BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN

dokumen-dokumen yang mirip
ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

Tipikorisasi Kontrak Kerja Konstruksi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Subbagian Hukum BPK Perwakilan Provinsi Bali

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

KONTRAK KERJA KONSTRUKSI DI INDONESIA

PEMUTUSAN KONTRAK OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN Oleh : Abu Sopian (Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang)

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

HUKUM KONSTRUKSI. Ringkasan Hukum Konstruksi UU No 18 Tahun 1999 Jasa Konstruksi. Oleh : Inggrid Permaswari C Kelas B NIM :

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

PERAN, TANGGUNG JAWAB, DAN HAK KONSULTAN PADA SAAT TERJADI WANPRESTASI OLEH

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Transkripsi:

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN 1. Tindak Pidana Jasa Konstruksi Tindak Pidana Jasa konstruksi merupakan salah satu problematika dalam perkembangan hukum di Indonesia oleh karena penyelesaiannya dinilai sangat kompleks. Permasalahan hukum yang menjadi kompleks tersebut menyangkut peranan berbagai subjek hukum dalam proses pelaksanaan jasa konstruksi. Kecenderungan untuk melakukan penyimpangan di dalam penyelesaian tindak pidana jasa konstruksi di Indonesia menjadi permasalahan yang patut untuk dikaji. Selain itu, penegakan hukum yang tepat dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi menjadi titik tolak utama bagaimana penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim di Indonesia dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan masalah jasa konstruksi. Di dalam konsep jasa konstruksi dikenal adanya kontrak kerja konstruksi yang merupakan landasan bagi penyelenggaraan jasa konstruksi di Indonesia. Kontrak kerja ini menjadi fokus dalam melaksanakan kegiatan jasa konstruksi oleh karena substansi kontrak yang memuat kepentingan hak dan kewajiban para pihak dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Namun, pelaksanaan kontrak tersebut seringkali memunculkan persoalan, ketika dihadapkan pada suatu intervensi negara dalam konteks tindak pidana korupsi. Adapun yang menjadi 45

permasalahan utama adalah apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan kontrak kerja konstruksi yang tidak sesuai, dapatkah dilakukan penuntutan sebagai suatu tindak pidana korupsi. Selain itu, apakah tindak pidana korupsi dapat dikenakan dalam proses pelaksanaan kontrak kerja konstruksi. Permasalahan-permasalahan adalah permasalahan yang utama disaat ini dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi di Indonesia. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab terdahulu, pengaturan jasa konstruksi di Indonesia diatur dalam UU Jasa Konstruksi beserta peraturan pelaksananya. Dalam pelaksanaan jasa konstruksi dituangkan kedalam kontrak kerja konstruksi sebagai landasan adanya hubungan antar subyek hukum pelaku jasa konstruksi dengan Pengguna Jasa. Kontrak Kerja Konstruksi merupakan keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Dalam pembuatan Kontrak Kerja Konstruksi berlaku ketentuan Pasal 1320 BW. Di dalam pelaksanaan dan pasca pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjadi permasalahan utama adalah terjadinya kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan. Dalam ketentuan Pasal 41 UU Jasa Konstruksi dijelaskan bahwa Penyelenggaran pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana atas pelanggaran undang-undang ini. Dari perumusan sanksi dalam pasal tersebut, dapatlah dipahami bahwa tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi adalah pelanggaran bukan kejahatan. Selain itu, rumusan tindak pidananya adalah pelanggaran terhadap syarat-syarat 46

