Rantai Perdagangan Kehutanan

dokumen-dokumen yang mirip
Master TreeGrower (MTG)

Hambatan, Peluang dan Saran Kebijakan

Master. Ringkasan. Rekomendasi

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

Lampiran 1 Data luas lahan yang dimiliki petani hutan rakyat di masing masing desa penelitian No Responden Desa Margajaya

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT. Disampaikan oleh: Dede Rohadi

EFISIENSI PEMASARAN KAYU JABON (Anthocephalus cadamba) (STUDI KASUS HASIL HUTAN RAKYAT DESA WAMBULU KECAMATAN KAPONTORI)

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta

PEMBIBITAN SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PENGHIDUPAN PETANI AGROFORESTRY SULAWESI TENGGARA : POTENSI DAN TANTANGAN

Memperkuat Industri Kopi Indonesia melalui Pertanian Kopi Berkelanjutan dan (Pengolahan) Pascapanen

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hutan. Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan hutan terluas di dunia

RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO.

KEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN. Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

Daftar Isi. Daftar Singkatan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Peluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013)

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KABUPATEN BOGOR DALAM MENDUKUNG KABUPATEN BOGOR TERMAJU DI INDONESIA

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Manfaat hutan rakyat semakin dirasakan oleh masyarakat karena mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan

BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 23/Menhut-II/2007

DISTRIBUSI NILAI TAMBAH DALAM RANTAI NILAI KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) DARI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH,

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI, KEGUNAAN DAN NILAI TAMBAH KAYU DARI HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BOGOR

Hutan Rakyat. Tonny Soehartono

Dampak Pendampingan Terhadap Penghidupan Petani Agroforestri di Sulawesi Tenggara

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

BOKS 2 PENELITIAN POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA MIKRO KECIL INDUSTRI KECIL BATU BATA DI SULAWESI TENGGARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan.

Seminar Nasional Agroforestri 5, Ambon, November 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. secara optimal. Pengelolaan hutan di Negara Indonesia sepenuhnya diatur dan

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 24-34

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 252 / 17 / VI /2015 TENTANG

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Burat

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 01/PRT/M/2012 TENTANG PEDOMAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRINSIP DAN KRITERIA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK USAHA KEBUN SWADAYA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR TENTANG PEDOMAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN JALAN. 1 Pendahuluan

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

Usulan mengenai mekanisme distribusi insentif telah diajukan oleh

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.

PEMASARAN BIBIT SENGON DI DESA KEDUNGLURAH KECAMATAN POGALAN KABUPATEN TRENGGALEK

Dampak Pendampingan Terhadap Penghidupan Petani Agroforestri di Sulawesi Selatan

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN

BRIEF Volume 11 No. 03 Tahun 2017

PENDAPATAN ASLI DAERAH SEKTOR KEHUTANAN PADA ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN MUNA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau

PENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

KEPALA DINAS. Subbagian Perencanaan Program. Bidang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Seksi. Kurikulum dan Pembelajaran

SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT REGIONAL PASIGALA SEBAGAI ANTISIPASI DEGRADASI KETERSEDIAAN AIR PERMUKAAN DI KOTA PALU

Kata Pengantar. Makassar, 10 Desember Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Dekan, Prof. Dr. Jamaluddin Jompa, M.Sc. NIP

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

Tabel 2.8 Realisasi Fisik dan Keuangan Kegiatan Urusan Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan Tahun 2015

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

BAB I PENDAHULUAN. bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna Multi Purpose Tree Species

Transkripsi:

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email: publikasipuspijak@yahoo.co.id; Website: www.puspijak.org ISSN : 2085-787X Volume 8 No. 10 Tahun 2014 Meningkatkan Rantai Perdagangan Kehutanan untuk Mengembangkan Bisnis Hutan Rakyat Setiasih Irawanti, Nunung Parlinah, Aneka Prawestisuka Ringkasan Rekomendasi Dewasa ini hutan rakyat telah berhasil mendorong pertumbuhan perdagangan kayu dan industri pengolahan kayu di daerah pedesaan, kabupaten, provinsi dan antar provinsi, memenuhi permintaan petani akan kayu bangunan, serta membuka peluang bisnis untuk memanfaatkan lahan masyarakat. Namun para petani, penyuluh, lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendamping petani masih menghadapi berbagai keterbatasan. Terkait hal tersebut, pengembangan bisnis hutan rakyat memerlukan kondisi pendukung berupa peran pemerintah melalui pembangunan pedesaan dan penyuluhan, peran industri kehutanan yang kadangkala dapat menggantikan peran pemerintah melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dan Community Development, serta reformasi pasar melalui keterbukaan informasi pasar. 1. Diperlukan dukungan swasta, utamanya industri pengolahan kayu untuk membuka akses teknologi bagi petani berupa pemberian bantuan/ pinjaman peralatan (chainsaw/ bandsaw) atau membuka akses pasar berupa pemberian uang muka pembelian kayu dari dana CSR, agar petani dapat memperluas keterlibatannya sepanjang rantai pemasaran kayu rakyat, seperti berperan sebagai pedagang kayu atau sebagai pemilik penggergajian. 2. Diperlukan dukungan kebijakan pemerintah daerah untuk menghapuskan kebijakan perdagangan dan ijin penebangan yang bersifat disinsentif dalam rangka mendorong petani untuk lebih aktif dalam menanam pohon. 3. Diperlukan dukungan kebijakan pemerintah pusat utamanya Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan untuk memberi sosialisasi tentang sertifikasi hutan rakyat dan produk olahannya dalam kaitannya dengan harga dan pemasaran kayu rakyat kepada para petani, penyuluh, LSM pendamping petani, dan pemerintah kabupaten. Ringkasan 1

Pendahuluan Pembangunan hutan rakyat di Indonesia didorong oleh beberapa program pemerintah yang bertujuan merehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Antara tahun 1970 s/d 1990-an ada Program Inpres Penghijauan, Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK-DAS), Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR), dan saat ini masih ada program Kebun Bibit Rakyat (KBR), Bantuan Langsung Masyarakat untuk Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM- PPMBK), dan Kebun Bibit Desa (KBD) yang menyediakan bibit tanaman kayukayuan dan buah-buahan. Setelah beberapa dekade dikembangkan, kini hutan rakyat telah berhasil mendorong pertumbuhan perdagangan kayu dan industri pengolahan kayu di daerah pedesaan, kabupaten, provinsi dan antar provinsi, memenuhi permintaan petani akan kayu bangunan, serta membuka peluang bisnis untuk memanfaatkan lahan masyarakat. Perdagangan dan industri pengolahan kayu rakyat kini telah berkembang luas. Perdagangan kayu di Gunungkidul, Konawe Selatan, dan Sumbawa didominasi oleh jati (Tectona grandis). Di Bulukumba perdagangan didominasi oleh jati dan bitti (Vitex cofassus) untuk membuat perahu tradisional phinisi. Di Pati perdagangan didominasi oleh sengon (Paraserianthes falcataria). Rantai perdagangan kayu rakyat umumnya melibatkan petani, pedagang, dan industri di mana masing-masing melakukan kegiatan untuk menciptakan nilai tambah. Sejalan dengan pencapaian sasaran pembangunan sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2 dan 3, untuk lebih meningkatkan peran hutan rakyat dalam pembangunan nasional maka perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia petani dengan membangun kemampuan ilmu dan teknologi, serta memperkuat daya saing perekonomian rakyat yang berbasis sumber daya alam. Upaya ini dapat dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan pemerataan pembangunan di mana intervensi oleh pemerintah dapat dilakukan melalui kebijakan atau regulasi dan kebijakan anggaran. Penelitian ini dilakukan di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Gunungkidul Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan menggunakan metode analisis rantai-nilai, artikel ini menguraikan bahwa petani perlu memahami rantai-nilai kayu yang mereka hasilkan serta perlu ada kebijakan/regulasi dari pemerintah. 2 Meningkatkan Rantai Perdagangan Kehutanan untuk Mengembangkan Bisnis Hutan Rakyat

