1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Data statistik menunjukkan bahwa konsumsi cabai mencapai 4.65 kg per kapita per tahun, jika diasumsikan penduduk yang mengkonsumsi cabai berumur 15 tahun ke atas sebanyak 170 juta maka diperkirakan kebutuhan cabai dalam negeri sebesar 790 500 ton per tahun. Luas pertanaman cabai pada tahun 2008 mencapai 103 837 ha, menempati urutan pertama terluas dibandingkan dengan tanaman sayuran lainnya (Direktorat Jenderal Hortikultura 2009). Rataan produksi nasional baru mencapai 6.51 ton/ha atau hanya menghasilkan 736 019 ton (Departemen Pertanian 2007). Angka tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan produktivitas negara Cina yang telah mencapai 19,13 ton/ha (Ali 2006). Rendahnya produksi cabai disebabkan antara lain penggunaan benih yang belum memenuhi syarat baik jumlah maupun mutu. Kebutuhan benih Nasional 73 814 kg, sedangkan produksi benih hanya 11 201 kg atau hanya 18.10% dari kebutuhan Nasional (Departemen Pertanian 2006). Kekurangan benih 81.9% masih mengandalkan penanaman benih sendiri atau diperoleh dari sumber lain yang tidak teridentifikasi secara resmi. Penggunaan benih bermutu rendah menghasilkan produksi yang rendah. Selain disebabkan oleh mutu benih, rendahnya produksi juga disebabkan oleh karena sebagian usahatani sayuran dilakukan pada tanah marginal seperti Ultisol. Di Indonesia tanah Ultisol lebih kurang 45.8 juta ha atau 24% luas daratan Indonesia (Subagyo et al. 2000). Tanah Ultisol terbentuk dari batuan liat, ph tanah asam, dan KB rendah. Pada tanah masam ph dibawah 5, kelarutan Al sangat tinggi terdapat dalam bentuk Al 3+ yang sangat beracun bagi tanaman, hal ini merupakan kendala yang sering membatasi pertumbuhan tanaman (Vitorello et al. 2005). Keracunan Al menyebabkan penghambatan perpanjangan akar primer dan sekunder sehingga akar menjadi kerdil yang menyebabkan penghambatan penyerapan hara dan air (Taylor 1988;
2 Marschner 1995). Gangguan penyerapan hara juga terjadi karena pengaruh langsung interaksi Al dengan fosfor (P) sehingga P menjadi tidak tersedia bagi tanaman (Marschner 1995). Fosfor merupakan salah satu unsur hara makro yang penting dalam pertumbuhan akar, pertumbuhan bagian generatif (bunga, buah) dan perkecambahan benih. Unsur tersebut berfungsi sebagai penyusun metabolit dalam senyawa kompleks, sebagai aktivator, kofaktor atau penyatu enzim dan berperan dalam proses fisiologis (Soepardi 1983). Selain itu fosfor merupakan molekul pentransfer energi ADP dan ATP (Gardner et al. 1991; Marschner 1995). Jika energi tersedia dalam jumlah cukup maka semua proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik, sehingga tanaman akan lebih mampu tumbuh dengan baik. Pemberian pupuk P pada tanah Ultisol yang bertujuan meningkatkan kandungan dan ketersediaan P tanah serta meningkatkan produksi benih cabai, menjadi tidak efisien karena ada fiksasi P yang tinggi pada tanah Ultisol. Mikanova dan Novakova (2002) menyatakan meskipun P total dalam tanah terdapat dalam jumlah yang banyak tetapi ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah. Tanaman hanya mengambil 10-25% P yang diberikan melalui pemupukan, sebagian besar mengakibatkan perubahan kimia dalam tanah menjadi bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan dan efisiensi P adalah dengan menginokulasi fungi endomikoriza (Jumaniyazova et al. 2004). Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah menunjukkan peran yang menguntungkan bagi tanaman yaitu kolonisasi mikoriza membantu tanaman dalam mengatas kondisi kering (Nelson dan Safir 1982; Hapsoh 2003; Hanum 2004; Kartika 2006), menghalangi patogen akar (Gianinazzi-Person dan Gianinazzi 1983), meningkatkan agregasi tanah dalam tanah tererosi. Inokulasi dengan FMA adalah cara yang efisien untuk meningkatkan penyerapan fosfat yang ditransfer ke tanaman (Smith 2002; FAO 2005; Suparno 2008). Hal ini berhubungan dengan peningkatan penyerapan hara P oleh penyebaran hifa mikoriza dan lebih nyata pada tanah dengan kesuburan rendah (Garcia-Garrido et al. 2000). Menurut Marschner (1995), tanaman yang bermikoriza mempunyai