administratif dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sebagaimana yang tertuang dalam UU Jasa Konstruksi. Mencermati Bab V UU Jasa Konstruksi khususnya dalam Pasal 23 yang menjelaskan bahwa Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang meliputi tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan serta pengawasannya yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan, dan pengakhiran. Ketentuan Pasal 41 dapatlah dirujuk pada ketentuan Pasal 23 UU Jasa Konstruksi sebagai rumusan tindak pidana. Apabila Pengguna Jasa Konstruksi maupun Penyedia Jasa Konstruksi dalam menyelenggarakan pekerjaan konstruksi yang tidak melaksanakan tahapantahapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU Jasa Konstruksi dapat dinyatakan telah melakukan pelanggaran dan sanksi yang dapat dikenakan adalah pidana dan/atau administratif. Sanksi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 41 UU Jasa Konstruksi adalah bersifat alternatif kumulatif. Dalam artian, pelaku pelanggaran penyelenggaran pekerjaan konstruksi dapat dikenakan sanksi pidana atau sanksi adminsitratif atau dapat pula dikenakan sanksi pidana dan sanksi administratif. Di dalam Penjelasan Pasal 41 tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif, namun dalam ketentuan Pasal 42 diatur mengenai bentuk sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada Penyedia Jasa Konstruksi dan Pengguna Jasa Konstruksi. Disamping itu, tata cara dan penerapan sanksi administratif diatur lebih lanjut dalam Pasal 56 PP Penyelenggaran Jasa Konstruksi. Dalam praktik hukum jasa konstruksi di Indonesia, pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi acapkali terjadi terobosan penegakan hukum pidana, terutama 47

pada saat terjadinya pelanggaran dan/atau penyimpangan pelaksanaan kontrak tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan adalah intervensi negara (secara pidana) atau masuk dalam ranah kontrak kerja konstruksi yang merupakan bagian dalam hukum perdata di Indonesia. Seperti yang terurai tersebut diatas, subyek Kontrak Kerja Konstruksi dapat dituntut dengan ancaman tindak pidana korupsi apabila tidak memenuhi isi dari kontrak kerja konstruksi tersebut. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya beragam permasalahan hukum dalam menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi di bidang jasa konstruksi. Yurisprudensi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi di bidang jasa konstruksi layak dilihat kembali berkaitan dengan penegakan hukum pidana dalam Kontrak Kerja Konstruksi. Apabila mencermati ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut UU Tipikor) yang menyatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Hal ini sangat terkait dengan pengaturan rumusan Pasal 41 UU Jasa Konstruksi tersebut diatas oleh karena bentuk tindak pidana dalam penyelenggaran pekerjaan konstruksi adalah berbentuk pelanggaran. Jika para penyidik baik dari kepolisian, kejaksaan, maupun KPK menggunakan analogi berpikir sederhana, maka setiap terjadi pelanggaran terhadap Pasal 41 jo. Pasal 23 UU Jasa Konstruksi dapat dipastikan telah terjadi tindak pidana korupsi dengan alasan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor. 48

UU Jasa Konstruksi secara tegas tidak memuat adanya tindak pidana korupsi dalam pelanggaran penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Hal tersebut dapat dicermati lebih lanjut terhadap ancaman pidana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 43 UU Jasa Konstruksi. Rumusan Pasal 43 UU Jasa Konstruksi tidak memberikan bentuk tindak pidana lebih lanjut melainkan tetap pada rumusan bentuk tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 41 UU Jasa Konstruksi sehingga tidak diatur bentuk pidana kejahatan atau bentuk pidana korupsi. Fakta yuridisnya adalah di dalam UU Jasa Konstruksi tidak terdapat satu pasal-pun yang dapat menuntut pidana korupsi, sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 14 UU Tipikor. Perlu dicermati alasan lain UU Tipikor tidak dapat dikenakan pada pengaturan tindak pidana dalam jasa konstruksi, yakni : (1) Bahwa UU Tipikor telah disahkan dan berlaku efektif pada tanggal 16 Agustus 1999, sementara UU Jasa Konstruksi telah sah dan berlaku efektif pada tanggal 7 Mei 1999. Hal ini berarti bahwa UU Jasa Konstruksi telah terlebih dahulu berlaku dan tidak ada ketentuan peralihan yang menyatakan bahwa undang-undang yang dibentuk sebelum UU Tipikor dapat dikenakan tuntutan tindak pidana korupsi; (2) Bahwa dalam UU Jasa Konstruksi, terhadap perbuatan hukum yang melanggar ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan hanya dinyatakan dapat diajukan gugatan dan tuntutan pidana umum, bukan tindak pidana khusus tertentu yang dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi. 49

