SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak


PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

ONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA

RESPON PENYUNTIKAN HORMON CAPRIGLANDIN PGF2 ERHADAP SINKRONISASI BERAHI INDUK SAPI BALI DI KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

ABSTRACT. Key words: Ongole Offspring, Estrous, Estrous Synchronization, PGF 2 α, Parities

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p Online at :

I. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini

BAB I. PENDAHULUAN A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2 Alpha Terhadap Waktu Kemunculan Birahi dan Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Brahman Cross (Bx) Heifers

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

PENGARUH LINGKAR SCROTUM DAN VOLUME TESTIS TERHADAP VOLUME SEMEN DAN KONSENTRASI SPERMA PEJANTAN SIMMENTAL, LIMOUSINE DAN BRAHMAN

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN

5 KINERJA REPRODUKSI

Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi (The Performance of Estrus and Fertility Rate of Timor Bali Cow Inseminated)

Pengaruh Waktu Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan II Membangun Kewirausahaan Dalam Pengelolaan Kawasan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

PENGGUNAAN PROGESTERON SINTETIK PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND (FH) PENERIMA INSEMINASI BUATAN DAN DI EMBRIO SAPI MADURA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK

PEMBERIAN WHOLE SERUM KUDA LOKAL BUNTING YANG DISENTRIFUGASI DENGAN CHARCOAL TERHADAP BIRAHI DAN KEBUNTINGAN PADA SAPI POTONG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL TAMPILAN BIRAHI KAMBING LOKAL YANG BERBEDA UMUR HASIL SINKRONISASI MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F2 DI KABUPATEN BONE BOLANGO

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

SURAT PERNYATAAN. Y a n h e n d r i NIM. B

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

SKRIPSI. PERFORMAN REPRODUKSI INDUK SAPI BALI PASCA SINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) DAN HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hcg)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

PAPER SINKRONISASI ESTRUS PADA TERNAK

PENYERENTAKAN BERAHI DENGAN PROGESTERON DALAM SPONS PADA TERNAK DOMBA DI KABUPATEN CIANJUR

PENDAHULUAN Latar Belakang

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

PENGARUH BERBAGAI DOSIS PROSTAGLANDIN (PGF2α) TERHADAP KARAKTERISTIK ESTRUS PADA DOMBA GARUT

PERAN KADAR PROGESTERON DALAM PLASMA DARAH UNTUK DETEKSI ESTRUS DAN AKTIVITAS OVARIUM

DAFTAR PUSTAKA. Bearden, J and J. W Fuquay, Applied Animal Reproduction Fourth Edition. Prentice Hall, Inc. USA

MATERI DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten

KATA PENGANTAR. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH FOLIKEL YANG MENGALAMI OVULASI TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA PADA BERAHI PERTAMA SETELAH PENYUNTIKAN PGF2,

POLA ESTRUS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE DIBANDINGKAN DENGAN SILANGAN SIMMENTAL-PERANAKAN ONGOLE. Dosen Fakultas Peternakan UGM

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DISINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F 2 Α (PGF 2 Α)

Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana Peternakan Di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

APLIKASI HORMONE PROGESTERONE DAN ESTROGEN PADA BETINA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POSTPARTUM YANG DIGEMBALAKAN DI TIMOR BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR

Peningkatan Angka Kebuntingan melalui Pemberian Hormone Eksogen CIDR-B dan Injeksi hcg pada Sapi Bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI SAPI PERAH PERANAKAN FRIES HOLLAND (PFH) PADA BERBAGAI PARITAS DI KUD SUMBER MAKMUR KECAMATAN NGANTANG KABUPATEN MALANG

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

RESPON KECEPATAN TIMBULNYA ESTRUS DAN LAMA ESTRUS PADA BERBAGAI PARITAS SAPI BALI SETELAH DUA KALI PEMBERIAN PROSTAGLANDIN F2α (PGF2α)

Transkripsi:

17 SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA Oleh: Takdir Saili 1), Ali Bain 1), Achmad Selamet Aku 1), Muh. Rusdin 1) dan Rahim Aka 1) ABSTRACT Prolong calving interval in cattle especially PO cattle is one of the limiting factor in the attempt to improve cattle productivity in Southeast Sulawesi. Delay of estrus and difficulty in estrus detection are two factors that potentially could prolong calving interval because estrus is the main indicator for cattle to mate and conceive. Therefore, the attempt to manage well estrus condition should be taken in order that estrus occurs and easy to detect. The experiment on using prostaglandin (PG) as luteolitic agent was conducted to evaluate its effectiveness in estrus synchronization on Bali and PO cattle. The doses of prostaglandin used were 0 mg cattle -1 (control) and 7.5 mg cattle -1 that injected twice intra-muscularly in labia major with 11 days interval of injection. Variables measured were estrus intensity, estrus time, estrus rate and estradiol profile on both before and after prostaglandin injection. The results showed that estrus intensity both in Bali and PO cattle ranged between normal (60%) to high (20%) and the rest (20%) did not show estrus following PG-1 injection. Following PG-2 injection, 100% of Bali cattle showed normal intensity of estrus while 67% of PO cattle showed normal intensity of estrus and 33% PO cattle showed high intensity of estrus. The estrus was occurred faster in PO cattle (55 hours) than Bali cattle (64 hours) after PG-1 injection but following PG-2 injection, the estrus occurred in PO cattle was prolong up to 68 hours while estrus in Bali cattle consistently occurred in 64 hours after injection. The estrus rate both in Bali and PO cattle were range from 80% following PG-1 and 100% following PG-2 which is significantly higher compare to control (20-40%). Estradiol concentration of Bali cattle serum ranged between 6.0 to 455.2 pg ml -1 and 34.0 to 178.4 pg ml -1 in PO cattle following PG-1 and PG-2 injection. In conclusion, prostaglandin was effectively using in estrus synchronization both in Bali and PO cattle, but estradiol concentration in the serum both of Bali and PO cattle following prostaglandin injection have not showed relevancy to estrus observed visually. Key words: Prostaglandin, Bali cattle, PO cattle, estrus, estradiol. PENDAHULUAN Kebutuhan daging sapi secara nasional dari waktu ke waktu semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk dan kesadaran masyarakat akan gizi. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah meningkatkan penyediaan bibit sapi untuk selanjutnya dapat digemukkan dan dipotong untuk memenuhi permintaan konsumen. Peningkatan penyediaan bibit sapi hanya dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi reproduksi ternak sehingga setiap ternak betina produktif dapat melahirkan satu ekor anak dalam setahun. Sulawesi Tenggara sebagai salah satu daerah pemasok sapi potong dan bibit sapi Bali di kawasan Indonesia Timur terus berupaya untuk meningkatkan populasi ternak sapi Bali dengan cara meningkatkan efisiensi reproduksinya. Sapi Bali yang terkenal dengan potensi tingkat fertilitasnya yang tinggi bukan merupakan jaminan utama untuk mendapatkan jarak beranak yang kecil (1-1.5). Hal ini sangat tergantung dari manajemen ternak yang diterapkan pada daerah tersebut. Selain itu, kurangnya tenaga inseminator terampil dan ketersediaan pejantan merupakan dua kendala yang tidak kalah pentingnya dalam upaya 1 ) Masing-Masing Staf Pengajar Jurusan Peternakan Faperta Universitas Haluoleo, Kendari. 17

