BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP.

dokumen-dokumen yang mirip
Pada UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya pada pasal 52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi:

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB XX KETENTUAN PIDANA

HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN, PERAWAT, RUMAH SAKIT DASAR HUKUM

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Hospital by laws. Dr.Laura Kristina

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan analisa pada uraian dari Bab I (satu) sampai dengan Bab IV. merupakan cangkupan dari bahasan sebelumnya.

PENDAHULUAN. unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III TINJAUAN TEORITIS

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

PANDUAN HAK PASIEN DAN KELUARGA RS X TAHUN 2015 JL.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Etika dan Moral dalam Bidang Kebidanan

BAB I PENDAHULUAN. anggota militer beserta keluarganya secara gratis termasuk masyarakat. oleh kelompok agama yang ingin mendirikan rumah sakit.

Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

KONSEP HUKUM DALAM KEPERAWATAN

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum)

PENYUSUNAN RUU TENTANG PRAKTIK KEPERAWATAN * Oleh : F.X. Soekarno, SH

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. continental dan sistem Anglo Saxon. Perkembangan hukum secara. campuran karena adanya kemajemukan masyarakat dalam menganut tingkat

Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien. 1. Tanggung Jawab Etis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PANDUAN TENTANG PEMBERIAN INFORMASI HAK DAN TANGGUNG JAWAB PASIEN DI RSUD Dr. M. ZEINPAINAN

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM

BAB I PENDAHULUAN. nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

I. PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal penting bagi kesejahteraan masyarakat. Kesehatan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Perawat adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kewenangan untuk memberikan asuhan keperawatan pada orang lain berdasarkan ilmu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LILIK SUKESI DIVISI GUNJAL HIPERTENSI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM R.S. HASAN SADIKIN / FK UNPAD BANDUNG

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA

Pedoman Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

RELEVANSI Skm gatra

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

Kata kunci : tingkat pengetahuan hak dan kewajiban pasien atas informasi medis. Kepustakaan : 17 ( )

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. Justru yang utama dan mendasar ada di dalam Undang Undang Praktek. kelalaian dalam melaksanakan profesi dalam undang-undang praktek

PANDUAN PENOLAKAN PELAYANAN ATAU PENGOBATAN RSIA NUN SURABAYA 1. LATAR BELAKANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 4/PUU-V/2007

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Aspek Etik dan Hukum Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. yang menderita sakit, terluka dan untuk yang melahirkan (World Health

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KARENA KELALAIANNYA MENYEBABKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA PADA KECELAKAAN LALU-LINTAS.

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo.

Apa yang perlu dokter ketahui agar tidak masuk penjara? Dr. Budi Suhendar, DFM, Sp.F PIT IDI Tangerang 11 Februari 2018

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702]

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

APLIKASI ETIKA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. emosi harapan dan kekhawatiran makhluk insani. perjanjian terapeutik adalah Undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kedokteran adalah suatu profesi yang di anggap tinggi dan mulia oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa

HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN - DOKTER

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

ASPEK LEGAL DAN ETIK DALAM DOKUMENTASI KEPERAWATAN

Transkripsi:

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP. A. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU.No.36 Tahun 2009. Kesehatan merupakan Hak Azasi Manusia (HAM) dan merupakan salah satu unsur dari upaya pemerintah untuk mensejahterahkan masyarakatnya yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu demi mewujudkan kesejahteraan umum. Dengan tubuh yang sehat maka kesejahteraan tersebut akan menjadi lebih baik lagi. Untuk lebih mewujudkan usaha kesejahteraan tersebut, pemerintah membuat suatu aturan yang konkret mengenai kesehatan. Hal ini dilakukan agar tidak adanya multi tafsir dari berbagai pihak dalam memberikan pemahaman mengenai kesehatan mengingat kesehatan tersebut tidak dapat dilihat dari satu sisi saja akan tetapi dari sisi yang lain juga. Aturan yang konkret tersebut juga berfungsi untuk menciptakan suatu kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat dan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional dalam bidang kesehatan. Besarnya dampak kesehatan dalam perkembangan nasional menuntut adanya perhatian untuk kesehatan di nusantara. Ganguan kesehatan akan menimbulkan kerugian ekonomi negara. Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Upaya peningkatan kesehatan tersebut harus berdasarkan pengetahuan yang luas tentang kesehatan demi peningkatan 21

