Oleh Juwono Sudarsono

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG

Universitas Sumatera Utara REKONSTRUKSI DATA B.1. Analisa

BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, korban jiwa

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York,

Sambutan Pengantar Presiden RI pada Sidang Kabinet Paripruna, Jakarta, 27 Oktober 2011 Kamis, 27 Oktober 2011

(1) PENCERMATAN DAN PERNYATAAN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG LANGKAH-LANGKAH KOMPREHENSIF PENANGANAN MASALAH POSO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tahun Sidang : Masa Persidangan : IV Rapat ke :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB I PENDAHULUAN. Pusat yang dilakukan oleh beberapa teroris serta bom bunuh diri.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003

Telah terjadi penembakan terhadap delapan TNI dan empat warga oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bagaimana tanggapan Anda terkait hal ini?

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok kelas menengah ke bawah, lebih banyak didorong oleh

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 50 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMANTAUAN TENAGA KERJA ASING DI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional.

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA. New York, 23 September 2003

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1961 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEPOLISIAN NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menelan banyak korban sipil tersebut. Media massa dan negara barat cenderung

2016, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang P

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG TEKNIS PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMANTAUAN TENAGA KERJA ASING DI DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV POTA (PREVENTION OF TERRORISM ACT) SEBAGAI UPAYA PEMERINTAH MALAYSIA DALAM MEMBENDUNG TERORISME GLOBAL DAN FAKTOR PENDORONG DIBUATNYA POTA

Ancaman Terhadap Ketahanan Nasional

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2010 TENTANG KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. Eksistensi pemberitaan terorisme tidak pernah hilang menghiasi

Bom Solo sebagai bentuk pengalihan isu yang mendera partai berkuasa?

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

Jakarta, 6 Agustus Kepada Yang Terhormat:

PROVINSI BALI PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-02.KP TAHUN 2010 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI IMIGRASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berawal dari aksi teror dalam bentuk bom yang meledak di Bali pada

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 54 TAHUN 2002

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

NO. JENIS/ SERIES ARSIP RETENSI KETERANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

KEDUDUKAN KONSTITUTIONAL KEPOLISIAN DALAM TATA-PEMERINTAHAN NEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Muslim dunia (Top ten largest with muslim population, 2012). Muslim

BAB I PENDAHULUAN. signifikan terhadap perkembangan penetapan hukum di dunia ini, dimana

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Jokowi dan Skenario Kapolri Selasa, 20 Januari 2015

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, dengan jumlah penduduk Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2013 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 8 Tahun : 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

Oleh Juwono Sudarsono MALAPETAKA di Bali, yang merenggut lebih dari 180 jiwa pada 12 Oktober 2002, akhirnya menegaskan keberadaan kelompok teror di Indonesia yang terkait dengan terorisme internasional. Demikian pernyataan resmi Pemerintah Indonesia usai sidang kabinet pada Senin 14 Oktober yang lalu. Yang masih dalam penyelidikan aparat hukum dan keamanan adalah "kelompok teror di Indonesia" yang mana, dan bagaimana "kaitan"-nya dengan "terorisme internasional" yang mana. Pertanyaan-pertanyaan sekitar peristiwa 12 Oktober 2002 di Bali itu penting bagi kita, karena beragam tanggapan terhadap malapetaka di Bali tidak lepas dari persoalan siapa yang memberi tanggapan, bagaimana yang bersangkutan merumuskan tanggapannya, dan apa maksud menyampaikan tanggapannya itu. Ragam tanggapan berupa pernyataan, komentar bahkan tudingan-balik telah muncul di berbagai media sehingga lengkaplah simpang siur pendapat di kalangan masyarakat Indonesia yang dihujani berbagai versi "teori konspirasi" atau "teori dalang" yang amat digemari kalangan media massa, terutama televisi. Sebagian menanggap di Indonesia, misalnya, berpandangan bahwa ledakan itu adalah "rekayasa Amerika Serikat (AS)" yang bermaksud untuk "menekan Pemerintah Indonesia" agar menangkap "orang Islam" yang dituduh terkait atau ikut membina "kelompok teroris Islam" yang sudah ditangkap aparat keamanan di Malaysia, Singapura, dan Filipina, sejak akhir tahun 2001. Sebagian pejabat eksekutif dan legislatif Indonesia menganut pandangan ini, yang berpijak pada keyakinan bahwa Indonesia (dan khususnya umat Islamnya) sengaja disudutkan oleh pemerintah asing, khususnya AS. Sebagian lagi, termasuk mereka yang disebut sebagai "pengamat intelijen", berpendirian bahwa ledakan di Legian adalah perbuatan CIA (Central Intelligence Agency) dengan maksud "mengadu domba rakyat Indonesia" agar Indonesia "tetap dalam cengkeraman imperialisme ekonomi AS". Sebagian lagi politisi dan pengamat malah yakin bahwa ledakan bom di Bali itu dilakukan oleh 1 / 5