18 meningkatkan efisiensi reproduksi ternak sapi Bali di daerah Sulawesi Tenggara. Perdagangan sapi potong yang tidak terkendali mengakibatkan jumlah pejantan sapi Bali yang dapat dijadikan sebagai pejantan semakin berkurang dan terancam habis. Dalam jangka panjang, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas sapi Bali yang akan semakin merosot. Sapi Bali jantan yang berumur 2 tahun dengan kondisi pakan yang baik seharusnya telah mencapai bobot badan minimal 200-250 kg berat hidup. Akan tetapi, saat ini sangat sulit ditemukan sapi Bali yang berumur 2-3 tahun dengan bobot badan demikian. Berbagai faktor telah diklaim sebagai penyebab munculnya fenomena ini, antara lain kebiasaan petani memotong atau menjual ternak sapi jantan dengan bobot badan tertinggi untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi pula. Akibatnya, sapi jantan yang mempunyai peluang mengawini sapi-sapi betina adalah sapisapi jantan dengan rataan bobot badan yang rendah. Konsekuensi dari hasil perkawinan ini adalah keturunan dengan kualitas yang tidak optimal. Selain itu, pada kondisi tertentu petani terkadang menjual ternaknya yang sementara bunting karena desakan ekonomi. Introduksi sapi Peranakan Ongole (PO) yang dilakukan pemerintah Sulawesi Tenggara dalam lima tahun terakhir merupakan langkah yang tepat dalam rangka pemenuhan kebutuhan sapi potong di kawasan Timur Indonesia dan Sulawesi Tenggara pada khususnya. Namun demikian, efisiensi reproduksi sapi PO tersebut masih memprihatinkan karena jarak beranaknya cukup besar (calving interval = 3-4), bahkan beberapa di antaranya masih ada yang belum pernah bunting sejak diintroduksi (Sura, 2009 Komunikasi Pribadi). Beberapa faktor penyebab yang mungkin menimbulkan masalah ini adalah kondisi pakan yang tidak cukup, baik secara kualitas maupun kuantitas. Selain itu, manajemen ternak juga menjadi faktor penyebab lain karena terjadi pergantian manajemen ternak dari petugas UPTD Peternakan ke masyarakat. Pengaruh pakan dan manajemen yang tidak sesuai tersebut termanifestasi pada penurunan efisiensi reproduksi. Siklus hormonal akan terganggu sehingga akan menghambat munculnya estrus sebagai indikator utama ternak yang siap kawin. Pada gilirannya hal ini akan memperpanjang jarak beranak seekor ternak sapi. Proses perkawinan pada ternak baik melalui kawin alam maupun menggunakan teknologi inseminasi buatan (IB) untuk menghasilkan suatu kebuntingan hanya dapat terjadi pada ternak betina yang estrus atau berahi. Perkawinan dengan cara IB telah dibuktikan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi ternak sapi (Ryan et al., 1995). Namun demikian, pelaksanaan IB di tingkat lapangan menuntut ketersediaan ternak betina resipien dalam jumlah banyak dan mempunyai estrus yang serentak. Hal ini dapat dipahami karena secara teknis dan ekonomis, IB hanya efektif dan efisien jika diterapkan pada ternak dengan jumlah besar dan waktu yang bersamaan. Pada sisi lain, kondisi seperti ini sangat jarang ditemukan di tingkat lapangan karena siklus estrus antar individu sapi sangat bervariasi. Selain itu, terbatasnya kemampuan dan waktu serta tenaga peternak untuk melakukan pengamatan estrus menjadi salah satu faktor penghambat di dalam upaya meningkatkan efisiensi reproduksi ternak sapi. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi reproduksi yang dapat menyamakan atau menyerentakkan estrus ternak sapi, sehingga dapat dikawinkan atau diinseminasi pada waktu yang bersamaan untuk menghasilkan kebuntingan dan kelahiran yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi ternak sapi tersebut. Salah satu cara yang diterapkan untuk sinkronisasi estrus pada ternak sapi adalah menggunakan hormon luteotropik sintetik, seperti prostaglandin-f2α (PGF2α). Efektivitas preparat PGF2α terbukti dapat menimbulkan respon estrus sebesar 92.3% pada sapi Bali (Toelihere dkk., 1990). Fungsi PGF2α adalah meregresi korpus luteum sehingga pemberiannya hanya efektif jika dilakukan pada fase luteal di saat korpus luteum telah berfungsi (Burhanuddin et al., 1992). Pada ternak sapi yang mempunyai siklus estrus normal, hormon PGF2α akan disekresikan oleh endometrium jika tidak terjadi fertilisasi setelah ovulasi untuk