kesejahteraan (kesehatan) masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman aturan mengenai kesehatan yang terdahulu yakni UU. No.23 Tahun 1992 tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, kebutuhan hukum maka dibentuklah UU.No.36 tahun 2009 yang lebih sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini. Dalam menjaga kesehatan tentu seringkali ditemukan beberapa tindakantindakan yang mengancam kesehatan tersebut dapat berupa kesengajaan, kelalaian, ataupun kecelakaan. Hal-hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai malpraktek yang lebih ditekankan kepada tindak pidana malpraktek. Didalam UU Kesehatan tidak dicantumkan pengertian tentang Malpraktek, namun didalam Ketentuan Pidana pada Bab XX diatur didalam Pasal 190 yang berbunyi: (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah. Pada pasal 63 UU No.36 Tahun 2009 jelas diatur mengenai upaya penyembuhan penyakit dan upaya untuk pemulihan kesehatan sebagai tolak ukur

perbuatan malpraktek menurut ketentuan pidana yang terdapat pada pasal 190 diatas. Pasal 63 (1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat. (2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan. (3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan. (4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. (5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Pembentukan perundang-undangan di bidang pelayanan kesehatan diperlukan, hal ini dilakukan supaya tindak pidana malpraktek dapat dijerat dengan ketentuan yang tegas. Motif yang ada pada pembentuk perundangundangan untuk menyusun peraturan-peraturan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sangat bervariasi. Demikian pula halnya dengan dorongandorongan untuk menyusun perundang-undangan pelayanan kesehatan. Landasan-

landasannya adalah antara lain, sebagai berikut ( W.B.van der Mijn, 1982:15, dan seterusnya): 19 1. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian. Saat ini ada anggapan kuat bahwa tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk memlihara dan menanggulangi penyakit harus diberikan oleh pihak-pihak yang memang memperoleh pendidikan untuk itu. Pembentuk perundang-undangan dapat mengeluarkan peraturan-peraturan yang mewajibkan orang-orang yang membutuhkan jasa itu meminta bantuan kepada pihak-pihak tertentu. Di samping itu, peraturan-peraturan tersebut dapat pula mewajibkan para ahli untuk menjalani pendidikan pasca atau purnapasca tertentu. Pembentuk perundang-undangan dapat mewajibkan organisasi-organisasi profesional tertentu untuk mewajibkan anggota-anggotanya mengikuti pendidikan tersebut atau menyelenggarakan sendiri pendidikan itu. Hanya orang-orang yang telah diakui keahliannya yang diizinkan untuk memberikan jasa-jasa keahlian di bidang pelayanan kesehatan, atas dasar pengakuan formal dan material terhadap kemampuan dan kecakapannya. 2. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu. Kewajiban untuk menjalani keahlian kadang-kadang tidak menjamin tingkat kualitas tertentu yang dikehendaki atau dibutuhkan. Seseorang yang memerlukan pelayanan kesehatan seyogyanya percaya 19 Soerjono Soekanto,dkk, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja Karya, Bandung, 1987, halaman : 33.

akan keahlian pihak-pihak yang dimintainya bantuan. Hal ini disebabkan karena warga masyarakat biasanya benar-benar awam mengenai ilmu kesehatan dan teknologinya. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas keahlian dan kepercayaan masyarakat, diperlukan peraturan-peraturan tertentu, misalnya adanya hukum disipliner atau hukum pengendalian. Penerapan peraturan-peraturan hukum disipliner atau hukum pengendalian dapat dipercayakan kepada organisasi profesional yang diakui secara resmi. 3. Kebutuhan akan keterarahan (doelmatigheid). Syarat berarti berpegang pada jalur tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan perumusan tujuan yang benar dengan upaya-upaya yang direncanakan untuk memenuhi tujuan itu. Dengan demikian kualitas keahlian dapat dipertahankan dan kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat akan terpenuhi. 4. Kebutuhan akan pengendalian biaya. Pembiayaan kesehatan masyarakat maupun kesehatan individual bukan merupakan hal yang murah dan sederhana. Biaya penyelenggaraan kesehatan, terutama yang bersifat kuratif dan rehabilitatif, tidak murah. Apabila kalau hal itu dikaitkan dengan teraf daya beli masyarakat. Biaya yang mahal itu tidak hanya berkaitan dengan harga obat, tetapi juga dengan imbalan jasa keahlian maupun tempat perawatan.

5. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah. Dalam suatu negara hukum dan kesejahteraan dengan pemerintahan konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan kesehatan. Sudah tentu kewajiban ini dapat diserasikan dengan tanggung jawab sektor swasta. Kewajiban itu tidak bersifat sepihak, tetapi senantiasa harus diserasikan dengan hak warga masyarakat. Hak warga masyarakat untuk memilih salah satu metode pelayanan kesehatan tertentu merupakan salah satu hak asasi baginya. 6. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum. Pada masa lampau ada anggapan kuat bahwa kedudukan hukum pasien lebih rendah daripada tenaga kesehatan (misalnya bidan). Tenaga kesehatan, misalnya bidan, dianggap ahli yang mahatau sehingga pasien hanya boleh pasrah saja. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, risiko yang dihadapi pasien semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara bidan dengan pasien, misalnya, terdapat kesederajatan. Di samping bidan, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur di dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa bidan melakukan kekeliruan karena kelalaian yang lazimnya disebut medicalmalpractise (malpraktek medis).

Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum disertai dengan hak dan kewajiban pasien. Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien 20 : a. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan Peraturan yang berlaku di Rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan. b. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi adil dan makmur. c. Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi. d. Pasien berhak memperoleh asuhan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi. e. Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya. f. Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan. g. Paien berhak mendapat pendampingan suami selama proses persalinan berlangsung. h. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit. 20 Heni Puji Wahyuningsih, Op,cit, halaman : 26-27

i. Pasien berhak dirawat oleh dokter secara bebas menentukan pendapat kritis dan mendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar. j. Pasien berhak menerima konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat. k. Pasien berhak meminta atas privacy dan kerahasian penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya. l. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi: 1) Penyakit yang diderita. 2) Tindakan kebidanan yang dilakukan. 3) Alternatif terapi lainnya. 4) Prognosanya. 5) Perkiraan biaya pengobatan. m. Pasien berhak menyetujui / memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya. n. Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakit. o. Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.

p. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama / kepercayaan yang dianutnya selama itu tidak mengganggu pasien lainnya. q. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit. r. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual. s. Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus malpraktek. t. Hak untuk menentukan diri sendiri (the right to self determination), merupakan dasar dari seluruh hak pasien. u. Pasien berhak melihat rekam medik. Kewajiban pasien sebagai berikut : a. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan. b. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter,bidan,perawat yang merawatnya, c. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan, dan perawat. d. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban memenuhi halhal yang selalu disepakati/ perjanjian yang telah dibuatnya.

7. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli. Para ahli dalam bidang kesehatan, misalnya tenaga medis, dalam melaksanakan profesinya melakukan suatu pekerjaan yang kadangkadang penuh risiko. Kalau yang bersangkutan telah melakukan tugasnya dengan benar menurut tolak ukur profesional (standar profesi), maka yang bersangkutan harus mendapat perlindungan hukum. Dalam hal ini pembentuk perundang-undangan tidak hanya harus membentuk peraturan-peraturan yang ketat mengenai kualitas profesi, tetapi diperlukan pula usaha-usaha untuk melindungi profesi itu (termasuk tenaga ahlinya). Kebutuhan perlindungan hukum tidak terlepas dari hak dan kewajiban yang dimilikinya, bidan sebagai tenaga medis memiliki hak dan kewajibannya. Hak-hak bidan 21 : a. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. b. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat / jenjang pelayanan kesehatan. c. Bidan berhak menolak keinginan pasien / klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan, dan kode etik profesi. 21 Ibid, halaman :28-29.

