KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN

dokumen-dokumen yang mirip
Mengurai Benang Kusut Penerapan Nilai Pabean Berdasarkan Nilai Transaksi

SOSIALISASI PMK 34/PMK.04/2016 tentang Perubahan atas PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk

Royalti Dalam Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Oleh : Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai

Penetapan Nilai Transaksi Dengan Menggunakan Rumus Tertentu, Tepatkah?

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-19/BC/2016 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-39/BC/2010 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-39/BC/2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 40/BC/2010 TENTANG DATABASE NILAI PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 39/BC/2010 TENTANG PENGISIAN LEMBAR PENELITIAN DAN PENETAPAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 38/BC/2010 TENTANG MEKANISME KONSULTASI NILAI PABEAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU

, DJBC PMK-160/PMK.04/2010. Subdit Nilai Pabean

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/PMK.04/2010 TENTANG NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Nilai Pabean. Perhitungan Bea Masuk.

KATA PENGANTAR. DR. H. Djafar Al Bram

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

MENTERI KEUANGAN, SALINANN TENTANG. telah diubah PERATURAN BAB I. Pasal 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 24/BC/2007 TENTANG MITRA UTAMA DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengawasan Atas Barang Impor Dengan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Dalam Rangka Penanaman Modal

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MASIH BERLAKUKAH STATUS IMPORTIR JALUR PRIORITAS SEIRING DENGAN PENETAPANNYA SEBAGAI IMPORTIR MITRA UTAMA?

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

Pengajuan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali Tagihan Bea Masuk

Konsekuensi Penetapan Tarif dan Nilai Pabean

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEKLARASI INISIATIF (VOLUNTARY DECLARATION) ATAS NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No /PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor yang telah beberapa kal

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EASE OF DOING BUSINESS TRADING ACROSS BORDER

Sosialisasi KPPBC TMP B Kualanamu - Sumut Jumat, 27 Mei 2016

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : INS-01/BC/2007

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Jumlah Barang Pcs. Negara Asal : China berdasarkan penetapan nilai pabean dengan menggunakan data Metode nilai transaksi barang serupa.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 25/BC/2007 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P- 06/BC/2006

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2009 TENTANG

Tanggal Penetapan: 28 Juli 2016 Tanggal Revisi Revisi ke-

BAB I PENDAHULUAN. salah satu fungsinya adalah sebagai fasilitator perdagangan harus dapat membuat

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

EASE OF DOING BUSINESS TRADING ACROSS BORDER

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 139/PMK.04/2007 TENTANG PEMERIKSAAN PABEAN DI BIDANG IMPOR MENTERI KEUANGAN,

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI

P - 12/BC/2010 TATA CARA PEMBERIAN BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN GUNA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 219/PMK.04/2010 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN TERHADAP AUTHORIZED ECONOMIC OPERATOR

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 247/PMK. 011/2009 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER - 1/BC/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN DI BIDANG KEPABEANAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 122/PMK. 04/2011 TENTANG

: KEPUTUSAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI : KEP 32/BC/1997 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN VERIFIKASI

P - 44/BC/2009 DAFTAR KODE STANDAR INTERNASIONAL YANG DIGUNAKAN UNTUK PENGISIAN PEMBERITAHUAN PABEAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 65/PMK.04/2007 TENTANG PENGUSAHA PENGURUSAN JASA KEPABEANAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -15 /BC/2012 TENTANG

BAB III GAMBARAN UMUM PENGAWASAN PABEAN DAN PENETAPAN TINGKAT RISIKO DI BIDANG IMPOR A. PENGAWASAN DALAM REGISTRASI IMPORTIR

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

No. SOP: 16/TMPB/2016. Revisi Ke - Tanggal Penetapan 7 Desember Tanggal Revisi: -

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG NOMOR : KEP-14/BC/1999

2017, No Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

KOP PERUSAHAAN. Nomor & tanggal surat Hal : Permohonan sebagai MITA. Kepada : Yth. Kepala KPU... Di...

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-02/BC/2008 TENTANG

Presiden Republik Indonesia

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Seiring perkembangan jaman, pajak sangat dibutuhkan baik di perusahaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 16 /BC/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/PMK.04/2007 TENTANG PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI

TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN YANG AKAN DIRAKIT MENJADI KENDARAAN BERMOTOR UNTUK TUJUAN EKSPOR MENTERI KEUANGAN,

133/PMK.011/2009 PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK DEXTROSE MONOHYDRATE

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER - 1/BC/2011 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Barang Ekspor. Barang Impor. Pengeluaran.