19 melisis sel-sel luteal penghasil hormon progesteron. Penurunan kadar progesteron akan memicu proses folikulogenesis atas peran hormon follicle stimulating hormone (FSH) yang diproduksi oleh hipofisa anterior (Hafez, 2000). Lebih lanjut dikatakan bahwa folikulogenesis akan menyebabkan pertumbuhan folikel dan oosit yang pada gilirannya akan dihasilkan hormon estrogen yang memicu munculnya estrus pada ternak sapi betina. Penggunaan hormon PGF2α harus tepat waktu dan tepat dosis agar didapatkan efek yang maksimal (Toelihere, 1985). Penggunaan hormon PGF2α pada awal atau akhir fase luteal akan menurunkan efektivitas kerja hormon tersebut. Demikian halnya dengan penggunaan hormon tersebut di luar fase luteal (fase folikuler) tidak dapat memberikan respon estrus pada ternak tersebut. Selain itu, dosis yang digunakan juga harus tepat agar bisa didapatkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, pada penelitian ini telah dikaji efek penggunaan hormon PGF2α terhadap peningkatan efisiensi reproduksi ternak sapi Bali dan PO betina. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Desember 2009 di Desa Alebo dan Desa Morome Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Seleksi Sapi Percobaan Sapi percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil seleksi sapi masyarakat yang terdiri atas sapi Bali dan sapi Peranakan Ongole (PO) sebanyak masingmasing 10 ekor. Kriteria sapi percobaan yang digunakan adalah sapi betina induk dengan kisaran umur 2-5 tahun. Semua sapi percobaan sudah pernah beranak minimal satu kali dan tidak dalam keadaan bunting serta mempunyai siklus estrus yang normal. Sapi percobaan dipelihara secara semi intensif, pada siang hari dibiarkan merumput sedangkan pada malam hari dikandangkan. Selama berada di kandang sapi diberikan pakan berupa rumput lapangan potongan secara ad libitum dan pakan penguat sebanyak 1% berat badan sedangkan air minum diberikan secara ad libitum. Gambar 1. Pemeriksaan kebuntingan Sinkronisasi Estrus Sebelum ternak percobaan diberi perlakuan hormon agen luteolitik, dilakukan pemeriksaan status reproduksi untuk memastikan ternak percobaan tidak dalam keadaan bunting. Hormon yang digunakan untuk sinkronisasi estrus adalah preparat PGF2α dengan merek dagang prosolvin (7.5 mg ml -1 LUPROSITOL). Penyuntikan dilakukan secara intramusculer pada bagian labia mayora dengan dosis 1 ml ekor -1. Penyuntikan pada labia mayora dimaksudkan untuk memperpendek jalur kerja hormon dalam mencapai organ targetnya pada ovarium. Konsekuensi dari pemendekan jalur kerja hormon ini adalah adanya kemungkinan melakukan pengurangan konsentrasi hormon yang digunakan untuk sinkronisasi. Konsentrasi hormon prosolvin yang umum digunakan dengan aplikasi secara intramusculer adalah 2 ml/ekor (7.5 mg ml -1 ). Gambar 2. Penyuntikan hormon pada labia mayora

