Pengaruh Superovulasi terhadap Produksi Anak Babi

dokumen-dokumen yang mirip
Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : ISSN :

Pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. Growth and Development of the Uterus and Placenta of Superovulated Gilts

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BOBOT LAHIR DAN PERTUMBUHAN ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH SAMPAI LEPAS SAPIH BERDASARKAN LITTER ZISE DAN JENIS KELAMIN

Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan. Abstrak

Perbaikan Fenotipe Pertumbuhan Anak Babi Lokal Melalui Penyuntikan Gonadotropin Sebelum Induk Dikawinkan

Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi 2. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor 3. Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor 4

Pertumbuhan dan Dimensi Tubuh Anak Kambing sebagai Respons Pemberian PMSG pada Induk sebelum Dikawinkan

Peningkatan Produktivitas Domba pada Skala Peternakan Rakyat Melalui Pemberian Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotrophin

HAYATI Journal of Biosciences, June 2007, p Vol. 14, No. 2 ISSN:

Kualitas Karkas Babi Potong yang Dilahirkan oleh Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg Sebelum Pengawinan. Abstrak

Kualitas Karkas Babi Potong yang Dilahirkan dari Induk yang Disuperovulasi Sebelum Pengawinan

Konsentrasi Hormon Tiroid dan Metabolit Darah Induk Babi Disuperovulasi Sebelum Perkawinan

KAJIAN EPIGENETIK GEN GROWTH HORMONE (GH) MELALUI PENYUNTIKAN PMSG DAN HCG PADA TERNAK BABI UNTUK OPTIMASI PRODUKSI NONNY MANAMPIRING

HUBUNGAN ANTARA PERIODE BERANAK DENGAN LITTER SIZE DAN BOBOT LAHIR ANAK BABI, DI PERUSAHAN PETERNAKAN BABI, KEDUNGBENDA, KEMANGKON PURBALINGGA

Pemanfaatan Ekstrak Hipofisis Sapi untuk Memperbaiki Performans Reproduksi Induk Babi Post Partum

PRODUKSI BIBIT TERNAK BABI UNGGUL MELALUI PERBAIKAN LINGKUNGAN UTERUS INDUK SELAMA KEBUNTINGAN DEBBY JACQUELINE JOCHEBED RAYER

HUBUNGAN ANTARA BOBOT BADAN, VOLUME AMBING TERHADAP PRODUKSI SUSU KAMBING PERAH LAKTASI PERANAKAN ETTAWA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH SUP tovulasi SEBELUM PERKAWINAN PADA PRODUKSI SUSU SELAMA SATU PERIODE LAKTASI PADA DOMBA YANG MENERIMA DUA TINGKAT PEMBERIAN PAKAN

Penampilan Reproduksi Induk Babi Landrace yang Dipelihara Secara Intensif di Kabupaten Badung

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

KONDISI HEMATOLOGIS INDUK DOMBA BUNTING YANG DISUPEROVULASI SEBELUM PERKAWINAN DAN DIBERIKAN EKSTRAK TEMULAWAK PLUS SELAMA PERIODE KEBUNTINGAN

KEMAMPUAN MENCIT SWISS WEBSTER BERSUPERKEHAMILAN DAN MEMELIHARA ANAKNYA

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

O4-97 '()*+,-. :(,-6+3+) Z(4+H:+,L4()9+=+0 '(=+,-4 <6(4L) 9+)?(4+)L=6(,4+ _+);+ '(=+,-49+=+0 Y9+,+ _(,1-3+

PEMBERIAN KONSENTRAT DENGAN LEVEL PROTEIN YANG BERBEDA PADA INDUK KAMBING PE SELAMA BUNTING TUA DAN LAKTASI

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

PENGARUH JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KINERJA ANAK DOMBA SAMPAI SAPIH. U. SURYADI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember

LAMA BUNTING, BOBOT LAHIR DAN DAYA HIDUP PRASAPIH KAMBING BOERKA-1 (50B;50K) BERDASARKAN: JENIS KELAMIN, TIPE LAHIR DAN PARITAS

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

Analisis litter size, bobot lahir dan bobot sapih hasil perkawinan kawin alami dan inseminasi buatan kambing Boer dan Peranakan Etawah (PE)

PERFORMANS PEDET SAPI PERAH DENGAN PERLAKUAN INDUK SAAT MASA AKHIR KEBUNTINGAN

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

EFISIENSI REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIPELIHARA DI PEDESAAN

Meningkatkan Pertumbuhan Kelenjar Ambing dan Produksi Susu Melalui Penyuntikan Pregnant Mare Serum Gonadotrophin Pada Kambing Peranakan Etawah

