LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI BIDANG PETERNAKAN MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

dokumen-dokumen yang mirip
- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 KERAGAAN, PERMASALAHAN DAN UPAYA MENDUKUNG AKSELERASI PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan.

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

DAN. Oleh: Nyak Ilham Edi Basuno. Tjetjep Nurasa

PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105/Permentan/PD.300/8/2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 35/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 35/permentan/OT.140/7/2011 PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

REKOMENDASI OMBUDSMAN BRIEF T AT A NIAGA SAPI SALURAN PANJANG, NIAGA INFRAST SAPI RUKTUR DI NT T T IDAK MENUNJANG, PET ERNAK T IDAK SEJAHT ERA

LAPORAN REFLEKSI AKHIR TAHUN 2014 DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA

CUPLIKAN BLUE PRINT PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI 2014 KERANGKA PIKIR

WALIKOTA SINGKAWANG. PROVINSI KALIMANTAN BARAT.

Muchamad Ali Safa at

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

Samarinda, 29 Februari 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 071 TAHUN 2013 TENTANG PENGELUARAN TERNAK DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2011 DIREKTUR PERBIBITAN TERNAK ABUBAKAR

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

BAB I IDENTIFIKASI KEBUTUHAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH LAUT,

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

Nomor 162 Berita Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2009 WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR : 162 TAHUN 2009

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

ROAD MAP PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI KERBAU Kegiatan Pokok

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

Selanjutnya tugas pembantuan tersebut meliputi : 1. Dasar Hukum 2. Instansi Pemberi Tugas Pembantuan

EVALUASI KEGIATAN DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TAHUN 2017 & RENCANA KEGIATAN TAHUN 2018 RAKONTEKNAS II SURABAYA, 12 NOVEMBER 2017

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 97/Permentan/PD.410/9/2013, dengan Peraturan Menteri Pertanian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 t

KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI TANAMAN TERNAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

Kebijakan Pemerintah terkait Logistik Peternakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA TASIKMALAYA

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak pemanfaatan sumberdaya pakan berupa limbah pert

KEMENTERIAN PERTANIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

GUBERNUR JAWA TENGAH

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PETERNAKAN MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DAGING

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 19-P TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA DINAS PERTANIAN WALIKOTA SURAKARTA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 42 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN TERNAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIKKA,

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI BIDANG PETERNAKAN MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI Oleh : Nyak Ilham Gelar S. Budhi Yuni Marisa PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Latar Belakang (1) Upaya swasembada daging sapi melalui Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau (PSDSK) 2014 diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan daging sapi domestik dan meningkatkan pendapatan peternak. Program tersebut melibatkan berbagai stakeholder dengan berbagai kepentingan, baik pihak pemerintah maupun pihak swasta dan peternak. (2) Agar arah pencapaian program konvergen, diperlukan landasan peraturan perundangan-undangan (PPU). Namun, walupun suatu PPU telah dirancang ideal, implementasi sering menghadapi masalah. Diduga ketidakharmonisan dan ketidakkonsistenan suatu produk PPU terkait upaya swasembada daging sapi dapat menghambat tercapainya target yang diharapkan. (3) Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan tinjauan ulang dan kajian terhadap PPU yang terkait dengan Program PSDSK 2014. Apakah ditemui kebijakan yang tidak konsisten dan tidak harmonis dengan kebijakan swasembada, atau diperlukan dukungan PPU lain dan PPU baru. Tujuan (4) Tujuan penelitian ini adalah: (i) Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi PPU bidang peternakan sapi potong dengan sasaran swasembada daging sapi; (ii) Mengevaluasi implementasi PPU bidang peternakan sapi potong terkait dengan sasaran swasembada daging sapi; (iii) Menganalisis dampak implementasi PPU bidang peternakan terhadap pencapaian sasaran swasembada daging sapi. Keluaran (5) Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (i) Hasil evaluasi tentang konsistensi dan sinkronisasi PPU bidang peternakan sapi potong dengan sasaran swasembada daging sapi; (ii) Hasil evaluasi tentang implementasi PPU bidang peternakan sapi potong dengan sasaran swasembada daging sapi; (iii) Hasil perkiraan dampak implementasi PPU bidang peternakan sapi potong terhadap pencapaian sasaran swasembada daging sapi. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran dan Ruang Lingkup (6) Pengujian materi regulasi dapat dilakukan dengan uji formil (formaletoetsingrech) yaitu menilai apakah suatu produk legislative terjelma melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan dalam PPU yang berlaku ataukah tidak. Pengujian materi regulasi dapat juga dilakukan dengan uji i