Rantai Pemasaran Kayu Beberapa model rantai-nilai sangat mungkin ditemukan di satu lokasi, di mana model rantai Petani-Pedagang- Industri Pengolah selalu ditemukan di semua lokasi, sedangkan model yang lain bervariasi. Pedagang menjadi pelaku pemasaran yang penting bagi kayu rakyat dan memiliki berbagai peran dalam rantai-nilai, meskipun tidak selalu mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada petani, hanya saja pedagang mendapatkan keuntungan dalam waktu yang relatif singkat sedangkan petani harus menunggu selama 6 tahun untuk sengon atau 20-30 tahun untuk jati, Individual petani Pedagang/ perantara Pengolah/ industri Pengolah/ industri Gambar 1. Model rantai-pemasaran kayu rakyat Semakin banyak pedagang di suatu daerah akan mendorong terjadinya harga yang lebih wajar bagi pasar kayu. Faktor pendorong utama dari perdagangan kayu rakyat adalah tingginya permintaan pasar dan harga premium khususnya untuk kayu bersertifikat. Faktor yang menjadi tantangan adalah keterbatasan pengetahuan petani tentang informasi pasar, cara mengelola tanaman kayu, cara menghitung volume kayu, serta biaya sertifikasi yang tidak dapat dikompensasi oleh harga premium sehingga diperlukan sumber pembiayaan lain. Analisis rantai-nilai juga memberikan informasi mengenai biaya, manfaat dan risiko yang dihadapi pedagang. Berdasar informasi ini, petani hutan rakyat dapat mempertimbangkan untuk berpartisipasi sepanjang rantainilai seperti pada kegiatan pemanenan dan pengangkutan kayu ke pasar primer. Selain itu, kayu jati dari luar Jawa umumnya diperdagangkan sebagai balok atau papan ke pulau Jawa untuk diolah lebih lanjut menjadi mebel yang dijual ke pasar dalam negeri dan ekspor. Rantai Pemasaran Kayu 3

Bulukumba Konawe Selatan Sumbawa Gambar 2. Pemasaran kayu jati antar-pulau ke Jawa Kebijakan dan peraturan pemerintah yang tidak tepat dapat menyebabkan hambatan perdagangan dan biaya transaksi tinggi. Biaya transaksi relatif lebih rendah di Jawa seiring dengan penyederhanaan peraturan melalui Permenhut No. 30/2012, namun kurang berpengaruh di luar Jawa. Sebagai contoh untuk mendapatkan Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) di wilayah Sumbawa yang jangka berlakunya satu tahun diperlukan ijin Bupati, peta lahan yang disahkan oleh Kepala Desa dan pejabat kehutanan, sertifikat tanah atau Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Badan Pertanahan Kabupaten, dilakukan survei oleh dinas teknis daerah, melunasi pungutanpungutan, dan membuat laporan hasil produksi. Ini semua dipandang memberatkan petani. Nilai Tambah pada Rantai- Nilai Kayu Rakyat Harga kayu dipengaruhi berbagai faktor seperti spesies, kualitas, tahapan sepanjang rantai pemasaran, waktu, mengikuti skema sertifikasi atau tidak. Diameter log merupakan faktor penting yang menentukan harga kayu dan harga akan berbeda secara signifikan sesuai kualitas kayu. Sebagai contoh, harga jual log sengon diameter 10-50 cm up di tingkat pedagang Pati adalah Rp 395.000 Rp 1.125.000/m 3, sedangkan harga jual log jati di tingkat pedagang Gunungkidul adalah Rp 2.600.000 Rp 2.629.990/m 3. Nilai tambah yang diterima oleh petani hutan rakyat lebih kecil/lebih besar daripada yang diterima oleh pedagang namun bedanya tidak nyata. Sementara itu rentang waktu yang dibutuhkan oleh petani lebih panjang yaitu enam tahun untuk sengon dan 20-30 tahun untuk jati dibanding dengan pedagang kayu yang hanya beberapa minggu saja. 4 Meningkatkan Rantai Perdagangan Kehutanan untuk Mengembangkan Bisnis Hutan Rakyat