Di dalam ketentuan Pasal 14 UU Tipikor dapat dijelaskan 4 (empat) hal sebagai landasan bahwa Pasal ini tidak dapat diberlakukan pada UU Jasa Konstruksi, yakni : 1 - Dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal tersebut, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi, kecuali yang sudah terdapat pada Pasal 2, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, dan 13, juga termasuk ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang lain, tetapi dengan syarat bahwa di dalam undangundang lain tersebut terdapat ketentuan yang menyatakan secara tegas bahwa pelanggaran yang terdapat di dalam undang-undang lain tersebut merupakan tindak pidana korupsi; - Maksud dari Pasal 14 tersebut tidak hanya dapat dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang, tetapi juga dapat dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, yang berbentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang, karena undang-undang dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang mempunyai hirearki setingkat; - Penjelasan Pasal 14 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang ini dalam Pasal 14 adalah baik yang hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Dengan demikian Pasal 14 hendak menentukan jika di dalam suatu undang-undang terdapat ketentuan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi, maka berlaku ketentuan- 1 R. Wiyono. Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika; Jakarta, 2005. Hal. 119-120. 50

ketentuan baik yang merupakan hukum pidana materiil maupun yang merupakan hukum pidana formil yang terdapat di dalam UU Tipikor; dan - Hingga saat ini undang-undang yang dimaksud oleh Pasal 14 tersebut belum ada. Jika kita mencermati ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UU Jasa Konstruksi, terdapat 2 (dua) norma hukum yang dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor, yakni Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 UU Jasa Konstruksi. Di dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 UU No. 18 Tahun 1999 menyatakan bahwa: Pasal 18 : (1) Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup: a. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami; b. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan. (2) Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa. (3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak tidak dapat mengubah dokumen tersebut secara sepihak sampai dengan penandatanganan kontrak kerja konstruksi. (4) Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti penetapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan suatu kontrak kerja konstruksi untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 51

Pasal 19 : Jika pengguna jasa mengubah atau membatalkan penetapan tertulis, atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah diterbitkannya penetapan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka pihak yang mengubah atau membatalkan penetapan, atau mengundurkan diri wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum. Di dalam Pasal tersebut, khususnya pada Pasal 19, dinyatakan bahwa..wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum yang dapat dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf b, yakni menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan. Artinya, dalam pelaksanaan lelang, dan kemudian ada putusan penetapan lelang. Pasal ini berpotensi dapat ditafsirkan sebagai Pasal yang dapat dikenakan ancaman pidana. Namun yang perlu dipahami bahwa konteks pada hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.. tidak menunjuk pada arti kata.. bisa dituntut secara hukum yakni melalui pidana. Di dalam frase tersebut, adalah tidak bisa dipisahkan dengan makna kalimat sebelumnya yang menunjuk Pasal 18 ayat (1) huruf b, yang merupakan ganti rugi secara perdata terhadap pihak yang dirugikan oleh karena pengubahan atau pembatalan penetapan, atau pengunduran diri. Terdapat berbagai macam/jenis ganti rugi dalam hukum perdata. Maka frase bisa dituntut secara hukum bukanlah upaya hukum pidana. Hal ini bisa diargumentasikan pula berdasarkan konstruksi pasal-pasal mengenai upaya hukum di dalam undang-undang ini yang menyebutkan secara tegas dengan kata 52