materiil (materiel toetsingrech) yaitu untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu PPU isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. (7) Pedoman proses pembentukan PPU menggunakan UU 12/2011 tentang Pembentukan PPU, meliputi: (i) Kejelasan tujuan; ketepatan letak peraturan, tujuan khusus peraturan akan dibentuk, tujuan bagian-bagian dari peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk; (ii) Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; (iii) Kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan; (iv) Dapat dilaksanakan; asas yang menghendaki suatu peraturan dapat ditegakkan; (v) Kedayagunaan dan kehasilgunaan; (vi) Kejelasan rumusan; dan (vii) Keterbukaan. (8) Pengujian terhadap konsistensi PPU, dilakukan dengan cara mencermati kesamaan makna pada pasal-pasal dari produk PPU secara vertikal dalam satu rumpun hierarki PPU, demikian juga antar Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pengujian sinkronisasi PPU dilakukan dengan cara mencermati makna pada pasal-pasal produk PPU secara horizontal. (9) Ruang lingkup kajian difokuskan pada 13 kegiatan operasional PSDSK 2014 sebagai berikut: (1) Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal, (2) Pengembangan pupuk organik, (3) Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman, dan (4) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH, (5) Optimalisasi Inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi Kawin Alam (INKA), (6) Penyediaan dan pengembangan pakan dan air, (7) Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan, (8) Penyelamatan sapi betina produktif, (9) Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan, (10) Pengembangan pembibitan sapi potong melalui Village Breeding Centre, dan (11) Penyediaan bibit melalui subsidi bunga (KUPS), (12) Pengaturan stock sapi bakalan dan daging sapi, dan (13) Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging. Lokasi, Responden dan Metode Analisis (10) Penelitian ini dilakukan pada lima provinsi yaitu: DKI Jakarta, Jabar, NTB, Sumut, dan Bali. Data sekunder dan data primer diperoleh dari berbagai sumber. Data primer diperoleh melalui wawancara kepada informan kunci yaitu pejabat, petugas, pengusaha, peternak, asosiasi, dan sumber lain yang berjumlah 77 responden. Data dan informasi dianalisis dengan pendekatan deskriptif dengan teknik komparasi dan tabulasi. ii

