BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya, yaitu: (a). Provinsi Aceh; (b). Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; (c) Daerah Istimewa Yogyakarta; dan (d). Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan hukum utama pembentukan daerah khusus dan menjalankan roda pemerintahan daerahnya sendiri di luar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai landasan hukum pemerintahan daerah di Indonesia. Pemberian status kekhususan/keistimewaan kepada Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat karena keempat provinsi tersebut memiliki kekhususan/keistimewaan dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia, seperti adat istiadat, asal usul sejarah, dan fungsi daerah khusus tersebut. 1
2 Provinsi DKI Jakarta mendapatkan hak otonomi khusus karena fungsinya sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4744), Provinsi DKI Jakarta diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 1 Berbeda apa yang diatur oleh undang-undang pemerintahan daerah, letak otonomi Provinsi DKI Jakarta berada pada tingkat provinsi. Provinsi DKI Jakarta tidak terdapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat kabupaten/kota, yang ada hanyalah DPRD tingkat Provinsi sebagaimana isi Pasal 12 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, tidak ada pengaturan mengenai DPRD tingkat kabupaten/kota melainkan DPRD tingkat provinsi.. Kemudian walikota diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta atas pertimbangan DPRD Provinsi dari kalangan Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan seperti yang diatur Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007. Status daerah otonomi Papua didapat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan 1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4744).
3 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151). Pemberian status otonomi khusus tersebut dilatarbelakangi oleh permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesenjangan pembangunan. Pemberian status otonomi khusus terhadap Provinsi Papua, ditujukan untuk mewujudkan percepatan pembangunan, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat, penghormatan terhadap HAM, dan mewujudkan keadilan. Letak otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat salah satunya adalah pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintah Provinsi Papua sebagai badan eksekutif. 2 Provinsi Papua dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan DPRP bersama gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terakhir kali diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta (UU Keistimewaan Yogyakarta), yang mengatur lima hal pokok keistimewaan yang dimiliki DIY, yakni: 1. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; 2. Kelembagaan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta; 3. Kebudayaan; 2 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151).
4 4. Pertanahan; dan 5. Tata ruang. 3 Dengan lima hal pokok keistimewaan DIY tersebut tentu memberikan dampak di bidang ketatanegaraan dalam pelaksanaan otonomi daerah di DIY. Mengingat sebagai sebuah daerah otonom khusus, Pemerintah Daerah DIY diberi kewenangan dalam melaksanakan urusan pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mana urusan pemerintahan meliputi urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan. Sebagai sebuah daerah istimewa yang kewenangannya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 dan kemudian munculnya kewenangan tambahan berupa lima Urusan Keistimewaan yang diberikan oleh UU Keistimewaan Yogyakarta. 4 Provinsi Aceh menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam 3 Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339). 4 Teodorus Septiandhito, 2013, Implikasi Yuridis Perdais Kelembagaan terhadap Kelembagaan Pemerintahan Daerah Provinsi Istimewa Yogyakarta, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 12.
5 sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945). Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Otonomi khusus disamping menawarkan banyak peluang untuk potensi masyarakat daerah, juga menawarkan banyak peluang untuk menikmati sumberdaya alam dari bagi hasil antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Bagi Pemerintah Aceh, juga memiliki kesempatan untuk mengelola, mengatur, dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan nilai adat dan budaya yang ada di dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Dibandingkan daerah lain, Aceh memperoleh dua kali atribut otonomi khusus. Pertama, melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggore Aceh Darussalam. Dalam undang-undang ini, pertimbangan pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Aceh adalah: a. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang; b. bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial, dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan
6 mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi khusus; d. bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; e. bahwa pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e, pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu ditetapkan dengan undang-undang. 5 Pengakuan atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Negara Nomor 4633). Adapun dasar pertimbangan pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Aceh adalah sebagai berikut: (1) bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa; (2) bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; 5 Lihat pertimbangan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Lembaran Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134).
7 (3) bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; (5) bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6 Undang-Undang Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) selanjutnya disebut MoU Helsinky antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Isi dari MoU Helsinky tersebut menginginkan Pemerintahan Aceh menjalani roda pemerintahannya sendiri, dan diberi keistimewaan dalam melakukan kebijakan-kebijakan lokal tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. Pemerintah Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan 6 Lihat pertimbangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Negara Nomor 4633).
