BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7). Dalam pelaksanaan di lapangan, metode ini diimplementasikan dalam bentuk cakap semuka. Maksudnya, dengan bertatap muka, peneliti dan informan terlibat dalam suatu percakapan yang bersifat informal dan secara kekeluargaan serta berlangsung secara alamiah (Moleong, 1997:25--27). Dalam percakapan telah diupayakan agar informan secara sadar atau tidak, terpancing untuk mengungkapkan informasi yang mengandung data yang diharapkan tanpa harus dipaksa. Kemudian, informasi yang mengandung data tersebut dicatat dan direkam. Perekaman dilakukan agar data yang diperoleh lebih akurat (sahih) terutama yang menyangkut pelafalan bunyi bahasa. Untuk memperoleh data yang sahih dan lengkap, diperlukan acuan dalam bentuk alat pengumpul data. Alat pengumpul data yang telah digunakan dalam penelitian ini terdiri atas daftar 200 kata dasar Swadesh (dengan revisi Blust, 1980) dan daftar Holle dengan 1600 kata. Daftar 200 kata dasar Swadesh digunakan untuk menjaring data awal dan daftar Holle digunakan untuk memperoleh data lanjutan. Data awal yang lebih bersifat kuantitatif diperlukan dalam rangka penyusunan pola hubungan kelompok bahasa sementara, berdasarkan jumlah persentase kemiripan atau kesamaan kosakata seasal bahasa- 31
32 bahasa berkerabat yang diteliti. Data lanjutan terutama yang lebih bersifat kualitatif diperlukan untuk menentukan sistem perubahan bunyi yang terjadi pada setiap kelompok bahasa yang dibandingkan. Berdasarkan sistem perubahan bunyi tersebut ditentukan tingkat kekerabatan dan rekonstruksi bahasa asal dari bahasabahasa itu. Sebelum pengumpulan data dilakukan, terlebih dahulu dipersiapkan cara atau metode penentuan subjek penelitian yang berfungsi sebagai informan. Metode penentuan subjek penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian di lapangan adalah metode sampling. Artinya, tidak semua orang yang berbahasa ibu dari bahasa-bahasa yang diteliti dijadikan sebagai informan. Beberapa informan ditetapkan sebagai wakil seluruh populasi pemakai bahasa yang diteliti dengan memperhatikan pusat-pusat penyebaran bahasa itu. Teknik yang digunakan untuk menentukan jumlah anggota sampel dan individu yang ditetapkan sebagai informan adalah teknik purposif sampling (Faisal, 1990:56). Teknik ini mengisyaratkan agar dalam menentukan jumlah dan anggota informan tidak berdasarkan representasi atas generalisasi yang berlaku bagi populasi. Teknik ini juga tidak menghendaki secara acak atau random yang bersifat probability dalam pengambilan anggota informan. Pengambilan jumlah dan anggota informan lebih ditekankan atas dasar agar relevan dengan tujuan dan aspek kebahasaan yang diharapkan. Jumlah informan bisa sangat sedikit, tetapi bisa juga sangat banyak, artinya sangat bervariasi dalam setiap bahasa yang diteliti. Semua itu sangat bergantung pada (1) ketepatan pemilihan informan itu sendiri, dan (2) keragaman fenomena kebahasaan yang diteliti. Bila pemilihan
33 informan jatuh pada subjek yang mampu mengungkap semua fenomena kebahasaan dengan segala aspeknya dan dianggap memadai, tidak perlu melacak informasi lain melalui informan yang lain karena pada akhirnya tidak akan ditemukan informasi baru untuk itu. Akan tetapi, jika data yang diperoleh dari informan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya belum memenuhi kelengkapan informasi yang diharapkan, pemilihan informan terus dilakukan sampai pada batas kelengkapan. Dengan demikian, yang menjadi ukuran jumlah anggota informan adalah terletak pada ketuntasan perolehan informasi fenomena kebahasaan setiap bahasa yang diteliti. Berdasarkan kriteria itu, secara umum penentuan informan dilakukan dalam tiga tahap: (1) pemilihan informan awal untuk memperoleh data dan informasi dasar, (2) pemilihan informan lanjutan guna memperluas informasi dan melacak segenap fenomena kebahasaan yang ada pada masing-masing bahasa yang diteliti, dan (3) menghentikan pemilihan informan lanjutan, jika sekiranya tidak ditemukan