BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Belanja Pemeliharaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. noumus berarti hukum atau peraturan. Menurut UU No.32 Tahun 2004 otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR. Djoko Sartono, SH, M.Si Laporan Keuangan Kabupaten Sidoarjo

BAB III ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya dari tahun ke tahun sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan, walau dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

AKUNTANSI PENDAPATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN MODEL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu tentang Pengaruh Fiscal Stress terhadap Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keuangan Daerah. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

ketentuan perundang-undangan.

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peningkatan kesejahteraan (Tambunan, 2009 : 44). Proses pembangunan ekonomi

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dari segala bidang. Pembangunan tersebut bertujuan

BAB II KAJIAN TEORI. pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi. rencana pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Yuwono, 2008: 85).

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah-daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. memberikan kesempatan serta keleluasaan kepada daerah untuk menggali

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

BAB III KONTRIBUSI PENDAPATAN PAJAK PARKIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KOTA SEMARANG

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB II KAJIAN TEORITIS. Menurut Mardiasmo (2002: 132), pendapatan asli daerah adalah

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam naungan

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Teori 2.1.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang dinyatakan secara formal dalam ukuran kuantitatif, biasanya dalam satuan uang (perencanaan keuangan), untuk menunjukkan perolehan dan penggunaan sumbersumber suatu organisasi. Anggaran digunakan untuk membantu manajemen untuk melihat dan mengontrol pelaksanaan visi, goals, objectives, strategi dan programprogram. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Menurut Halim (2004 : 15) : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu Anggaran daerah yang memiliki unsurunsur sebagai berikut : rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci; adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan; jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka; periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun. Menurut UU No. 33 tahun 2004, Anggaran pendapatan dan belanja daerah yang selanjutnya disebut APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

Unsur-Unsur APBD menurut Halim (2004 : 16) adalah : 1) Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci. 2) Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan. 3) Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. 4) Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun. Prinsip-prinsip penting dalam mengelola keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi hal-hal berikut ini (Yuwono,2005:58) 1) Transparansi, adalah keterbukaan dalam proses perencanaan,penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah. Transparansi memberikan arti bahwa anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. 2) Akuntabilitas, adalah pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut,tetapi juga berhak menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.

3) Value for money, yakni diterapkan tiga prinsip dalam proses penganggaran daerah yaitu ekonomi,efisiensi dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik.dalam konteks otonomi daerah,value for money merupakan jembatan untuk mengantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (publik money) yang mendasar konsep value for money diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah memliki sistem akuntansi yang baik. 2.1.2. Struktur APBD Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, APBD terdiri atas 3 bagian, yaitu : 1) Pendapatan Daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Komponen pendapatan daerah yaitu pendapatan asli daerah

dan dana perimbangan dari pusat berupa dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. 2) Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. 3) Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali daan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. 2.1.3. Belanja Modal Berdasarkan Permendagri No.59/2007 Pasal 53, belanja modal adalah untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan. Nilai aset tetap berwujud dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/ pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi (capitalization threshold) sebagai dasar pembebanan belanja modal. Belanja Modal dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Belanja Modal Tanah Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/ penyelesaian, balik nama dan sewa tanah,

pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertipikat,dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai 3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan yang dimaksud dalam kondisi siap pakai. 4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/ pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

5. Belanja Modal Fisik Lainnya Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/ pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah. Belanja daerah adalah semua kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (ekuitas dana) dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut Permendagri No.13 Tahun 2006,belanja daerah adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Istilah belanja (expenditure) sebagaimana yang dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran pemerintah,juga mempunyai pengertian yang berbeda dengan istilah beban (expense) yang dilaporkan dalam laporan keuangan bisnis (perusahaan). Berdasarkan PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan

perundang-undangan. Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, anggaran belanja daerah,dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, baik dari segi cakupan jenis dana yang didaerahkan,maupun besaran alokasi dana yang didaerahkan. Belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006 terdiri atas: Belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: a. Belanja Pegawai b. Belanja Bunga c. Belanja Subsidi d. Belanja Hibah e. Belanja Bantuan Sosial f. Belanja Bagi Hasil g. Belanja Bantuan Keuangan h. Belanja tidak terduga. Kelompok Belanja Langsung dibagi menurut jenis belanjanya yang terdiri dari: a. Belanja Pegawai