8 fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan konstitusi. Ada yang menarik dari salah satu kesepakatan yang tertuang dalam MoU Helsinky tersebut, yaitu adanya Lembaga Wali Nanggroe. Hal ini dipertegas di dalam Pasal 96 dan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang mengatur tentang keberadaan Lembaga Wali Nanggroe dalam Pemerintahan Aceh. Untuk memperkuat keberadaan Lembaga Wali Nanggroe tersebut, maka Pemerintah Provinsi Aceh (Pemprov Aceh) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh) membentuk Qanun Aceh 7, yaitu Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe yang sudah direvisi dengan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe (selanjutnya disebut Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013). Kontroversi timbul sejalan dengan adanya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013, yaitu mengenai kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangan Lembaga Wali Nanggroe yang bahkan melebihi dari kewenangan Gubernur Aceh. Kedudukan Lembaga Wali Nanggroe yang awalnya diatur dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagaimana diatur di dalam Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) hanya sebatas 7 Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh (Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Negara Nomor 4633).
9 lembaga adat, bukan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Pemerintah mengakui keberadaan dan peranan lembaga-lembaga adat yang ada di Aceh. Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai media partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Namun dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013, Lembaga Wali Nanggroe yang notabene merupakan peraturan pelaksana dari Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006, memposisikan Lembaga Wali Nanggroe seolah-olah menjadi lembaga politik dan lembaga pemerintahan yang mencampuri urusan pemerintahan dan politik, setara atau bahkan di atas kewenangan gubernur selaku pimpinan tertinggi daerah, karena tidak terdapat penjelasan pasal yang jelas dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tersebut. Ambil contoh, Lembaga Wali Nanggroe memiliki tugas melakukan kerjasama dengan berbagai pihak termasuk dengan luar negeri. Lembaga ini juga diberi kewenangan membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga politik. Dalam melaksanakan semua tugas, fungsi dan kewenangan yang dimiliki, Lembaga Wali Nanggroe dimungkinkan untuk melakukan hubungan kerja dengan lembaga lain seperti Pemerintah Indonesia, DPR-RI, DPD-RI, Pemerintah Aceh, dan pemerintahan kabupaten/kota di Aceh, serta lembaga-lembaga lainnya. Kewenangan Lembaga Wali Nanggroe yang superior ini tercantum di dalam
10 Pasal 29, 30, dan 31 Qanun Provinsi Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Provinsi Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe (Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 9). Kewenangan Lembaga Wali Nanggroe yang superior tersebut secara tidak langsung mengganggu sistem penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, karena apabila ditelisik lebih jauh Pasal 29, 30, dan 31 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tersebut, jelas bahwa Lembaga Wali Nanggroe telah mengambil sebagian fungsi, wewenang dan peran dari pihak eksekutif dan legislatif di roda Pemerintahan Aceh. Walaupun Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tersebut merupakan perluasan pengaturan Lembaga Wali Nanggroe dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dengan adanya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tersebut, tentu perlu diteliti lebih lanjut lagi, apakah Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tersebut mengenai perluasan kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan Lembaga Wali Nanggroe sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Padahal berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, qanun/peraturan daerah berada di bawah undang-undang, sehingga materi muatan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 harus bersumber dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh, dan harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik seperti yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
11 Maka dari latar belakang tersebut penulis menarik rumusan permasalahan sebagai berikut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, rumusan permasalahannya adalah: 1. Bagaimana pengaturan kewenangan Lembaga Wali Nanggroe ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe? 2. Bagaimana implikasi yuridis terhadap perluasan kewenangan Lembaga Wali Nanggroe dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penulis juga berharap penelitian ini memberi sumbangsih kepada masyarakat hukum dalam mengenal Lembaga Wali Nanggroe.