lagi informasi baru yang relevan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilihan informan dilakukan sampai pada batas titik jenuh. Selanjutnya, sesuai yang disarankan dalam pemilihan sampel, informan telah memenuhi kriteria tertentu, seperti memiliki kapabelitas, bersedia dan mempunyai waktu, aksesibilitas, dan permisif (Faisal, 1990:58--61). Selain kriteria tersebut, informan juga memenuhi beberapa syarat. Syarat yang dimaksud meliputi (a) setiap informan minimal berumur 25 tahun, (b) memiliki organ bicara dan mental yang normal, (c) orangtua, istri atau suami dan yang bersangkutan lahir dan dibesarkan di desa atau daerah pemakaian bahasa yang diteliti serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya dalam waktu lama, dan (d)
34 memiliki kebanggaan terhadap bahasa daerahnya, dalam arti yang bersangkutan selalu berusaha menggunakan bahasa daerahnya dalam setiap kesempatan (bandingkan Samarin, 1988:55--67). Perlu dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan penelitian ini di lapangan sangat diperhatikan kriteria aksesibilitas dan permisif sebagaimana yang disarankan di atas. Hal ini menjadi perhatian yang sangat serius dan sungguh-sungguh karena situasi dan kondisi di lokasi penelitian menuntut hal itu. 3.2 Metode Analisis Data Dalam menganalisis data, penelitian ini menerapkan dua metode, yakni analisis sinkomparatif (syncomparative) dan diakomparatif (diacomparative) sebagaimana disarankan Lass (1969:15). Berikut ini diuraikan secara singkat. 3.2.1 Metode Sinkomparatif Metode sinkomparatif diterapkan sebelum menggunakan metode diakomparatif dengan maksud untuk menganalisis data bahasa-bahasa yang sedang diteliti secara sinkronis. Metode ini digunakan berdasarkan atas kenyataan bahwa penelitian historis komparatif harus diawali dengan pendekatan sinkronis sebelum menggunakan pendekatan diakronis. Maksudnya, dalam membandingkan bahasa-bahasa berkerabat itu, sebelum dianalisis secara diakronis, bahasa-bahasa tersebut terlebih dahulu dianalisis secara sinkronis. Cara kerja sinkronis lebih menekankan pada penemuan aspek-aspek kebahasaan seperti fakta fonologis bahasa-bahasa yang diteliti secara deskriptif. Analisis ini bertujuan menemukan fonem, alofon beserta variannya, dan hubungan setiap fonem pada masing-masing sistem fonologi bahasa yang diteliti (Antonsen,
35 1990:297). Sinkomparatif juga dimaksudkan untuk membandingkan fenomena kebahasaan secara sinkronis terhadap semua bahasa yang diteliti dan yang dijadikan bahasa bandingan. Hal ini penting dilakukan untuk dijadikan landasan asumsi bahwa bahasa yang diteliti merupakan bahasa berkerabat, bahasa yang tidak berkerabat sama sekali, dan bukan pula bahasa yang sama (Martinet, 1955 dan Maulton, 1961 dalam Fisiak, ed., 1985). 3.2.2 Metode Diakomparatif Metode sinkomparatif menekankan pada analisis sinkronis, sedangkan diakomparatif berlandaskan pada analisis diakronis. Analisis sinkronis dan diakronis bersifat otonom, tetapi saling tergantung. Saussure mengatakan bahwa analisis sinkronis hanya terbatas pada sudut pandang untuk menemukan keseluruhan sistem bahasa pada waktu tertentu. Sebaliknya, analisis diakronis mengikuti evolusi bahasa, tidak memandang keseluruhan sistem bahasa, tetapi pada elemen-elemen tertentu pada waktu yang berbeda (Gordon, 2002:34). Penerapan metode diakomparatif dalam penelitian ini dibedakan atas pendekatan vertikal dan horizontal. Pendekatan vertikal diterapkan terhadap bahasa-bahasa sekerabat dan pendekatan horizontal diterapkan pada bahasa-bahasa yang tidak berkerabat. Pendekatan vertikal yang dilakukan untuk menganalisis bahasa-bahasa sekerabat menempuh prosedur pengelompokan dan rekonstruksi, sedangkan pendekatan horizontal yang digunakan untuk menganalisis bahasa-bahasa tidak berkerabat menempuh prosedur runut banding kontak budaya, runut banding konteks ciri bahasa, dan runut banding kontras protobahasa. Berikut ini diuraikan penerapan metode diakomparatif tersebut dengan bentuk-bentuk pendekatannya.
