BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2000 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 9 TAHUN 2005 T E N T A N G LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

2017, No profesi harus berlandaskan pada prinsip yang salah satunya merupakan kode etik dan kode perilaku; d. bahwa berdasarkan pertimbangan se

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Blitar

TAHUN : 2005 NOMOR : 06

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 58 TAHUN : 2006 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG

11 LEMBARAN DAERAH Januari KABUPATEN LAMONGAN 1/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR : 01 TAHUN 2006 TENTANG

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

I. PENGANTAR Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi sangat dibutuhkan agar manusia

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA. Nomor 002/Munas-I/APPI/08/2006 Tentang

WALIKOTA BANJARMASIN

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 07 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 8 Tahun 2015 Seri E Nomor 4 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

KODE ETIK DAN DISIPLIN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH

BUPATI GARUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai hal yang melekat di dalamnya seperti kartu tanda penduduk atau

BAB I PENDAHULUAN. maupun kinerja organisasi secara keseluruhan. Satu hal yang harus diperhatikan

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR : 7 TAHUN 2016

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. melalui Otonomi Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA (RT) DAN RUKUN WARGA (RW) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. bidang kekuasaan kehakiman di empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP. 125/DJ-PSDKP/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yaitu fungsi perencanaan (planning), fungsi pelaksanaan (actuating), dan fungsi

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

Tabel 5.1 Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Kab. Minahasa Selatan MISI TUJUAN SASARAN

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PENGHARGAAN ADIUPAYA PURITAMA KELOMPOK INDIVIDU/ORGANISASI TAHUN 2009

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

BAB I PENDAHULUAN. kependidikan sebagai unsur yang mempunyai posisi sentral dan strategis

LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 2 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

adalah bagian dari komitmen seorang kepala sekolah.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

PT. MEGA GLORYOUNG INTERNATIONAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya mempunyai sifat untuk

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP TAHAPAN PEROLEHAN KREDIT MIKRO. 6.1 Pengaruh Modal Sosial terhadap Perolehan Kredit Mikro

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN TAHUN 2007 NOMOR 10 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 10 TAHUN 2007 T E N T A N G

Good Governance. Etika Bisnis

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 16 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR : 54 TAHUN 2010 TENTANG

PEDOMAN OPERASIONAL, PENGELOLAAN DAN PEMBERDAYAAN KAMPUNG MEDIA

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LPSK. Forum Kerja Sama. Intansi Terkait. Pembentukan. Tata Cara.

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan publik Pengertian kebijakan publik dewasa ini begitu beragam, namun demikian tetap saja pengertian kebijakan publik berada dalam wilayah tentang apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan. Untuk mempermudah memahami makna kebijakan publik, penulis mengelaborasi dari beberapa pendapat para ahli diantaranya: Bridgman dan Davis (2004), Hogwood dan Gunn (1990). Menurut Bridgman dan Davis, kebijakaan publik tidak lebih dari pengertian mengenai Whatever government choose to do or not to do. Menurut Hogwood dan Gunn, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Menurut pendapat penulis, kebijakan publik adalah suatu instrumen yang dibuat oleh pemerintah yang berbentuk aturan-aturan umum dan atau khusus baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang berisi pilihan-pilihan tindakan yang merupakan keharusan, larangan dan atau kebolehan yang dilakukan untuk mengatur seluruh warga masyarakat, pemerintah dan dunia usaha dengan tujuan tertentu. Hal ini terkandung lima hal yang merupakan inti sari kebijakan publik, sebagai berikut: 1. Kebijakan publik tersebut haruslah dibuat oleh institusi yang berwenang dalam hal ini adalah pemerintah yang sah; Suatu kebijakan publik yang dibuat oleh institusi yang tidak kompeten terkandung makna kebijakan publik tersebut ilegal atau bukanlah kebijakan publik tetapi namanya hanya kebijakan saja. Contohnya: organisasi-organisasi non pemerintah, LSM, RT/RW dan organisasi profesional. 17