d. Bidan berhak atas privasi / kedirian dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain. e. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan jenang karir dan jabatan yang sesuai. f. Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai. Kewajiban- kewajiban bidan : a. Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan dimana ia bekerja. b. Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien. c. Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien. d. Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi oleh suami atau keluarga. e. Bidan wajibmemberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. f. Bisan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.

g. Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta resiko yang mungkin dapat timbul. h. Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informad Consent) atas tindakan yang akan dilakukan. i. Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan. j. Bisan wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal dan non formal. k. Bidan wajib bekerja sama dengan proesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan. 8. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga. Dalam hubungan-hubungan antar bidan dengan pasien mungkin tersangkut pihak ketiga. Pihak ketiga itu mungkin tenaga paramedis, tenaga perawatan, atau tenaga kesehatan lainnya. Pihak ketiga itu berperan serta, baik dalam kegiatan diagnostik maupun terapeutik. Apabila terjadi kesalahan yang berakibat negatif pada pasien, siapakah yang bertanggung jawab? Jangan sampai terjadi pihak ketiga sama sekali tidak mendapat perlindungan hukum yang wajar. 9. Kebutuhan akan perlindungan bagi kepentingan umum.

Tidak mustahil bahwa kepentingan para ahli kesehatan tidak serasi dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Artinya, ada kemungkinan bahwa apa yang diharapkan oleh masyarakat, umpamanya, tidak sejalan dengan kode etik. Seorang penjahat yang terkenal kejamnya tertembak dan luka parah sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit. Tenaga kesehatan terikat pada sumpah dan kode etik, tetapi masyarakat mungkin mempunyai anggapan bahwa sebaiknya penjahat yang kejam itu dibiarkan mati saja. Masalah semacam ini juga menghendaki pengaturan yang benar, yang menyerasikan pelbagai kepentingan, termasuk kepentingan umum. B. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut KUHP Pelayanan kesehatan yang diberikan seorang tenaga medis kepada pasien merupakan tindakan profesi tenaga medis. Tindakan medis merupakan suatu tindakan yang penuh dengan risiko. Risiko tersebut dapat terjadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya atau risiko yang terjadi akibat tindakan medis yang salah. Dikatakan tindakan salah apabila tenaga medis tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi medik & prosedur tindakan medik. Apabila seorang tenaga medis melakukan tindakan salah, maka tenaga medis tersebut dapat dikategorikan melakukan tindakan malpraktik, sehingga dapat menyangkut aspek hukum pidana.

Tenaga medis adalah suatu profesi yang memiliki persyaratan tertentu karena dalam pelaksanaan profesi ini penuh dengan risiko. Persyaratan tertsebut meliputi persyaratan teknis yang berkaitan dengan kemampuan (berkaitan dengan basic science serta keterampilan teknik) serta persyaratan yuridis, berkaitan dengan kompetensi. Profesi tenaga medis mengandung risiko tinggi karena bentuk, sifat & tujuan tindakan yang dilakukan oleh seorang tenaga medis dapat berpotensi menimbulkan bahaya bagi seseorang. Undang-undang memberikan kewenangan secara mandiri kepada tenaga medis untuk melakukan & bertanggung jawab dalam melaksanakan ilmu medis menurut sebagian atau seluruh ruang lingkupnya serta memanfaatkan kewenangan tersebut secara nyata. Seorang tenaga medis dinyatakan melakukan kesalahan profesional apabila melakukan tindakan yang menyimpang atau lebih dikenal sebagai malpraktik. Dalam pengertian sempit, disebut juga sebagai malpraktik kriminal. Suatu tindakan dikatakan sebagai malpraktik kriminal apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela (actus reus). 2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea). 3. Merupakan perbuatan yang sengaja (intensional), ceroboh (recklessness), atau kealpaan (negligence).