36 3.2.2.1 Metode Diakomparatif dengan Pendekatan Vertikal Metode analisis diakomparatif dengan pendekatan vertikal digunakan sebagai langkah lanjutan untuk membandingkan bahasa-bahasa berkerabat yang diteliti secara diakronis. Analisis data dengan menggunakan metode ini mengikuti urutan cara kerja yang mengacu pada tahapan sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, yakni menemukan hubungan kekerabatan bahasa-bahasa yang diteliti. Oleh karena itu, prosedur yang ditempuh adalah pengelompokan dan rekonsrtuksi protobahasanya. Mengacu kepada hal itu, cara kerja penelitian ini diuraikan di bawah ini. 1) Prosedur Pengelompokan Cara kerja pengelompokan terhadap bahasa-bahasa yang diteliti dilakukan secara bertahap. Pertama, pengelompokan dilakukan berdasarkan bukti-bukti kuantitatif. Kedua, pengelompokan dilakukan berdasarkan bukti-bukti kualitatif. Untuk pengelompokan pertama, data bahasa yang dikumpulkan dengan menggunakan daftar 200 kosakata dasar Swadesh (revisi Blust, 1980) dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan teknik leksikostatistik. Dengan teknik ini, persentase jumlah kognat dalam bentuk kesamaan dan kemiripan kosakata seasal masing-masing bahasa dapat dihitung (Crowley, 1987:190). Penghitungan jumlah persentase berdasarkan jumlah pasangan kosakata seasal dibagi jumlah gloss yang terisi kali seratus persen. Berdasarkan angka persentase itu dapat diketahui tingkat keeratan hubungan genetis kelompok bahasa itu serta posisinya di antara semua bahasa di sekitarnya. Berdasarkan itu pula silsilah kekerabatan bahasa-
37 bahasa itu dapat disusun. Pengelompokan terhadap bahasa-bahasa tersebut masih bersifat sementara dan belum tuntas. Untuk memperoleh ketuntasan pengelompokan bahasa itu diperlukan pengelompokan tahap kedua yang berdasarkan atas bukti-bukti kualitatif. Pengelompokan dengan bukti-bukti kualitatif itu berfungsi ganda. Pertama, untuk memperkuat pengelompokan yang telah ditetapkan berdasarkan bukti-bukti kuantitatif, jika ternyata hasil pengelompokannya saling mendukung. Kedua, jika berdasarkan bukti-bukti kualitatif itu menghasilkan pengelompokan yang bertentangan dengan pengelompokan sebelumnya, maka bukti-bukti kualitatif berfungsi menggugurkan pengelompokan yang berdasarkan pada buktibukti kuantitatif, sekaligus pengelompokan yang berlandaskan pada bukti-bukti kualitatif itu ditetapkan sebagai pengelompokan definitif (Blust, 1981). Dalam penelitian ini kebetulan bukti-bukti kualitatif justru memperkuat bukti-bukti kuantitatif. Artinya, kedua bukti kuantitatif dan kualitatif berfungsi saling melengkapi di antaranya. Bukti-bukti kualitatif yang diperlukan untuk pengelompokan kedua itu dikumpulkan dengan menggunakan daftar Holle dengan 1600 kata. Data kebahasaan tersebut dianalisis secara kualitatif dengan memperhatikan (1) pasangan kata yang semua fonemnya identik, (2) pasangan yang memiliki korespondensi fonemis, (3) pasangan yang memiliki kemiripan secara fonetis, (4) pasangan yang mempunyai satu fonem berbeda. Bukti-bukti kualitatif itu berwujud fakta-fakta kebahasaan yang tergolong sebagai unsur-unsur bahasa yang bersifat retensi dan inovasi bersama yang eksklusif. Hakikat pengelompokan