3 laju penyerapan unsur P per unit panjang akar meningkat 2-3 kali dibandingkan tanaman tanpa mikoriza. Hal ini karena pada akar tanaman yang bermikoriza ditemukan hifa yang memberikan kontribusi sebesar 70-80% dari total penyerapan P. Prinsip kerja dari FMA adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif. Fungi mikoriza arbuskula dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan reproduktif tanaman, seperti hasil penelitian Aguilera-Gomes et al., (1999) yang mendapatkan bahwa FMA dapat meningkatkan jumlah daun, luas daun, bobot kering tajuk, akar dan buah Capsicum annuum L meningkat 450%. Mieke et al., (2003) melaporkan pemberian FMA dan pupuk P dapat meningkatkan umbi kentang sebesar 23.5%. Hasil percobaan Farida (2003) menunjukkan pemberian FMA dapat meningkatkan pertumbuhan stek tebu. Purnomo (2008) bahwa inokulasi Gigaspora margarita dapat meningkatkan bobot buah panen sebesar 94.49% pada cabai Cilibangi 3 dan 80.37% pada cabai Helm. Kemampuan FMA memperbaiki dan meningkatkan pertumbuhan tanaman berkaitan dengan peranannya dalam penyerapan fosfor, seperti hasil penelitian Kalpulnik, dan Douds (2000) menyatakan bahwa biji yang berasal dari tanaman bermikoriza mengandung P lebih banyak dari tanaman tanpa mikoriza. Fosfor total dalam benih berfungsi sebagai cadangan fosfor dan untuk pemeliharaan energi. Benih dengan kandungan P total tinggi dapat meningkatkan vigor benih, sehingga mampu mempertahankan viabilitasnya selama periode simpan (Bewle dan Black - 1978). Fosfor dalam benih berbentuk: 1) fosfat an organik yaitu H 2 PO 4, 2) senyawa cadangan yaitu fitin, 3) senyawa fosfor yang terikat pada fosfolipid, asam nukleat dan sebagainya, 4) intermediat metabolisme misalnya gula fosfat, NAD dan 5) senyawa kaya energi yaitu ATP. Benih yang berkembang dalam tanaman induk yang disuplai hara optimum akan menghasilkan kemampuan menghimpun energi yang baik, sebaliknya benih yang mempunyai kandungan P yang rendah akan mempunyai status vigor yang rendah (Sadjad, 1993). Vigor benih mencerminkan mutu dari suatu benih. Ilyas (2003) menyatakan mutu dapat diklasifikasikan menjadi mutu genetis, mutu fisiologis dan mutu fisik. Mutu genetik benih mengait pada sifat-sifat yang menurun yang dibawa oleh benih dari masing-masing spesies atau varietas. Mutu fisiologis mengait pada mutu benih
4 untuk tingkat viabilitasnya dan mutu benih apabila disimpan dan ditranslokasikan. Mutu fisik mengait pada mutu kebersihan dan homogenitas fisik. Volume tanah yang dijelajah oleh 1 cm akar tanaman tanpa FMA hanya sekitar 1-2 cm 3, sedangkan 1 cm akar tanaman ber FMA dapat menjelajah 12-15 cm 3 (6-15 kali) (Sieverding 1991). Akibat pembesaran volume jelajah akar serap bermikoriza, keuntungan yang diperoleh tanaman adalah (1) peningkatan daya serap air dan hara terutama yang relatif immobile seperti P, Cu dan Zn, juga yang relatif mobile seperti K, S, NH + 4, Mo; (2) penurunan stress tanaman akibat infeksi patogen akar, kondisi tanah salin, kelembaban tanah yang rendah, temperatur tanah yang tinggi serta faktor-faktor merugikan lainnya, (3) peningkatan toleransi tanaman terhadap defisiensi hara pada tanah tidak subur, dan terhadap kemasaman dan toksisitas Al, Fe, dan Mn pada tanah masam dan (4) peningkatan nodulisasi dan daya fiksasi N 2 oleh Rhizobium pada simbiosis legum, (5) meningkatkan serapan dan toleransi tanaman terhadap toksisitas Zn (Dueck et al. 1986; Burkert dan Robson 1994); (6) merangsang laju fotosintesis dan transportasi fotosintat ke akar, produksi hormon seperti IAA (Indole Acetic Acid), sitokinin, auksin dan giberelin dan eksudasi asam-asam organik dari akar, serta permeabilitas membran terhadap lintasan hara (Abbott dan Robson 1984; Gianinazzi-Pearson dan Gianinazzi 1983); (7) mempercepat fase fisiologis definitif, sehingga waktu berbunga dan panen dipercepat, serta meningkatkan daya survival tanaman pada awal pertanaman (Linderman dan Hendrix 1984); dan (8) berperan penting dalam konservasi dan pendauran hara dalam tanah, dalam agregasi tanah dan mengurangi erosi/pelindian hara tanah (Sieverding 1991). Penelitian inokulasi FMA pada kelapa sawit asal kultur in vitro menunjukkan bahwa inokulasi FMA meningkatkan efisiensi pemupukan P (Blal et al. 1990) dan meningkatkan daya hidup serta serapan hara tanaman (Widiastuti dan Tahardi 1993). Efisiensi serapan berkaitan dengan karakterisasi morfologi, fisiologi maupun biokimia akar. Blair (1993) mengemukakan ada tiga katagori utama untuk mendifinisikan efisiensi P yaitu: (1) Efisiensi serapan yang berdasarkan pada parameter akar (2) Efisiensi pembentukan yang berhubungan