Apabila tindakan tersebut tidak didasari dengan motif untuk menimbulkan akibat buruk, maka tindakan tersebut adalah tindakan kelalaian. Akibat yang ditimbulkan dari suatu kelalaian sebenarnya terjadi di luar kehendak yang melakukannya. Dalam hal tindak pidana malpraktik tidak diatur dengan jelas dalam KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktek tersebut. Pada pasal 360 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 361. 22 Pasal 360 Ayat 1 : Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Ayat 2 : Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4.500,- Pada pasal 360 memiliki perbedaan dengan pasal 359, yakni pada pasal 359 dijelaskan akibat dari perbuatan yang menyebabkan kematian orang sedangkan dalam pasal 360 adalah : 22 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, POLITEIA, Bogor, 2007, halaman : 248.

a. Luka berat Di dalam pasal 90 KUHP dijelaskan mengenai luka berat atau luka parah yakni : 1. 23 Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut itu bukan luka berat. 2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk luka berat. 3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindera. 4. Verminking atau cacat sehingga jelek rupanya. 5. Verlamming (lumpuh) artinya tidak bisa menggerakkan anggota badannya. 6. Pikirannya terganggu melebihi empat minggu. 7. Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu. b. Luka yang menyebabkan jatuh sakit (ziek) atau terhalang pekerjaan seharihari. 23 Ibid, halaman : 98.

Sedangkan karena salahnya (kurang hati-hatinya) menyebabkan orang luka ringan tidak dikenakan pasal ini. Pasal 361 Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan. Yang dikenakan pasal ini misalnya dokter, bidan, ahli-obat, sopir, kusir dokar, masinis yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila mereka itu mengabaikan peraturan-peraturan atau keharusan-keharusan dalam pekerjaannya, sehingga menyebabkan mati (pasal 359) atau luka berat (pasal 360), maka akan dihukum lebih berat. Sehubungan dengan aturan tindak pidana malpraktik maka diperlukan pembuktian terhadap tindak pidana malpraktik tersebut. Pembuktian dalam hal malpraktik merupakan upaya untuk mencari kepastian yang layak melalui pemeriksaan dan penalaran hukum tentang benar tidaknya peristiwa itu terjadi dan

mengapa mengapa peristiwa itu terjadi. Jadi tujuan pembuktian ini adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil, bukan mencari kesalahan terdakwa. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim dapat menjatuhkan pidana dengan syarat ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang diperoleh dari dua alat bukti tersebut atau sistem pembuktian menurut teori negative wetelijk, karena menggabungkan antara unsur keyakinan hakim & unsur alat-alat bukti yang sah menurut UU. A. Keterangan saksi Berdasarkan Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri & ia alami sendiri. Keterangan saksi ini menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP merupakan salah satu dari alat bukti dalam perkara. Untuk menggunakan keterangan saksi sebagai alat bukti diperlukan paling sedikit 2 orang saksi, karena satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis). Dalam kasus ini beberapa saksi dapat diajukan di dalam persidangan pidana antara lain saksi korban, dokter anestesi & perawat yang turut dalam tindakan operasi. Keluarga penderita tidak dapat dijadikan saksi karena mereka termasuk memiliki hubungan keluarga/semenda sampai derajat ketiga dengan terdakwa yang dilarang

menjadi saksi berdasarkan Pasal 168 KUHAP dgn kekecualian Pasal 169. 24 B. Keterangan ahli Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang berkeahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Seorang dokter yang sederajat keahliannya dapat dijadikan pemberi keterangan ahli & dalam penunjukannya akan lebih baik apabila berkonsultasi dengan IDI. Mereka termasuk dalam kelompok yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 28, Pasal 120, & Pasal 179 ayat (1) KUHAP. Keterangan ahli pada kasus ini diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana malpraktik tersebut menjadi lebih terang & jelas. C. Alat bukti surat Rekam medik penderita selama menjalani perawatan di sarana kesehatan dapat dijadikan alat bukti surat, karena rekam medik dibuat berdasarkan undang-undang (UU no.29/2004). Dari rekam medik ini akan dapat dilihat apa yang dilakukan dokter selama operasi berlangsung dari laporan operasi yang dibuat oleh dokter. 24 http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-pidana-dalam-pelayanankesehatan/ akses tanggal 13 Agustus 2013, jam : 13:43 WIB.

D. Alat bukti petunjuk Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti berupa perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana & siapa pelakunya. E. Keterangan terdakwa Keterangan terdakwa merupakan pernyataan terdakwa tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri. Keterangan dokter yang melakukan tindakan medik dapat dijadikan alat bukti yang kebenarannya dapat dicocokkan dengan rekam medik.