1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan ada dua persoalan utama yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, secara politisadministratif pemerintah pusat dianggap belum mampu mengatasi berbagai permasalahan sosial-ekologis secara konstruktif yang selama ini timbul akibat penetapan status taman nasional di berbagai kawasan di Indonesia. Kedua, konsep taman nasional belum sepenuhnya dipahami, baik fungsi maupun perannya oleh masyarakat lokal. Konsep zonasi dipandang sebagai pembatasan secara ketat atas akses masyarakat terhadap sumberdaya alam (SDA) lokal, yang sejak lama telah menjadikan SDA tersebut sebagai sumber nafkah dan penghidupan. Penambangan pasir dan perumputan oleh warga adalah dua kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tersebut, penulis tertarik untuk menyelusuri lebih jauh mengenai dinamika permasalahan di sekitar Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), khususnya mengenai implementasi kebijakan zonasi berkaitan dengan perumputan. Untuk memberi gambaran permasalahan dan pada ranah mana penelitian ini nantinya akan dilakukan, berikut di bawah ini disampaikan secara ringkas mengenai kebijakan publik beserta tantangan yang dihadapi dalam implementasinya di lapangan. Berikutnya yaitu
2 pembahasan mengenai konservasi SDA dalam konteks internasional, kebijakan yang digunakan beserta tantangan-tantangan yang dihadapi. Lebih jauh lagi, akan dibahas perihal kebijakan lokal (konteks Indonesia, dalam hal ini TNGM) secara spesifik mengenai penataan perumputandalam zona tradisional di Desa Girikerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman sebagai salah satu wilayah dalam kawasan TNGM dengan tingkat perumputan yang cukup tinggi (Rakhmawati, 2008). Kebijakan publik secara umum bisa dimengerti sebagai pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat sebagaimana yang diungkapkan Easton (Santosa, 2008). Kebijakan tersebut dilakukan oleh pemerintah dan aparaturnya dengan rencana, tujuan dan program yang terstruktur secara jelas dan terarah (Anderson, 1969; dan Korjati, 2005). Secara lebih lanjut, kebijakan publik juga bisa dimengerti sebagai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah terhadap suatu hal yang menyangkut kehidupan publik sebagai upaya meningkatkan kehidupan publik itu sendiri (Dwidjowijoto, 2004). Namun demikian dalam setiap kebijakan publik tentu melalui suatu proses pemilihan dan penyaringan kepentingan (Wibawa dkk, 1994). Hal ini mengindikasikan suatu kebijakan publik belum tentu mengakomodir seluruh kepentingan dalam masyarakat. Implikasinya adalah bahwa apa yang telah dirumuskan dan ditetapkan dalam suatu kebijakan bisa jadi memperoleh keluaran ataupun tanggapan yang berbeda saat diterapkan. Oleh sebab itu, studi berkaitan dengan implementasi diperlukan untuk mengetahui bagaimana suatu kebijakan dalam penerapannya di ranah publik. Penelitian ini akan menitik beratkan pada studi mengenai implementasi kebijakan penataan perumputandalam zona tradisional di TNGM. Secara personal,
3 penulis tertarik dengan bahasan ini karena dekat dengan lingkungan kerja penulis yaitu di Kementerian Kehutanan. Selain itu, pembahasan mengenai kebijakan taman nasional telah sejak lama menarik untuk diperbincangkan karena dalam penerapannya seringkali ditemukan friksi antara pemangku kebijakan dan masyarakat. Berikut di bawah ini penulis jabarkan mengenai tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan tentang konservasi sumberdaya alam, baik dalam konteks internasional maupun nasional. Pada tataran internasional, istilah taman nasional yang digunakan di Indonesia saat ini mengacu pada pengertian mengenai national park yang menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan World Commission on Protected Areas adalah area terlindungi atau area konservasi yang dilindungi keberadaannya karena bernilai alam, ekologi, dan atau budayanya. Secara lebih lanjut IUCN memasukkan taman nasional dalam Kategori II yang dijelaskan sebagai suatu area atau wilayah alamiah, baik daratan maupun lautan, yang didesain untuk (1) melindungi keutuhan ekologi satu atau lebih ekosistem untuk generasi mendatang, (2) menghindari eksploitasi dan resiko yang bisa menimbulkan kerusakan, (3) dimanfaatkan untuk tujuan spiritual, saintifik, edukasi, dan rekreasi, yang mana semua hal tersebut harus mendukung kelestarian lingkungan dan budaya. Perubahan suatu kawasan alam dari kawasan yang awalnya secara relatif bebas diakses oleh berbagai pihak menjadi kawasan taman nasional memiliki konsekuensinya tersendiri. Hal ini tidak terlepas dari adanya gesekan kepentingan beberapa pihak. Pertama, pihak pemerintah yang ingin mencapai tujuan-tujuan pemberlakuan taman nasional. Kedua, masyarakat lokal yang telah mendiami
