Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana kita ketahui bahwa pembangunan ekonomi sebagai bagian

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB I PENDAHULUAN. bank. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No.7 Tahun

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasaarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

serta mengembangkan perangkat peraturan pendukung, serta pengembangan sistem pendanaan perumahan. Salah satu alternatif dalam pendanaan perumahan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang pekoperasian pada Pasal

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan prinsip kehati-hatian. Penerapan prinsip kehati-hatian tersebut ada

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengamanan pemberian dana atau kredit tersebut.jaminan merupakan hal yang

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

PENDAHULUAN. mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Guna

BAB I PENDAHULUAN. tidaklah semata-mata untuk pangan dan sandang saja, tetapi mencakup kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dan. dan peningkatan pembangunan yang berasaskan kekeluargaan, perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

BAB II. A. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah kuasa yang diberikan

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT. namun semua pendapat tersebut mengarah kepada suatu tujuan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie.

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK NASABAH PEGADAIAN DALAM HAL TERJADI PELELANGAN TERHADAP BARANG JAMINAN (Studi Kasus Di Perum Pegadaian Cabang Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) (Preambule) memuat tujuan

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku

BAB I PENDAHULUAN. dan perdagangan sehingga mengakibatkan beragamnya jenis perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN

I. PENDAHULUAN. Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kebutuhan yang mutlak, oleh para pelaku pembangunan baik. disalurkan kembali kepada masyarakat melalui kredit.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017

Transkripsi:

Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit Maria Kaban Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pada masa sekarang dilakukan berdasarkan demokrasi ekonomi yang mandiri dan handal guna meningkatkan terciptanya masyarakat adil dan makmur untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara meluas, selaras adil dan merata. Pembangunan ekonomi yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi serta kesenjangan sosial guna mencapai kesejahteraan manusia itu sendiri secara berkesinambungan. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional perlu senantiasa dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut maka pelaksanaan pembangunan ekonomi perlu lebih memperhatikan keserasian dan kesinambungan aspek-aspek pemerataan dan pertumbuhan. Demikian kenyataannya, manusia yang memerlukan alat (sarana) bagi perlengkapan hidupnya baik yang berupa kebutuhan primer maupun sekunder. Dimana terhadap alat-alat untuk memenuhi kebutuhan manusia itu, manusia tidak pula senantiasa mampu untuk membuatnya sendiri, tetapi dapat memperolehnya dari orang-orang yang memang pekerjaannya mengolah barang-barang yang diperlukan. Di samping itu manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya kadang kala mengalami keterbatasan dana sehingga sudah sewajarnya sebagai kondrati manusia untuk saling membutuhkan dalam memenuhi keinginan yang beraneka ragam guna melanjutkan kehidupannya. Dengan semakin berkembangnya kegiatan ekonomi maka akan semakin terasa perlunya sumber-sumber dan untuk membiayai suatu kegiatan usaha. Hubungan antara pertumbuhan kegiatan ekonomi ataupun pertumbuhan kegiatan usaha suatu perusahaan erat dengan perkreditan. Hal ini disebabkan karena dunia perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya merupakan mitra usaha bagi perusahaan-perusahaan jasa non keuangan lainnya. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Ditinjau dari sudut pandang perbankan atau lembaga keuangan yang menyediakan dana lewat fasilitas pembiayaan tersebut, pembiayaan atau yang lebih dikenal dengan kata kredit mempunyai kedudukan yang 1