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan


5 KINERJA REPRODUKSI

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH FOLIKEL YANG MENGALAMI OVULASI TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA PADA BERAHI PERTAMA SETELAH PENYUNTIKAN PGF2,

II. TINJAUAN PUSTAKA

PRESTASI BERANAK TERNAK BABI YANG MENGGUNAKAN HORMON PMSG DAN hcg PADA PETERNAKAN KOMERSIAL DI KELURAHAN KAYAWU

Prosiding SEMINAR NASIONAL BIOLOGI 2013 PERAN BIOLOGI DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS YANG MENUNJANG KETAHANAN PANGAN

PERFORMANS BAKALAN YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK BABI YANG DIOVULASI GANDA DENGAN PMSG DAN hcg SEBELUM PENGAWINAN MIEN THEODORA ROSSESTHELLINDA LAPIAN

PENGARUH BOBOT LAHIR DENGAN PENAMPILAN ANAK BABI SAMPAI DISAPIH. Marfiane M. Nangoy*, M.T. Lapian**, M. Najoan***, J. E. M.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

Pemberian Pregnant Mare Serum Gonadotropin Sebelum Perkawinan dan Jamu Selama Kebuntingan untuk Memperbaiki Performa Anak Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

KAJIAN EKONOMI PADA USAHA TERNAK KAMBING PERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

Kajian Aspek Reproduksi dan Estimasi Ekonomi pada Ternak Sapi yang di Inovasi Teknologi Reproduksi

ABSTRAK. Kata kunci : Imbangan Pakan; Efisiensi Produksi Susu; Persistensi Susu. ABSTRACT

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

PENGARUH PENAMBAHAN KACANG KEDELAI ( Glycine max ) DALAM PAKAN TERHADAP POTENSI REPRODUKSI KELINCI BETINA NEW ZEALAND WHITE MENJELANG DIKAWINKAN

Kapasitas Produksi Susu Domba Priangan Peridi : II. Kurva Laktasi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

RESPON PRODUKSI KAMBING PE INDUK SEBAGAI AKIBAT PERBAIKAN PEMBERIAN PAKAN PADA FASE BUNTING TUA DAN LAKTASI

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA GARUT PADA STASIUN PERCOBAAN CILEBUT BOGOR

PENAMBAHAN DAUN KATUK

Peningkatan Angka Kebuntingan melalui Pemberian Hormone Eksogen CIDR-B dan Injeksi hcg pada Sapi Bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

PERBAIKAN KINERJA PERTUMBUHAN ANAK DOMBA MELALUI SUPEROVULASI INDUK SEBELUM PERKAWINAN DAN PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK PLUS SELAMA KEBUNTINGAN

Estimasi Parameter Genetik Induk Babi Landrace Berdasarkan Sifat Litter Size dan Bobot Lahir Keturunannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI

REPRODUKSI AWAL KAMBING KACANG DAN BOERKA-1 DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN PRA-SAPIH KAMBING PERANAKAN ETAWAH ANAK YANG DIBERI SUSU PENGGANTI

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle)

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKSUAL ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DARI INDUK DENGAN TINGKAT PRODUKSI SUSU YANG BERBEDA

KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH

KERAGAMAN JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN BOBOT LAHIR BANGSA BABI GALUR MURNI AUSTRALIA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) YANG DIBERI PAKAN JERAMI PADI FERMENTASI: PERKEMBANGAN BOBOT HIDUP ANAK SAMPAI PRASAPIH

LAJU PERTUMBUHAN PRASAPIH DAN SAPIH KAMBING BOER, KACANG DAN BOERKA-1

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

KORELASI BOBOT BADAN INDUK DENGAN LAMA BUNTING, LITTER SIZE, DAN BOBOT LAHIR ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH

Performan Anak Babi Silangan Berdasarkan Paritas Induknya

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

Transkripsi:

