BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 9 TAHUN 1976 (9/1976) Tanggal: 26 JULI 1976 (JAKARTA)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

No II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1976 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

AB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA. tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerendegeneesmiddelen Ordonantie yang

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1976 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM UNDANG UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

Bab XII : Pemalsuan Surat

NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB II PERKEMBANGAN SANKSI PIDANA DENDA DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA. A. Sejarah Lahirnya dan Perkembangan Pidana Denda di Indonesia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG P S I K O T R O P I K A DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB IV. A. Sanksi hukum terhadap tindak pidana bagi orang tua atau wali dari. pecandu narkotika yang belum cukup umur menurut pasal 86 Undangundang

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

Bab XXV : Perbuatan Curang

Lex Crimen Vol. VI/No. 1/Jan-Feb/2017

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

SISTEM PAKAR BERBASIS WEB PENENTU PASAL TINDAK PIDANA NARKOTIKA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN Oleh: Oktaphiyani Agustina Nongka 2

Transkripsi:

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 Berdasarkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang mengubahnya, yang merupakan hasil dari United Nations Conference for Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug, selanjutnya Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ( Tahun 1976 tentang Narkotika, Lembaran Negara RI Tahun 1976 No. 37 47. UU Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, dalam Bab I diatur beberapa ketentuan, disamping ketentuan umum, yang membahas tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam Undang- Undang tersebut. Dalam undang-undang ini tidak membeikan definisi narkotika tetapi hanya menyebut bahan-bahan narkotika yang diatur dalam Pasal 1 yaitu: Narkotika adalah: a. bahan-bahan yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka 13 (yaitu Tanaman Papaver, Opium Mentah, Opium Masak, Candu, Opium Obat, Morfinna, Tanaman Koka, Daun Koka, Kokaina Mentah, Kokaina, Ekgonina, Tanaman Ganja, dan Damar Ganja); b. garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina; c. bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti Morfina atau Kokaina; 47 H. Siswanto S., Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, Halaman 9

d. campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan yang tersebut dalam huruf a, b, dan c. Dalam Pasal 3 ayat (1) undang-undang ini, ditetapkan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan. Undang-undang ini mengatur delik di dalam pasal-pasal yang terpisah antara perbuatan yang dilarang atau rumusan delik di dalam Pasal 23, sedangkan ancaman pidananya di dalam Pasal 36 48. Pengaturan mengenai perbuatanperbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) sampai (7) yang meliputi: a. Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai tanaman papaver, tanaman koka, atau tanaman ganja; b. Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. c. Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika. d. Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika. e. Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. 48 Andi Hamzah dan R.M. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, Halaman 25

f. Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. g. Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri. Dalam Bab V diatur tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan pengadilan. Dalam Pasal 25 ayat (1) undang-undang ini disebutkan bahwa perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain, untuk diajukan ke pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Selanjutnya dalam Pasal 28 undang-undang ini, disebutkan bahwa pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama atau alamat atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Undang-undang ini juga menganut sistem ganjaran (premi), diatur dalam Bab VI Pasal 31 yang menyebutkan bahwa kepada mereka yang telah berjasa dalam mengungkapkan kejahatan yang menyangkut narkotika, diberi ganjaran yang akan diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam Bab VII diatur tentang ketentuan pengobatan, dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika dan usaha penanggulangannya. 49 Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam Bab VIII, dimana barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 23 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dipidana dengan pidana penjara dan denda, pidana seumur hidup, pidana mati, terhadap pelanggaran pada perbuatan-perbuatan yang dilarang. Lalu ditambah lagi dengan delik culpa, yaitu karena kelalaiannya menyebabkan ditanamnya, 49 H. Siswanto S., opcit. Halaman 11