18 Kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi tersebut, dapat saja membuat suatu kebijakan untuk mengatur jalannya organisasinya sendiri dan tidak berlaku untuk yang lain. 2. Kebijakan publik tersebut dapat berbentuk aturan umum atau khusus atau kombinasi antara keduanya umum dan khusus; Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dapat berbentuk aturan umum, misalnya, kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang ketertiban umum. Kebijakan publik ini berlaku untuk seluruh warga masyarakat yang berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Sebaliknya kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang penggunaan pakaian dinas harian bagi pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya berlaku untuk kalangan tertentu saja yakni PNS Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 3. Kebijakan publik tersebut wujudnya dapat tertulis maupun tidak tertulis; Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dapat berwujud tertulis, misalnya Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Namun demikian kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dapat berwujud tidak tertulis, misalnya rapat kabinet para menteri yang dilakukan satu kali dalam sebulan merupakan kebiasaan-kebiasaan yang sudah dilakukan sejak lama oleh pemerintah dan kemudian menjadi kebijakan publik. 4. Bahwa kebijakan publik, isinya adalah pilihan tindakan yang harus diperbuat, yang dilarang diperbuat dan atau boleh diperbuat oleh seluruh lapisan masyarakat, pemerintah dan dunia usaha; Kebijakan publik yang dibuat pemerintah isinya merupakan suatu keharusan misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2001 tentang Tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 3 yang menyatakan Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai :

19 a. Data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melampirkan foto kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain; dan b. Keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan. Kebijakan publik yang dibuat pemerintah yang isinya merupakan suatu larangan contohnya Keppres Nomor 80 Tahun 2003 pasal 9 ayat (4) yang menyatakan Pengguna barang/jasa dilarang mengadakan ikatan perjanjian dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang akan mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia untuk kegiatan/proyek yang dibiayai dari APBN/APBD. Kebijakan publik yang dibuat pemerintah yang isinya merupakan suatu kebolehan misalnya: Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2001 tentang Tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 2 yang menyatakan Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi. 5. Bahwa kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah tersebut pasti mempunyai tujuan tertentu; Setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah tentunya mempunyai maksusd-maksud tertentu, yang ditentunya diharapkan demi keadilan dan pemerataan bagi seluruh warga masyarakat.

20 2.2. Peran modal sosial dalam pembangunan Dalam konteks membangun sebuah bangsa tidak hanya membutuhkan modal finansial yang besar tetapi juga membutuhkan modal sosial yang tangguh dan setiap anggotanya mampu menjadi partisipatory aktif serta mempunyai kemauan dan kesamaan tujuan yang hendak dicapai. Modal sosial merupakan salah satu unsur yang memiliki kontribusi yang sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) terlebih di era informasi yang ditandai dengan semakin berkurangnya tatap muka, modal sosial semakin penting peranannya. Hasil penelusuran penulis dari beberapa lieratur tentang modal sosial, menegaskan terdapat suatu hal yang sangat menarik untuk dilakukan kajian adalah sampai saat ini belum ada satu pun kesepakatan yang bersifat formal tentang episentrum dan keaslian serta proses-proses pembentukan modal sosial, tetapi satu hal yang membuat kita lega adalah adanya suatu kesepahaman dan kesepakatan diantara para ahli bahwa sedemikian pentingnya peran modal sosial dalam proses pembangunan dan yang lebih menguatkan keyakinan penulis adalah telah menjadi kesepakatan umum bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari suatu pembangunan adalah partisipasi publik, yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai modal sosial. Konsep pembangunan yang mengabaikan nilai-nilai modal sosial yang hidup dan berkembang dimasyarakat akan menjadi hampa, rapuh dan pembangunan tidak akan memiliki visi yang jelas dan pada akhirnya misi dari pembangunan tersebut tidak akan tercapai. Peran modal sosial dapat dikatakan sebagai roh nya dari pembangunan yang berkelanjutan, artinya pembangunan berkelanjutan yang baik harus mengedepankan faktor partisipasi publik secara aktif dan hal ini dapat diperoleh dengan cara memahami apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tersebut dan bukan kepentingan golongan tertentu. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 1 angka 3 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-

21 rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Konsep pembangunan saat ini memang secara terintegrasi mengarah partisipasi publik, yakni dengan menggunakan sistem Bottom up dimana masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menyampaikan aspirasi akan kebutuhan bidang sosial, ekonomi maupun fisik (infrastruktur). Hal ini dapat terlihat dalam perencanaan pemerintah pusat maupun di daerah setiap tahunnya melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yakni forum antar pelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan, Kotamadya, Provinsi maupun Pemerintah Pusat (Undang-undang No: 25 Tahun 2004 pasal 1 angka 21). Namun demikian dalam tatanan implemantasinya, sangat dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat nelayan pulau Lancang menjadi kurang aspiratif, mengapa? Karena apa yang telah menjadi kesepakatan dan kebutuhan masyarakat, ketika dibawa kepada tatanan birokrasi yang lebih tinggi menjadi hilang tak berbekas. Artinya ketika proyek-proyek pembangunan terealisasi dalam suatu wilayah tertentu bukan merupakan kebutuhan/aspirasi masyarakat tersebut, akibatnya sudah kita ketahui bahwa proyek-proyek tersebut kurang mempunyai nilai antusiasme publik, kurang mempunyai nilai responsibility dan akuntabilitas publik sehingga manfaatnya sangat terasa kurang optimal. Menurut World Bank (1998), konsep modal sosial dapat diterapkan dalam upaya untuk pemberdayaan masyarakat. World Bank juga memberikan perhatian yang besar dengan mengkaji peranan dan implementasi modal sosial, khususnya untuk mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang yang didasari asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Modal sosial berada dalam seluruh keterkaitan ekonomi, sosial dan politik dan meyakini bahwa hubungan sosial mempengaruhi bagaimana pasar dan negara bekerja, sebaliknya pasar dan negara juga akan membentuk bagaimana modal sosial di masyarakatnya.