38 yang bersifat kualitatif pada tahapan ini adalah upaya penemuan kemiripan dan kesamaan unsur-unsur kebahasaan yang inovatif dan eksklusif baik pada tataran fonologis maupun leksikal pada bahasa-bahasa yang diteliti. Penemuan kemiripan dan kesamaan inovasi segi fonologi dapat ditelusuri pada kesamaan pola atau kaidah perubahan fonem yang ada pada bahasa-bahasa itu. Pada tataran leksikal, penemuan kemiripan dan kesamaan inovasi itu tampak pada kemiripan dan kesamaan kosakata seasal yang hanya dimiliki oleh kelompok atau subkelompok bahasa-bahasa itu. Ciri-ciri yang ditemukan itu dihubungkan dan dibandingkan antarsesamanya (internal) dan dengan bahasa di luar kelompok bahasa itu (eksternal) secara cermat. Semua itu, kemudian disarikan dalam bentuk klasifikasi (a) bukti penyatu kelompok, dan (b) bukti pemisah kelompok sekaligus sebagai penyatu subkelompok. Berdasarkan bukti penyatu kelompok dan bukti pemisah kelompok yang bersifat kualitatif itulah tingkat keeratan kelompok bahasa itu ditetapkan dalam bentuk garis silsilah yang definitif. 2) Prosedur Rekonstruksi Setelah pengelompokan bahasa-bahasa ditetapkan, langkah selanjutnya adalah penemuan protobahasa kelompok itu dan protobahasa subkelompok di bawahnya. Prosedur yang ditempuh adalah melalui rekonstruksi, baik rekonstruksi fonologis maupun rekonstruksi leksikal. Cara kerja rekonstruksi protobahasa dilaksanakan secara induktif yang dikenal dengan pendekatan dari bawah ke atas (Bottom-up Reconstruction). Teknik ini digunakan mengacu pada studi bahasa Austronesia pertama kali, ketika bahasa-bahasa Austronesia Barat (Tagalog, Jawa, dan Batak Toba) dibandingkan untuk merekonstruksi protobahasa Indonesia
39 (Dempwolff, 1938). Langkah penetapan protofonem dilakukan dengan cara penetapan protofonem demi protofonem. Setiap protofonem ditemukan melalui (a) penelusuran jumlah perangkat kosakata seasal yang menunjang penentuan protofonem tertentu yang direkonstruksi, (b) pengamatan korespondensi fonem dan penetapan formulasi sejumlah kaidah perubahan bunyi, dan (c) penetapan etimon-etimon protobahasa dalam rekonstruksi leksikal (bandingkan Fernandez, 1996:30). Cara kerja tersebut mengikuti urutan langkah rekonstruksi fonologi terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan rekonstruksi leksikal. Cara kerja itu diuraikan sebagai berikut. a) Rekonstruksi fonologi. Metode rekonstruksi, khususnya fonologi, pada hakikatnya merupakan proses penemuan dan pemerian protofonem serta sistem fonologi protobahasa kelompok bahasa yang diteliti. Proses ini ditempuh sebagai langkah persiapan menuju proses rekonstruksi leksikal. Langkah yang ditempuh dalam rekonstruksi fonologi meliputi (a) penetapan wujud protofonem beserta lingkungan yang dimasukinya; (b) perumusan pantulan fonem protobahasa pada bahasa-bahasa turunan yang dapat diamati dalam korespondensi bunyi berdasarkan padanan kosakata seasal; (c) perumusan kaidah korespondensi fonem antarbahasa itu berdasarkan pantulan fonem protobahasanya. b) Rekonstruksi leksikal Rekonstruksi leksikal bertujuan untuk menemukan perangkat protokata yang memiliki makna (tertentu) yang sama atau mirip pada kelompok bahasa yang diperbandingkan (Dyen, 1975:7). Rekonstruksi leksikal dilaksanakan setelah