20 Pengamatan Estrus Pengamatan estrus dilakukan dua kali sehari sejak pemberian PGF2α selama empat hari. Fokus perhatian selama pengamatan estrus adalah perubahan fisik pada alat reproduksi bagian luar, yaitu vulva membengkak, merah dan hangat. Selain itu, perubahan tingkah laku kawin (diam dinaiki) juga akan menjadi perhatian selama pengamatan estrus berlangsung. Gambar 3. Vulva bengkak dan merah Koleksi Darah dan Analisis Profil Hormon Koleksi darah dilakukan pada semua ternak sapi percobaan baik yang mendapat perlakuan hormon maupun ternak percobaan yang menjadi kontrol sebanyak enam kali, yaitu satu kali sebelum perlakuan hormon pertama (H-1), dua kali setelah perlakuan hormon pertama (H-2 dan H-3), satu kali sebelum perlakuan hormon kedua (H-12) dan dua kali setelah perlakuan hormon kedua (H-13 dan H- 14). Sampel darah yang telah dikoleksi selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan serum dan plasma serta sel-sel darah. Sampel serum darah sapi percobaan selanjutnya dikumpulkan dan dikemas di dalam mikro tube (1.5 ml) untuk kemudian dianalisis. Analisis kandungan hormon estradiol pada sampel serum darah dilakukan di Laboratorium Analisis Hormon, Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor menggunakan teknik Enzyme Link Immuno Assay (ELISA). Variabel Pengamatan Intensitas estrus, yaitu: tingkat aktivitas tingkah laku estrus yang muncul setelah penyuntikan hormon dilakukan yang dapat dibedakan atas: a) Intensitas tinggi: apabila ternak sapi memperlihatkan semua gejala-gejala estrus, seperti vulva membengkak, merah dan hangat dan diam bila dinaiki. b) Intensitas sedang: apabila ternak sapi memperlihatkan semua gejala-gejala estrus kecuali gejala diam bila dinaiki. c) Intensitas rendah: apabila ternak sapi hanya memperlihatkan sebagian kecil gejala estrus. Kecepatan timbulnya estrus, yaitu interval waktu antara perlakuan sinkronisasi dan timbulnya gejala estrus yang pertama. Interval waktu pengamatan estrus dibuat empat kali, yaitu 24-48 jam, 48-72 jam, 72-96 jam dan 96-120 jam setelah tindakan sinkronisasi. Persentase estrus (%), yaitu perbandingan jumlah ternak sapi yang memperlihatkan estrus dan jumlah sapi yang disinkronisasi dikali 100 persen. Profil hormon estradiol, yaitu gambaran perubahan hormon secara kuantitatif sebelum dan sesudah perlakuan sinkronisasi. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Sapi percobaan yang digunakan sebanyak 20 ekor dengan status reproduksi tidak bunting (kosong), masing-masing 10 ekor sapi Bali dan 10 ekor sapi PO. Sejumlah lima ekor sapi Bali dipilih secara acak dan diberi perlakuan hormon PGF2α dengan dosis 7.5 mg ekor -1, sedangkan lima ekor lainnya tidak mendapat perlakuan hormon (kontrol). Hal ini juga berlaku sama untuk 10 ekor sapi PO, masing-masing lima ekor mendapat perlakuan

21 hormon dan lima ekor lainnya sebagai kontrol. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan masing-masing dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk variabel intensitas estrus dan profil hormon serta analisis Chi-square untuk kecepatan timbulnya estrus dan persentase estrus (Steel dan Torrie, 1990). HASIL DAN PEMBAHASAN Sinkronisasi Estrus Sinkronisasi estrus dengan cara penyuntikan preparat hormon PGF2α (prosolvin) dilakukan pada 10 ekor ternak yang mendapat perlakuan, masing-masing lima ekor sapi Bali dan lima ekor sapi PO. Sedangkan ternak sapi kontrol yang berjumlah 10 ekor (lima ekor sapi Bali dan lima ekor sapi PO) tidak mendapat perlakuan hormon. Sebelas hari kemudian dilakukan penyuntikan ulang pada sapi yang sama kecuali untuk sapi dengan kode OH-3 dan OH-4 karena kedua sapi tersebut telah dikawinkan dengan cara inseminasi buatan pada jam ke-80 setelah PG-1. Intensitas Estrus Intensitas estrus yang muncul pada sapi Bali setelah penyuntikan PG-1 rata-rata pada level sedang (60%) dengan ciri-ciri vulva yang membengkak, merah dan hangat serta beberapa diantaranya ada yang mengeluarkan lendir transparan dan alot, kecuali sapi dengan kode BH-5 menunjukkan intensitas estrus yang tinggi (20%) dengan indikator utama diam dinaiki. Demikian halnya dengan intensitas estrus yang muncul pada sapi PO setelah penyuntikan PG-1 masih pada kisaran sedang (60%) kecuali sapi PO dengan kode OH-3 menunjukkan intensitas estrus yang tinggi (20%). Munculnya variasi intensitas estrus diantara sapi tersebut mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan respon antar individu terhadap perlakuan hormon. Sapi Bali dengan kode BH-4 dan sapi PO dengan kode OH-2 tidak menunjukkan gejala berahi setelah penyuntikan PG-1, tetapi 100% sapi Bali menunjukkan gejala estrus setelah PG-2 dengan intensitas yang sedang (100%), kecuali sapi PO dengan kode OH-2 menunjukkan intensitas estrus yang tinggi. Sapi PO dengan kode OH-3 dan OH-4 telah diinseminasi setelah PG-1 sehingga tidak dilakukan lagi PG-2 yang pada akhirnya data intensitas estrus kedua ekor sapi tersebut tidak bisa terdeteksi. Tabel 1. Intensitas estrus pada Sapi Bali dan PO setelah penyuntikan hormon PGF2α pertama (PG-1) dan kedua (PG-2) Jumlah dan persentase intensitas estrus setelah PG-1/PG-2 Jenis sapi PG-1 PG-2 (jumlah) Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Bali (5) BH-1 BH-2 BH-3 BH-4 BH-5 Total 1 3 5 Persentase (%) 20 60 100 PO (5) OH-1 OH-2 OH-3 * * * OH-4 * * * OH-5 Total 1 3 1 2 Persentase (%) 20 60 33 67 Keterangan: * = Tidak mendapat suntikan PG-2 karena sudah dikawinkan.