Gambar 3. Nilai tambah dalam rantai pemasaran kayu rakyat (Rp/m 3 ). Hutan rakyat di Gunungkidul mendapat sertifikat dari LEI dan di Konawe Selatan mendapat sertifikat dari FSC. Dengan alasan tersebut koperasi di dua lokasi tersebut menjual kayu dengan harga sangat tinggi dengan pemahaman bahwa kayu bersertifikat memiliki harga jual tinggi. Akibatnya harga jualnya tidak dapat bersaing dengan harga jual dari pedagang kayu, sehingga mematikan rantai pemasaran produk kayu. Sebagai contoh, harga jual log jati di kelompok tani Gunungkidul sekitar dua kali lebih tinggi daripada harga jual pada individu petani di desa lain sehingga kelompok tani tersebut hanya dapat menjual kayu sampai tahun 2011 karena pedagang (CV Dipantara) sebagai pembelinya merugi. Demikian pula, harga jual balok jati di Koperasi Konawe Selatan dua kali lebih tinggi daripada harga jual di tingkat pedagang Konawe Selatan sehingga perdagangan antar pulau balok jati dari koperasi di Konawe Selatan ke Jawa hanya terjadi sampai tahun 2010. Terkait hal tersebut diperlukan sosialisasi kepada petani, penyuluh, LSM pendamping petani, dan pemerintah kabupaten tentang sertifikasi hutan rakyat dan produk olahannya dalam kaitannya dengan pemasaran kayu rakyat. Dalam rantai pemasaran, sertifikasi dapat menyediakan akses pasar yang lebih kuat dan harga premium bagi petani hutan rakyat, dan kadang-kadang industri bersedia memberikan CSR kepada petani berupa uang muka dalam pembelian bahan baku kayu. Sebagai contoh, pabrik bersedia membayar uang muka kepada petani sebesar 30% dari nilai kayu, atau petani menerima harga premium sebesar Rp 100.000/ m 3 kayu yang dijual karena kayunya diolah menjadi produk bersertifikat. Contoh pada produk mebel, CSR dari importir mebel di luar negeri disalurkan langsung ke pabrik mebel di Jawa Nilai Tambah pada Rantai-Nilai Kayu Rakyat 5

untuk membangun program sertifikasi hutan rakyat, di mana pembayaran dari pabrik kepada petani sebagian dalam bentuk pelatihan petani dan sebagian dalam bentuk uang tunai. Ada pula pabrik pengolahan kayu yang bersedia meminjamkan bandsaw kepada petani agar dapat memasok kayu gergajian/ balken sebagai bahan baku papan sambung yang bersertifikat. Peraturan tentang ijin penebangan dan dokumen pengangkutan kayu cenderung menyebabkan hambatan pemasaran dan biaya transaksi yang tinggi dalam pemasaran kayu. Potensi kayu jati di desa Semamung Kabupaten Sumbawa menghadapi kesulitan dalam pemasaran karena harus dilengkapi dengan dokumen resmi. Sebagian besar petani tidak memiliki sertifikat tanah yang diperlukan untuk memperoleh IPKTM dan untuk memperoleh sertifikat tanah dikenakan biaya sebesar Rp 2.500.000/ha. Akibatnya, nilai kayu rakyat di tingkat pedagang sangat rendah. Di Gunungkidul, biaya dokumen transportasi kayu sekitar 7-13% dari biaya pemasaran. Di Konawe Selatan, biaya retribusi dan dokumen transportasi adalah 32% dari biaya pemasaran. Pedagang dalam banyak kasus membayar biaya transaksi, yang menyebabkan penurunan harga log di tingkat petani. Biaya transaksi di bawah peraturan saat ini bersifat disinsentif bagi investasi hutan rakyat. Hasil penelitian ini memberikan justifikasi yang kuat untuk menyederhanakan berbagai peraturan terkait dengan pemasaran kayu rakyat. 6 Meningkatkan Rantai Perdagangan Kehutanan untuk Mengembangkan Bisnis Hutan Rakyat