sangat istimewa, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Namun demikian diakui pula bahwa sektor perkreditan tetap merupakan kegiatan yang penting bagi industri perbankan maupun lembaga keuangan lainnya di negara-negara berkembang maupun negara-negara yang telah maju, karena pembiayaan tetap merupakan salah satu sumber dana yang penting untuk setiap jenis kegiatan usaha. Hanya saja dalam pemberian fasilitas pembiayaan tersebut pihak lembaga keuangan harus bertindak secara hati-hati. Hal ini dikarenakan dari pembiayaan tersebut akan timbul sejumlah resiko yang cukup besar, apakah dana dan bunga dari kredit yang dipinjamkan dapat diterima kembali atau tidak. Permasalahan Dari uraian pendahuluan yang telah dikemukakan di atas, timbul permasalahan: Bagaimana tinjauan juridis terhadap Perjanjian Kredit Bank apabila Debitur lalai dalam melunasi hutangnya (wanprestasi dalam perjanjian kredit). BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Perjanjian Kredit Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian pinjam uang pada hakekatnya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok ajaran: 1. Yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam uang itu merupakan satu perjanjian, sifatnya konsensuil. 2. Yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam uang merupakan dua buah perjanjian yang masing-masing bersifat konsensuil dan riil. Ke dalam ajaran pertama mempunyai pengikut yaitu Winds Cheid dan Goudiket. Winds Cheid mengemukakan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat tangguh yang pemenuhannya tergantung pada peminjam yakni kalau penerima kredit menerima dan mengambil pinjaman itu (Pasal 1253 KUH Perdata) sedangkan Goudiket mengemukakan pula bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam uang yang bersifat konsensuil dan obligatoia. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Beliau menolak sifat riil perjanjian pinjam uang kalau seseorang mengikatkan diri untuk menyerahkan uang kepada pihak lain, maka yang perlu adalah satu perjanjian untuk mencapai tujuan perjanjian itu. Penyerahan uang adalah pelaksanaan dari perjanjian itu bukan merupakan perjanjian tersendiri, terlepas dari perjanjian kredit. Perjanjian kredit menurut Goudiket adalah penawaran yang mengikat pemberi kredit untuk mengadakan suatu perjanjian timbal bali, sifat timbal balik perjanjian ini terjadi pada saat penerima kredit menyatakan kesediaannya menerima pinjaman itu. Berdasarkan uraian diatas timbul pertanyaan bagi kita ajaran manakah yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Perbankan. Prof. Dr. Mariam Darus mengemukakan perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan dari 2

penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman. Perjanjian ini bersifat konsensuil obligatoin yang dikuasai oleh Undang-Undang Pokok Perbankan dan bagian umum KUH Perdata. Penyerahan uangnya sendiri, adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak. Di dalam praktek, istilah kredit juga dipergunakan untuk penyerahan uang, sehingga jika kita mempergunakan kata-kata kredit, istilah ini meliputi baik perjanjian kreditnya yang bersifat konsensuil maupun penyerahan uangnya yang bersifat riil. Pengertian perjanjian kredit adalah perjanjian standart, dalam Undang- Undang Perdata 1967 yang model-model perjanjian kredit terdapat ratio yang menyimpang dari ajaran umum KUH Perdata. Perjanjian kredit adalah sarana pembangunan untuk mendapat kredit, penerima kredit terikat pada syarat-syarat tertentu. Di dalam praktek setiap bank telah menyediakan blangko (formulir, model) perjanjian kredit, yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu (standard form). Formulir ini disodorkan kepada setiap pemohon kredit. Isinya tidak diperbincangkan dengan pemohon. Kepada pemohon hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat tersebut di dalam formulir itu atau tidak. Hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian kredit dalam praktek tumbuh perjanjian standard (standard contract). Yang menjadi permasalahan apakah kontrak standard secara juridis sah dan mempunyai akibat hukum. Untuk itu timbul berbagai pendapat dari kalangan pakar antara lain: 1. Pitlo, kontrak standard adalah dua kontrak saja alasan kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sudah dilanggar. 2. Slaiter, secara materil merupakan legio particu liere welgivers (membentuk undang-undang swasta). Dengan alasan kreditur dalam hal ini bank secara sepihak menentukan substansi perjanjian. 3. Eggins, kebebasan kehendak dalam perjanjian merupakan tuntutan kesusilaan. Ini berarti kontrak standard bertentangan dengan asas-asas hubungan perjanjian (Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata) tapi dalam praktek, perjanjian timbul karena keadaan mengendalikannya dan harus diterima sebagai kenyataan. 4. Honius, mengatakan perjanjian buku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. 5. Stein, menyatakan perjanjian baru dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictievan wil en vitroven) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Kalau nasabah debitur menerima dokumen perjanjian berarti nasabah tersebut secara sukarela tetapi pada isi perjanjian itu. 6. Mariam Darus, dasar berlakunya kontrak standard kredit bank didasarkan oleh nasabah debitur tidak dianggap menyetujui sungguhpun dalam kenyataannya nasabah debitur tidak mengetahui isinya. Dalam perjanjian kredit, formil nasabah debitur menyetujuinya tetapi secara materiil terpaksa menerimanya. Adanya penyesuaian kehendak adalah fiktif. 3

Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus. 1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur. 2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah. 3. Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena kontrak batu eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat (society nuds). Dunia bisnis tidak dapat berlangsungnya tanpa kontrak baru yang masih dipersoalkan adalah sifat berat setelah dan tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya. Sehingga perjanjian itu perjanjian menindas dan tidak adil. Yang dimaksud berat sebelah adalah kontrak itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja sehingga pihak yang mempersiapkan kontrak standar tanpa mencamtumkan apa yang menjadi keinginannya. Demikian pula sebaliknya pihak yang menerima kontrak baru ini (Sari Kuliah Kapita Selecta Hukum Perdata tanggal 09/10-02 oleh Dr. Tan Kamello, S.H). B. Hak dan Kewajiban Yang Timbul Dari Perjanjian Kredit Berbicara hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian kredit menyangkut kepada pemberi kredit (bank) dan penerima kredit. Dengan lahirnya Undang-Undang Perbankan Tahun 1976 sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka di samping perjanjian pinjam uang yang dikenal di dalam KUH Perdata, Hukum Adat, terdapat ketentuanketentuan perjanjian. Kredit yang khusus berlaku bagi bank-bank dan mereka yang memperoleh kredit dari bank-bank tersebut. Pasal 1c Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 (UUP 1967) secara tegas ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank. Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang (Pasal 1a UUP 1967). (Prof. Dr. Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, hal. 57). Pemberi kredit (bank) di sini pada kahekatnya melaksanakan secara tidak langsung tugas-tugas pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan sektor ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menurut pola yang ditetapkan UUD 1945, GBHN dan Pelita. Pasal-pasal 1759, 1760, 1761 dan 1762 KUH Perdata mengatur kewajibankewajiban orang yang meminjamkan: Pasal 1759 KUH Perdata menyatakan bahwa: orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkan sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam persetujuan Pasal 1760 KUH Perdata menyatakan jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, Hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian 4

pinjamannya menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam. Dalam hal ini Asser Van Oven berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan di atas sebenarnya tidak mengatur kewajiban pemberi pinjaman, akan tetapi kewajiban penerima pinjaman. Satu-satunya ketentuan yang mengatur kewajiban pemberi pinjaman adalah Pasal 1753 KUH Perdata akan tetapi ketentuan itu tidak bertalian dengan perjanjian pinjam uang, karena hanya mengatur perjanjian pinjam mengganti barang. Malahan UUP 1967 sendiri pun tidak mengatur kewajiban bank sebagai pemberi kredit. Hanya di dalam model pergi kredit model PK 1 BNI 1946 Pasal 4 ditentukan bahwa: - Kredit diberikan untuk jangka waktu paling lama sampai tinggal yang ditentukan di dalam perjanjian. - Bank hanya terikat dan berkewajiban untuk menyediakan kredit dan penerima hanya berhak mempergunakan kredit yang diperoleh paling lama sampai dengan tanggal yang ditentukan pada ayat (1). Dari ketentuan-ketentuan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa di dalam perjanjian kredit, bank memiliki kewajiban pokok yaitu menyediakan kredit sesuai dengan tujuan kredit dan jangka waktu perjanjian. Kewajiban ini tidak bersifat mutlak Bank berhak menyimpanginya dalam hal penerima kredit tidak memenuhi syarat-syarat perjanjian itu. Untuk ini bank berhak secara sepihak dan sewaktu-waktu tanpa terlebih dahulu memberitahukan atau menegor penerima kredit, untuk tidak mengizinkan atau menolak penarikan atau penggunaan kredit lebih lanjut oleh penerima kredit dan mengakhiri jangka waktu kredit yaitu dalam hal: - Penerima kredit tidak atau belum mempergunakan kredit ini setelah lewat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya perjanjian. - Penerima kredit memberikan data-data yang tidak benar sehubungan dengan perjanjian. - dan lain-lain. Hak dan kewajiban dari penerima kredit Penerima kredit adalah siapa saja yang mendapat kredit dari bank dan wajib mengembalikannya setelah jangka waktu tertentu. (Prof. Dr. Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, hal. 70). Istilah siapa saja di sini mempunyai arti luas yang meliputi perseorangan dan badan usaha. Di dalam penjelasan dari Pasal 24 UUP 1967 berkata, Bank-bank dalam menilai suatu permintaan berpedoman kepada faktor-faktor antara lain: 1. Watak (character) 2. Kemampuan (capacity) 3. Modal (capital) 4. Jaminan (collateral) dan 5. Kondisi ekonomi (condition of economy). Kelima syarat-syarat itu merupakan ukuran kemampuan penerima kredit untuk mengembalikan pinjamannya. 5