12 2. Tujuan Objektif Tujuan objektif dari penelitian ini adalah, untuk mengetahui perbandingan kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan Lembaga Wali Nanggroe ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan Qanun Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Juga untuk mengetahui implikasi yuridis terhadap perluasan kewenangan Lembaga Wali Nanggroe, dikaitkan dengan norma hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. D. Keaslian Penelitian Penulis telah melakukan penelusuran guna mencari keaslian penulisan hukum yang penulis lakukan. Berdasarkan penelusuran penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak ditemukan penelitian yang serupa dengan penelitian yang penulis lakukan tentang kewenangan Lembaga Wali Nanggroe. Namun penulis menemukan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia yang berkaitan dengan Lembaga Wali Nanggroe. Penelitian tersebut berjudul PRO KONTRA LEMBAGA WALI NANGGROE DAN POTENSINYA TERHADAP KONFLIK PERPECAHAN SUKU DI PROVINSI ACEH (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT ANTAR SUKU DAN PAGUYUBAN MAHASISWA DI PROVINSI ACEH, berbentuk penulisan hukum yang dilakukan oleh Muhammad Aris Yunandar
13 pada tahun 2013 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala Aceh. Dalam penelitian ini, permasalahan yang diangkat mengenai keberadaan Lembaga Wali Nanggroe pasca MoU Helsinky, dan menganalisis tentang pro-kontra di masyarakat mengenai keberadaan Lembaga Wali Nanggroe tersebut. Juga untuk mengetahui apakah keberadaan Lembaga Wali Nanggroe berpotensi terhadap konflik disintegrasi suku di Aceh. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe adalah konsep baru yang dapat mempersatukan suku-suku di Aceh kalau dapat diakomodir dan dijalankan dengan baik. Namun, dapat berpotensi konflik jika sosok yang ditunjuk sebagai pemangku Wali Nanggroe tersebut adalah Malik Mahmud Al-Haytar karena ada asumsi dalam masyarakat bahwa sosok tersebut hanyalah keinginan kelompok dominan yang sedang berkuasa di legislatif dan eksekutif, yaitu Partai Aceh. Pemerintah juga harus memperhatikan potensi konflik yang berasal dari polemik qanun ini yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok pemekaran provinsi baru seperti Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS). Karena jika tidak diberi perhatian serius, hal ini bisa menjadi pemicu disintegrasi suku di Provinsi Aceh. 8 Selain itu penulis juga menemukan penelitian yang berjudul STUDI KOMPARASI PERAN MAJELIS ADAT ACEH DENGAN LEMBAGA WALI NANGGROE. Penelitian tersebut berbentuk penulisan hukum yang 8 M. Aris Yunandar, 2013, Pro Kontra Lembaga Wali Nanggroe dan Potensinya terhadap Konflik Perpecahan Suku di Provinsi Aceh (Studi Kasus Pada Masyarakat Antar Suku dan Paguyuban Mahasiswa yang Ada di Provinsi Aceh), Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala, Aceh.
14 dilakukan oleh Winda Zulkarnaini pada tahun 2015 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala Aceh. Penelitian ini dilakukan karena terdapat dua lembaga adat untuk mengawasi adat dan budaya di Provinsi Aceh, yaitu Majelis Adat Aceh yang dibentuk sesuai dengan pelaksanaan otonomi khusus berlandaskan pelaksanaan adat dan budaya. Kemudian pasca MoU Helsinky antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dibentuk lagi satu lembaga adat di Aceh yaitu Lembaga Wali Nanggroe. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui fungsi dan tugas serta kewenangan lembaga adat yang ada di Aceh, yaitu Majelis Adat Aceh dan Lembaga Wali Nanggroe. Juga membahas mengenai perbandingan peran Majelis Adat Aceh dengan Lembaga Wali Nangroe. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Majelis Adat Aceh yang sebelumnya menjadi pelaksana kehidupan adat/budaya di Aceh saat ini menjadi majelis fungsional yang berada di bawah payung Lembaga Wali Nanggroe, lalu tugas pembinaan kehidupan adat istiadat yang selama ini dilakukan Majelis Adat Aceh dikembalikan ke Lembaga Wali Nanggroe sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 9 Berdasarkan penelitian di atas, terdapat perbedaan dengan penulisan hukum penulis yang berjudul PERLUASAN KEWENANGAN LEMBAGA WALI NANGGROE MELALUI PERATURAN PELAKSANA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH, yang mana dalam penelitian ini 9 Winda Zulkarnaini, 2015, Studi Komparasi Peran Majelis Adat Aceh dengan Lembaga Wali Nanggroe, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala, Aceh.
15 meneliti mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan Lembaga Wali Nanggroe berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Juga untuk mengetahui implikasi yuridis terhadap perluasan kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan Lembaga Wali Nanggroe dikaitkan dengan norma hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. E. Kegunaan Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi ilmu pengetahuan, yaitu untuk menambah referensi mengenai keberadaan dan fungsi Lembaga Wali Nanggroe dalam Pemerintahan Aceh yang masih sangat jarang terdapat sumber yang membahas mengenai Lembaga Wali Nanggroe. 2. Bagi Praktik Ketatanegaraan Hasil penelitian ini, diharapkan Pemerintah Aceh terutama Lembaga Wali Nanggroe, dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tetap berada di dalam jalur perundang-undangan yang ada. Sehingga tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan yang ada bisa dihindari, dan menjalankan roda pemerintahan sesuai yang diamanatkan oleh undangundang itu sendiri.