22 2. Hubungan yang stabil antar faktor dapat mendorong efektitas dan efisiensi baik perilaku individual maupun perilaku kolektif. 3. Modal sosial dalam suatu masyarakat dapat diperkuat dan untuk itu perlu dukungan sumber daya tertentu. 4. Agar tercipta hubungan-hubungan sosial dan kelembagaan yang baik, perlu dukungan dari setiap anggota masyarakat. Menurut World Bank (1998) modal sosial tidaklah sesederhana hanya sebagai penjumlahan dari institusi-institusi yang dibentuk oleh masyarakat, tetapi juga merupakan perekat dan penguat yang menyatukan mereka secara bersama-sama. Modal sosial meliputi shared value dan rules bagi perilaku sosial yang terekspresikan dalam hubungan-hubungan antar personal, trust dan common sense tentang tanggungjawab masyarakat. Secara nyata dalam keseharian, apabila dicermati secara mendalam, semua perilaku aktivitas sosial ekonomi warga masyarakat lokal melekat dalam jaringan hubungan-hubungan sosialnya. Modal sosial dan kepercayaan (trust) dapat membuat dan memungkinkan transaksi-transaksi ekonomi menjadi lebih efisien dengan memberikan kemungkinan bagi pihak-pihak yang terkait untuk bisa: 1. Mengakses lebih banyak informasi; 2. Memungkinkan mereka untuk saling mengkoordinasikan kegiatan untuk kepentingan bersama dan 3. Dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku opotunis melalui transaksi-transaksi yang terjadi berulang-ulang dalam rentang waktu yang panjang (Subejo, 2004). 2.3. Kegunaan modal sosial Dari berbagai peran modal sosial yang telah diungkapkan tersebut di atas, ternyata modal sosial juga mempunyai kegunaan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti yang diungkapkan oleh para ahli, sebagai berikut:

23 Putnam (1993) menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi sangat berhubungan erat dengan modal sosial. Pertumbuhan ekonomi suau masyarakat akan baik apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Hadirnya hubungan yang erat antar anggota masyarakat; b. Adanya pemimpin yang jujur dan egaliter yang memperlakukan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan bukan sebagai penguasa. Goleman (1995) berargumentasi bahwa kemajuan karir seseorang lebih ditentukan oleh angka kecerdasan emosional (EQ) (modal sosial) dari pada angka kecerdasan yang bersifat kognitif (IQ). Menurut Lin dan Dumin (1996): suksesnya seseorang didalam memperoleh pekerjaan dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilikinya. Burt (1997): kompensasi yang diperoleh pekerja juga dipengaruhi oleh modal sosial yang dimilikinya. Menurut Gabbay dan Zukerman (1998): individu yang memiliki modal sosial yang tinggi ternyata lebih maju dalam karir jika dibandingkan dengan mereka yang modal sosialnya rendah. Ancok (2003): modal sosial akan memungkinkan manusia bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang lebih besar. Akumulasi pengetahuan akan berjalan lebih cepat melalui interaksi antar manusia yang berbagi wawasan. Akumulasi pengetahuan sebagai hasil dari interaksi sosial menjadi kekuatan organisasi karena dia bisa menciptakan berbagai inovasi. 2.4. Sisi negatif modal sosial Selain ada kegunaannya, ternyata modal sosial juga mempunyai sisi negatif, antara lain sebagaimana yang diungkapkan para ahli, sebagai berikut: Hasil penelitian yang dilakukan Gargiulo dan Bernassi (1999) menunjukkan bahwa sikap solidaritas yang kuat di dalam sebuah kelompok menimbulkan sikap diskriminatif pada kelompok lain. Ancok (2003): modal sosial akan menjadi bencana apabila dimiliki oleh kelompok manusia yang tidak bermoral. Kelompok gengster/mafia adalah kumpulan orang-orang yang memiliki modal sosial yang tinggi. Oleh karena itu setiap usaha pengembangan modal sosial harus didasari oleh