gugatan perdata atau pidana apabila yang dimaksudkan memang merupakan perbuatan perdata atau pidana. Pasal ini belum memenuhi syarat sebagaimana pada Pasal 14 UU Tipikor oleh karena alasan yang dapat dikemukakan, yakni bahwa Pasal 19 UU Jasa Konstruksi tidak memenuhi persyaratan ketegasan pernyataan dalam Pasal 14 UU Tipikor.\ Selain itu pula, apabila mencermati ketentuan Pasal 43 UU Jasa Konstruksi, rumusan delik yang ditentukan adalah sebagai berikut : a. Barangsiapa; b. Melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan; c. Melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan; d. Melakukan pengawasan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain untuk melakukan penyimpangan ketentuan keteknikan; e. Menimbulkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan; Terhadap rumusan delik tersebut, pelaku delik diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun penjara atau pidana denda, yakni : a. Dalam hal perencanaan, didenda paling banyak 10% dari nilai kontrak; b. Dalam hal pelaksanaan, didenda paling banyak 5% dari nilai kontrak; dan c. Dalam hal pengawasan, didenda paling banyak 10% dari nilia kontrak. Rumusan delik serta ancaman pidana dari Pasal 43 UU Jasa Konstruksi tersebut diatas, tidak mengatur adanya bentuk tindak pidana jasa konstruksi adalah tindak 53

pidana korupsi. Tindak pidana yang dirumuskan adalah tindak pidana khusus dalam jasa konstruksi dari tindak pidana umum yang terdapat dalam KUHP. Sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 43 UU Jasa Konstruksi tersebut berkaitan erat dengan keberadaan pasal-pasal yang mengatur mengenai kegagalan bangunan, yakni Pasal 25, 26, 27, 28, dan 29 UU Jasa Konstruksi. Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan bangunan. Dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi, kegagalan pekerjaan konstruksi, dan/atau cidera janji seringkali dihubungkan dengan kerugian negara. Kerugian negara sendiri terkait dengan UU Tipikor. Kerugian ini dapat ditemukan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, yakni : Pasal 2 ayat (1) : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh 54

juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Tindak pidana korupsi di dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, merupakan tindak pidana umum, yakni tindak pidana korupsi yang dilakukan bukan oleh orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan atau aparat pemerintah/negara. Artinya dapat dilakukan oleh siapa saja dari masyarakat umum. 2 Bahwa yang dilarang adalah tindakan atau perbuatan yang telah dilakukan, bukan pada akibat dari perbuatan tersebut dilakukan (delik materiil). Agar seseorang kemudian dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, tidak diperlukan alat-alat bukti untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Tujuannya yang lain adalah untuk tidak menghapus tuntutan pidana meskipun bilamana tindak korupsi telah dilakukan seseorang, kerugian atas tindakan tersebut telah diganti atau dikembalikan. 3 Salah satu unsur dalam Pasal 2 UU Tipikor, adalah perbuatan melawan hukum. Persoalannya kemudian apakah perbuatan-perbuatan hukum di dalam kontrak kerja konstruksi yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur Pasal 2 UU Tipikor. Pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1) diterangkan bahwa yang dimaksud dengan secara melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut 2 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan. Cet. 3. Edisi Revisi 2007. Penerbit Djambatan; 2007. Hal.37 3 Lihat Pasal 4 UU No. 31/1999: Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. 55

dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dengan penjelasan yang demikian, maka konsep melawan hukum tersebut terkait dengan ajaran tentang sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, 4 bahwa suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan demikian, secara tegas dapat dinyatakan bahwa perbuatan-perbuatan hukum di dalam kontrak kerja konstruksi atau perbuatan-perbuatan hukum yang termuat di dalam kontrak kerja konstruksi, bukanlah perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 UU Tipikor, oleh karena : - Segala perbuatan hukum yang diperjanjikan di dalam kontrak kerja konstruksi, adalah perbuatan-perbuatan hukum yang dinyatakan secara tegas sebagai suatu hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak dalam pelaksanaan kerja kontruksi yang disepakati secara bersama dan diatur di dalam UU No. 18 Tahun 1999. Dengan demikian perbuatan-perbuatan hukum yang diperjanjikan tersebut, tidak bertentangan dengan undang-undang dan/atau norma-norma kehidupan masyarakat; - Segala perbuatan hukum yang diperjanjikan di dalam kontrak kerja konstruksi, tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela sebagaimana diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, dikarenakan di 4 Tentang ajaran sifat melawan hukum materiil yang positif dan sifat melawan hukum materiil yang negatif dapat dilihat pada pendapat Moeljanto dalam Leden Marpaung, op. cit. Hal. 28. 56