4 kawasan secara turun temurun dan secara ekonomi, sosial dan budaya telah melekat dengan kawasan tersebut. Dan ketiga, pihak swasta atau pemilik modal yang menjadi terbatas aksesnya untuk melakukan eksplorasi (Kuswijayanti, 2007). Lebih lanjut Kuswijayanti juga menyampaikan ada beberapa tantangan berkaitan dengan keberadaan taman nasional. Pertama, berkaitan dengan sumberdaya yang terkandung di kawasan tersebut. Penetapan taman nasional memiliki konsekuensi bahwa pemanfaatan sumberdaya yang terkandung, terutama air dan tanah, menjadi terbatas. Berlaku baik bagi pihak swasta untuk tujuan komersial maupun pihak masyarakat berkaitan dengan sistem hidup mereka (livelihood system). Misalnya penambangan batu dan pasir di sekitar gunung vulkanis pasca erupsi. Nelayan yang mencari ikan dan mengambil manfaat dari biota laut untuk penunjang hidup mereka. Kedua, tidak jarang pemberlakukan taman nasional berdampak pada harus direlokasinya pemukiman warga demi menjaga kelestarian ekosistem. Masalah yang mungkin timbul kemudian berkaitan dengan persoalan ganti rugi dan penyediaan tempat hidup alternatif untuk warga. Ketiga, adanya perubahan konsep yang diikuti oleh pergeseran fungsi menjadi taman nasional seringkali menimbulkan gesekan kepentingan, terutama dengan masyarakat setempat. Pergeseran konsep mengenai kawasan yang tadinya bebas dimanfaatkan, bahkan dianggap memiliki ikatan secara sosial budaya dengan warga lokal, menjadi semakin terbatas. Kesenjangan sosialisasi dan kurangnya akomodasi terhadap pergeseran ini rawan menimbulkan konflik dengan warga masyarakat.
5 Keempat, berkaitan dengan taman nasional sebagai suatu produk kebijakan. Tantangannya yaitu perlu dibuat dan dikembangkan suatu sistem pengawasan (monitoring), assessment dan pelaporan untuk meningkatkan efektifitas manajemen. Mengembangkan sistem pemerintahan yang baik dan sesuai dengan kepemilikan atau penentuan atas siapa yang berwenang dalam proses manajemen atas kawasan tersebut. Selain itu, diperlukan kebijakan dan sosialisasi yang cukup untuk mengakomodir pergeseran persepsi mengenai kawasan tersebut secara tradisional, ekonomi, dan tujuan konservasi. Dari paparan tersebut diketahui bahwa keberadaan taman nasional di suatu kawasan memiliki kerentanan untuk memunculkan konflik kepentingan yang melibatkan pemerintah, masyarakat sekitar dan pihak pemilik modal. Oleh sebab itu, suatu sinergi yang baik perlu dibangun di antara ketiga pihak tersebut manakala kebijakan diterapkan. Sementara itu pada tingkat lokal yakni di Indonesia, kebijakan ataupun peraturan perundangan yang berkaitan dengan konservasi dan taman nasional dapat ditemukan, di antaranya dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 33; Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam; Permenhut Nomor 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional dan Zonasi TNGM yang disahkan pada tanggal 12 November 2012. Dalam penelitian ini, penulis akan secara spesifik membahas mengenai Permenhut Nomor 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional dan Kebijakan Zonasi TNGM sebab peraturan ini berhubungan secara
6 langsung dengan kebijakan mengenai sistem zonasi yang nantinya berkaitan dengan kegiatan perumputan oleh masyarakat. Mengacu pada Permenhut Nomor 56/Menhut-II/2006 tersebut, taman nasional didefinisikan sebagai: kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi pasal 1 (1). Adapun zonasi dalam pasal tersebut mengacu pada pengertian: suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pasal 1 (2). Zonasi merupakan sistem yang diterapkan dalam pengelolaan taman nasional jenis perlakuan dan kegiatan apa saja yang diperbolehkan dan dapat ditoleransi dalam zona-zona tersebut. Dalam peraturan tersebut dikenal beberapa zonasi yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi dan zona khusus. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Pada zona inilah kegiatan perumputan diperbolehkan. Perumputan merupakan salah satu kegiatan mengumpulkan atau mencari rumput sebagai pakan ternak yang sejak lama telah jamak dilakukan oleh masyarakat sekitar gunung Merapi. Rakhmawati (2008) menjelaskan, perumputan dan konversi hutan alam menjadi ladang merupakan ancaman terbesar bagi upaya