24 semangat spiritual dan etika yang tinggi. Fanatisme kelompok yang mendeskreditkan kelompok lain, adalah refleksi dari sisi negatif modal sosial. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat nelayan Pulau Lancang, sisi negatif dari modal sosial, sebagai berikut: a. Timbul rasa keengganan dari masyarakat untuk beranjak atau keluar dari kultur/budaya yang suka membolehkan (permissive). Hal ini terjadi akibat dari tenggang rasa yang sedemikian tinggi diantara warga masyarakat maupun dengan pihak luar, sehingga apabila diantara individu warga masyarakat maupun pihak luar ada yang menyimpang, akan timbul rasa tidak enak/sungkan untuk penegakkan, yang pada akhirnya (lama-kelamaan), mengkristal menjadi permissive. b. Dalam konteks nyambang, sebagaimana yang penulis jelaskan dalam Bab IV, dari sisi nelayan Pulau Lancang, modal sosial sedikit banyaknya menimbulkan perasaan unggul (superior), sedangkan dari sisi masyarakat yang nyambang timbul perasaan masa bodo (pokoknya tidak mau tahu) yang penting nyambang yang seolah-olah menjadi ritual wajib antara pukul 05.30 WIB s.d. 06.00 WIB setiap harinya. Perasaan unggul (superior) ini, nampak jelas/kelihatan sekali dalam kehidupan sehari-hari nelayan Pulau Lancang yang secara rutinitas memberikan sebahagian hasil tangkapan ikannya kepada masyarakat yang nyambang. Sulit sekali bagi penulis untuk mengungkapkan dalam bentuk tulisan perasaan uggul ini, namun demikian penulis dapat merasakan karena dalam keseharian penulis selalu bersama-sama dengan nelayan Pulau Lancang. Sebagai contoh: pada saat penulis melakukan penelitian di masyarakat nelayan Pulau Lancang, bersamaan dengan adanya musyawarah seluruh warga untuk melakukan pemilihan Ketua ketua RT dan RW karena telah habis masa baktinya. Penulis mencoba mengikuti satu persatu musyawarah tersebut, artinya di Pulau Lancang terdapat 3 (tiga) RW yakni RW 01, 02 dan 03 yang masingmasing RW mempunyai RT sebagai berikut:

25 1. RW 01 mempunyai 4 (empat) RT yakni RT 01, 02, 03 dan 04 2. RW 02 mempunyai 3 (tiga) RT yakni RT 01, 02 dan 03 3. RW 03 mempunyai 3 (tiga) RT yakni RT 01, 02 dan 03 Secara keseluruhan musyawarah tersebut dilakukan sebanyak 13 (tiga belas) kali. Hasil pemantauan penulis, tidak satupun calon-calon baik Ketua RW maupun Ketua RT yang bersaing berasal dari masyarakat yang selama ini nyambang dari nelayan Pulau Lancang. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni nelayan yang selama ini disambangi hasil tangkapannya oleh masyarakat-lah yang bersaing memperebutkan kursi Ketua RW maupun Ketua RT. Sesungguhnya menurut pengamatan penulis, banyak juga potensi (kemampuan) warga masyarakat yang lain untuk ikut bersaing secara sehat dengan nelayan-nelayan Pulau Lancang. Hasil wawancara tidak terstruktur penulis dengan masyarakat membuktikan, adanya perasaan minder, tidak etis, tidak pantas dan kurang baik bersaing bersama-sama dengan nelayan yang selama ini membantu keluarganya memberikan penghidupan. 2.5. Teknik mengukur modal sosial Menurut Ridell (1997) terdapat tiga parameter modal sosial yakni: kepercayaan (trust), Norma-norma (norms) dan Jaringan-jaringan (networks). Kepercayaan (trust) adalah harapan yang tumbuh didalam sebuah masyarakat yang ditujukan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan normanorma yang dianut bersama (Fukuyama, 1995); Norma-norma (norms) terdiri dari pemahaman-pemahaman nilai-nilai harapanharapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral maupun standarstandar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putman, 1993 : Fukuyama, 1995).