Pengaruh Superovulasi terhadap Produksi Anak Babi (Effect of Superovulation on Piglet Production) Revolson Alexius Mege 1, Wasmen Manalu 2, N. Kusumorini 2 dan S. Hamdani Nasution 2 1 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Manado, Jl. A. Mononutu, Kampus UNIMA, Tondano, +62-431-850274, E-mail: Lexymege@yahoo.com 2 Departemen Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Abstract Sixty gilts with average body weight of 107.80 + 5.10 kg were used in an experiment to study the use of PMSG and hcg as superovulation agent to increase piglet production. In this experiment 60 gilts were assigned into a completely randomized design with 4 treatments of superovulation with dose level 0, 600, 1200 and 1800 IU/gilt. Injections were conducted 3 days before estrus. During gestation, gilts were placed in single pigpen, and maintained to term. The parameters were birth weight, preweaning growth and mortality. The results showed that superovulation dose levels of 600 and 1200 IU/gilt increased the piglet birth weight, litter size, preweaning growth and piglet production at 90 days. It is concluded that superovulation with dose levels of 600 t o 1200 IU can improve productivity. Key Words : Superovulation, gilts, piglet production Pendahuluan Ternak babi merupakan hewan politokus yang potensial memberikan sumbangan berarti bagi peningkatan produksi daging dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani asal ternak di Indonesia. Walaupun demikian, produktivitas ternak babi masih belum optimal yang antara lain tergambar dari masih tingginya kematian embrio selama periode kebuntingan dan kematian anak prasapih serta cenderung semakin tinggi jumlah anak sekelahiran semakin besar persentase anak yang lahir di bawah bobot normal (Geisert et al., 1990; Belstra et al., 1999; Geisert dan Schmitt, 2002). Oleh karena itu sangat diperlukan suatu langkah strategis untuk memperbaiki produksi babi yang antara lain dengan memperbaiki produktivitas induk. Banyak teknis secara farmakologis yang dapat digunakan untuk memperbaiki produktivitas induk antara lain dengan memanipulasi sistem reproduksi untuk memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus yang pada gilirannya mampu menghasilkan anak sekelahiran dengan bobot yang optimal. Juga memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan sehingga dapat memproduksi susu secara optimal selama laktasi untuk pemeliharaan anak selama prasapih (Belstra et al., 1999; Kim et al., 2000; Valros et al., 2003). Superovulasi merupakan salah satu aspek penting dalam memperbaiki sistem reproduksi ternak dan memberi suatu harapan untuk dapat digunakan dalam memperbaiki produksi melalui perbaikan pertumbuhan prenatal selama kebuntingan dan produksi susu selama laktasi (Manalu et al., 1998; Manalu dan Sumaryadi, 1998; Manalu et al., 1999). Penggunaan PMSG sebagai agen superovulasi telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir, dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b), sapi (Sudjatmogo et al. 2001), dan 8

kambing (Adriani et al., 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi superovulasi pada induk sebelum perkawinan terhadap tingkat produksi anak babi yang mencakup jumlah anak sekelahiran, bobot lahir, bobot prasapih, dan bobot akhir serta tingkat mortalitas selama prasapih. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Instalasi Peternakan babi komersial milik PT Wailan, Tomohon, Sulawesi Utara mulai bulan September 2002 Desember 2003. Agen superovulasi yang digunakan adalah hormon PMSG (Folligon, Intervet, North Holland) dan hcg (Chorulon, Intervet, North Holland). Untuk penyeragaman birahi digunakan prostaglandin (Prosolvin, Intervet, North Holland). Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu babi dara keturunan landrace sebanyak 60 ekor dengan rataan bobot 107.8 + 5.08 kg ditempatkan dalam percobaan rancangan acak lengkap faktor tunggal dengan empat perlakuan penyuntikan PMSG dan hcg dengan dosis: 0/0 (kontrol), 400/200 (superovulasi 600), 800/400 (superovulasi 1200), dan 1200/600 (superovulasi 1800) IU per ekor dengan 15 ulangan. Selama masa penelitian, hewan percobaan diberi pakan komersial sesuai yang digunakan oleh perusahaan peternakan setempat, diberikan 2 kali sehari dan air minum ad libitum. Sebelum penyuntikan PMSG dan hcg, siklus birahi diseragamkan dengan penyuntikan 1 ml PGF 2α sebanyak 2 kali dengan interval waktu 14 hari. Pada penyuntikan PGF 2α kedua, langsung diikuti oleh penyuntikan PMSG dan hcg secara intramuskular sesuai perlakuan, sedangkan kelompok kontrol disuntik dengan NaCl fisiologis. Setelah menampakkan gejala birahi, pejantan dimasukkan ke dalam kandang untuk mengawini babi yang birahi. ]Selama kebuntingan hewan percobaan masih dipelihara bersama dalam kandang postal. Selanjutnya, dua minggu menjelang kelahiran, babi percobaan dipindahkan ke kandang individu berukuran 2,5 x 3,5 m 2 yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum sampai umur 45 hari setelah lahir (postpartum). Parameter yang diukur adalah jumlah anak sekelahiran (litter size), bobot lahir, panjang badan dan tungkai, jumlah dan bobot anak pada umur 30 dan 45 hari postpartum dan rataan bobot 90 hari postpartum, serta mortalitas prasapih. Bobot lahir anak babi diperoleh dengan cara menimbang anak pada saat lahir hidup dari setiap induk, setelah dipisahkan dari plasenta dan dikeringkan dengan menggunakan kain kering. Jumlah anak sekelahiran ditentukan berdasarkan jumlah anak dari setiap induk pada saat lahir hidup. Dimensi tubuh anak yang meliputi panjang badan, panjang tungkai depan dan tungkai belakang diukur bersamaan penimbangan bobot anak. Panjang badan diukur dari pangkal batang leher sampai pangkal tulang ekor. Panjang tungkai diukur dari tapak kaki sampai penonjolan tulang bahu. Pengukuran dimensi tubuh ditentukan dengan menggunakan meteran dengan skala sentimeter. Bobot prasapih ditentukan pada saat anak berumur 30 dan 45 hari postpartum. Bobot sapih atau akhir diperoleh dengan menimbang bobot anak babi berumur 90 hari postpartum. Mortalitas ditentukan dengan cara menghitung jumlah anak babi yang mati pada umur 1 hari sampai umur 45 hari postpartum. Pada penelitian ini juga ditentukan jumlah anak lahir mati dari setiap kelompok perlakuan. Keseluruhan data hasil pengamatan tentang bobot dan jumlah anak sekelahiran, dimensi tubuh anak lahir, jumlah dan bobot prasapih serta bobot lepas sapih yang diperoleh pada penelitian ini diuji dengan menggunakan analisis ragam (Minitab Versi 13.3). 9

Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan jumlah anak lahir hidup sekelahiran, mortalitas, bobot lahir, dimensi tubuh (panjang badan dan tungkai) anak babi setiap perlakuan superovulasi disajikan pada Tabel 1. Penyuntikan PMSG dan hcg sebagai agen superovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU/ekor induk sebelum perkawinan menghasilkan jumlah anak sekelahiran hidup lebih banyak dibandingkan dengan kelompok induk kontrol. Jumlah anak sekelahiran antara perlakuan superovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU serta antara kelompok kontrol dan yang disuperovulasi dengan dosis 1800 IU tidak berbeda secara nyata. Total jumlah anak yang lahir hidup oleh 15 ekor induk dari kelompok kontrol dan yang disuperovulasi dengan dosis 600, 1200 dan 1800 IU berturut-turut adalah 130, 153, 169 dan 127 ekor, dengan rataan jumlah anak yang dilahirkan hidup berturut-turut adalah 8,70; 10,20; 10,40; dan 8,50 ekor. Pada perlakuan yang sama juga diperoleh jumlah anak lahir mati berturut-turut 6, 11, 15, dan 7 ekor. Dengan demikian potensi jumlah anak lahir yang dapat dicapai masing-masing perlakuan berturut-turut adalah 136, 164, 184, dan 134 ekor. Peningkatan jumlah anak lahir hidup pada induk yang disuperovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU juga menghasilkan rataan dan total bobot lahir yang lebih besar yaitu masing-masing mencapai 42 persen dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada induk yang disuperovulasi dengan dosis 1800 IU mengalami penurunan bobot lahir. Rataan bobot lahir anak babi dari 15 ekor induk kontrol dan yang disuperovulasi dengan dosis 600, 1200 dan 1800 IU berturut-turut adalah 1,26; 1,35; 1.35, dan 1.27 kg/ekor, dengan jumlah anak yang lebih banyak diperoleh total bobot anak lahir dari 15 ekor induk pada setiap perlakuan berturut-turut 160, 208, 222, dan 166 kg. Berdasarkan jumlah anak sekelahiran tersebut, diperoleh bobot anak yang lahir di bawah bobot normal berturut-turut 28,48; 22,16; 25,56; dan 37,16 persen. Hal ini memberi gambaran bahwa pada perlakuan superovulasi dengan dosis 600 sampai 1200 IU sebelum perkawinan di samping berpotensi menghasilkan jumlah anak yang lebih banyak, juga menghasilkan persentase anak lahir dengan bobot di atas normal yang lebih banyak dibandingkan dengan anak yang dihasilkan oleh kelompok kontrol dan yang mendapat perlakuan superovulasi dengan dosis yang lebih tinggi. Rataan dan total bobot lahir anak antara perlakuan superovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU serta antara kontrol dengan perlakuan superovulasi 1800 IU tidak berbeda secara nyata. Pertumbuhan anak saat lahir digambarkan juga oleh peningkatan ukuran morfometrik atau panjang dan tinggi badan anak lahir. Panjang badan anak lahir hidup dari induk babi kontrol dan yang disuperovulasi dengan dosis 600, 1200, dan 1800 IU dengan ukuran berturut-turut 20,10; 21,10; 21,10; dan 21,30 cm. Panjang badan meningkat dengan peningkatan perlakuan superovulasi. Peningkatan panjang badan disertai juga oleh peningkatan rataan tinggi badan anak yang dilahirkan oleh induk sejalan dengan peningkatan dosis superovulasi berturut-turut adalah 13,80; 14,60; 14,60; dan 14,70 cm. Seperti halnya terhadap jumlah dan bobot anak saat lahir, jumlah anak yang bertahan hidup sampai umur 30 hari setelah lahir juga masih lebih banyak pada induk yang disuperovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU dibandingkan dengan dari kelompok induk kontrol. Sedangkan pada induk yang disuperovulasi dengan dosis 1800 IU juga terjadi penurunan jumlah anak yang bertahan hidup sampai 30 hari setelah lahir. Keseluruhan jumlah anak yang bertahan hidup sampai 30 hari setelah lahir dari kelompok induk kontrol dan yang mendapat perlakuan superovulasi dengan dosis 600, 1200 dan 1800 berturut-turut adalah 99, 121, 118, dan 81 ekor. 10