b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Modal Menurut Halim (2004:18),belanja daerah digolongkan menjadi 4,yaitu: a. Belanja aparatur daerah b. Belanja pelayanan publik c. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan d. Belanja tidak tersangka. Menurut Halim (2004:73),belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. 2.1.4. Pendapatan Asli Daerah Menurut UU No.33 Tahun 2004,pendapatan asli daerah (PAD)merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudkan asas desentralisasi. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengisyaratkan bahwa Pemerintah Daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri diberikan sumbersumber pedapatan atau penerimaan keuangan Daerah untuk membiayai seluruh

aktivitas dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara adil dan makmur. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu : pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah. Berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006,PAD dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daearh yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengaadan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran/ cicilan penjualan.

Menurut Halim (2007 : 96) kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan: a. Pajak Daerah. Pajak Daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 merupakan kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran daerah. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 pasal (2) jenis pajak untuk kabupaten/ kota terdiri atas: 1. Pajak Hotel, 2. Pajak Restoran, 3. Pajak Hiburan, 4. Pajak Reklame, 5. Pajak Penerangan Jalan, 6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, 7. Pajak Parkir, 8. Pajak Air Tanah, 9. Pajak Sarang Burung Walet, 10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;dan 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. b. Retribusi Daerah. Menurut Halim (2002:67), retribusi daerah merupakan pendapatan daerah

yang berasal dari retribusi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintah daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberin diskresi dalam penetapan tarif. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan Menurut Halim (2004:68), Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil Pengelolaan kekayaan milik Daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan Daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik Daerah dan pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan. Jenis hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan berdasarkan Permendagri No.59/2007 pada ayat (1) merupakan: 1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumd. 2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah / BUMN.

3) Bagian laba penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. d. Lain-lain PAD yang sah. Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Lainlain PAD yang sah antara lain penerimaan daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset daerah. Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud dalam Permendagri No. 59/2007 meliputi: 1. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, 2. jasa giro, 3. pendapatan bunga, 4. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, 5. komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah, 6. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, 7. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, 8. Pendapatan denda pajak, 9. Pendapatan denda retribusi, 10. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, 11. Pendapatan dari pengembalian, 12. Fasilitas sosial dan fasiltas umum, 13. Pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)

2.2. Penelitian Terdahulu Try Indraningrum(2011) melakukan penelitian dengan topik pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja langsung.hasil dari penelitian ini PAD dan DAU mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja langsung.hal tersebut berarti pemerintah daerah dapat memprediksi anggaran belanja langsung didasarkan pada Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Arny Yuniar (2013) melakukan penelitian dengan topik Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal(studi kasus pada kabupaten dan kota Se-Jawa Barat Tahun 2011). Berdasarkan hasil penelitian secara deskriptif menunjukan bahwa PAD terendah adalah Kota Banjar, namun dalam hal rasio belanja modal dan belanja daerah, Kota Banjar merupakan kota dengan rasio tertinggi. Selain itu, hasil perhitungan hipotesis menunjukan persamaan berupa Y =7.369.138.125,5+0.734X, dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa, jika X adalah 0 maka pendapatan asli daerah adalah 7.369.138.125,5 sedangkan nilai 0,734 artinya setiap peningkatan pendapatan asli daerah sebesar Rp 1,- maka akan mengakibatkan kenaikan pada belanja modal sebesar 0,734 kali, Dari hasil tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara pendapatan asli daerah terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Jawa Barat pada tahun 2011. Muhammad Edwin Kadafi (2013) melakukan penelitian dengan topik Pengaruh PAD dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Bandung). Berdasarkan uji F, dapat disimpulkan bahwa variabel pendapatan asli daerah dan dana perimbangan secara simultan

berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian belanja modal. Selanjutnya, hasil uji t menunjukkan bahwa variabel pendapatan asli daerah dan dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Sandry Yossi Mamonto,J.B.Kalangi dan Krest D. Tolosong (2015) melakukan penelitian dengan topik pengaruh pajak daerah dan retribusi daerah terhadap belanja modal di kabupaten Bolaang Mongondow. Hasil penelitian ini adalah Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa secara parsial variabel Pajak Daerah tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal dan variabel Retribusi Daerah juga tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Kemudian secara simultan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Peneliti /. Tahun 1. Try Indraningrum (2011) Judul Penelitian Pengaruh PAD dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Langsung (Studi pada Pemerintah daerah kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah) Variabel Penelitian Pendapatan Asli Daerah,Dana Alokasi Umum dan Belanja Modal Hasil Penelitian PAD dan DAU mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja langsung.hal tersebut berarti pemerintah daerah dapat memprediksi anggaran belanja langsung didasarkan pada Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum.

2. Arny Yuniar (2013) Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal (studi kasus pada kabupaten dan kota Se- Jawa Barat Tahun 2011) Pendapatan Asli Daerah, dan Belanja Modal. Berdasarkan hasil penelitian secara deskriptif menunjukan bahwa PAD terendah adalah Kota Banjar, namun dalam hal rasio belanja modal dan belanja daerah, Kota Banjar merupakan kota dengan rasio tertinggi. Selain itu, hasil perhitungan hipotesis menunjukan persamaan berupa Y =7.369.138.125, 5+0.734X, dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa, jika X adalah 0 maka pendapatan asli daerah adalah 7.369.138.125,5 sedangkan nilai 0,734 artinya setiap peningkatan pendapatan asli daerah sebesar Rp 1,- maka akan mengakibatkan kenaikan pada belanja modal sebesar 0,734 kali, Dari hasil tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara pendapatan asli daerah terhadap belanja modal pada kabupaten

3. Muhammad Edwin Kadafi (2013) Pengaruh PAD dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Bandung) Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Belanja Modal dan kota di Jawa Barat pada tahun 2011. Berdasarkan uji F, dapat disimpulkan bahwa variabel pendapatan asli daerah dan dana perimbangan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian belanja modal. Selanjutnya, hasil uji t menunjukkan bahwa variabel pendapatan asli daerah dan dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. 4. Sandry Yossi Mamonto, J.B. Kalangi dan Krest D.Tolosang (2015) Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Belanja Modal di Kabupaten Bolaang Mongondow Periode 2004-2013. Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Belanja Modal. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa secara parsial variabel Pajak Daerah tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal dan variabel Retribusi Daerah juga tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Kemudian secara simultan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga tidak berpengaruh

terhadap Modal. Belanja 2.3. Kerangka Konseptual Peningkatan masyarakat dapat mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Peningkatan pelayanan masyarakat ini merupakan unsur yang penting mengingat paradigma yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalah pembayaran pajak dan retribusi ini sudah merupakan hak daripada kewajiban masyarakat terhadap negara karena adanya pelayanan dari Negara (Sukarwo,2003). Peningkatan pelayanan ini dilakukan dengan pengalokasian belanja modal untuk pembangunan aset pelayanan publik. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD (Mardiasmo,2002). Pengalokasian belanja modal pada dasarnya ditujukan dengan harapan akan memberikan kemajuan bagi daerah tersebut. Kemajuan suatu daerah dilihat dengan berbagai indikator. Salah satu dari imdikator yang sering dilihat adalah pendapatan asli daerah tersebut. Dengan kata lain, penentuan kebijakan belanja modal juga berhubungan dengan peningkatan pendapatan asli daerah.

Variabel Independen Variabel Dependen PAJAK DAERAH H 1 (X 1 ) RETRIBUSI DAERAH (X 2 ) H 2 H 5 BELANJA MODAL HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH YANG DIPISAHKAN (X 3) H 3 (Y) LAIN-LAIN YANG SAH (X 4 ) PAD H 4 Gambar 2.1. Kerangka Konseptual 2.4.Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka peneliti membuat hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD yang sah mempunyai pengaruh secara parsial dan simultan terhadap Belanja Modal pada pemerintah kabupaten/kota di Kalimantan Tengah