5 dengan hasil tajuk (3) Efisiensi penggunaan meliputi keseluruhan tanaman (akar dan tajuk). Aplikasi fungi mikoriza dan berbagai taraf pupuk P berinteraksi positif dalam meningkatkan produksi cabai dan mutu benih yang dihasilkan serta meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P pada lahan-lahan marginal. Penelitian terdiri atas empat percobaan yang saling melengkapi dan berkaitan antara satu dengan yang lainnya yaitu: (1) isolasi, karakterisasi dan pemurnian FMA, (2) seleksi FMA yang efektif terhadap pertumbuhan cabai, (3) pengujian efektivitas inokulasi dalam menekan penggunaan pupuk P dan peningkatan produksi dan mutu benih cabai genotip Laris dan Tegar, (4) tanggap tanaman terhadap inokulasi inokulum FMA indigenous campuran dan inokulum FMA Mycofer. Tujuan Penelitian 1. Mengisolasi dan mengkarakterisasi FMA pada lahan penanaman cabai di daerah Cianjur. 2. Mendapatkan jenis FMA yang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan bibit cabai. 3. Mengkaji pengaruh inokulasi FMA dalam meningkatkan efisiensi pemupukan P 4. Mengkaji pengaruh inokulasi FMA dan pupuk P terhadap peningkatan hasil dan mutu benih cabai. Kegunaan Penelitian 1. Dengan ditemukan isolat FMA yang efektif maka isolat tersebut dapat digunakan pada usahatani cabai di tanah Ultisol. 2. Dengan diketahui mekanisme kerja FMA dalam peningkatan penyerapan hara P, maka dapat memperbaiki teknik budidaya khususnya dalam pemupukan. 3. Sebagai salah satu alternatif paket teknologi dalam meningkatkan produksi benih cabai.
6 Hipotesis 1. Terdapat keragaman jenis-jenis FMA pada rhizosfer cabai. 2. Terdapat FMA jenis tertentu yang efektif tinggi pada tanaman cabai di tanah Ultisol. 3. Inokulasi FMA dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P. 4. Inokulasi FMA dan pemupukan P meningkatkan produksi dan mutu benih. Strategi Penelitian Penelitian ini terdiri atas tiga topik penelitian, dan masing-masing topik penelitian saling berkaitan. Topik pertama bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi isolat-isolat FMA yang terdapat pada tanah Utisol, dengan judul Isolasi, karakterisasi dan pemurnian FMA dari tanah Ultisol lahan penanaman cabai. Isolat-isolat yang ditemukan pada penelitian pertama, diuji keefektifannya terhadap pertumbuhan bibit cabai pada penelitian kedua. Judul penelitian kedua "Seleksi FMA efektif terhadap pertumbuhan cabai. Selanjutnya hasil penelitian kedua digunakan untuk penelitian ketiga dengan judul " Efektivitas inokulasi fungi mikoriza arbuskula dalam meningkatkan produksi dan mutu benih cabai serta menekan kebutuhan pupuk P, penelitian keempat dengan judul Tanggap tanaman terhadap inokulasi inokulum FMA indigenous campuran dan inokulum FMA Mycofer. Bagan alir penelitian yang menunjukkan keterkaitan antar penelitian disajikan pada Gambar 1
7 INOKULASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN MUTU BENIH CABAI (Capsicum annuum L) SERTA EFISIENSI PENGGUNAAN PUPUK P Percobaan 1 Inokulasi, karakterisasi, pemurnian dan perbanyakan FMA dari lokasi penanaman cabai pada tanah Ultisol Jenis FMA indigenous Karakteristik Percobaan 2 Seleksi fungi mikoriza arbuskula (FMA)hasil percobaan 1 yang efektif dalam pertumbuhan cabai FMA efektif dalam meningkatkan pertumbuhan Percobaan 3 Efektivitas inokulasi FMA hasil percobaan 2 dalam meningkatkan produksi dan mutu benih cabai serta menekan kebutuhan pupuk P FMA meningkatkan produksi, mutu benih dan penggu naan pupuk p Percobaan 4 Tanggap tanaman terhadap inokulasi inokulum FMA indigenous campuran dan inokulum Mycofer FMA campuran efektif dalam meningkatkan produksi Gambar 1. Bagan Alir Penelitian