Tabel 1. Jumlah anak sekelahiran, rataan dan total bobot, serta panjang badan dan tungkai anak babi saat lahir pada berbagai dosis superovulasi Parameter Dosis Superovulasi (IU) Kontrol 600 1200 1800 Jumlah anak sekelahiran (ekor) 8,70 ±0,43 a 0,20 ± 0,65 b 10,40±0,76 b 8,47 ±0,52 a Rataan bobot lahir (kg) 1,29± 0,02 a (n=130) 1,35 ±0,02 b (n=153) 1,34 ±0,03 b (n=169) 1,27 ±0,02 a (n=127) Total bobot lahir (kg) 11,30 ± 0,52 a 13,90±0,85 b 14,00±1,23 b 10,20±0,95 a Panjang badan (cm) 20,20±0,24 a (n=92) 21,10±0,20 b (n=115) 21,10±0,25 b (n=104) 21,30±0,30 b (n=72) Panjang tungkai belakang (cm) 13,80±0,12 a (n=92) 14,60±0,13 b (n=115) 14,60±0,41 b (n=104) 14,70±0,16 b (n=72) Panjang tungkai depan (cm) 13,80±0,13 a (n=92) 14,60±0,14 b (n=115) 14,60±0,44 b (n=104) 14,80±0,16 b (n=72) * Nilai rataan ± SE abc Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada P<0,05. Pada perlakuan yang sama, dengan jumlah anak lebih banyak ternyata induk yang disuperovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU masih menghasilkan rataan dan total bobot anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah anak dari kelompok babi kontrol dan yang disuperovulasi dengan dosis 1800 IU. Rataan bobot yang dicapai oleh kelompok kontrol dan yang disuperovulasi dengan dosis 600, 1200, dan 1800 IU berturut-turut adalah 5,20; 5,50; 5,50; dan 4,90 kg/ekor dengan total bobot berturut-turut adalah 33,10; 46,20; 41,70; dan 26,60 kg/ekor. Pola hasil yang sama masih diperoleh sampai pada anak babi umur 45 hari setelah lahir (Tabel 2). Perlakuan superovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU pada induk sebelum perkawinan mampu mempertahankan jumlah anak yang lebih banyak sampai pada umur 45 hari setelah lahir dibandingkan dengan jumlah anak yang diperoleh pada kelompok induk babi kontrol dan yang disuperovulasi dengan dosis 1800 IU. Jumlah anak yang bertahan hidup sampai umur 45 hari setelah lahir dari kelompok babi kontrol dan anak yang bertahan hidup sampai umur 45 hari setelah lahir dari kelompok babi kontrol dan yang mendapat perlakuan superovulasi dengan dosis 600, 1200 dan 1800 IU berturut-turut adalah 93, 116, 114, dan 79 ekor. Dengan jumlah anak yang lebih banyak sampai pada umur 45 hari setelah lahir masih menghasilkan bobot anak yang lebih baik pada induk yang disuperovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU/ekor dibandingkan dengan bobot anak dari induk kelompok kontrol dan yang disuperovulasi dengan dosis 1800 IU. Bobot anak yang masih bertahan hidup sampai umur 45 hari dari 15 ekor induk pada setiap kelompok perlakuan berturut-turut adalah 42,30; 56,40; 52,90; dan 33,90 kg dan dengan rataan bobot berturut-turut 6,75; 7,29; 7,05; dan 6,49 kg/ekor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun perlakuan superovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU menghasilkan jumlah dan bobot anak yang lebih baik, juga cenderung terjadi mortalitas yang lebih rendah, walaupun demikian tidak ada perbedaan mortalitas anak babi setiap 11

