BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Mahkamah Agung dalam memutus perkara Peninjauan Kembali kasus Prada antara PREFEL S.A melawan Fahmi Babra dan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek nyata-nyata dalam putusannya telah menggunakan dan mempertimbangkan adanya itikad tidak baik (bad faith) dari pihak Termohon/ Fahmi Babra. Adanya alasan itikad tidak baik tersebut juga terlihat dari pemilihan bentuk-bentuk kata pada etiket merek Prada dan Logo, dimana bentuk penulisan kata Prada oleh Fahmi Babra adalah sama pada pokoknya dengan bentuk kata Prada milik PREFEL S.A. dan lukisan dalam etiket merek Prada & Logo atas nama Termohon PK adalah sama pada keseluruhannya/identik dengan salah satu lukisan dari merek Prada dan variasinya milik PREFEL S.A. yang telah terkenal. Majelis Hakim menyimpulkan bahwa pada saat Fahmi Babra mengajukan permintaan pendaftaran merek Prada & Logo, dia telah mengetahui keberadaan merek terkenal Prada dan variasinya milik PREFEL S.A.. Sehingga tanpa diilhami oleh merek Prada dan variasinya milik PREFEL S.A. yang telah menjadi merek terkenal internasional, Fahmi Babra tidak akan terpikir untuk mengajukan permintaan pendaftaran merek Prada & Logo tersebut, dan dapat dipastikan pula merek Prada & Logo milik Fahmi Babra bukanlah diciptakan olehnya sendiri, melainkan meniru atau mencontoh merek Prada milik PREFEL S.A. yang telah terkenal. 78
79 Tindakan Fahmi Babra pada saat mengajukan permintaan pendaftaran merek Prada & Logo yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal milik PREFEL S.A. telah dilandasi adanya itikad tidak baik (bad faith), sehingga hal tersebut bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Merek 2001, yang dikutip kembali sebagai berikut: Merek hanya dapat didaftar atas dasar permintaan yang diajukan pemilik merek yang beritikad baik, di mana hal tersebut juga sejalan dengan Yuriprudensi Tetap Mahkamah Agung R.I. No. 370 K/Sip/1983, tanggal 19 Juli 1984 tentang sengketa merek Dunhill, antara Alfred Dunhill Limited melawan Lilien Sutan, yang inti pertimbangan hukumnya adalah sebagai berikut: Pemakaian dan peniruan merek terkenal orang lain harus dikualifikasi sebagai pemakai yang beritikad tidak baik, karena itu tidak patut diberi perlindungan hukum. Hakim Pengadilan Niaga dalam memutus sengketa merek dalam hal terjadinya persaingan curang yakni itikad tidak baik yang dimaksud dalam Pasal 4 UU Merek, telah membatalkan merek pihak lain yang sengaja meniru merek terkenal dengan mempertimbangkan hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 Undang Undang Merek bahwa ketentuan itikad tidak baik dalam pendaftaran merek, apabila mengandung salah satu unsur yakni: 1) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; 2) Tidak memiliki daya pembeda; 3) Telah menjadi milik umum; atau 4) Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Pembatalan juga didasarkan kepada Pasal 6 yang intinya adalah merek harus ditolak dengan alasan-alasan berikut:
80 1) Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; 2) Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya; 3) Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasigeografis yang sudah dikenal; 4) Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak; 5) Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; dan 6) Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. Kesimpulan yang diambil penulis adalah bahwa alasan itikad tidak baik (Presumtion of Bad Faith) telah mutlak dijadikan sebagai pertimbangan hukum sepenuhnya dalam pembatalan merek oleh Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan Kembali kasus Prada antara PREFEL S.A melawan Fahmi Babra dan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek. 2. Bentuk perlindungan hukum bagi pemegang merek yang beritikad baik sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek secara tegas diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Merek.
81 Sebagaimana penulis jelaskan di atas, hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar. Karena merupakan hak khusus, maka pihak lain tidak dapat menggunakan merek terdaftar tanpa ijin pemiliknya. Orang yang berminat menggunakan merek orang lain harus terlebih dahulu mengadakan perjanjian lisensi dan mendaftarkannya ke Kantor Merek. Apabila tanpa melakukan perjanjian lisensi, tetapi langsung membuat merek yang sama pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain dan digunakan pada barang atau jasa yang sama tanpa pendaftaran merek, hal ini merupakan pelanggaran Hak Atas Merek. Jadi bentuk pelanggarannya berupa peniruan merek terdaftar. Istilah lain untuk pelanggaran tersebut dikenal istilah pembajakan hak merek. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Merek 2001, yang dikutip kembali sebagai berikut: Merek hanya dapat didaftar atas dasar permintaan yang diajukan pemilik merek yang beritikad baik. Ketentuan itikad tidak baik dalam pendaftaran merek, diatur dalam Pasal 4 UU Merek yang ditentukan bahwa, Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik. Tidak dapat didaftarkan atau dapat dibatalkan menurut Pasal 5 UU Merek, apabila mengandung salah satu unsur yakni: 1) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; 2) Tidak memiliki daya pembeda; 3) Telah menjadi milik umum; atau 4) Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
82 Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa wujud perlindungan hukum terhadap pemegang merek yang beritikad baik telah dicover dengan baik berdasarkan Undang-Undang Merek 2001 khsusnya pasal 4 dan 5 Undang-Undang. Terbukti akibat adanya itikad tidak baik dalam pendaftaran merek terkenal Prada oleh Fahmi Babra, berakibat hukum pembatalan terhadap pendaftaran merek atas nama Fahmi Babra tersebut oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali Mahkamah Agung adalah sebagai wujud konkrit telah berjalannya perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Merek 2001 terhadap pemegang merek dengan itikad baik dalam kasus ini adalah PRADA SA sebagai pemegang merek terkenal PRADA yang telah terkenal di seluruh dunia. B. SARAN Berikut beberapa saran yang penulis anggap perlu untuk diperhatikan sehubungan dengan hal-hal yang telah dibahas dalam penulisan ini, yaitu: 1. Direktorat Jenderal HaKI harus lebih cermat dalam mengamati terhadap pendaftaran maupun pemakaian selanjutnya merek dagang asing khususnya merek terkenal, sehingga menjadi pedoman dalam setiap permohonan pendaftaran merek. 2. Secara hierarkis Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi yang lebih tinggi harus meningkatkan pengawasan terhadap segala proses pendaftaran merek yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal HaKI. 3. Tehadap para hakim di tiap peradilan khususnya peradilan niaga (judex factie) harus lebih mengetahui hukum dan mempelajari serta mau menerima fakta hukum terutama terhadap merek-merek terkenal asing walaupun secara yuridis
83 formal belum didaftarkan merek dagangnya dalam DUM (Daftar Umum Merek), sehingga mencerminkan asas ius curia novit yang sesungguhnya. 4. Diupayakan para pengusaha melakukan konsultasi dengan pakar-pakar atau konsultan merek yang mempunyai kualifikasi/standar Internasional sebelum mendaftarkan bahkan sebelum mempergunakan merek dagangnya.