"orang-orang Orde Baru dan unsur-unsur mantan TNI" yang "ingin melemahkan pemerintahan Megawati". Ironinya, menuding CIA sebagai dalang di balik setiap peristiwa biasanya dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, selama tahun 1948-1967, diteruskan oleh pengamat Marxis dan neo-marxis tahun 1970-an di AS dan Eropa hingga sekarang. Oleh karena semua pernyataan, komentar, dan tudingan-balik di Indonesia mengandung unsur spekulasi panas bahwa segala kejadian politik "pasti ada da-langnya", maka tiap pandangan dianggap "masuk akal" dan cepat melayani berbagai selera konsumsi politik Indonesia. Meskipun dahsyat, menarik dan mengasyikkan, teori konspirasi dan teori dalang sesungguhnya menunjukkan bahwa sebagian bangsa kita masih amat mudah melemparkan kesalahan kepada pihak luar untuk menutupi kelemahan diri kita sendiri. *** MASALAH bagaimana mengatasi terorisme (baik nasional, regional Asia Tenggara, ataupun global) juga jadi bahan perdebatan di berbagai acara gelar wicara televisi. Sebagian politisi dan pengamat menyalahkan lemahnya aparat intelijen Indonesia, khususnya Badan Intelijen Negara dan Bais (Badan Intelijen Strategis TNI) dalam bekerja sama dengan aparat intelijen negara Asia Tenggara. Ada yang mengusulkan agar dibentuk badan baru yang dapat menjalin koordinasi dan tindakan intelijen di bawah satu atap. Sebagian lagi mengusulkan agar undang-undang antiterorisme secepatnya diluluskan di DPR. Ada pula yang berpendapat bahwa ledakan bom di Bali itu terjadi akibat pemisahan Polri dari TNI sehingga koordinasi antar-aparat menjadi lemah, karena itu, katanya, sebaiknya Polri-TNI disatukan lagi. Semua usulan itu lebih bersifat perubahan bentuk formal yuridis, yang pelaksanaannya secara efektif hanya dapat dijawab dengan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi obyektif para anggota aparat intelijen berpangkat paling rendah di lapangan: Adakah dia dibekali dengan pendidikan, latihan, perlengkapan, dan dukungan logistik yang memadai. Pengumpulan data dan operasi intelijen memerlukan ketelitian dan pembiayaan mahal, meski mahal itu relatif kecil dibandingkan dengan nilai penyelamatan nyawa dan harta yang dapat dihindari dari 2 / 5

tindakan teror. Bagaimanakah sebaiknya langkah pencegahan melawan terorisme di kemudian hari? Pertama, intelijen negara mana pun tidak mungkin mengantisipasi setiap peristiwa sehingga mencapai 100 % kesempurnaan dalam deteksi dan pencegahan. Di negara-negara maju sekalipun diakui bahwa semahal dan secanggih apa pun intelijen elektronik, tak ada satu pun alat teknologi yang dapat dengan jitu membaca setiap saat motivasi perilaku perorangan atau kelompok orang teroris. Yang maksimal dapat dilakukan adalah meningkatkan kadar intelijen manusia sehingga perilaku perorangan atau kelompok teror dapat terpantau dan dideteksi melalui intuisi tajam atas dasar pengalaman matang di lapangan. Hal ini terutama berlaku untuk setiap petugas polisi dan tentara, tetapi juga petugas kejaksaan, imigrasi, bea dan cukai, serta aparat lain yang berhubungan dengan lalu lintas darat, laut, dan udara, di dalam dan di luar negeri. Kewaspadaan harus dipadu dengan daya cipta yang tinggi, sebab peristiwa 12 Oktober 2002 di Bali termasuk di luar jangkauan "masuk akal" yang lazim. Kedua, harus ada keberanian politik agar temuan intelijen secepat mungkin menjadi bahan verifikasi hukum agar setiap tindakan menghasut, menyebar kebencian, kekerasan, perbuatan menakut-nakuti orang lain apalagi teror, dapat ditindak berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sesung-guhnya cukup banyak mengandung pasal-pasal yang langsung dapat dikenakan terhadap setiap orang atau kelompok (agama, suku, ras, dan kedaerahan) yang nyata-nyata melanggar ketertiban umum, termasuk perbuatan yang menggunakan kekerasan dan mengganggu kenyamanan masyarakat. Selama ini, alasan "menunggu payung hukum" berupa undang-undang antiterorisme hanya memperkuat dugaan bahwa aparat keamanan, baik Polri maupun TNI, kurang memiliki kemauan politik untuk menindak pelaku tindak pidana tanpa pandang bulu. Tidak ada jaminan bahwa dengan adanya undang-undang antiteror, tindakan polisi dan TNI akan lebih sigap. *** TIADANYA penindakan tegas terhadap berbagai laskar, front, atau majelis yang mengatasnamakan Islam selama empat tahun belakangan ini, diduga bermuatan perhitungan 3 / 5