Tabel 2. Bobot anak babi umur 30, 45, dan 90 hari postpartum serta mortalitas prasapih pada berbagai dosis superovulasi Parameter Dosis Superovulasi (IU) Kontrol 600 1200 1800 Rataan bobot 30 hari (kg) 5,20±0,18 a 5,50±0,13 b 5,50±0,14 b 49,60±0,10 a (n=99) (n=121) (n=118) (n=81) Total bobot 30 hari (kg) 33,10±1,17 b 46,20±1,96 c 41,70±2,39 c 26,60±1,70 a Rataan bobot 45 hari (kg) 6,70±0,22 b 7,30±0,28 b 7,10±0,24 b 6,40±0,21 a (n=93) (n=116) (n=114) (n=79) Total bobot 45 hari (kg) 42,30±1,91 b 56,40±2,26 c 50,90±2,78 c 33,90±1,90 a Mortalitas (persen) 31,50±3,90 a 26,30±4,76 a 28,70±2,20 a 39,60±3,20 a Rataan bobot 90 hari (kg) 25,90±0,87 a (n=18) 28,40±0,85 b (n=21) 27,50±0,78 b (n=26) * Nilai rataan ± SE abc Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan pada (P<0,05) 24,1±1,0 a (n=21) perlakuan superovulasi sampai pada umur 45 hari setelah lahir. Hal ini menggambarkan bahwa perlakuan superovulasi tidak saja memperbaiki bobot lahir walaupun dengan jumlah anak yang lebih banyak tetapi juga meningkatkan daya hidup anak babi selama prasapih dan mungkin juga setelah lepas sapih. Pada penelitian ini diamati juga penampilan anak sampai pada umur 90 hari setelah lahir, tetapi jumlah anak tidak teramati secara keseluruhan (Tabel 2). Jumlah anak yang masih teramati sampai pada umur 90 hari dari induk kontrol dan yang disuperovulasi dengan dosis, 600, 1200, dan 1800 IU berturut-turut adalah 18, 21, 26, dan 21 ekor dan dengan rataan bobot berturut-turut 25,90; 28,40; 27,50; dan 24,10 kg/ekor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sampai dengan umur 90 hari setelah lahir masih menunjukkan pola yang sama yaitu dengan bobot tertinggi diperoleh pada anak dari induk yang disuperovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menggambarkan bahwa peningkatan jumlah anak yang lebih besar dari induk yang disuperovulasi tidak menurunkan bobot lahir dan bobot sapih tetapi sebaliknya meningkatkan bobot lahir sampai bobot sapih walaupun dengan jumlah anak sekelahiran yang lebih tinggi. Fenotipe pertambahan bobot badan anak yang lebih tinggi masih terus nampak sampai umur 90 hari setelah lahir dan dengan jumlah anak yang masih lebih banyak. Seperti halnya pada parameter sebelumnya, induk babi yang disuperovulasi dengan dosis 1800 IU terus memberikan hasil yang kurang baik yaitu terjadi penurunan jumlah anak dan bobot lahir anak sampai lepas sapih. Adapun lebih rendahnya jumlah anak sekelahiran dan terjadinya penurunan bobot lahir serta bobot sapih dengan peningkatan jumlah anak pada induk kontrol maupun yang umum dialami pada babi komersial diduga disebabkan oleh rendahnya rasio hormon-hormon kebuntingan. Dengan demikian peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan yang distimulasi oleh penyuntikan PMSG dan hcg sebagai agen superovulasi sebelum perkawinan di samping berpotensi memperbaiki fenotipe pertumbuhan anak, juga meningkatkan daya tahan hidup anak pada ternak politokus babi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 12