22 Kecepatan Munculnya Estrus Pengamatan kecepatan munculnya estrus setelah penyuntikan hormon prostaglandin dilakukan empat kali, yaitu 24-48 jam (I), 48-72 jam (II), 72-96 jam (III) dan 96-120 jam (IV). Hasil penelitian menunjukkan bahwa estrus lebih awal terjadi pada sapi PO dengan angka rata-rata 55 jam sedangkan munculnya estrus pada sapi Bali setelah penyuntikan PG-1 rata-rata terjadi pada jam ke- 64. Sebaliknya pada penyuntikan PG-2 kecepatan munculnya estrus pada sapi PO mengalami perpanjangan hingga jam ke-68 yang sedikit lebih lama dibandingkan munculnya estrus pada sapi Bali (jam ke-64). Respon kecepatan estrus kedua jenis sapi ini memperlihatkan angka yang berbeda. Sapi Bali cenderung memberikan respon yang konstan dari dua kali pemberian hormon, sedangkan sapi PO memberikan respon kecepatan estrus yang berbeda antara PG-1 dan PG-2. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan fisiologis sistem endokrin kedua bangsa sapi tersebut. Tabel 2. Rataan Kecepatan Munculnya Estrus pada Sapi Bali dan PO setelah Penyuntikan Hormon PGF2α Pertama (PG-1) dan Kedua (PG-2) Rataan Kecepatan Munculnya Estrus setelah PG-1/PG-2 (jam) Jenis Sapi PG-1 PG-2 (jumlah) I II III IV I II III IV Bali (5) - 64.25 a - - - 64.24 a - - PO (5) - 55.25 b - - - 68.00 a - - Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5% Persentase Estrus Data persentase estrus pada sapi Bali dan PO setelah penyuntikan hormon PGF2α dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Persentase Estrus pada Sapi Bali dan PO setelah Penyuntikan Hormon PGF2α Pertama (PG-1) dan Kedua (PG-2) Jumlah dan persentase estrus setelah penyuntikan Jenis Sapi PG-1 PG-2 Jumlah (n) (%) Jumlah (n) (%) Bali Kontrol 2 (5) 40 b 2 (5) 40 b Perlakuan 4 (5) 80 a 5 (5) 100 a PO Kontrol 1 (5) 20 c 2 (5) 40 b Perlakuan 4 (5) 80 a 3 (3) 100 a Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5% Persentase munculnya estrus pada sapi percobaan yang merupakan indikator keberhasilan sinkronisasi berkisar antara 80% setelah PG-1 dan 100% setelah PG-2 baik pada sapi Bali maupun sapi PO. Dua ekor sapi PO (OH 3 dan OH 4 ) telah dikawinkan dengan cara inseminasi buatan setelah PG-1, sehingga sapi tersebut tidak dilakukan PG-2. Dengan demikian jumlah sapi yang disinkronisasi dengan PG-2 hanya tiga ekor dan ketiga-tiganya menunjukkan gejala estrus sehingga persentase estrusnya menjadi 100%. Respon estrus yang lebih rendah setelah PG-1 dibandingkan setelah PG-2 mungkin disebabkan oleh status siklus estrus sapi yang masih berada pada fase folikuler sebelum penyuntikan hormon PG-1. Fase folikuler berakhir dengan mulainya corpus luteum

