BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan fisika sebagai bagian dari pendidikan formal dan merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

BAB I PENDAHULUAN. dan menuntut masyarakat memperlengkapi diri untuk mampu bersaing, dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. adalah warisan intelektual manusia yang telah sampai kepada kita (Ataha,

Skripsi OLEH: REDNO KARTIKASARI K

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang besar peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menempuh kehidupan (Sani, RA.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

IMPLIKASI MODEL PROBLEM BASED LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih

BAB I PENDAHULUAN. mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan kelemahan-kelemahan yaitu: 1) Sebanyak 27 siswa (79,4%) kurang

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sains pada hakekatnya dapat dipandang sebagai produk dan sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan lulusan yang cakap dalam fisika dan dapat menumbuhkan kemampuan logis,

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. menguasai informasi dan pengetahuan. Dengan demikian diperlukan suatu. tersebut membutuhkan pemikiran yang kritis, sistematis, logis,

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh seorang guru. Dewasa ini, telah banyak model pembelajaran

I. PENDAHULUAN. Mata pelajaran Biologi memiliki peran penting dalam peningkatan mutu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk

PENGARUH PROBLEM BASED INSTRUCTION PADA SISWA DENGAN TINGKAT MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PENGUASAAN KONSEP BIOLOGI SISWA KELAS X SMA BATIK 1 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. belajar yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik. Hal ini berhungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dimana kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan dan menghasilkan peserta didik yang memiliki potensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. sendiri maupun lingkungannya. Menurut Undang undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterampilan bereksperimen dengan menggunakan metode ilmiah. Pada

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Akan tetapi, matematika

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembelajaran adalah suatu proses yang tidak hanya sekedar menyerap

BAB I PENDAHULUAN. belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya pembelajaran kimia yang kreatif dan inovatif, Hidayati (2012: 4).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam pembukaan UUD 45 pada alinea ke empat, yang bertujuan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tingkah laku yang sesuai. Sanjaya (2006:2) mengatakan bahwa pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran di kelas maupun dalam melakukan percobaan di. menunjang kegiatan pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan perbaikan mutu pendidikan agar mencapai tujuan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempelajari pengetahuan berdasarkan fakta, fenomena alam, hasil pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. banyak dituntut dalam menghafal rumus rumus fisika dan menyelesaiakan soal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Informasi dari berbagai media massa, baik media cetak atau elektronika sering dikemukakan bahwa mutu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses pembelajaran pada dasarnya adalah interaksi atau hubungan

BAB I PENDAHULUAN. yang paling tepat untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dan teori-teori sains semata, siswa kurang dilatih untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses pembelajaran di mana peserta didik (siswa)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terdapat beberapa komponen yang dapat mempengaruhi hasil

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah telah merumuskan peningkatan daya saing atau competitiveness

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Evi Khabibah Lestari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Pendidikan fisika sebagai bagian dari pendidikan formal dan merupakan salah satu mata pelajaran yang memiliki peranan yang sangat penting dalam usaha untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Dalam pembelajaran fisika di SMA terdapat dua hal yang saling berkaitan yaitu fisika sebagai produk (berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) dan fisika sebagai proses (kerja ilmiah). Fisika sebagai produk mengharapkan siswa memiliki kemampuan dalam memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori fisika, karena pemahaman tersebut merupakan dasar dalam menjelaskan berbagai peristiwa alam, menyelesaikan masalah dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fisika sebagai proses (kerja ilmiah) bertujuan agar siswa mengalami proses terjadinya fenomena sains dengan melakukan penginderaan sebanyak mungkin. Ini berarti pada saat belajar fisika para siswa harus secara aktif mengamati, melakukan percobaan, yang dapat diartikan bahwa aktivitas belajar dilakukan melalui pengetahuan (knowledge) dan kerja praktek. Subagya & Wilujeng (203) menyatakan bahwa fisika sebagai salah satu cabang dari IPA memiliki hakikat yang meliputi produk, proses, dan sikap ilmiah, sehingga dengan mempelajari fisika, siswa dapat merasakan pengalaman langsung. Proses pembelajaran fisika menuntun siswa untuk berpikir konstruktif, dan melatih siswa untuk menemukan serta menerapkan berbagai konsep.