penyuntikan PMSG dan hcg sebagai agen superovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU mampu memperbaiki penampilan setelah lahir yang meliputi peningkatan jumlah anak sekelahiran hidup dan perbaikan bobot lahir anak walaupun dengan peningkatan jumlah anak sekelahiran. Penampilan pertumbuhan anak saat lahir yang lebih baik digambarkan pula oleh peningkatan fenotipe panjang dan tinggi badan. Perbaikan pertumbuhan anak sekelahiran dari induk yang disuperovulasi masih berlangsung sampai prasapih (45 hari postpartum) walaupun dengan jumlah anak yang lebih banyak. Bahkan perbaikan pertumbuhan anak tersebut masih berlangsung terus sampai umur 90 hari setelah lahir. Hasil penelitian ini menguatkan hasil-hasil penelitian sebelumnya pada domba dan kambing bahwa superovulasi yang meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan terutama progesteron dan estradiol disertai dengan peningkatan jumlah anak dan ekspresi genotipe pertumbuhan yang digambarkan oleh fenotipe bobot lahir, panjang badan dan tinggi badan saat lahir (Manalu et al., 1996; Manalu dan Sumaryadi, 1998a; Manalu dan Sumaryadi, 1998c; Manalu dan Adriani, 2002; Adriani et al., 2004). Perbaikan parameter dimensi tubuh saat lahir masih tetap berlangsung terus sampai ternak berumur 3 bulan tanpa melihat pengaruh produksi susu induk selama laktasi. Jika disertai dengan perbaikan produksi susu selama laktasi (prasapih) maka perbaikan parameter fenotipe pertumbuhan anak ternak mammalia akan semakin lebih baik lagi (Manalu et al. 1997; Manalu dan Sumaryadi 1998b; Manalu dan Adriani 2002; Adriani et al., 2004). Peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan tidak saja penting dalam perangsangan laju pertumbuhan sejak diferensiasi sel jaringan embrio, dan memperbaiki bobot lahir, serta laju pertumbuhan prasapih, juga merupakan salah satu strategi yang potensial memperbaiki kuantitas dan kualitas produksi daging dalam memenuhi kebutuhan konsumen (Wray-Cahen et al. 1999). Dukungan proses fisiologis selama kebuntingan melalui peningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan terutama progesteron dan estradiol (dan kemungkinan juga laktogen plasenta) serta faktor pertumbuhan di samping sangat penting untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta ditunjukkan oleh pertambahan masa uterus dan plasenta, sehingga dapat menyediakan lingkungan uterus dan plasenta yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus. Juga secara langsung menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus (Wilson et al., 1999; Vallet et al., 2002). Dengan pertumbuhan dan perkembangan embrio yang baik selama kebuntingan pada gilirannya akan menghasilkan dampak yang lebih luas yaitu dapat meningkatkan bobot lahir, bobot prasapih dan bobot akhir walaupun dengan jumlah anak sekelahiran yang lebih besar (Vallet et al., 2004). Lazimnya pada ternak yang beranak banyak seperti babi, semakin banyak anak yang dikandung cenderung semakin banyak pula anak yang lahir dengan bobot di bawah normal. Hal tersebut terjadi juga dalam penelitian ini yaitu lebih tinggi persentase anak babi yang lahir dengan bobot di bawah normal (28,80 persen) dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh induk yang disuperovulasi dengan dosis 600 dan 1200 IU yang hanya mencapai 22,6 dan 25,56 persen walaupun dengan jumlah anak sekelahiran yang lebih banyak. Hal ini menguatkan dugaan sebelumnya bahwa rendahnya bobot lahir dengan peningkatan jumlah anak sekelahiran antara lain disebabkan oleh rendahnya rasio antara hormonhormon kebuntingan dengan jumlah anak yang dikandung. Terbukti bahwa superovulasi pada induk babi sebelum perkawinan yang 13

meningkatkan sekresi endogen hormon kebuntingan (progesteron dan estradiol) juga memperbaiki bobot embrio dan fetus walaupun dengan jumlah yang lebih banyak. Penampilan embrio dan fetus sampai dengan anak lahir dan bahkan lepas sapih yang lebih baik dihasilkan oleh induk disuperovulasi, memberi gambaran bahwa superovulasi yang menstimulasi sekresi endogen hormon kebuntingan juga memperbaiki penampilan anak sejak lahir sampai lepas sapih. Dengan demikian superovulasi berpotensi digunakan sebagai salah satu teknologi alternatif dalam rangka memprogram perbaikan penampilan reproduksi yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan untuk menghasilkan penampilan produksi postnatal yang selama ini dianggap masih rendah. Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa induk yang disuperovulasi dengan dosis 1800 IU memberikan hasil yang kurang baik selama kebuntingan yang pada gilirannya berakibat juga pada rendahnya bobot lahir, jumlah anak sekelahiran, bobot pada umur 30, 45, dan 90 hari setelah lahir. Kesimpulan Disimpulkan bahwa perlakuan superovulasi pada induk sebelum perkawinan dapat memperbaiki produktivitas induk babi yang digambarkan oleh perbaikan bobot lahir, serta pertumbuhan anak prasapih dan lepas sapih. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengkaji pengaruh superovulasi pada sekresi laktogen plasenta dan faktor-faktor pertumbuhan yang besar peranannya pada pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu. Ucapan Terima Kasih Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Prof.Dr. Wasmen Manalu yang telah mendanai penelitian ini melalui Dana Penelitian Hibah Bersaing ke IX Tahun ke 3, Nomor Kontrak: 052/P2IPT/IV/2002. Daftar Pustaka Adriani, I.K. Sutama, A. Sudono, Sutardi dan W. Manalu, 2004. Pengaruh superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing peranakan etawah. Animal Production 6:86-94. Belstra B et al. 1999. Effect of lactation length and exogenous progesterone or estradiol on embryonic survival in multiparous sows. Journal Animal Science 77:48 54. Geisert, RD., M.T.Zavy, R.J. Moffatt, M.L. Blair and T. Yellin 1990. Embryonic steroids and the establishment of pregnancy. J. Reprod. Fertil. 40:293 305. Geisert, RD. and R.A.M. Schmitt. 2002. Early embryonic survival in the pig: Can it be improved? J. Anim. Sci. 80:54 85. Kim, SW., W.L. Hurley, I.K. Han, and R. A. Easter. 1999. Changes in tissue composition associated with mammary gland growth during lactation in sows. J. Anim. Sci. 77 : 2510-2516. Kim, SW., W.L. Hurley, I.K. Han, and R. A. Easter. 2000. Growth of nursing pigs related to the characteristics of nursed mammary glands. J. Anim. Sci. 78:1313-1318. Manalu, W. dan Adriani. 2002. Peningkatan ekspresi gen pertumbuhan selama fase diferensiasi embrio melalui peningkatan sekresi estrogen dan progesteron pada kambing. Laporan Penelitian Hibah Bersaing IX/2000. Lembaga Penelitian IPB. Manalu, W. and M.Y. Sumaryadi. 1998a. Correlations of litter size and maternal serum progesterone concentration during pregnancy with mammary gland growth and development indices at parturition in Javanese thin-tail sheep. Asian- Austr. J. Anim. Sci. 11:300-306. Manalu, W. and M.Y. Sumaryadi. 1998b. Mammary gland indices at the end of lactation in Javanese thin-tail ewes with different litter size. Asian- Austr. J. Anim. Sci. 11:648-654. 14