26 Jaringan-jaringan (networks) adalah Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putman, 1993). Jaringanjaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama dan masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaatmanfaat dari partisipasinya itu (Putman, 1995). Bersandar pada parameter tersebut di atas, menurut Spellerber (1997) dan Suharto (2005b), indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial antara lain: Perasaan identitas Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi Sistem kepercayaan dan ideologi Nilai-nilai dan tujuan-tujuan Ketakutan-ketakutan Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya: pekerjaan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi dan jaminan sosial) Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya Tingkat kepercayaan Kepuasan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya Harapan-harapan yang ingin dicapai dimasa depan Modal sosial adalah sumber daya (resource) yang timbul karena akibat adanya hubungan interaksi antar individu dalam suatu komunitas (masyarakat). Hasil telaahan penulis dari beberapa literatur, pengukuran modal sosial kurang sekali melibatkan interaksi (hubungan) itu sendiri tetapi lebih pada hasil (out put) dari interaksi itu misalnya: terjalinnya hubungan yang harmonis antara individu

27 warga masyarakat. Interaksi sosial dapat terjadi baik secara pribadi maupun secara kelembagaan. Secara pribadi terjadi, jika hubungan terjalin sedemikian harmonis sehingga membentuk ikatan emosional. Sedangkan secara kelembagaan terjadi, manakala ada kesamaan tujuan, visi dan misi dalam organisasi. Modal sosial merupakan sesuatu yang abstrak, oleh karena itu pengukuran yang tepat sukar dilakukan. Pengukuran modal sosial dapat meningkatkan pemahaman mengenai fungsi sosial dan bagaimana jaringan dapat digunakan untuk memberikan masukan yang positif kepada individu dan masyarakat (Ali, 2004). Untuk mengukur modal sosial, sampai saat ini belum ada kesepakatan. Namun demikian ada dua pendekatan untuk mengukurnya. Pertama, kita dapat melakukan sensus dengan cara menghitung jumlah group atau kelompok sosial yang ada dan keanggotaan group dalam masyarat. Kedua, dapat juga dengan pendekatan survey dengan cara mengukur derajat kepercayaan dan daya kohesi dalam masyarakat (level of trust and civic engagement) (Syahyuti, 2006). Teknik pengukuran modal sosial sampai saat ini lebih bersifat subjektif seperti: ukuran kepercayaan terhadap individu, pelibatan ahli/masyarakat dalam suatu organisasi, semangat sukarela dan sebagainya. Modal sosial merupakan suatu bidang yang universal, karena itu modal sosial dapat dihubungkan dengan berbagai aspek kehidupan misalnya kesehatan, pertumbuhan ekonomi, integrasi lingkungan dan globalisasi. Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan terhadap beberapa literatur, sampai saat ini belum ada kesepakatan/konsensus tentang cara untuk mengukur modal sosial, mengapa? Biasanya secara intuitif arti tingkat/jumlah yang ada pada modal sosial (tanpa menghiraukan jenis atau skala) pengukuran kuantitatif telah terbukti agak rumit, hal ini disebabkan metrik yang berbeda untuk fungsi yang berbeda. Modal sosial tidak hanya mengukur hubungan antara orang dan komunitas mereka, tetapi juga hubungan antara warga dengan teman-hewan mereka. Robert Putnam (1993) mengklaim dalam bukunya Bowling Alone bahwa peningkatan dalam persahabatan dengan hewan peliharaan juga meningkatkan kekuatan pada obligasi masyarakat. Berinteraksi dengan sesama pemilik hewan peliharaan dan

28 warga di taman anjing lokal misalnya, menjadi "teman terbaik" dan dapat membuat jaringan untuk menjembatani hubungan yang berpusat di sekitar kesamaan kepemilikan hewan peliharaan. Sosiolog Carl L. Bankston dan Zhou Min (2004) berpendapat bahwa salah satu alasan modal sosial sangat sulit untuk diukur adalah bahwa hal itu bukanlah tingkat individu ataupun kelompok tingkat fenomena, tapi satu yang muncul di tingkat analisis sebagai individu berpartisipasi dalam kelompok. Mereka berpendapat bahwa metafora "modal" bisa menyesatkan karena tidak seperti modal finansial, yang merupakan sumber daya yang dimiliki oleh seorang individu, manfaat dari bentuk organisasi sosial tidak dimiliki oleh aktor, tetapi hasil partisipasi aktor dalam advantageously terorganisir kelompok. Dari uraian dan pendapat ahli mengenai teknik mengukur modal sosial sebagaimana dijelaskan di atas, adalah merupakan tantangan tersendiri bagi kalangan ilmuwan/peneliti/akademisi dan perguruan tinggi untuk melakukan kajian/analisis lebih mendalam serta melakukan keberanian penetrasi hingga ditemukannya suatu cara bagaimana teknik mengukur modal sosial yang tepat, efisien dan efektif serta disepakati bersama guna kepentingan ilmu pengetahuan dimasa yang akan datang.