Salah satu kegiatan pembelajaran fisika yang efektif dan benar-benar mencerminkan hakekat fisika adalah kegiatan praktikum yang mampu memberikan pengalaman belajar nyata. Menurut Sidharta (2005) bahwa pemberian pengalaman nyata dalam pembelajaran sains ditekankan melalui penggunaan dan pengembangan kerja ilmiah yang meliputi aspek-aspek keterampilan proses sains dan sikap ilmiah. Ini menyatakan bahwa kegiatan praktikum memegang peranan penting dalam pembelajaran fisika karena praktikum memberikan peluang kepada siswa untuk kreatif dalam melakukan keterampilan proses sains. Kegiatan praktikum ini akan dapat terlaksana dengan baik jika didukung oleh penggunaan model pebelajaran yang tepat, sarana dan prasarana yang tepat serta ditambah dengan pemanfaatan sumber belajar dengan menggunakan media yang dapat menunjang praktikum itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan di sekolah SMA Negeri 2 Sibolga, ditemukan bahwa pelaksanaan pembelajaran Fisika masih belum mampu menunjukkan hakekat fisika. Hasil wawancara dengan beberapa siswa juga menyatakan bahwa siswa sangat jarang melakukan pembelajaran Fisika dengan kegiatan laboratorium. Guru biasanya langsung mengajarkan konsep fisika tanpa eksperimen terlebih dahulu. Penggunaan LKS juga belum melatih keterampilan proses sains pada siswa sehingga siswa belum termotivasi secara optimal dalam proses belajar mengajar. Pada proses pembelajaran fisika guru juga kurang mengembangkan cara berpikir siswa secara logis dalam melakukan pengolahan data pada saat melakukan praktikum yang dapat menuntut siswa untuk melakukan tahapan untuk mendapatkan keterampilan proses.

2 Sehingga tujuan pembelajaran agar siswa memiliki pengetahuan ilmiah dari proses penelitian yang mereka lakukan tidak tercapai. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SMA Negeri 2 Sibolga melalui sebaran angket kepada siswa kelas X, menunjukkan bahwa sekitar 77,5% dari 72 orang siswa menyukai pelajaran fisika, dan hanya 22,5 % yang tidak menyukai pelajaran fisika. Akan tetapi, dari wawancara dengan guru fisika kelas X disebutkan ditemukan bahwa hasil belajar pengetahuan fisika siswa masih katagori rendah. Hal ini tampak pada rata-rata nilai ujian semester I tahun ajaran 205-206 yaitu 60, sedangkan untuk KKM yang ditetapkan adalah 75. Temuan ini menggambarkan bahwa rasa suka siswa kepada pelajaran fisika tidak serta merta membuat pengetahuan ilmiah siswa tinggi. Kita juga tidak bisa menafikan bahwa siswa masih merasa fisika adalah pelajaran yang sulit, hal ini sejalan dengan temuan melalui sebaran angket, dimana sekitar 80 % dari 72 orang siswa merasa fisika adalah pelajaran yang sulit. Banyak alasan siswa sehingga memberi label sulit untuk fisika, salah satunya adalah kesulitan ketika berhubungan dengan penggunaan persamaan dalam suatu permasalahan. Siswa merasa kesulitan ketika menempatkan persamaan yang sesuai, karena begitu banyaknya rumus-rumus yang disajikan baik di buku pelajaran atau dari guru. Kesulitan ini sendiri pada dasarnya karena siswa tidak mampu untuk mengaitkan antara variabel-variabel pada persamaan dengan konsep fisika, sehingga terkadang siswa seolah-olah hanya mengganti huruf (simbol variabel) dengan angka tanpa memahami tujuannya.

3 Pada penelitian sebelumnya yaitu Nasution (205) menemukan masalah yang ada pada siswa adalah memiliki kemampuan yang rendah dalam memecahkan masalah pada kondisi real, karena siswa lebih konsentrasi pada persamaan dan perhitungan secara matematik tidak pada pengetahuan konsep, sehingga siswa sulit untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Pada penelitian yang berbeda yaitu Sihotang (204) menemukan masalah yang ada pada siswa yaitu hasil belajar siswa yang rendah, baik kemampuan kognitif maupun psikomotorik yang meliputi merumuskan masalah, membuat hipotesis, melakukan penelitian dan dalam memberi kesimpulan, sehingga siswa sulit untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan ilmiah yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Jika dikaji lebih lanjut, guru adalah pihak yang penting dan bertanggung jawab atas ketercapaian pembelajaran fisika, karena guru berperan langsung dalam proses pembelajaran fisika. Melalui hasil wawancara dengan guru bidang studi fisika di kelas X diketahui bahwa guru sudah pernah menrapkan model kooperatif tipe STAD, tetapi lebih sering menggunakan pembelajaran konvensional dengan metode ceramah dan latihan. Tetapi, rata-rata hasil belajar siswa dalam bentuk pengetahuan ilmiah masih belum dapat mencapai KKM, dan guru juga sulit dalam mengukur kemampuan proses sains siswa. Artinya, menggunakan model saja belum cukup untuk memberikan hasil belajar yang baik bagi siswa, guru perlu memiliki kemampuan untuk memilih model yang tepat dan melakukan variasi metode pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran yang