Kesimpulan 1. Pedagang kayu memainkan peran penting dalam rantai-nilai kayu rakyat, namun mereka perlu mengetahui pasar, peraturan, dan memiliki kemampuan untuk melakukan pemanenan dan pengangkutan kayu. 2. Petani perlu memahami bahwa peluang pasar kayu yang mereka hasilkan sangat tergantung pada kesediaannya untuk mengelola tanaman hutannya karena akan mempengaruhi kualitas dan volume kayu yang dihasilkan. 3. Pengembangan bisnis hutan rakyat memerlukan kondisi pendukung berupa peran pemerintah melalui pembangunan pedesaan dan penyuluhan, peran industri kehutanan yang kadangkala dapat menggantikan peran pemerintah melalui CSR dan Community Development, serta reformasi pasar melalui keterbukaan informasi pasar sehingga meningkatkan harga kayu. Ucapan Terimakasih Penulis menyampaikan penghargaan kepada petani hutan rakyat dan pimpinan Dinas Kehutanan yang memberikan waktu mereka untuk mendiskusikan pengalaman mereka mengenai hutan rakyat. Juga, penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang bekerja pada proyek penelitian Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in Indonesia atas informasi yang dilaporkan dalam artikel ini. Proyek penelitian ini menerima dukungan keuangan dari Australian Centre for International Agricultural Research selama 2011-2014. Kesimpulan 7

Referensi Oktalina, S.N., Rohman, & L. W. Ningrum. 2013. Evaluation of the Dominant Business Models of CBCF being Implemented by Government and the Private Sector. Overcoming Constraints to Community- Based Commercial Forestry in Indonesia- ACIAR Project FST/2008/30, Faculty of Forestry, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Hayati, N., Rizal H.B., A., & Kadir W., A. 2013. Analisis Rantai-Nilai Kayu CBCF di Kabupaten Konawe Selatan (Value Chain Analysis of Timber in Community-based Commercial Forestryin District of South Konawe). Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in Indonesia-ACIAR Project FST/2008/30, Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Makassar. Hayati, N., Rizal H.B., A., & Kadir W., A. 2013. Analisis Rantai-Nilai Kayu CBCF di Kabupaten Bulukumba (Value Chain Analysis of Timber in Community-based Commercial Forestry in District of Bulukumba). Overcoming Constraints to Community- Based Commercial Forestry in Indonesia- ACIAR Project FST/2008/30, Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Makassar. Parlinah, N., Irawanti, S., & Suka, A.P. 2013. Laporan Research Task#3, Value Chain Analysis of CBCF Kabupaten Pati (Analisa Rantai Nilai Kayu CBCF di Kabupaten Pati). Overcoming Constraints to Community- Based Commercial Forestry in Indonesia ACIAR-Project FST/2008/30, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, Bogor. Syafii, S. 2013. Rantai Nilai Community Based Comercial Forestry (CBCF) Desa Semamung Kabupaten Sumbawa NTB. Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in Indonesia- ACIAR Project FST/2008/30, WWF Indonesia, Sumbawa. 8 Meningkatkan Rantai Perdagangan Kehutanan untuk Mengembangkan Bisnis Hutan Rakyat