dipelihara dan seterusnya, papaver, tanaman koka atau ganja di atas tanah atau tempat milik atau yang dikuasainya, diancam dengan pidana kurungan dan denda. Karena delik narkotika dipandang sebagai delik serius maka percobaan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dipidana penjara yang sama dengan pidana penjara bagi tindak pidananya. Jadi sama dengan tindak pidana korupsi. 50 Ketentuan tentang pemberatan hukuman, diatur dalam Pasal 38, diancam dengan pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dan ditambah dengan sepertiganya. Pemberatan hukuman ini diberikan kepada tindak pidana pembujukan anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana. Ketentuan mengenai recidive dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 39, yaitu jika terpidana ketika melakukan kejahatan belum lewat 2 (dua) tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan padanya, maka pidana penjara tersebut dapat ditambah dengan sepertiga. Dalam ketentuan pidana ini juga ditetapkan bahwa terhadap pelanggaran pidana dapat dikenakan pidana tambahan yang berupa pencabutan hak seperti yang diatur dalam Pasal 35 KUHP ayat (1) angka ke 1 dan ke 6 51. 50 Andi Hamzah dan R.M. Surachman, opcit. Halaman 28 51 KUHP Pasal 35: (1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: 1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. hak memasuki Angkatan Bersenjata; 3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

Disamping itu, bagi barangsiapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara. Demikian pula dalam Pasal 46 bahwa setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan tidak benar kepada penyidik, dalam tindak pidana yang menyangkut narkotika dipidana dengan pidana penjara. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini mengatur ketentuan bahwa semua perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut digolongkan ke dalam kejahatan dan pelanggaran 52. Undang-undang ini juga mengatur tentang tindak pidana korporasi yang diatur dalam Pasal 49 yakni jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu periksaan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan. 53 2.2 Pengaturan hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 menggantikan Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini diatur beberapa ketentuan, tentang 4. hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6. hak menjalankan mata pencarian tertentu. 52 H. Siswanto S., opcit, Halaman 12 53 Ibid.

etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut, serta ruang lingkup dan tujuan pengaturan narkotika dalam undang-undang 54. Pengertian narkotika dalam Undang-Undang ini berbeda dari undangundang sebelumnya, yaitu Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undangundang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. Sedangkan tujuan pengaturan Narkotika untuk: 1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan; 2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan 3. Memberantas peredaran gelap narkotika Dalam Undang-undang ini, narkotika digolongkan sebagai berikut: 55 1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau 54 Ibid. 13 55 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2003, Halaman 167

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan 3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Kebijakan kriminal tentang ketentuan Pidana yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan tanpa hak dan melawan hukum dalam undang-undang ini, yakni 56 : 1. Melakukan perbuatan menyediakan narkotika yang melawan hukum, meliputi kegiatan: a. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau narkotika golongan I bukan tanaman, narkotika Golongan II, dan narkotika Golongan III; (Pasal 78 dan Pasal 79) b. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, Golongan II, dan Golongan III (Pasal 80) c. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan I, Golongan II, dan Golongan III (Pasal 81) d. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual 56 H. Siswanto S., Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, Halaman 17

beli, alat menukar narkotika Golongan I, Golongan II, dan Golongan III (Pasal 82) e. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika diancam dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut. (Pasal 83) 2. Menggunakan narkotika terhadap orang lain, atau memberikan narkotika Golongan I, Golongan II dan Golongan III untuk digunakan orang lain atau untuk diri sendiri; (Pasal 84 dan Pasal 85) 3. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor dan juga pecandu narkotika yang telah cukup umur dan keluarga pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan; (Pasal 86 dan Pasal 88) 4. Melakukan tindak pidana narkotika dengan melibatkan anak yang belum cukup umur, dengan cara memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk. (Pasal 87) 5. Pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban untuk pelaporan. (Pasal 89) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan pengadilan, maka narkotika yang diperoleh dari tindak pidana narkotika serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dirampas untuk negara. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 90. Dalam undang-undang ini diatur juga mengenai pidana tambahan, yaitu dalam Pasal 91. Dalam hal ini, Hakim dalam pemeriksaan perkara dapat memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku bagi penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam undang-undang ini kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebih dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan mengenai orang atau saksi yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang peradilan serta saksi yang memberikan keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dalam undang-undang ini sama dengan undang-undang sebelumnya yaitu dipidana dengan pidana penjara. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh pejabat yang tidak melaksanakan ketentuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang meliputi: 1. Nakhoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 24 atau Pasal 25; 2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 69 dan Pasal 71, dan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 69 dan Pasal 71; 3. Pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, apotek dan dokter yang mengedarkan narkotika golongan II dan golongan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;

4. Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; Selain itu terdapat juga ketentuan yang menyangkut pengulangan perbuatan atau residivis, tindakan terhadap Warga Negara Asing yang melakukan atau sesudah melakukan tindak pidana narkotika diatur sebagai berikut: 1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun melakukan pengulangan tindak pidana narkotika maka pidananya dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok, kecuali yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun; 2. Bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Republik Indonesia, diberlakukan ketentuan undang-undang ini; 3. Bagi Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan telah menjalani pidananya, dilakukan pengusiran ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dan dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia, dan Warga Negara Asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika di luar negeri, dilarang memasuki eilayh Negara Republik Indonesia. Tindak Pidana Narkotika yang dilakukan oleh pimpinan pabrik obat pimpinan pedagang besar farmasi tertentu, yakni: 1. Memproduksi narkotika golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau

2. Mengedarkan narkotika golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan golongan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Kekhususan dalam undang-undang ini dalam hukum materiilnya antara lain adalah sebagai berikut 57 : 1. Ada ancaman pidana penjara minimum dan pidana denda minimum dalam beberapa pasalnya; 2. Putusan pidana denda apabila tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika, dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda; 3. Pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda bisa dijatuhkan bersama-sama (kumulatif) dalam beberapa pasal; 4. Pelaku percobaan dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika tertentu, diancam dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut (Pasal 83); 5. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan terorganisasi atau yang dilakukan oleh korporasi, lebih berat; 6. Ada pemberatan pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan tertentu dan membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika tertentu (Pasal 87); 7. Bagi pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri diancam pidana, demikian juga terhadap keluarga pecandu 57 Hari Sasangka, opcit. Halaman 169

narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu juga diancam pidana (Pasal 88); 8. Bagi orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melaporkan diri diancam pidana sedangkan pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya tidak dituntut pidana (Pasal 86); 9. Ada ketentuan khusus yang mengatur tentang Residive (Pasal 96). Kekhususan dalam undang-undang ini terhadap hukum formalnya antara lain 58 : 1. Perkara tindak pidana narkotika termasuk perkara yang didahulukan penyelesaiannya; 2. Penyidik mempunyai wewenang tambahan dan prosedur yang menyimpang dari KUHAP; 3. Pemerintah wajib memberikan jaminan dan keamanan perlindungan kepada pelapor (Pasal 57 ayat (3)); 4. Di dalam persidangan pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika, dilarang menyebut nama dan alamat pelapor (Pasal 76 ayat (1)); 5. Ada prosedur khusus pemusnahan barang bukti narkotika (Pasal 60, 61 dan 62) 58 Ibid. Halaman 170

2.3 Pengaturan hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini, diatur beberapa ketentuan, yang membahas tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut. Pengertian Narkotika menurut undang-undang ini diatur dalam Pasal 1 angka 1 59, disebutkan bahwa: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang- Undang ini. Tujuan undang-undang narkotika disebutkan dalam Pasal 4, yaitu: 1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; 2. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; 3. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dan 4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. 59 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Pasal 1 angka 1

Ruang lingkup undang-undang narkotika mancakup pengaturan narkotika meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika. 60 Hal yang baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah pengaturan mengenai prekursor narkotika. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Tujuan pengaturan Prekursor narkotika ini adalah 61 : 1. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan prekursor narkotika; 2. Mencegah dan memberantas peredaran gelap prekursor narkotika; dan 3. Mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan prekursor narkotika. Hal baru yang juga tidak diatur dalam undang-undang sebelumnya adalah mengenai lembaga BNN. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. Kedudukan BNN merupakan lembaga pemerintah nonkementrian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pengangkatan dan pemberhentian Kepala BNN yang mana dalam ketentuan undang-undang ini Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan tugas dan wewenang BNN adalah untuk melakukan penyelidikan dan 60 H. Siswanto S., opcit. Halaman 22 61 Ibid. Halaman 145

penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang dilaksanakan oleh penyidik BNN. 62 Pengaturan Penyidik dalam undang-undang ini diatur sebagai berikut: 1. Penyidik dari Badan Narkotika Nasional yang diatur mulai Pasal 75 sampai dengan Pasal 81 undang-undang ini; 2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diatur mulai Pasal 82 sampai dengan Pasal 86 undang-undang ini; 3. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur mulai Pasal 87 sampai dengan Pasal 95 undang-undang ini. Di dalam undang-undang ini terdapat 4 (empat) kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni 63 : 1. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika; 2. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika; 3. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika; 4. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika. 62 Ibid. Halaman 23 63 Ibid. Halaman 256