4 tepat oleh guru sangat berperan penting dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran fisika. Guru dengan kompetensi yang dimilikinya diharapkan mampu memilih model pembelajaran yang tepat agar dapat mencapai tujuan pembelajaran. Mengajar bukan sekedar usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan juga usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang membelajarkan siswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Menciptakan sistem lingkungan yang mampu membelajarkan siswa bukan hanya menjadikan yang tak ada menjadi ada, tapi juga perlu memanfaatkan seoptimal mungkin yang telah tersedia di sekolah. Misalnya, dengan menggunakan laboratorium dengan semaksimal mungkin sebagai tempat siswa untuk mengembangkan keterampilan mereka dan memberi pengalaman nyata dan bermakna. Untuk mengatasi masalah yang terungkap diatas, salah satu model yang cocok untuk pembelajaran yang bertujuan agar siswa dapat meningkatkan pengetahuan ilmiah maka diterapkan model pembelajaran yang dapat membuat siswa dapat membangun konsep-konsep fisika atas dasar nalarnya dalam berpikir adalah model pembelajaran Scientific Inquiry. Model pembelajaran Scientific Inquiry dapat digunakan untuk menciptakan sistem lingkungan yang membelajarkan siswa dan bagian dari model pengajaran memproses informasi. Menurut Metz (Joyce, 2003), Scientific Inquiry models have been developed for use with students of all age, from preshschool through college. Selanjutnya menurut Joyce (2003), The essence of the model is to involve students in a genuine problem of Inquiry by confronting

5 them with an area of investigation, helping them identify a conceptual or methodological problem within that area of investigation, and inviting them to design ways of overcoming that problem. Model pembelajaran ini digunakan karena pada pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada siswa, atau dengan kata lain sebagian besar perencanaanya dibuat oleh guru termasuk kegiatan perumusan masalah. Dhakaa (202), pada hasil penelitiannya menunjukkan bahwa belajar konsep Biologi pada siswa kelas IX melalui model pembelajaran Scientific Inquiry lebih efektif daripada pembelajaran konvensional. Ini menunjukkan model pembelajaran Scientific Inquiry memiliki implikasi bagi pembelajaran di dalam kelas yang. Selain itu, Sihotang (204) pada hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa hasil belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran Scientific Inquiry lebih baik daripada hasil belajar siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional. Selanjutnya, disimpulkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran Scientific Inquiry hasil belajar siswa yang memiliki sikap ilmiah yang tinggi lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang memiliki sikap ilmiah rendah. dan hasil Ini berarti penerapan model pembelajaran Scientific Inquiry lebih tepat diterapkan kepada siswa yang memiliki sikap ilmiah tinggi. Lederman, dkk (203), menyebutkan bahwa Integrasi eksplisit, instruksi reflektif tentang Nature Of Science (NOS) dan Scientific Inquiry (SI) dalam konten ilmu tradisional ditujukan sebagai sarana untuk perkembangan literasi ilmiah. Inquiri memiliki potensi untuk menimbulkan persepsi ilmu pengetahuan

6 dalam konteks yang lebih luas, yang dapat berdampak pada cara pandang siswa melihat dunia. Nadelson, dkk (2008) dalam penelitiannya dengan mengumpulkan dan meresume bukti empiris efektivitas Pembelajaran sains berbasis Inquiri (Inquiry- Based Science Instruction) pada hasil kognitif, afektif dan perilaku siswa di kelas 5 sampai 8, dan menemukan bahwa ada hubungan empiris antara penerapan pembelajaran sains berbasis inquiri dengan hasil belajar siswa, afektif dan perilaku siswa sekolah dasar dan menengah di Amerika Serikat dengan potensi implikasi internasional. Penelitian ini, menunjukkan bahwa model pembelajaran Scientific Inqury tidak hanya dapat diterapkan pada sekolah-sekolah di Amerika, tetapi juga dapat diterapkan untuk skala internasional. Njoroge, dkk (204) dalam penelitiannya menyebutkan masalah kinerja siswa secara keseluruhan pada fisika di Kenya Certificate of Secondary Examination (KCSE) mengalami kemunduran ditambah dengan pendaftaran siswa sangat rendah. Selain itu, guru fisika di sekolah menengah Kenya lebih memilih pembelajaran dengan pendekatan pengajaran ekspositori. Perubahan besar terjadi ketika sekolah menengah umum di Kenya menerapkan pembelajaran berbasis Inquiry atau (IBT). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prestasi hasil belajar siswa sekolah menengah di Nyeri, County meningkat dengan menerapkan pembelajaran berbasis Inquiry atau (IBT) dari pada hasil belajar siswa dengan metode pembelajaran umum (Regular Teaching Methods). Penelitian lain oleh Hussain, dkk (20) menyimpulkan pada hasil penelitiannya bahwa dengan menggunakan model pembelajaran Scientific Inquiry dalam tiga tingkatan pada