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsistensi dan Singkronsasi Peraturan Perundang-undangan PPU terkait dengan swasembada daging sapi dapat bersifat berpotensi mendukung, tidak sinkron, dan tidak konsisten. Berikut eksplorasi yang dilakukan terhadap beberapa PPU terkait kegiatan swasembada daging sapi. (11) UU 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Berdasarkan pasal 6 UU ini, usaha pembiakan sapi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu usaha mikro, kecil dan menengah. Ini berarti ketiga kelompok usaha sapi potong tersebut berhak memperoleh bantuan yang terkait dengan pembinaan dan pembiayaan sesuai pasal 21, 22 dan 24 pada UU 20/2008. UU 18/2009 pasal 29 (5) menyatakan: Pemerintah berkewajiban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat antara pelaku pasar. Pasal 31 (2): Kemitraan Peternak dalam usaha budidaya dapat dilakukan: (a) antar peternak, (b) antar peternak dan perusahaan peternakan; (c) antar peternak dan perusahaan di bidang lain, (d) antar perusahaan peternakan dan Pemerintah atau Pemerintah daerah. Potensi tersebut dapat mengembangkan usaha kelompok menjadi usaha skala menengah yang lebih efisien dibandingkan jika hanya dilakukan oleh peternak dengan skala 2-4 ekor. (12) Undang-undang 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pasal 15 UU ini mengamanahkan kepada pelaku usaha perkebunan termasuk perkebunan kelapa sawit untuk melakukan pengolahan produk yang dihasilkannya, seperti bungkil inti sawit, lumpur sawit, pelepah dan daun sawit, menjadi produk lain, seperti pakan ternak. Usaha integrasi sawit sapi juga diamanahkan oleh UU 18/2004 pasal 23 (2): Dalam kawasan pengembangan perkebunan, pelaku usaha perkebunan dapat melakukan diversifikasi usaha. Pasal 27 (3): Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dapat dilakukan di dalam atau di luar kawasan pengembangan perkebunan, dan dilakukan secara terpadu dengan usaha budidaya tanaman perkebunan. Jika kegiatan ini dilakukan maka masalah penyediaan pakan ternak akan dapat diatasi dengan harga terjangkau. (13) UU 41/1999, tentang Kehutanan. Pasal 50 (i): Setiap orang dilarang menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang. Pasal 50 ini merupakan pasal diskresi yang berarti sebenarnya ada kawasan hutan dapat dimanfaatkan untuk usaha peternakan sapi potong. (14) UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, mengamanahkan Pemda untuk tidak harus menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah yang menjadi alasan banyak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) di daerah untuk belum menerbitkan Perda tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Pada Pasal 136, ayat (2) mengatakan: Perda di bentuk dalam rangka penyelengaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota untuk tugas pembantuan. Pasal 148 (1): Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. iii

(15) UU 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan kondisi usaha pembibitan yang masih belum menguntungkan pihak swasta dan peternak, pemerintah berkewajiban untuk lebih memberi perhatian dan bergerak pada usaha pembibitan. Hal ini jelas disampaikan dalam UU 19/2003 tentang BUMN pasal 2 (d): Maksud dan tujuan BUMN didirikan antara lain menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. (16) Ketidaksinkronan Undang-undang No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Menurut pedoman yang berlaku pada Kementerian Pertanian, penentuan kelompok peternak peserta kegiatan Program PSDSK 2014 dilakukan melalui seleksi sesuai pedoman. Kasus pada lokasi penelitian, pihak oknum anggota DPRD dengan menggunakan UU 32/2004 Pasal 45 huruf e: Anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Atas dasar itu, oknum anggota DPRD membagi bantuan sapi kepada konstituennya dalam bentuk dana aspirasi, tanpa memperhatikan kriteria yang ditetapkan menurut pedoman yang ada. (17) UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, mengamanatkan agar pemerintah daerah meningkatkan pendapatan daerah antara lain melalui penarikan retribusi. UU 32/2004 Pasal 21 (e): Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak memungut pajak daerah dan otonomi daerah. Penarikan retribusi dapat dilakukan pada RPH pemerintah. Dengan orientasi itu, pihak RPH berusaha meningkatkan jumlah sapi yang dipotong di RPH termasuk sapi betina produktif. Di sisi lain UU 18/2009 melarang pemotongan sapi betina produktif. (18) Penjabaran Permentan menjadi berbagai bentuk pedoman yaitu: (1) Pedoman Umum, (2) Pedoman Teknis, (3) Pedoman Pelaksanaan, (4) Petunjuk Pelaksanaan, dan (5) Petunjuk Teknis tidak dilakukan dengan konsisten antara kewenangan lembaga penerbitannya dan nomenklatur nama pedoman. Isinya cenderung bersifat umum, kaku dan kurang memperhatikan kondisi daerah sehingga sulit diimplementasikan di beberapa daerah. (19) Ketidakkonsistenan Legislasi RPH. Setiap unit usaha produk hewan termasuk RPH wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner (NKV) kepada pemerintah daerah provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki RPH yang memenuhi persyaratan teknis. Usaha RPH harus dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner. Kewajiban tersebut dimaksudkan agar pemerintah dapat mententramkan batin masyarakat konsumen untuk mengkonsumsi daging sapi yang berasal dari hewan yang disembelih sesuai kaidah agama dan kesehatan. Permasalahan yang dijumpai di lapang adalah masih dijumpai tempat pemotongan hewan milik pribadi yang tidak dibawah pengawasan pemerintah. Di samping itu ada juga RPH atau TPH milik swasta yang diduga sulit dikontrol oleh pemerintah. iv