Apabila kita simak dari defenisi penerima kredit sebenarnya sudah terangkum apa yang menjadi hak dan kewajiban dari penerima kredit yaitu mendapat kredit sebagai hak dan mengembalikannya kembali kepada bank. Pasal 1c UUP 1967 yang merupakan kewajiban pokok dari penerima kredit adalah melunasi hutang setelah jangka waktu tertentu dengan bunga yang telah ditetapkan. Di samping itu masih terdapat berbagai-bagai kewajiban dari penerima kredit sebagai berikut: a. Kewajiban administrasi b. Kewajiban untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank. C. Tinjauan Juridis Terhadap Perjanjian Kredit Bank Setiap orang yang mengadakan perjanjian tentunya berkeinginan agar perjanjian tersebut berakhir dengan baik dan memuaskan para pihak, tetapi kenyataannya tidak selalu seperti yang diharapkan dimana salah satu tidak pihak tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya. Di dalam praktek selalu kita lihat bahwa penerima kredit (peminjam) lalai dalam melunasi hutang dan bunga dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila kondisi seperti ini terjadi maka suatu hal yang terpenting bagi kebijaksanaan perjanjian pemberian kredit adalah masalah jaminan yang merupakan ukuran kemampuan penerima kredit untuk mengembalikan pinjamannya. Jaminan secara hukum mempunyai fungsi untuk mengkover utang, karena itu jaminan di samping faktor-faktor lain (watak, kemampuan, modal, jaminan dan kondisi ekonomi) merupakan sarana perlindungan bagi para kreditur yaitu kepastian atau pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur. (Prof. Dr. Djumhaendah Hasan, S.H., Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan, Jurnal Hukum Bisnis volume II, hal. 16). Dalam literatur, apabila berbicara tentang jaminan selalu dikaitkan pada jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Secara hukum baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan, keduanya merupakan sarana untuk mengkover utang. a. Perjanjian jaminan kebendaan Perjanjian jaminan kebendaan selalu merupakan perbuatan memisahkan suatu bagian dari kekayaan seseorang yang bertujuan untuk menjaminkan dan menyediakannya bagi pemenuhan kewajiban seorang debitur. Dalam jaminan kebendaan benda objek jaminan khusus diperuntukkan sebagai upaya preventif untuk berjaga-jaga apabila suatu ketika terjadi wanprestasi oleh debitur. Pemilikan benda objek jaminan tidak beralih kepada kreditur karena terjadinya penjaminan tersebut. Dengan demikian dalam perjanjian jaminan kebendaan benda tetap menjadi milik debitur, benda hanya disiagakan untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan terjadi wanprestasi. Dalam hukum jaminan kebendaan apabila benda objek jaminan beralih kepada kreditur (menjadi milik kreditur) maka perjanjian jaminan tersebut batal demi hukum (Pasal 1154 KUH Perdata bagi gadai; Pasal 1178 ayat (1) KUH Perdata bagi hipotik, Pasal 12 UUHT bagi hak tanggungan, Pasal 33 UU No. 42 Tahun 1999 bagi fiducia), sehingga dengan demikian jelas bahwa 6