7 konservasi TNGM selain penambangan pasir. Penambangan pasir melibatkan pelaku-pelaku dari luar daerah dan berkaitan dengan isu sosial ekonomi sedangkan kegiatan perumputan dan konversi hutan alami menjadi ladang dan untuk budidaya rumput mengancam langsung kepada keutuhan area hutan yang memiliki nilai keanekargaman hayati tinggi. Kebutuhan rumput yang semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya jumlah ternak dan populasi penduduk sekitar kawasan TNGM, serta musim kemarau yang panjang membuat masyarakat lokal menjangkau semakin dalam untuk melakukan perumputan. Tidak jarang terjadi pelanggaran terhadap sistem zonasi yang telah ditetapkan. Namun demikian, tindakan semacam ini tidak bisa dilihat hanya sebatas dimensi kriminal (pelanggaran hukum) akan tetapi perlu dianalisa dan diidentifikasi latarbelakang dibalik fenomena ini. Hal ini disebabkan oleh adanya dimensi lain yakni ekososial budaya yang harus dikelola dalam upaya memandang aktivitas perumputan secara adil. Untuk melihat hal ini secara lebih jernih, perlu dilakukan suatu penyelusuran mengenai bagaimana implementasi dari kebijakan zonasi terkait dengan penataan perumputan tersebut dilakukan. Berdasarkan penelitian Gunawan (2012), dijelaskan bahwa perumputan dalam kawasan TNGM ditata dalam zona tradisional, namun masih terjadi secara masif dan cenderung tidak sesuai dengan tata ruang yang ditetapkan. Hal ini berdampak pada kerusakan habitat berupa penurunan keragaman hayati di lokasi perumputan baik pada tingkat tukulan, pancang, tiang dan pohon. Kondisi ini perlu diteliti lebih lanjut, sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksesuain antara peraturan penataan ruang (zona) dengan
8 pelaksanaan yang terjadi sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan rumusan solusi pemecahannya. 1.2. Rumusan Masalah Kebijakan pengelolaan kawasan TNGM berupa regulasi penataan perumputandalam zona tradisional ditetapkan sebagai upaya pengaturan aktivitas perumputan dalam kawasan TNGM sehingga fungsi dan potensi sumber daya alam dapat dioptimalkan. Perumusan masalahnya adalah Bagaimana implementasi kebijakan Permenhut No: P.56/Menhut-II/2006 di TNGM, khususnya pada implementasi lapangan di Zona Tradisional?. Implementasi Permenhut No: P.56/Menhut-II/2006 yang difokuskan terhadap pelaksanaan lapangan pada zona tradisional. Hal ini dilandasi oleh banyaknya pihak yang terdampak kebijakan tersebut khususnya adalah masyarakat sekitar kawasan yang berprofesi sebagai peternak. Pokok-pokok rumusan masalah dalam implementasi kebijakan Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 di kawasan TN. Gunung Merapi meliputi: 1). Kebijakan penataan zona perumputan seperti apakah yang diterapkan baik dari aspek kronologis, landasan hukum, mekanisme dan pelaksanaannya, 2). Pihak-pihak mana yang terlibat dan terdampak terhadap kebijakan, 3). Seperti apakah gambaran masyarakat yang terdampak oleh kebijakan zonasi, 4). Sejauh mana kondisi pelaksanaan lapangan, 5). Faktor apa saja yang menjadi penyebab permasalahan, dan 6). Strategi dan resolusi penyelesaian yang dapat dirumuskan. Penekanan masalah difokuskan terhadap bagaimana pelaksanaan lapangan, apakah dapat berjalan ataupun tidak. Penelitian dilakukan sebagai bentuk kajian lanjutan dan penyempurnaan terhadap hasil-hasil kajian sebelumnya.
9 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana implementasi Permenhut Nomor: P.56/Menhut-II/2006 di kawasan TNGM, khususnya kebijakan penataan zona tradisional untuk perumputan di Desa Girikerto Turi Sleman. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat terutama: 1. Sebagai bahan masukan bagi perumus kebijakan khususnya Balai Taman Nasional Gunung Merapi dalam penataan dan penanganan perumputan di kawasan TNGM. 2. Alternatif solusi pengelolaan terhadap tekanan kawasan TNGM berupa perumputan untuk mencapai kelestarian sumber daya alam. 3. Sebagai sumbangan pemikiran untuk menambah khasanah pustaka dan pengembangan manajemen pengelolaan TNGM.