No dan Cukai. Penting untuk digarisbawahi bahwa mekanisme perekaman ini sama sekali tidak menggantikan mekanisme pendaftaran HKI kepada Direkt

2011, No.94 2 barang untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial dan kebudayaan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 148/PMK.04/2011 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NO.P- 42/BC/2008 TGL.31 DES 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI

2017, No mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi, telah dijadwalkan skema penurunan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan antara Republik Indonesi

DASAR HUKUM. 2. Undang-Undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo Undang-Undang No 17 Tahun 2006

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KPPBC TIPE MADYA PRATAMA

BAB III MITRA UTAMA DAN PEMBENTUKAN TIM PERCEPATAN REFORMASI KEBIJAKAN BIDANG PELAYANAN BEA CUKAI PADA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.04/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER- 14/BC/2012

PENGUJIAN ATAS ASERSI MANAJEMEN DALAM AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI

2015, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PEMBUKUAN DI KAWASAN BERIKAT OLEH DIREKTORAT AUDIT

2017, No b. bahwa sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan mengenai sistem klasifikasi barang berdasarkan Harmonized System 2017 dan ASEAN Har

NILAI PABEAN DAN DEKLARASI INISIATIF

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG NOMOR: P- 41/BC/2010

2017, No dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 ten

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 88/PMK.04/2007 TENTANG PEMBONGKARAN DAN PENIMBUNAN BARANG IMPOR MENTERI KEUANGAN,

Tinjauan Atas Ketentuan Baru Mengenai Barang Penumpang:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 05/BC/2014 TENTANG

148/PMK.04/2011 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 145/PMK.04/2007 TENTANG KETENTUAN KE

Transkripsi:

KAJIAN ATAS UJI KEWAJARAN NILAI TRANSAKSI DALAM PENETAPAN NILAI PABEAN Mohamad Jafar Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Pada prinsipnya nilai pabean yang digunakan untuk menghitung besarnya bea masuk atas importasi suatu barang adalah nilai transaksi atas barang impor bersangkutan. Hal itu telah dinyatakan secara tegas dalam pasal 15 ayat 1 Undang-Undang No 17 tentang Kepabeanan. Ketentuan digunakannya nilai transaksi untuk mengitung bea masuk merupakan pengejawantahan dari kesepakatan negara-negara yang tergabung pada World Trade Organization (WTO). WTO sebagai lembaga yang bertujuan menciptakan harmonisasi perdagangan dunia menyepakati bahwa nilai pabean mengacu pada Artikel VII GATT (General Agreement on Tariff and Trade). Artikel VII GATT mengatur bahwa pada prinsipnya nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi suatu barang yang diimpor. Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO (contracting party) harus menerapkan hasil kesepakatan tentang nilai pabean tersebut. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 telah mengatur secara rinci metode penetapan nilai pabean, dimana terdapat 6 (enam) metode untuk menghitung bea masuk. Aturan tentang keenam metode penentuan nilai pabean tercantum pada pasal 15 Undang- Undang Kepabeanan dengan rincian sebagai berikut : Pertama, nilai pabean ditentukan dari nilai transaksi suatu barang yang diimpor, Kedua, nilai pabean ditentukan dari nilai transaksi barang identik, Ketiga, nilai pabean ditentukan dari nilai transaksi barang serupa, Keempat, nilai pabean ditentukan dengan metode deduksi, yaitu penetapan nilai pabean dengan mengurangi harga jual barang impor di daerah pabean dengan sejumlah faktor pengurang, Kelima, nilai pabean ditentukan dengan metode komputasi, yaitu penetapan nilai pabean dengan menghitung berbagai biaya untuk pembuatan barang impor hingga dikirim ke daerah pabean, 1

