dengan sistem kapitasi mereka tetap melakukan pelayanan obat dengan kualitas yang baik. Disamping masalah mutu yang dikhawatirkan dan dikeluhkan pasien, masalah lain yang timbul adalah tentang posisi Apoteker dalam sistem JKN. Pada Peraturan Menteri Kesehatan No.71 tahun 2013, dalam pasal 3 disebutkan bahwa pelayanan kefarmasian adalah sebagai pelayanan penunjang bagi pelayanan kesehatan. Partisipasi dalam sistem jaminan kesehatan nasional dapat dilakukan dengan menjadi apotek fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama langsung dengan BPJS untuk menjamin kebutuhan obat rujuk balik atau menjalin kerjasama dengan praktek dokter yang mendaftar menjadi anggota BPJS, sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (Kementerian Kesehatan, 2013). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan Provinsi yang memiliki cukup banyak Apotek, yaitu sekitar 590 Apotek, namun penyebarannya tidak

merata. Penyebaran Apotek tersebut adalah: di Kabupaten Sleman 260 apotek, di Kota Yogyakarta sebanyak 148 apotek, di Kabupaten Gunung Kidul hanya 21 Apotek dan di Kabupaten Kulonprogo hanya 22 Apotek (IAI DIY, 2014). Hanya sedikit Apotek yang telibat dalam skema JKN. Apotek yang melakukan kerjasama langsung dengan BPJS kesehatan, yaitu hanya Apotek Program Rujuk Balik (PRB). Hal ini tentu saja mempersulit akses masyarakat terhadap obat, apalagi dengan pelaksanaan JKN ini diharapkan banyak apotek yang memberikan pelayanan dan menjadi provider (Rubiyanto, 2014 a ). Menurut data BPJS Kesehatan DIY, Apotek Program Rujuk Balik di Provinsi DIY hanya berjumlah 12 Apotek, sedangkan jumlah dokter keluarga sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama sebanyak 124 dan 16 klinik pratama (Hendrawan, 2015). Untuk Apotek Komunitas lainnya, hanya melakukan kerjasama dengan Dokter Keluarga. Besar kecilnya penerimaan jasa pelayanan yang diterima oleh sarana kefarmasian sangat variatif tergantung dengan perjanjian antara sarana pelayanan kefarmasian dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Ketentuan tentang berapa besaran yang diterima atas pelayanan resep pasien BPJS hanya tertuang melalui kerjasama antara Dokter Keluarga dengan sarana pelayanan kefarmasian. Pelaksanaan JKN yang merupakan program besar dan menghimpun dana dalam jumlah fantastis untuk mencakup kesehatan seluruh rakyat Indonesia tentunya merupakan momentum yang tepat untuk meningkatkan peran dan kesejahteraan apoteker Indonesia, sehingga mampu memiliki daya tawar yang

tinggi, agar pelayanan kefarmasian dan apoteker tentunya benar-benar tidak dikotak kotakan sebagai area tersendiri dan dianggap sebelah mata dalam sistem kesehatan. Apalagi praktek profesi apoteker di komunitas juga bersinggungan dengan aspek bisnis yang menentukan profitabilitas apotek dan kesejahteraan apotekernya (Hermansyah, 2014). Konsep profit pada sarana kefarmasian secara otomatis mengikuti konsep profit pada fasilitas pelayanan kesehatan pada era JKN ini. Pada era sebelum JKN, profit yang diperoleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berbanding lurus dengan banyaknya pasien yang berkunjung, namun setelah era JKN tentunya konsep profit pada fasilitas kesehatan berubah, dengan sisitem kapitasi yang ditetapkan pemerintah, diharapkan fasilitas kesehatan dapat merawat pasien dengan baik akan tetapi menggunakan sumberdaya yang seefisien mungkin. Jumlah kunjungan pasienpun diharapkan dapat dikurangi, dengan cara meningkatkan upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif oleh fasilitas kesehatan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi konsep profit pada sarana kefarmasian, konsep profit pada sarana kefarmasian secara otomatis akan mengikuti konsep profit pada fasilitas pelayanan kesehatan. Konsep profit pada sarana kefarmasian saat ini tidak lagi tergantung pada volume penjualan obat dan bahan habis pakai untuk pasien peserta JKN, melainkan tergantung kepada kemampuan manajemen farmasi, farmakoekonomi dan farmakoterapi apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian baik dalam proses manajemen sarana kefarmasian ataupun pelayanan farmasi klinik kepada pasien (Sudarsono, 2014).