(20) Ketidakkonsistenan Penetapan Harga Sapi Bibit Ras Bali di Bali. Pemerintah Daerah Provinsi Bali melalui Keputusan Gubernur Bali No 1796/2011 tentang Alokasi Pengeluaran dan Harga Dasar Bibit Sapi Bali di Provinsi Bali Tahun 2012. Di sisi lain Pemerintah menerbitkan PP 48/2012 tentang penetapan harga jual produk yang dihasilkan lembaga pemerintah termasuk harga jual bibit sapi Bali dengan harga lebih murah dari Pergub. (21) Penetapan masa karantina pada kegiatan perdagangan sapi antar pulau masih bervariasi karena merujuk PPU yang berbeda yaitu SK Mentan No. 422/1988 dimana masa karantina sapi potong ditetapkan selama 14 hari dan PP 82/2000 dimana penetapan masa karantina mengikut masa inkubasi penyakit. Masa karantina yang panjang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Hal itu bertentangan dengan UU 18/2009 pasal 76 yang mengamanahkan agar usaha peternakan dilakukan dengan cara-cara untuk meningkatkaan daya saing. (22) Ketidakkonsistenan juga dijumpai tentang penetapan instansi yang menerbitkan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) yang diperlukan untuk kelengkapan dokumen lalu lintas hewan antar daerah. Menurut PP 82/2000 dan SE Barantan, SKKH cukup cukup dari Dinas PKH kabupaten/kota asal ternak. Pada sisi lain dengan dasar OTDA pihak Dinas PKH provinsi mensyaratkan harus ada surat rekomendasi keluar dan masuk dari Dinas PKH Provinsi asal dan tujuan, khususnya untuk sapi bibit. Evaluasi Implementasi peraturan Perundang-undangan (23) Tiga belas kegiatan operasional PSDSK 2014 telah dilengkapi dengan berbagai dokumen di pusat sebagai pedoman implementasi kegiatan di daerah. Namun pada tingkat daerah belum semua kegiatan tersebut dilengkapi dengan dokumen berupa Juklak di provinsi dan Juknis di tingkat kabupaten. (24) Azas pengundangan yaitu bila suatu PPU telah diundangkan dalam suatu Lembaran Negara atau diumumkan dalam suatu Berita Negara, UU tersebut sudah dapat berlaku mengikat umum dan semua orang dianggap sudah mengetahui UU itu. Azas itu diduga sebagai penyebab kegiatan sosialisasi UU termasuk UU 18/2009 tentang PKH seperti dianggap kurang perlu, sehingga tidak tersedia dukungan dana memadai untuk sosialisasi. Kalaupun dilakukan, kelihatannya kurang mendapat perhatian serius. (25) Kegiatan sosialisasi Permentan terkait kegiatan PSDSK 2014, sudah dilakukan oleh Ditjen PKH pada tingkat pusat dan daerah. Dinas PKH Provinsi melakukan sosialisasi dengan mengundang pihak Dinas PKH Kabupaten/Kota. Namun secara umum pihak Dinas PKH Kabupaten/kota menghadapi kendala dana untuk melakukan sosialisasi. (26) Kelompok peternak peserta Program PSDSK 2014 tidak menghadapi masalah terkait dengan prosedur dan aturan yang ada terkait program. Permasalahan yang dihadapi kelompok justeru terkait aspek teknis dan manajemen budidaya v