23 berkembang untuk selanjutnya masuk ke fase luteal. Partodihardjo (1987) menyatakan bahwa hormon prostaglandin (PGF2α) hanya efektif diberikan pada sapi dengan fase luteal. Lebih lanjut dikatakan bahwa PGF2α efektif dalam meregresi korpus luteum yang sudah berfungsi tetapi tidak efektif pada corpus luteum yang mulai atau sedang tumbuh. Analisis Profil Hormon Sebelum penyuntikan hormon prostaglandin, status ovarium sapi tidak ditentukan, apakah berada pada fase folikuler atau luteal. Kondisi ini memungkinkan sapi percobaan berada pada berbagai kemungkinan fase siklus estrus seperti yang terlihat pada hasil analisis hormon estradiol pada H-1 baik pada sapi Bali yang berkisar antara 6.4 pg ml -1 sampai dengan 392 pg ml -1 maupun sapi PO dengan kisaran antara 18 pg ml -1 sampai dengan 185.6 pg ml -1. Serum sapi yang memiliki kandungan estradiol yang tinggi diprediksi berada pada fase folikuler sedangkan sapi yang memiliki kandungan estradiol rendah diprediksi berada pada fase luteal. Hal ini didukung oleh pernyataan Toelihere (1985) yang menyatakan bahwa pada fase luteal, kandungan hormon progesteron darah sangat tinggi sehingga aktivitas ovarium dalam menumbuhkan folikel semakin berkurang dan akibat lebih jauh kandungan hormon estradiol menjadi rendah. Sebaliknya pada fase folikuler yang terjadi di sekitar proestrus dan estrus dalam siklus estrus, kadar hormon estradiol dalam darah cukup tinggi. Tabel 4. Hasil Analisis Hormon Estradiol Serum Darah Sapi Bali dan PO yang Dikoleksi Sebelum dan Sesudah Penyuntikan PG-1 dan PG-2 Jenis Sapi Kode Perlakuan H1 H2 H3 H12 H13 H14 Bali Kontrol Konsentrasi hormon estradiol (pg ml -1 ) BK-1 33.2 14.8 8.8 17.6 32.4 48.8 BK-2 94.8 154.8 107.6 108.8 132.0 81.2 BK-3 112.0 98.0 115.2 153.2 126.0 130 BK-4 8.4 25.6 24.4 54 41.2 67.6 BK-5 23.4 26.4 28.8 1.6 3.6 21.2 Rataan 54.4 63.9 57.0 67.0 67.0 69.8 STD 46.0 60.6 50.3 63.4 58.3 40.5 Hormon BH-1 392.8 385.2 455.2 329.2 23.6 6.0 BH-2 42.8 48.0 32.0 22.0 346.0 412.4 BH-3 23.6 56.0 58.4 35.2 13.2 52.4 BH-4 6.4 15.2 9.2 22.8 7.6 30.4 BH-5 117.6 138.0 96.4 105.2 116.8 154.8 Rataan 116.6 128.5 130.2 102.9 101.4 131.2 STD 160.1 150.5 184.5 131.1 143.8 167.1