Keenam, nilai pabean ditentukan dengan metode penghitungan kembali data yang tersedia di daerah pabean (fall back). Penerapan metode-metode tersebut harus dilakukan secara berurutan (hierarkhi). Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan, bahwa nilai pabean untuk menghitung bea masuk pada prinsipnya menggunakan nilai transaksi atas suatu barang yang diimpor. Nilai transaksi merupakan nilai yang benar-benar dibayar importir atas barang yang dibeli dari penjual (eksportir). Secara konsepsi metode penetapan nilai pabean di Indonesia telah sesuai dengan Artikel VII GATT. Namun pada pelaksanaannya, penerapan metode nilai pabean berdasarkan nilai transaksi sesuai Artikel VII GATT tidaklah mudah. Kendala terbesar menurut penulis adalah belum siapnya importir untuk memberitahukan nilai barang sesuai dengan harga yang sebenarnya. Upaya importir untuk mengurangi kewajiban membayar pungutan impor dalam konteks nilai pabean sering disebut dengan under invoicing, yaitu menurunkan harga barang pada invoice. Inilah tantangan yang cukup berat untuk aparat Bea dan Cukai dalam mengamankan hak-hak keuangan negara. Artikel ini secara singkat akan mengkaji uji kewajaran nilai pabean dalam dalam proses penetapan nilai pabean menggunakan nilai transaksi. Kajian tentang uji kewajaran nilai pabean didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Perhitungan Bea Masuk. Prosedur Penelitian dan Penetapan Nilai Pabean Dalam model pemberitahuan pabean menggunakan sistem self assessment, importir memberitahukan secara mandiri barang yang diimpor meliputi jumlah dan jenis barang termasuk nilai barang. Selanjutnya pejabat Bea dan Cukai akan meneliti kebenaran pemberitahuan bersangkutan. Secara khusus penelitian nilai pabean mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk. Gambar 1 berikut ini merupakan ringkasan dari prosedur penelitian dan penetapan nilai pabean oleh pejabat. Gambar 1 : Alur Penetapan Nilai Pabean 2

Dari bagan alur pada gambar 1 di atas tergambarr proses penelitian dan penetapann nilai pabean, dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1. Importirr menyerahkan pemberitahuan impor barang (PIB). Importirr kategori Mitra Utama (MITA) dan Importirr Produsen (IP) kategori Low Risk nilai pabean yang diberitahukan langsung diterima. Selanjutnyaa penelitian atas kebenaran nilai pabean yang diberitahukan importir-importir tersebut dilakukan dalam program audit kepabeanan. 2. Pejabat melakukan pengujian nilai pabean, meliputi harus adanya kondisi jual beli, terpenuhinya persyaratan nilai transaksi, hingga kebenaran jumlah dan/atau jenis barang dalam hal dilakukan pemeriksaan fisik. 3. Penetapan nilai pabean menggunakan metode II sampai dengan VI dalam hal persyaratan nilai transaksi tidak terpenuhi. 3

4. Bilamana persyaratan nilai transaksi terpenuhi, penelitian berlanjut pada uji kewajaran nilai pabean menggunakan Database Nilai Pabean I (DBNP I) barang identik. Taraf toleransi selisih kurang pemberitahuan dengan DBNP I barang identik adalah maksimal 5%. 5. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) dalam hal nilai pabean yang diberitahukan wajar. 6. Jika nilai pabean diberitahukan tidak wajar karena selisih kurang lebih dari 5% dari data barang identik pada DBNP I maka dilakukan penelitian profil importir. 7. Uji kewajaran menggunakan Database Nilai Pabean II (DBNP II) barang identik dilakukan jika tidak terdapat DBNP I barang identik yang dapat digunakan. Tidak ada toleransi selisih kurang pada pemberitahuan nilai pabean pada uji kewajaran ini. Nilai pabean dianggap wajar bilamana sama besar atau lebih tinggi dengan DBNP II barang identik. 8. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) dalam hal nilai pabean yang diberitahukan wajar. 9. Bilamana tidak terdapat data barang identik pada DBNP II maka dilakukan penelitian profil importir. Terdapat empat kategori pada database profil importir, yaitu low risk (resiko rendah), medium risk (resiko sedang), high risk (resiko tinggi), dan very high risk (resiko sangat tinggi). 10. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) dalam hal importir termasuk kategori low risk. 11. Bilamana importir termasuk kategori medium risk, high risk dan very high risk, maka diterbitkan Deklarasi Nilai Pabean (DNP). 12. Selanjutnya pejabat meneliti DNP dan dimungkinkan untuk konsultasi nilai pabean untuk meyakinkan kebenaran nilai yang diberitahukan. 13. Nilai pabean ditetapkan menggunakan nilai transaksi (metode I) dalam hal DNP didukung data yang mampu meyakinkan pejabat. 14. Nilai pabean ditetapkan menggunakan metode II sampai dengan VI dalam hal DNP tidak diserahkan atau DNP tidak meyakinkan pejabat. 15. Pejabat peneliti dokumen membuat Lembar Penelitian dan Penetapan Nilai Pabean (LPPNP) atas penetapan nilai pabean. Uji Kewajaran Nilai Pabean Hal penting yang merupakan bagian dalalm proses penelitian dan penetapan nilai pabean adalah uji kewajaran nilai pabean. Uji kewajaran dilakukan bilamana persyaratan nilai transaksi terpenuhi. Uji kewajaran dilakukan dengan menggunakan database nilai pabean yang dimiliki oleh DJBC, yaitu 4