ternak. Para peternak merasakan pembinaan oleh petugas masih kurang akibat terbatasnya dana pembinaan yang dialokasikan pada instansi terkait. (27) Penegakan hukum untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif yang diamanahkan UU 18/2009 masih sangat lemah.penyebabnya antara lain belum ada Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota terkait larangan pemotongan sapi betina produktif, Pihak Dinas PKH sulit melarang pemotong sapi betina produktif karena kewenangan pemberian sanksi tidak dilakukan oleh pihak Dinas PKH, da Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang terlibat dalam penerapan PPU belum menjalankan fungsinya dengan baik. (28) Penerbitan suatu PPU melalui tahapan panjang dan melibatkan banyak pihak sehingga cenderung mengalami keterlambatan. Kesibukan kementerian di satu sisi dan diperlukannya perhatiantingg iterhadap penerbitan suatu PPU yang baik dapat berimplikasi makin lambatnya terbitnya suatu PPU. Penerbitan PPU membutuhkan kegiatan studi banding dan naskah akademis, sehingga membutuhkan waktu lama dan biaya besar. Perkiraan Dampak Implementasi Peraturan Perundang-undangan (29) Masih dijumpai kegiatan seleksi kelompok peternak peserta program belum konsisten dengan pedoman. Jika dilakukan perbaikan sesuai dan konsisten dengan pedoman yang ada maka kerugian yang dapat ditimbulkan selama lima tahun diperkirakan sebesar Rp 1,574 T dapat dihindari. (30) Pengolahan kotoran sapi dan urine sapi menjadi pupuk organik padat dan cair dapat memberikan nilai tambah yang tinggi. Dengan nilai jual pupuk padat Rp 600/kg dan pupuk cair Rp 10.000/liter, perkiraan potensi ekonomi dari kedua pupuk tersebut selama lima tahun adalah Rp 154,9 T. (31) Jika potensi 8 juta hektar perkebunan kelapa sawit dapat dimanfaatkan dengan asumsi satu hektar mampu menampung 1 ekor sapi, maka dapat dari perkebunan kelapa sawit dapat menampung 8 juta ekor sapi. (32) Pelarangan pemotongan sapi di luar RPH Pemerintah yang tidak resmi dapat meningkatkan pendapatan daerah dan menghindari pemotongan sapi betina produktif, sapi ilegal, atau sapi sakit untuk menghasilkan produk daging yang ASUH serta dapat meningkatkan penerapan kesejahteraan hewan. (33) Masih ada kesempatan untuk memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber pakan sapi baik secara permanen atau temporer. Kerjasama dengan pihak PT Perhutani yang memiliki hutan produksi 1,75 juta Ha dan jika hanya 25% dimanfaatkan untuk kebun pakan ternak maka hijauan pakan yang dihasilkan diperkirakan bernilai Rp 138 T selama lima tahun. (34) Penerapan masa karantina yang konsisten sesuai aturan yang berlaku dapat memperpendek masa karantina sehingga dapat menekan biaya pemasaran dan meningkatkan daya saing produk domestik terhadap produk impor. vi

IMPLIKASI KEBIJAKAN (35) Masih diperlukan pencermatan lebih dalam terhadap beberapa PPU baik di lingkungan internal maupun dari lingkungan luar pertanian yang terkait dengan program swasembada daging sapi dengan melibatkan instansi terkait. (36) Masih diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap PPU yang terkait dengan program swasembada daging sapi dengan melibatkan instansi terkait. (37) Untuk mengurangi ketidakkonsistenan muatan dalam PPU terkait program swasembada daging sapi, tiap PPU terkait harus memiliki kejelasan dan ketegasan dalam implementasi. Karena itu sebaiknya, sebelum suatu PPU diterbitkan, kegiatan dengar pendapat pihak terkait perlu ditingkatkan. (38) Kegiatan sosialisasi UU 18/2009 dan produk turunannya perlu ditingkatkan dengan melibatkan Kemenkumham agar kegiatan swasembada daging sapi dapat tercapai sesuai dengan harapan. Terutama pada daerah-daerah sentra produksi sebagai lokasi contoh yang dilengkapi dengan kelembagaan PPNS dan mekanisme kerja yang jelas. (39) Perlu dilakukan penertiban dalam menerbitkan pedoman dan petunjuk dikaitkan antara substansi dengan kelembagaan dan pejabat tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta penegakan hukum. (40) Perlu penguatan organisasi yang membidangi hukum pada setiap unit kerja di pusat dan daerah, baik kualitas maupun kuantitas. vii