dalam kontrak kerja konstruksi tersebut tidak diatur mengenai perbuatan tercela yang dapat dituntut dengan tindak pidana korupsi. Dengan berlandaskan pada dua alasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kontrak kerja konstruksi secara materiil bukan merupakan perbuatan yang tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, sehingga perbuatan-perbuatan hukum yang diperjanjikan di dalam kontrak kerja konstruksi, baik secara materiil dan formil, bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Artinya bahwa untuk dapat dipidana sebagai tindak pidana korupsi, perbuatan-perbuatan hukum di dalam kontrak kerja konstruksi tidak memenuhi syarat formil dan materiil tentang perbuatan melawan hukum, jadi kontrak kerja konstruksi tidak dapat di-tipikorisasi-kan. Perumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor di atas berkenaan dengan kerugian keuangan dan perekonomian negara. Perumusannya yang menggunakan frasa dapat, artinya kerugian keuangan negara bisa sudah terjadi, atau mempunyai potensi ( dapat ) terjadi. Tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menganut kerugian keuangan negara secara formil, tidak perlu ada kerugian yang nyata. Pasal ini juga terkait dengan Pasal 32 UU Tipikor tersebut. Istilah kerugian yang dijabarkan dalam penjelasan undang-undangnya, yakni : Pasal 32 : (1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera 57

menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Penjelasannya: Yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. (2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Penjelasannya: Yang dimaksud dengan putusan bebas adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam menentukan kerugian negara perlu dicermati muatan dalam Pasal 32 tersebut. Pasal 32 ayat (1) memberi jalan keluar dalam hal secara nyata telah ada kerugian keuangan negara tetapi penyidik menemukan dan berpendapat satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti. Jalan keluarnya adalah penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Pasal 32 ayat (2) hanya menegaskan tentang putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Masalahnya adalah apakah Pasal ini juga dapat untuk mengenakan kerugian negara dalam sengketa kontrak kerja konstruksi. Dalam Pasal 32 ayat (1) tersebut justru dapat dianalisis bahwa bila penyidik dalam melakukan penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih 58

dari unsur tindak pidana korupsi tidak cukup bukti, maka perbuatan yang dilakukan oleh tersangka tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi, tetapi merupakan perbuatan perdata. Jadi di dalam tindak pidana korupsi pun dimungkinkan bahwa seseorang yang disangka korupsi, namun tidak terbukti unsur-unsurnya, maka dia dituntut dengan gugatan perdata berdasar kategori 1365 BW. Sebagai perbuatan perdata, perbuatan yang dilakukan oleh tersangka dapat saja merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam 1365 BW, yang dapat dijadikan dasar hukum bagi Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata. 5 Frasa secara nyata telah ada kerugian negara juga harus dipahami bahwa pada penjelasan Pasal itu, dinyatakan bahwa frasa itu menunjuk pada kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan yang ditunjuk oleh penyidik. Dengan adanya penjelasan tersebut, maka untuk menentukan berapa jumlah kerugian negara perlu diajukan alat bukti berupa keterangan ahli (Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP). Diantara perumusan tindak pidana korupsi di dalam UU Tipikor, unsur kerugian negara hanya ditemukan di dalam perumusan tindak pidana korupsi yang terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3. Maka dengan demikian dapat diketahui bahwa apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi dalam Pasal 32 ayat (1) adalah hanya tindak pidana korupsi seperti pada Pasal 2 dan Pasal 3 saja. 5 R. Wiyono, op. cit. Hal. 178. Di dalam Arrest Hoge Raad tanggal 32 Januari 1919, yang diikuti pula oleh pengadilan di Indonesia, misalnya dalam Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 31 Desember 1951, Nomor 92/1950, dinyatakan bahwa suatu perbuatan disebut melawan hukum apabila : (a) melanggar hak orang lain; atau (b) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat; atau (c) bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau (d) bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri sendiri atau barang orang lain. 59

Dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor sebenarnya adalah ketentuan yang membatasi diskresi penyidik (jaksa pengacara negara) untuk memaksa adanya pemenuhan syarat unsur-unsur tindak pidana korupsi di dalam kontrak kerja konstruksi. Pasal ini justru memberikan peluang adanya gugatan perdata untuk perbuatan hukum yang tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, namun perbuatan tersebut dapat dan/atau berpotensi menimbulkan kerugian negara. Terkait dengan adanya temuan kerugian negara, karena penyedia jasa konstruksi tidak menyelesaikan tugas; tidak memenuhi mutu; tidak memenuhi kuantitas (volume); dan tidak menyerahkan hasil pekerjaan, merupakan perbuatan cidera janji maka penyelesaian ganti kerugian pengguna jasa berhak untuk memperoleh kompensasi, penggantina biaya, dan atau perpanjangan waktu, perbaikan, pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau pemberian ganti rugi. Dengan demikian maka jika terjadi cidera janji kontrak kerja konstruksi, penyelesaiannya harus secara kontraktual dan tidak dapat diselesaikan dengan tindak pidana korupsi. Untuk pengadaan barang dan jasa, ada sejumlah metode yang menurut Perpres No. 70 Tahun 2012, dipergunakan metode pelelangan umum, pemilihan langsung, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung. Dalam Perpres No. 70 Tahun 2012, juga dikenal beberapa tahapan yang harus dilalui berkaitan dengan pengadaan jasa konstruksi. Permasalahannya adalah dari seluruh tahapan, semua tahapan sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan marak terjadinya korupsi disektor pengadaaan jasa konstruksi khususnya tindakan markup nilai spesifikasi dan pekerjaan konstruksi. Pengadaan jasa konstruksi yang 60

berkaitan dengan penggunaan APBN/D diatur dalam Perpres No. 70 Tahun 2012. Di dalam Perpres No. 70 Tahun 2012, kesalahan prosedur pengadaan jasa belum atau tidak digolongkan sebagai tindak korupsi, sebelum atau asal tidak ada kerugian keuangan negara. oleh karean itu dalam rangka pemberantasan korupsi, sudah seharusnya pengadaan jasa konstruksi diatur dengan undang-undang. 6 Jika diatur dengan undang-undang, pelanggaran prosedur dan tidak ada kehati-hatian untuk memastikan kepatuhan hukum pada pelaksana proyek (Panitia Lelang, Pimpro, Benpro), Pengguna anggaran di daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas/Badan/Kantor) dapat dipidana sebagi melangggar ketentuan undang-undang pengadaan barang dan jasa serta dapat dituduh melanggar UU Tipikor. 2. Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Konstruksi dan Penyedia Jasa Konstruksi Pengkajian masalah tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi adalah dalam rangka memberikan daya pembeda yang spesifik. Konsep tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi memerlukan penjelasan lebih lanjut khususnya menyangkut permasalahan tanggung jawab pidana (resposibility). Black s Law Dictionary mendeskripsikan resposibility adalah The state of being answerable for an obligation, and includes judgement, skill, ability and capacity (keadaan yang mewajibkan untuk bertanggungjawab, yang meliputi : pertimbangan, 6 Lihat juga Paul Sinlaeloe, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, KOMPAS, Kamis, 04 Oktober 2007 61