DBNP I dan DBNP II. Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-40/BC/2010 tentang Database Nilai Pabean disebutkan bahwa dalam rangka penelitian nilai pabean, Pejabat Bea dan Cukai dapat menggunakan Database Nilai Pabean. Database tersebut terdiri dari Database Nilai Pabean I (DBNP I) dan Database Nilai Pabean II (DBNP II). DBNP I disusun, dimutakhirkan, dan ditetapkan oleh Direktur Teknis Kepabeanan. DBNP I disusun (salah satunya) dari DBNP II yang disusun oleh Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama. DBNP I meliputi data barang identik dan barang serupa, namun yang dapat digunakan untuk uji kewajaran hanyalah data barang identik. Barang identik adalah barang yang sama dalam segala hal meliputi karakter fisik, mutu dan reputasi, serta dibuat negara yang sama. Dengan kondisi tersebut, maka secara umum harga barang identik tidak berbeda secara signifikan. Berbeda dengan DBNP I, DBNP II disusun dimutakhirkan, dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai. DBNP II disusun dari nilai transaksi barang identik dan barang serupa yang diterima oleh pejabat Bea dan Cukai. DBNP II dapat berada di sistem aplikasi selama 120 hari dan digunakan untuk penetapan nilai pabean menggunakan metode II dan III. Meskipun DBNP II terdiri dari data barang identik dan barang serupa, namun yang dapat digunakan untuk uji kewajaran hanyalah data barang identik. Nilai pabean yang diberitahukan importir dianggap wajar dan nilai transaksi diterima bilamana nilai pabean lebih besar, sama dengan, atau lebih rendah maksimal 5% dari nilai pabean barang identik yang ada pada DBNP I. Nilai pabean yang berdasar DBNP I barang identik dinyatakan tidak wajar maka bilamana importir merupakan kategori medium risk, high risk, atau very high risk maka diterbitkan Informasi Nilai Pabean (INP). Bilamana importir tidak menyerahkan Deklarasi Nilai Pabean (DNP) maka nilai transaksi tidak dapat digunakan. Begitu pula bila DNP yang diserahkan disertai konsultasi nilai pabean tidak meyakinkan pejabat maka nilai transaksi tidak dapat diterima. Bagaimana bila DBNP I tidak memuat barang identik untuk uji kewajaran? Dalam hal demikian maka digunakan DBNP II barang identik untuk uji kewajaran. Nilai pabean yang diberitahukan importir dianggap wajar dan nilai transaksi diterima bilamana nilai pabean lebih besar atau sama dengan nilai pabean barang identik yang ada pada DBNP II. Dengan demikian bilamana importir memberitahukan harga barang yang diimpor lebih rendah hanya 5%, atau 3% atau bahkan hanya 1% maka dianggap tidak wajar, sehingga perlu penelitian lebih lanjut. Permasalahan Pada Uji Kewajaran 5