7 pelajaran fisika yaitu guided Scientific Inquiry, unguided Scientific Inquiry dan combination (guided & unguided) Scientific Inquiry memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar dan kemampuan siswa dalam menerapkan pengetahuan fisika dalam kehidupan nyata dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Penerapan model pembelajaran Scientific Inquiry adalah dengan menghadapkan siswa pada suatu kegiatan ilmiah (eksperimen). Siswa dilatih agar terampil dalam memperoleh dan mengolah informasi melalui aktivitas berpikir dengan mengikuti prosedur (metode) ilmiah, seperti, terampil melakukan pengamatan, pengukuran, pengklasifikasian, penarikan kesimpulan dan pengkomunikasian hasil temuan. Siswa diarahkan untuk mengembangkan keterampilan proses sains yang dimilikinya dalam memproses dan menemukan sendiri pengetahuan tersebut. Pada pelaksanaanya, model pembelajaran Scientific Inquiry dapat dibantu dengan berbagai sarana seperti, bagan, diagram, media dan sebagainya. Media pembelajaran sangat bermanfaat untuk menunjang proses belajar mengajar. Dengan adanya penggunaan media pembelajaran dapat meningkatkan keinginan dan minat baru, membangkitkan motivasi, rangsangan kegiatan belajar dan membawa pengaruh-pengaruh psikologis siswa. Sejalan dengan itu menurut Arsyad (2007) bahwa media pembelajaran juga dapat meningkatkan pemahaman konsep. Penggunaan alat-alat bantu mengajar, peraga pendidikan dan media pembelajaran di sekolah-sekolah mulai menyesuaikan dengan perkembangan

8 teknologi. Perkembangan teknologi informasi telah mempengaruhi penggunaan berbagai jenis media sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran. Melihat begitu besarnya tujuan yang diharapkan dari kegiatan belajar, tentu tidak mudah untuk mendapatkan hasil belajar yang baik bagi siswa. Demikian halnya dengan penggunaan model pembelajaran Scientific Inquiry, tentu tidak mudah untuk memperoleh hasil belajar yang baik dengan hanya menerapkan model pembelajaran tanpa mengikut sertakan kemampuan siswa dalam pembelajaran. Berbeda pada penelitian sebelumnya, penelitian ini memilih salah satu kemampuan siswa yaitu adanya kemampuan penalaran formal siswa. Masalah yang dihadapi guru fisika di SMA selain rendahnya hasil belajar siswa juga adanya perbedaan penalaran formal siswa. Hal ini dapat diamati secara seksama, dimana konsep-konsep yang ada dalam materi fisika di SMA sebagiannya akan ditemukan konsep-konsep yang sifatnya abstrak. Agar siswa dapat memahami materi tersebut secara konkrit maka diharapkan siswa harus sudah memiliki penalaran formal. Karena menurut teori perkembangan kognitif Piaget, anak pada tahap formal sudah dapat memberikan ide-ide umum, hipotesis dan mampu berfikir secara abstrak (Modgil, 980). Hal ini berarti anak-anak akan kesulitan dalam belajar jika tidak memiliki keterampilan kognitif, sehingga proses belajar mengajar menjadi terhambat bila penalaran formal siswa tidak sesuai dengan yang diperlukan (Sunardi, 2002). Dengan demikian, guru harus mempertimbangkan adanya perbedaan penalaran formal yang dimiliki oleh siswa agar tidak sampai merugikan siswa.