40 rekonstruksi fonologi dilakukan. Meskipun dilakukan kemudian, rekonstruksi keduanya tidak dapat dipisahkan. Rekonstruksi fonologi harus melibatkan kata. Melalui kosakata seasal itulah fonem dan perubahannya ditemukan. Setiap fonem dengan varian-variannya hanya dapat muncul dan secara gradual berubah dalam struktur kata (Robinson, 1977:70). 3.2.2.2 Metode Diakomparatif dengan Pendekatan Horizontal Metode ini digunakan untuk menganalisis fakta-fakta bahasa yang berasal dari bahasa-bahasa yang tidak berkerabat. Dengan metode ini, beberapa fakta kebahasaan yang dimiliki bahasa Or sekarang ini yang berasal dari berbagai bahasa lain sebagai hasil difusi dapat dirunut dan ditelusuri asal usulnya. Dasar yang dipakai untuk menentukan fakta-fakta bahasa pinjaman adalah melalui perbedaannya dengan fitur-fitur linguistik yang dimiliki bahasa Or, sekaligus persamaannya dengan ciri fitur linguistik yang dimiliki bahasa-bahasa di sekitarnya. Fenomena ini dijejaki dengan menempuh beberapa prosedur. Prosedur pertama adalah melalui runut banding kontak budaya. Langkah ini digunakan untuk menelusuri fakta bahasa sebagai representasi akibat peristiwa kontak budaya. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa peristiwa budaya, bentuk peradaban, dan berbagai fitur budaya lainnya dengan mudah dipinjam dan menyebar dari waktu ke waktu, secara perlahan beradaptasi dengan budaya lain di sekitarnya (Sapir, 1921:205). Bahasa sebagai pranata budaya pada dasarnya sangat terbuka untuk berdifusi (Dixon, 1997). Fakta bahasa yang mungkin dapat ditelusuri melalui prosedur ini adalah fitur linguistik yang bersifat leksikal dari suatu bahasa tertentu dengan memperhatikan aspek prestise suatu bahasa.
41 Prosedur kedua dapat ditempuh melalui runut banding konteks ciri bahasa. Dengan prosedur ini diharapkan pinjaman aspek linguistik dari suatu bahasa tertentu dapat dirunut. Penerapan prosedur ini didasarkan atas asumsi bahwa peristiwa kontak bahasa dan multilingualisme melahirkan pula peristiwa pinjam-meminjam fitur linguistik (Dixon, 1997 dan McMahon, 1999). Fitur-fitur linguistik yang mungkin dapat dirunut dengan prosedur ini adalah struktur fonologis dan struktur gramatikal lainnya dengan memperhatikan aspek unik dan kompleksitas suatu bahasa. Prosedur ketiga melalui runut banding kontras protobahasa. Maksudnya, membandingkan protobahasa Or dengan protobahasa pinjaman yang berasal dari bahasa AN yang ada di sekitarnya. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa Or termasuk kategori bahasa NAN (Capell, 1975; Voorhoeve, 1984; dan Grimes,1988) yang sampai saat ini belum ditemukan protobahasanya. Oleh karena itu, prosedur runut banding kontras protobahasa tidak dilakukan dalam penelitian ini. 3.3 Metode Penyajian Hasil Penyajian terhadap hasil-hasil penelitian ini dilakukan secara formal dan informal (Sudaryanto, 1993:144--157). Artinya, hasil penelitian berupa kaidahkaidah disajikan secara formal dan informal. Dengan metode formal, hasil penelitian disajikan dalam bentuk lambang-lambang atau tanda dengan maksud agar lebih ringkas dan padat, sekali pandang kaidah yang disajikan dapat ditangkap secara utuh. Lambang-lambang linguistik yang digunakan di antaranya,
42 asterisk (*), kurung siku ([ ]), kurung miring (/ /), sendi turun (#), panah ( ), dan sebagainya. Lambang-lambang konvensional itu digunakan terutama untuk merumuskan pola-pola kaidah perubahan bunyi bahasa. Tidak semua hasil penelitian dan kaidah dapat dilambangkan. Oleh karena itu, hasil penelitian yang tidak dapat disajikan dengan lambang atau tanda, dirumuskan dengan pengungkapan atau pendeskripsian menggunakan kata-kata biasa. Cara penyajian seperti ini disebut menganut metode informal.