keahlian, kemampuan dan kecakapan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan Tanggung Jawab adalah keadaan yang mewajibkan untuk menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan). Merujuk pada pengertian tersebut, maka tanggung jawab jabatan adalah keadaan yang mewajibkan negara/pemerintah untuk menanggung segala sesuatu akibat dari jabatan, sedangkan tanggung jawab pidana adalah keadaan yang mewajibkan seseorang untuk menanggung segala sesuatu akibat dari tindak pidana yang dilakukannya secara pribadi. Prinsip tanggung jawab pidana sama seperti halnya dengan tanggung jawab pribadi. Dengan demikian, yang bertanggung jawab secara jabatan adalah negara/pemerintah dan tanggung jawab pidana adalah pribadi. Tanggung jawab pidana dalam hukum pidana lazimnya disebut sebagai pertanggungjawaban pidana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pertanggungjawaban adalah perbuatan bertanggung jawab atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan. Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang harus diperhatikan antara Pengguna Jasa Konstruksi dengan Penyedia Jasa Konstruksi adalah mengenai persyaratan keteknikan dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi. Salah satu unsur pelanggaran yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 43 UU Jasa Konstruksi adalah tidak dipenuhinya ketentuan keteknikan. Ketentuan keteknikan ini harus dipahami oleh Pengguna Jasa Konstruksi dengan mulai dari Calon Penyedia Jasa Konstruksi hingga Penyedia Jasa Konstruksi. Ketentuan keteknikan tidak hanya pada saat pelaksanaan pekerjaan konstruksi tetapi dimulai dengan persyaratan seorang calon Penyedia Jasa Konstruksi tersebut. Apabila dalam melakukan 62

penyeleksian calon Penyedia Jasa Konstruksi tidak dilaksanakan pemenuhan persyaratan adminsitrasi terkait keahlian konstruksi, maka apabila terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi maupun bangunan, Pengguna Jasa Konstruksi, dalam hal ini Panitia Pengadaan dapat diminta untuk bertanggung jawab dalam pelaksanaan proses seleksi calon Penyedia Jasa Konstruksi tersebut. Tahapan seleksi calon Penyedia Jasa Konstruksi sangat penting untuk menilai kemampuan dan keahlian secara keteknisan pelaksanaan pekerjaan konstruksi tersebut. Syarat minimal yang harus dimiliki oleh sebuah badan usaha untuk dapat mengikuti proses pengadaan jasa konstruksi adalah : 1) Memiliki Sertipikat badan Usaha; 2) Memiliki Izin Usaha Jasa Konstruksi; dan 3) Memiliki Sertipikat Keterampilan atau Keahlian bagi usaha orang perseorangan. Syarat-syarat tersebut merupaka kewajiban bagi setiap calon Penyedia Jasa Konstruksi yang hendak mengikuti seleksi pengadaan jasa konstuksi dan harus diperhatikan dengan baik oleh Panitia Pengadaan Jasa Konstruksi. Pelaksanaan pekerjaan konstruksi bermula dari tahap perencanaan konstruksi, jika dalam tahapan perencanaan konstruksi terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi, maka Perencana Konstruksi tidak serta merta dapat diminta untuk bertanggung jawab melainkan harus diperhatikan sebab dari terjadinya kegagalan konstruksi tersebut pada saat perencanaan. Apabila kegagalan konstruksi tersebut disebabkan oleh Pengguna Jasa Konstruksi, Pelaksana Konstruksi, dan Pengawas Konstruksi, maka Perencana Konstruksi tidak diwajibkan untuk mengganti atau 63

memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi tersebut tetapi tanggung jawab dari Pengguna Jasa Konstruksi, Pelaksana Konstruksi, dan Pengawas Konstruksi. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) PP tentang Penyelenggaran Jasa Konstruksi. Pada tahapan pelaksanaan konstruksi, Pelaksana Konstruksi dibebaskan dari kewajiban mengganti kerugian atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi jika kegagalan pekerjaan konstruksi tersebut disebabkan karena kesalahan Pengguna Jasa Konstruksi, Perencana Konstruksi, dan Pengawas Konstruksi. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Begitu juga terhadap Pengawas Konstruksi dibebaskan dari kewajiban mengganti kerugian atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi jika kegagalan pekerjaan konstruksi tersebut disebabkan karena kesalahan Pengguna Jasa Konstruksi, Perencana Konstruksi, dan Pelaksana Konstruksi. Pihak yang bertanggung jawab berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (3) PP tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi adalah Pengguna Jasa Konstruksi, Perencana Konstruksi, dan Pelaksana Konstruksi. Penyedia Jasa Konstruksi meliputi Perencana Konstruksi, Pelaksana Konstruksi dan Pengawas Konstruksi. Penyedia Jasa Konstruksi ini bertanggungjawab dan wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi yang disebabkan karena kesalahannya atas biayanya sendiri. Kesalahan tersebut disebabkan dari hasil pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana yang disepakati dalam kontrak kerja 64

konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan Pengguna Jasa Konstruksi atau Penyedia Jasa Konstruksi. Kegagalan bangunan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 UU tentang Jasa Konstruksi, adalah keadaan bangunan yang setelah diserahterimakan oleh Penyedia Jasa Konstruksi kepada Pengguna Jasa Konstruksi, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa Konstruksi dan/atau Pengguna Jasa Konstruksi. Pengguna Jasa Konstruksi dan Penyedia Jasa Konstruksi wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan sebagaimana yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 25 UU tentang Jasa Konstruksi. Kegagalan bangunan menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa Konstruksi yang ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun setelah kegagalan bangunan tersebut ditetapkan oleh Pihak Ketiga selaku Penilai Ahli. Kegagalan Bangunan yang disebabkan karena kesalahan Perencana Konstruksi atau Pengawas Konstruksi, maka Perencana Konstruksi atau Pengawas Konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi. Dalam hal kegagalan bangunan tersebut disebabkan karena kesalahan Pelaksana Konstruksi, maka Pelaksana Konstruksi wajib bertanggung jawab dan diekanakan ganti rugi. Pengguna Jasa Konstruksi juga dapat bertanggung jawab atas terjadinya kegagalan bangunan ketika terjadi kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain dalam melakukan pengelolaan bangunan. Selain itu, Sub 65

Penyedia Jasa Konstruksi juga dapat bertanggung jawab atas terjadinya kegagalan bangunan, namun kedudukan tanggung jawabnya ditujukan kepada Penyedia Jasa Konstruksi Utama. Mencermati terjadinya kegagalan pekerjaan konstruksi maupun kegagalan bangunan serta pihak-pihak yang terkait dengan terjadinya kegagalan pekerjaan konstruksi maupun kegagalan bangunan tersebut, dari segi pertanggungjawaban pidana memiliki kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawab pidana secara jabatan maupun pribadi. Tanggung jawab jabatan dalam pengadaan jasa konstruksi difokuskan pada legalitas tindakan. 7 Legalitas tindakan pejabat harus bertumpu pada wewenang, prosedur, dan susbtansi. Wewenang dapat dibebadakan wewenang secara atribusi, delegasi, dan mandat. Dalam melakukan pengadaan jasa konstruksi oleh Pemerintah, terdapat wewenang Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat/Panitia Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit). Secara prosedur, PPK dan Panitia Pengadaan dalam mengeluarkan keputusan, ketentuan, prosedur, dan tindakan lainnya harus didasarkan pada prinsip-prinsip umum prosedur pengadaan barang dan jasa pemerintah. Terhadap substansi, wewenang dan susbtansi merupakan landasan bagi legalitas formal dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa sehingga bertumpu pada asas preseumptio iustae causa, maka setiap gugatan atas tindakan PPK yang berkenaan dengan keputusan pemenang tidak menghalangi dilaksanakannya keputusan pejabat yang 7 Amiruddin, Tanggung Jawab Pidana dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2010, h. 122. 66

memutuskan pemenang tender. Secara substansi ini, berkaitan dengan jawaban atas pelaksanaan pengadaan yang dilakukan tidak secara sewenang-wenang. 67