9 Penelitian yang relevan dengan penalaran formal diantaranya Wilantara (2003) yang berjudul Implementasi Model Belajar Konstruktivis Dalam Pembelajaran Fisika Untuk Mengubah Miskonsepsi Ditinjau Dari Penalaran Formal Siswa. Dalam penelitiannya menemukan bahwa miskonsepsi siswa yang mengikuti model belajar konvensional lebih tinggi dari pada siswa yang mengikuti model belajar konstruktivis ditinjau dari penalaran formal siswa. Selanjutnya, Susanti, dkk (204) dalam penelitiannya yang berjudul Pembelajaran Biologi Menggunakan Inqury Training Models Dengan Vee Diagram Dan KWL Chart Ditinjau Dari Keterampilan Berfikir Kritis Dan Kemampuan Penalaran Formal, menemukan bahwa ada pengaruh penalaran formal terhadap hasil belajar kognitif dan psikomotorik, tetapi tidak ada pengaruh pada aspek afektif. Dari faktor-faktor ini dapat ditarik kesimpulan yaitu untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan ada baiknya seorang guru harus reaktif dalam penyampaian materi pelajaran. Selain itu guru juga harus memperhatikan kondisi siswa yang menerima pelajaran. Jadi, seorang guru harus mampu mengidentifikasi model, metode dan media apa kiranya yang sesuai sebagai pendekatan mengajar pada materi-materi tertentu dan sesuai dengan perkembangan siswa saat itu. Disamping itu, guru juga harus memperhatikan karakteristik masing-masing siswa untuk berminat, tertarik, semangat dan merasa senang dalam belajar fisika. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Efek Model Pembelajaran Scientific Inquiry dan Penalaran Formal Terhadap Pengetahuan Ilmiah Fisika Siswa SMA Negeri 2 Sibolga.

0.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yaitu :. Dalam proses pembelajaran fisika, siswa hanya ditekankan pada aspek menghapal konsep konsep dan prinsip prinsip atau rumus. 2. Pengetahuan Ilmiah siswa masih rendah 3. Pemilihan model dan metode pembelajaran yang kurang tepat oleh guru. Guru cenderung lebih sering menggunakan pembelajaran konvensional dalam proses belajar mengajar. 4. Pemanfaatan laboratorium yang belum optimal 5. Adanya perbedaan Penalaran Formal siswa, pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa ada pengaruh Penalaran Formal terhadap hasil belajar siswa..3 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah :. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran Scientific Inquiry dan model pembelajaran konvensional. 2. Penalaran formal siswa dilihat dari hasil tes Penalaran Formal. 3. Hasil belajar dari model pembelajaran Scientific Inquiry adalah Pengetahuan Ilmiah siwa. 4. Subyek penelitian adalah siswa SMA Negeri 2 Sibolga Kelas X MIA Semester II Tahun Pelajaran 205/206.

.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang diuraikan di atas, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :. Apakah Pengetahuan Ilmiah fisika siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Scientific Inquiry lebih baik dibandingkan siswa diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional? 2. Apakah Pengetahuan Ilmiah fisika siswa yang memiliki Penalaran Formal tinggi lebih baik dibandingkan Pengetahuan Ilmiah fisika siswa yang memiliki penalaran Formal rendah? 3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan Penalaran Formal dalam meningkatkan Pengetahuan Ilmiah fisika siswa?.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah :. Untuk mengetahui bahwa Pengetahuan Ilmiah fisika antara siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Scientific Inquiry lebih baik dibandingkan siswa diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional 2. Untuk mengetahui bahwa Pengetahuan Ilmiah fisika siswa yang memiliki Penalaran Formal tinggi lebih baik dibandingkan Pengetahuan Ilmiah fisika siswa yang memiliki penalaran Formal rendah 3. Untuk mengetahui interaksi antara model pembelajaran dan Penalaran Formal dalam meningkatkan Pengetahuan Ilmiah fisika siswa?

2.6 Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelititan ini antara lain :. Secara teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya referensi ilmu pengetahuan bagi peneliti selanjutnya, terutama bagi yang ingin mengkaji secara terperinci tentang model pembelajaran Scientific Inquiry. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kontribusi di bidang pendidikan, terutama berkaitan dengan penerapan pengembangan model pembelajaran Scientific Inquiry. Secara Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran positif bagi pemerhati dan praktisi pendidikan serta memberi manfaat sebagai salah satu bagian dalam usaha peningkatan proses pembelajaran, terutama dalam menentukan model dan strategi pembelajaran yang efektif dan efisien. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penentu kebijakan di sekolah dalam pengadaan sarana dan prasarana pengembangan wawasan kependidikan serta peningkatan kompetensi guru dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang efektif dan hasil belajar yang optimal.

3.7 Definisi Operasional Model pembelajaran Scientific Inquiry adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan ilmiah/penemuan jawaban dari suatu masalah. Fase-fase dalam model ini adalah () penyajian masalah kepada siswa; (2) siswa merumuskan masalah; (3) siswa mengidentifikasi masalah; (4) siswa menemukan cara untuk mengatasi kesulitan tersebut. (Joyce, 2003) Penalaran formal adalah suatu kegiatan berfikir yang menyandarkan diri kepada teori perkembangan kognitif (Surajiyo, 2007) Pengertian pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah atau dengan menggunakan cara kerja atau metode ilmiah (Aziz, 2009).