politis kalangan "Islam mapan" yang berkepentingan dengan perlunya dukungan "Islam jalanan" menjelang pemilihan umum tahun 2004. Para pemimpin "Islam mapan", baik di pemerintah, MPR/DPR, partai politik, ataupun perhimpunan lain dinilai kurang tegas menegur para pimpinan "Islam jalanan" yang secara nyata melakukan berbagai tindak kekerasan, perusakan terhadap usaha hiburan yang dinilainya maksiat, menakut-nakuti warga lain, merusak tempat ibadah agama lain, bahkan melakukan perbuatan teror terhadap sesama warga Islam sendiri. Ada rasa enggan untuk secara terbuka menyalahkan "sesama orang Islam" meski secara pribadi mengutuk sekeras-kerasnya tindakan kekerasan yang mengatasnamakan kepentingan "rakyat kecil". Oleh karena itu, jikalau para anggota "Islam mapan" merasa tersandera untuk tidak menegur, menindak atau meluruskan sesama orang Muslim bahwa perbuatan merusak dan menakut-nakuti warga lain adalah justru bertentangan dengan ajaran Islam yang baik dan benar, maka dunia luar akan sulit percaya bahwa negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini patut menjadi teladan dalam menawarkan jalan keluar dari terorisme internasional. Bagaimana menyanggah citra Indonesia yang ganas dan tidak berperikemanusiaan kalau sebagian kecil "Islam jalanan" dibiarkan berkeliaran menggunakan tongkat, parang atau pedang samurai sambil membajak ajaran Islam dengan menamakan dirinya sebagai "polisi susila" dan "pembela rakyat kecil"? Benar bahwa harus ada verifikasi hukum berdasarkan temuan aparat kita tentang ada tidaknya perkaitan teror domestik, teror regional di Asia Tenggara, dan teror internasional yang terkait dengan Al Qaeda. Benar bahwa kedaulatan hukum harus sebagian besar berada di tangan aparat hukum kita. Para pemimpin "Islam mapan" telah bersikap benar dalam menekankan perlunya pembuktian hukum yang nyata dan jelas dalam upaya membela nama Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam bukanlah "sarang teroris internasional". Akan tetapi, setiap pemimpin "Islam mapan" di semua lembaga pemerintahan negara maupun swasta juga harus berani secara terbuka menyatakan bahwa premanisme adalah premanisme, pemalakan adalah pemalakan, dan kriminal adalah kriminal, sekalipun memakai kemasan Islam 4 / 5

dengan gaya laskar, front, ataupun majelis. Sesungguhnya, keberanian untuk bersikap tegas, sambil menyantun dan mengulurkan tangan kepada para anggota "Islam pinggiran" ke arah jalan yang lurus, yang taat hukum dan yang bersahabat dengan pemeluk agama lain, adalah langkah konkret yang paling ditunggu-tunggu aparat keamanan kita. Langkah demikian pula yang ditunggu-tunggu dunia internasional. Pada akhirnya, melawan terorisme nasional, regional Asia Tenggara, ataupun internasional, adalah upaya bersama seluruh bangsa dan khususnya para pemimpin Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Merekalah mata, telinga, dan tangan intelijen yang sesungguhnya. Melaksanakan reformasi ekonomi, politik, dan hukum yang menuju keadilan sosial akan meyakinkan dunia luar bahwa umat Islam di Indonesia, termasuk mereka yang sementara masih terpinggirkan, sungguh-sungguh menempuh amanah Islam sebagai "jalan damai". Juwono Sudarsono: Guru Besar Universitas Indonesia. 5 / 5