Manalu, W, and M.Y. Sumaryadi. 1998c. Maternal serum progesterone concentration during gestation and mammary gland growth and development at parturition in japanese thin-tail ewes a carrying single or multiple fetuses. Small Rumin. Res. 27:131-136. Manalu, W., M.Y. Sumaryadi and N. Kusumorini 1996. The effect of fetal number on the concentrations of circulating maternal serum progesterone and estradiol of does during late pregnancy. Small Rumin. Res. 23:117-124. Manalu, W., M.Y. Sumaryadi and N. Kusumorini 1997. Maternal serum concentrations of triiodothyronine, tetraiodothyronine and cortisol in different status of pregnancy during late pregnancy in Ettawah-cross does. Asian- Austr. J. Anim. Sci.10:385-390. Manalu, W., M.Y. Sumaryadi, Sudjatmogo and A.S. Satyaningtijas. 1998. Effect of superovulation on maternal serum progesterone concentration, uterine and fetal weight at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese thin-tail ewes. Small Rumin. Res. 30:171-176. Manalu, W., M.Y. Sumaryadi, Sudjatmogo and A.S. Satyaningtijas. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese thin-tail ewes. SmallR umin. Res. 33:279-284. Manalu, W., M.J. Sumaryadi, Sudjatmogo and A.S. Satyaningtijas. 2000a. Effect of superovulation prior to mating on milk production performance during lactation in ewes. J. Dairy Sci. 83:477-483. Manalu, W., M.Y. Sumaryadi, Sudjatmogo and A.S. Satyaningtijas. 2000b. The effects of superovulation of Javanese thin-tail ewes prior to mating on lamb birth weight and preweaning growth. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13::292-299. Sudjatmogo., B. Utomo, Subiharta, W. Manalu and Ramelan. 2001. Tampilan produksi susu akibat peningkatan perumbuhan ambing sapi perah Friesian Holstein yang disuntik PMSG pada program perkawinannya. J. Trop. Anim. Dev. 26:8-13. Vallet, J.L., K.A. Leymaster, R.K. Christenson 2002. The influence of uterine function on embryonic and fetal survival. J. Anim. Sci. 80:67 74. Vallet, J.L., K.A. Leymaster and R.K. Christenson. 2004. Effect of progesterone, mifepristone, and estrogen treatment during early pregnancy on conceptus development and uterine capacity in swine. Biol. Rep. 70:92-98. Valros, A. 2003. Metabolic state of the sow, nursing behaviour and milk production. Livest.Prod.Sci. 79:155-167. Wilson, M.E, N.J. Biensen and S.P. Ford.1999. Novel insight in to the control of litter size in the pig using placental efficiency as a selection tool. J. Anim. Sci. 77:1654-1658. Wry-Cahen, D., E. Kerr, C.M. Evock-Clover and N.C. Steele. 1999. Redefining omposition Nutrition, hormones, and genes in meat production. Ann.Rev. Nutr. 18:63-92. 15