24 Tabel 4. Lanjutan... Jenis Sapi Kode Perlakuan H1 H2 H3 H12 H13 H14 PO Kontrol OK-1 45.6 48.4 37.2 25.6 37.2 29.2 OK-2 120.0 85.6 90.0 58.8 136.4 168.0 OK-3 30.4 36.4 19.2 29.2 8.4 14.8 OK-4 18.0 23.2 10.0 3.6 9.6 26.0 OK-5 107.2 88.0 52.8 117.2 96.4 126.8 Rataan 64.2 56.3 41.8 46.9 57.6 73.0 STD 46.33 29.23 31.57 43.95 56.69 69.70 Hormon OH-1 38.0 66.8 34.0 60.4 98.2 89.4 OH-2 118.8 123.6 104.8 100.8 102.4 109.8 OH-3 68.4 38.4 59.2 34.4 45.8 51.2 OH-4 185.6 178.4 151.6 112.4 119.4 120.4 OH-5 80.4 59.6 40.4 76.2 72.4 75.6 Rataan 98.2 93.4 78.0 76.8 87.6 89.3 STD 56.8 57.0 49.6 31.3 28.8 27.5 Keterangan: H-1 = sampel darah yang dikoleksi sebelum penyuntikan PG-1; H-2 = sampel darah yang dikoleksi 24 jam setelah PG-1; H-3 = sampel darah yang dikoleksi 48 jam setelah PG-1; H-12 = sampel darah yang dikoleksi sebelum penyuntikan PG-2; H-13 = sampel darah yang dikoleksi 24 jam setelah PG-2; H-14 = sampel darah yang dikoleksi 48 jam setelah PG-2 Hendricks et al. (1971) melaporkan bahwa kadar hormon estrogen pada sapi berkisar antara 15-25 pg ml -1 pada puncak estrus. Sedangkan Lyimo et al. (2000) melaporkan bahwa kejadian sifat estrus berkaitan dengan kadar hormon estradiol dalam darah sapi perah. Pada saat puncak estrus kandungan estradiol pada sapi perah dapat mencapai 7.76±2.39 pg ml -1. Hasil yang bervariasi tentang hubungan antara estrus dan kadar estradiol darah ini mungkin disebabkan oleh perbedaan bangsa sapi yang menjadi sampel percobaan. Demikian halnya dengan hasil penelitian ini, sapi yang menunjukkan gejala estrus dengan intensitas yang sama secara visual setelah perlakuan hormon, ternyata memiliki kadar hormon estradiol yang cukup bervariasi baik pada sapi Bali maupun sapi PO. KESIMPULAN Prostaglandin F2α (PGF2α) cukup efektif menyerentakkan estrus baik pada sapi Bali maupun PO dengan kisaran waktu munculnya estrus pada sapi PO lebih awal dibandingkan dengan sapi Bali. Namun demikian intensitas estrus yang ditunjukkan pada kedua jenis sapi tersebut setelah penyuntikan PGF2α cenderung sama. Hasil analisis hormon estradiol belum menunjukkan indikasi yang sejalan dengan kejadian estrus yang diobservasi secara visual. DAFTAR PUSTAKA Burhanuddin, M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, I.G.K.A.M.K. Dewi, I.G.Ng. Jelantik dan P. Kune. 1992. Efektivitas PGF dan hormon gonadotropin terhadap kegiatan reproduksi sapi Bali di Besipae, Timor Tengah Selatan. Buletin Penelitian Undana. Edisi Khusus, Ilmu Ternak. Hafez, ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th edition. Lea and Febiger, Philadelpia. Hendricks, DM., Dickey, JF. And Hill, JR. 1971. Plasma Estrogen and Progesterone Levels in Cows Prior to

25 and During Estrus. Endocrinology 89(6):1350-1355. Lyimo, ZC., Nielen, M., Ouweltjes,W., Kruip, TAM. and van Eerdenburg, F.J.C.M. 2000. Relationship among estradiol, cortisol and intensity of estrous behavior in dairy cattle. Theriogenology 53:1783-1795. Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Ryan, D.P., S. Snijders, H. Yacub and K.J. O farrell. 1995. Effects of programmed recruitment and ovulation of healthy follicle on oestrus detection and pregnancy rates in lactating dairy cows. J.Reprod.Fert. Abs. Ser.:15:23. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1990. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah. Sumantri B. PT. Gramedia Pustaka Sarana, Jakarta. Toelihere, M.R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung. Toelihere, M.R., I.G.Ng. Jelantik dan P. Kune. 1990. Perbandingan performans produksi sapi Bali dan hasil persilangannya dengan Frisian Holstein di Besipae, Timor Tengah Selatan. Laporan Penelitian Fapet Undana, Kupang.