Ketentuan Pidana dan Pemidanaan dalam undang-undang ini diatur mulai Pasal 111 sampai dengan Pasal 148, yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan tanpa hak dan melawan hukum, yakni 64 : 1. Tindak Pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan prekursor narkotika, meliputi a. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dan bukan tanaman, dan narkotika golongan II; b. Pengadaan dan peredaran narkotika Golongan I, II, dan III yang tidak menaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku, seperti: 1) Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, atau narkotika golongan III; 2) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, atau narkotika golongan III; 3) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika golongan I, narkotika golongan II, atau narkotika golongan III; 4) Menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain, atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika golongan I, golongan II atau golongan III; 5) Setiap penyalahgunaan narkotika golongan I, golongan II atau golongan III bagi diri sendiri; 64 Ibid. Halaman 25

2. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melaporkan atau setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129; 3. Dalam hal tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126, dan Pasal 129 yang dilakukan oleh korporasi, atau dilakukan secara terorganisasi; 4. Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129; 5. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut; 6. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan dengan narkotika, meliputi: a. Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban dalam Pasal 45; b. Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan; c. Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

d. Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; e. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; f. Mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; g. Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 28; h. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 88 dan Pasal 89; i. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayata (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); j. Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 91 ayat (1); k. Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum; 7. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana Narkotika meliputi:

a. Percobaan dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129; b. Pemberatan pidana tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun; c. Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan; d. Narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tida berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika dirampas untuk negara; e. Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika di muka pengadilan; f. Setiap orang yang dalam jangka waktu tiga tahun melakukan pengulangan tindak pidana narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah sepertiga. 8. Melakukan kejahatan Money Laundering, yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana narkotika, yang meliputi:

a. Menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan, atau menyamarkan, menginvetasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta dan benda, atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika; b. Menerima penempatan, pembayaran, atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset, baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika; 9. Terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika dan telah menjalani pidananya, dilakukan pengusiran ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dan dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia Ketentuan mengenai sanksi dalam undang-undang ini yaitu menganut sanksi pidana dan sanksi tindakan (maatregel), Sanksi pidana dalam undangundang ini meliputi pidana pokok, yang berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara dengan batasan waktu tertentu, pidana kurungan, pidana denda serta pidana tambahan yang berupa pencabutan hak tertentu terhadap korporasi berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum. Sedangkan sanksi tindakan dalam undang-undang ini berupa

rehabilitasi medis dan sosial serta pengusiran dan pelarangan memasuki wilayah Indonesia bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia. Lama/jumlah sanksi pidana dalam undang-undang ini: 1. Pidana penjara: berkisar dari 1 (satu) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun serta penjara seumur hidup. 2. Pidana denda: berkisar dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan pemberatan 3 (tiga) kali lipat dari pidana denda yang diancamkan. 3. Pidana kurungan: berkisar dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun. Bentuk perumusan sanksi pidana dalam undang-undang ini dapat dikelompokkan sebagai berikut 65 : 1. Dalam bentuk tunggal (penjara atau denda saja); 2. Dalam bentuk alternatif (pilihan antara penjara atau denda); 3. Dalam bentuk kumulatif (penjara dan denda); 4. Dalam bentuk kombinas/campuran (penjara dan/atau denda). Pemberatan terhadap tindak pidana diberlakukan berdasarkan jumlah narkotika, akibat yang ditimbulkan, apabila dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan anak yang belum cukup umur, dan dalam hal pengulangan tindak pidana (recidive) dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Pemberatan pidana ini tidak diberlakukan terhadap pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. 65 A.R. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Halaman 213

Ketentuan pidana dalam hal percobaan dan permufakatan jahat dipidana sama dengan sanksi pidana dalam tindak pidana aslinya. Dan apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.