dalam hukum jaminan kebendaan tidak diperkenankan pengalihan hak atas benda objek jaminan kepada kreditur. Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolut) atas suatu benda yang menjadi objek jaminan suatu utang, yang suatu waktu dapat diuangkan bagi pelunasan utang debitur apabila debitur ingkar janji. Kedudukan kreditur adalah sebagai kreditur preferen yang didahulukan daripada kreditur lain dalam pengambilan pelunasan piutangnya dari benda objek jaminan, bahkan dalam kepailitan debitur (tidak mampu membayar utang), ia mempunyai kedudukan sebagai kredit separatis. Sebagai kreditur separatis, ia dapat bertindak seolah-olah tidak ada kepailitan pada debitur, karena ia dapat melaksanakan haknya untuk melakukan parate eksekusi. Ketentuan KUH Perdata dalam Pasal 1133 (hak istimewa untuk didahulukan pembayarannya) hanya memberikan hak preferen kepada kreditur pemegang: - Hipotik (untuk kapal laut dan pesawat udara) - Gadai - Hak Tanggungan (hak jaminan atas tanah) - Fiducia. b. Perjanjian jaminan perorangan Hak jaminan perorangan timbul dari perjanjian jaminan antara kreditur dengan pihak ketiga. Perjanjian jaminan perorangan merupakan hak relatif yaitu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu yang terkait dalam perjanjian. Dalam perjanjian jaminan perorangan, pihak ketiga bertindak sebagai penjamin dalam pemenuhan kewajiban debitur apabila debitur ingkar janji (wanprestasi). Dalam jaminan perorangan tidak ada benda tertentu yang diikat dalam jaminan, sehingga tidak jelas benda apa dan yang mana milik pihak ketiga yang dapat dijadikan jaminan apabila debitur ingkar janji, dengan demikian para kreditur pemegang hak jaminan perorangan hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren saja. Apabila terjadi kepailitan pada debitur maupun penjamin (pihak ketiga), akan berlaku ketentuan jaminan secara umum yang tertera dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Dalam praktek, perjanjian jaminan perorangan kurang disukai, karena para kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang harus bersaing dengan kreditur lain dalam pemenuhan kewajiban debitur, dan karena pihak ketiga juga tidak mengikatkan harta tertentu dalam perjanjian maka seiring terjadi pihak ketiga melakukan pengingkaran terhadap kesanggupannya. Menurut Subekti, karena tuntutan kreditur terhadap penanggung tidak diberikan suatu privilage atau kedudukan istimewa di atas tuntutan kreditur lainnya dari si penanggung, maka jaminan perorangan ini tidak banyak berguna bagi dunia perbankan (Subektif, 1986: 27). Perjanjian jaminan perorangan dapat berupa: - Penanggungan/bortocht - Bank garanti 7

- Jaminan perusahaan. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya apabila debitur lalai dalam melunasi hutangnya (wanprestasi dalam perjanjian kredit) maka kreditur dalam hal ini bank dapat melakukan penyitaan dan melaksanakan penjualan benda yang menjadi objek jaminan. Tentunya hal ini dilakukan setelah bank mengadakan pembicaraan kredit artinya setelah memberikan surat perjanjian agar debitur memenuhi kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian. B. Saran Terhadap perjanjian jaminan perorangan perlu ditinjau kembali agar debitur merasa lebih terjamin dalam melaksanakan perjanjian kredit. DAFTAR PUSTAKA Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni Bandung. Tan Kamelllo, Sari Kuliah Kapita Selecta Hukum Perdata tanggal 09-10-2002. Djuhaendah Hasan, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 11. Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 8