Setelah penerapan JKN di Indonesia, banyak spekulasi mengenai dampak dari penerapan sistem baru tersebut kepada fungsi apoteker di Indonesia. Pada saat ini, masih terlalu dini untuk memastikan fungsi dan peran apoteker dalam JKN karena masih banyaknya ruang untuk pengembangan. Akan tetapi, dengan melihat peraturan dan struktur organisasi fasilitas kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa peran apoteker yang diakui terbatas hanya pada pengelolaan dan penyediaan obat dan alat kesehatan (Gones, 2014). Pelaksanaan BPJS mulai awal 2014 merupakan salah satu perubahan yang fundamental dalam pelayanan kesehatan di Indonesia sehingga mempengaruhi berbagai aspek termasuk pelayanan kefarmasian, sehingga menimbulkan berbagai problematika Apotek, diantaranya adalah Apotek yang bekerjasama secara langsung dengan BPJS dibatasi, tidak ada skema kapitasi untuk apoteker di Apotek, kapitasi diberikan oleh Dokter maka Apotek bergantung kepada Dokter. Sehingga Apotek yang menjalankan kerjasama dengan Dokter keluarga belum meningkatkan omzet Apotek secara signifikan (Ardiningtyas, 2015). Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana sistem pembayaran pada era JKN dalam hal ini sistem kapitasi untuk Apotek Klinik Pratama dan Apotek jejaring, serta sistem pembayaran langsung (fee for service) untuk Apotek Program Rujuk Balik untuk pembayaran obat-obatan dan biaya pelayanan dilihat dari sudut pandang Apoteker. Peneliti ingin mengetahui bagaimana persepsi yang terbentuk oleh apoteker terkait dengan sistem pembayaran yang berbeda pada masing-masing tempat praktek, baik yang bekerjasama langsung dengan BPJS (Apotek PRB), yang bekerjasama dengan

Dokter keluarga (Apotek Jejaring), maupun yang praktek pada Klinik Pratama atau bekerjasama dengan Klinik Pratama (Apotek Klinik Pratama) dan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap persepsi Apoteker. 1. Perumusan Masalah a. Apakah karakteristik apoteker mempengaruhi persepsi apoteker terhadap penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN? b. Apakah jenis tempat praktek apoteker mempengaruhi persepsi apoteker terhadap penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN? c. Apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap penerapan sistem pembayaran antara Apoteker di Apotek Program Rujuk Balik, Apotek Klinik Pratama dan Apotek Jejaring pada era JKN?

2. Keaslian Penelitian Hal yang membedakan Tabel 1. Keaslian Penelitian Kumalasari, (2011) Winariski, Puliansari, (2014) (2014) Penelitian yang dilakukan Unit analisis Pengelolaan Dana Kapitasi dengan jumlah peserta dibawah standar minimal oleh dokter keluarga Pengaruh persepsi provider swasta tentang implementasi Jaminan Kesehatan Nasional terhadap keikutsertaan sebagai Provider Pratama Hubungan Pelayanan JKN terhadap kepuasan apoteker Persepsi apoteker terhadap pelaksanaan sistem kapitasi pada Apotek Program Rujuk Balik, Apotek Klinik Pratama dan Apotek Jejaring Subjek penelitian Tempat penelitian Dokter Keluarga yang bekerjasama dengan PT.ASKES Pemilik Klinik swasta yang bekerjasama dengan BPJS Apoteker pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Apotek Program Rujuk Balik Semarang Medan Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta Apoteker di Apotek Program Rujuk Balik, Apotek Klinik Pratama dan Apotek Jejaring Provinsi DIY 3. Manfaat Penelitian a. Bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi kerjasama dengan Apotek dan Apoteker sehingga bermanfaat untuk pembuatan aturan yang berlaku pada era jaminan kesehatan nasional.

b. Bagi Asosiasi Profesi Apoteker 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan kondisi dan posisi apoteker pada era JKN yang kemudian dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat perbaikan demi kesejahteraan Apoteker. 2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan adanya peluang untuk meningkatkan peran Profesi Apoteker dalam hal pelayanan kesehatan maupun yang berkaitan dengan profit. c. Bagi Institusi Pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi sebagai bahan pembelajaran dan memperkaya ilmu pengetahuan. d. Bagi Peneliti 1) Hasil penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh karakteristik Apoteker dan tempat praktek Apoteker terhadap persepsi Apoteker terkait sistem pembayaran (kapitasi dan pembayaran langsung) yang diterapkan di Apotek Jejaring, Apotek Rujuk Balik maupun Klinik Pratama. 2) Hasil penelitian ini digunakan untuk mengetahui perbedaan persepsi Apoteker pada Apotek Program Rujuk Balik, Apotek Klinik Pratama, dan Apotek Jejaring, serta faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi apoteker terhadap sistem pembayaran

baik dengan sistem kapitasi, maupun sistem pembayaran langsung. e. Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini diharapkan mampu memberikan ide dan dijadikan referensi untuk melanjutkan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh karakteristik apoteker terhadap persepsi apoteker tentang penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN. 2. Mengetahui pengaruh jenis tempat praktek apoteker dengan persepsi Apoteker tentang penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN. 3. Mengetahui perbedaan persepsi antara Apoteker di Apotek Program Rujuk Balik, di Apotek Klinik Pratama dan di Apotek Jejaring terhadap penerapan sistem pembayaran di Apotek pada era JKN.