Ketentuan kewajaran nilai pabean dengan syarat sama dengan atau lebih besar dari database berpotensi pada penggunaan harga patokan (nilai pabean minimal) yang mana prinsip ini lebih tepat untuk model penetapan nilai pabean sesuai Brussel Definition on Value (BDV). Menurut hemat penulis, uji kewajaran nilai pabean menggunakan DBNP II sebaiknya juga memberikan toleransi sebagaimana diterapkan pada uji kewajaran menggunakan DBNP I, yaitu pemberitahuan nilai pabean dapat lebih rendah maksimal 5% dari database barang identik pada DBNP II. Pemberian taraf toleransi ini tentu relatif lebih fair serta untuk menghindari aturan yang kurang sejalan dengan prinsip Artikel VII GATT, dimana tidak diperkenankan penggunaan harga patokan (nilai pabean minimal) dalam penetapan nilai pabean. Selanjutnya dalam tata urutan penggunaan DBNP I dan DBNP II dalam uji kewajaran berpotensi menimbulkan masalah pada pejabat pemeriksa dokumen. Sebagaimana terlihat dalam bagan alur penetapan nilai pabean, bila berdasarkan DBNP I nilai pabean suatu barang impor dianggap tidak wajar dan Deklarasi Nilai Pabean yang diberikan importir tidak meyakinkan pejabat, maka nilai transaksi tidak dapat digunakan (digunakan metode II hingga VI secara hierarkhi). Untuk penggunaan metode II maka digunakan DBNP II barang identik. Informasi yang penulis dapatkan dari suatu kantor pabean di Jakarta, didapati adanya pemberitahuan nilai pabean yang tidak wajar berdasarkan DBNP I. Karena DNP yang diserahkan tidak meyakinkan pejabat maka nilai transaksi tidak diterima dan digunakan metode II. Selanjutnya dalam penetapan nilai pabean menggunakan metode II pejabat menggunakan DBNP II barang identik yang ternyata harga yang diberitahukan sama dengan yang ada pada database dimaksud. Dengan demikian sesungguhnya nilai pabean yang diberitahukan ternyata wajar menurut DBNP II. Hal tersebut dapat terjadi karena pada dasarnya DBNP II lebih up to date dibandingkan dengan DBNP I. Data pada DBNP II dihimpun dari kantor pabean di suatu kantor wilayah tertentu atau di suatu Kantor Pelayanan Utama tertentu dimana data dimaksud hanya berlaku selama 140 hari pada sistem aplikasi. Bandingkan dengan DBNP I yang terpasang pada sistem aplikasi hingga 2 (dua) tahun. Pada kasus di atas, terdapat inefisiensi pelaksanaan tugas yang disebabkan penggunaan DBNP I mendahului DBNP II yang dilakukan secara berurutan mengacu pada tata cara penelitian dan penetapan nilai pabean sesuai PMK-170/PMK.04/2010. Bilamana kita mengkaji Undang-Undang Kepabeanan serta PMK-160/PMK.04/2010 secara utuh sesungguhnya terdapat prinsip-prinsip penting dalam penerapan nilai pabean, yaitu : 6

1. Sedapat mungkin menggunakan nilai transaksi, 2. Hendaknya digunakan data nilai pabean yang mendekati tanggal pemberitahuan pabean yang akan ditetapkan nilai pabeannya, 3. Hendaknya digunakan data yang lebih rendah bilamana terdapat alternatif nilai yang memenuhi persyaratan. Dengan uraian di atas, alangkah baiknya bila dalam uji kewajaran nilai pabean DBNP II digunakan mendahului atau secara bersamaan (simultan) dengan DBNP I. Sebagaimana DBNP I, dalam penggunaan DBNP II sebaiknya juga diberikan taraf toleransi sebesar 5%. Dengan demikian pemberitahuan nilai pabean dianggap tidak wajar bilamana diberitahukan lebih rendah lebih dari 5% dari DBNP II atau DBNP I. Proses selanjutnya dalam penelitian dan penetapan nilai pabean sesuai dengan tata cara yang diatur dalam PMK-160/PMK.04/2010. Dalam hal nilai pabean kedapatan tidak wajar dan importir merupakan importir kategori medium risk, high risk, atau very high risk, maka diterbitkan INP. Berikutnya diterima tidaknya nilai transaksi ditentukan oleh DNP yang diserahkan importir disertai bukti-bukti yang meyakinkan ataukah tidak. Simpulan 1. Uji kewajaran nilai pabean telah diatur dalam PMK-160/PMK.04/2010 dengan menggunakan DBNP I dan DBNP II. DBNP I disusun oleh Kantor Pusat DJBC dan DBNP II disusun oleh suatu Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama. 2. Uji kewajaran nilai pabean dilakukan menggunakan DBNP I dan DBNP II yang penerapannya dilakukan secara berurutan, sehingga menimbulkan potensi tidak efektifnya kegiatan penetapan nilai pabean yang dilakukan oleh pejabat. 3. Uji wajar nilai pabean sebaiknya menggunakan DBNP II terlebih dahulu atau digunakan DBNP II dan DBNP I secara simultan. Penggunaan DBNP II terlebih dahulu selaras dengan tata urutan penggunaan DBNP dimaksud untuk penetapan nilai pabean. 4. Taraf toleransi lebih rendah pemberitahuan nilai pabean untuk DBNP I dan DBNP II sebaiknya disamakan yaitu paling tinggi 5% dari database untuk menghindari ketidaksesuaian dengan prinsip Artikel VII GATT. 7

Referensi : 1. Undang-Undang Kepabeanan 2. PMK-160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk 3. P-40/BC/2010 tentang Database Nilai pabean 4. Artikel VII GATT 8