BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat

dokumen-dokumen yang mirip
Proses Penularan Penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klinis, penyakit ini menunjukkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

KEEFEKTIFAN MODEL PENDAMPINGAN DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN OBAT PADA PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS

Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Filariasis : Prevention Related to Risk Factor

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN PRAKTEK PENCEGAHAN PENULARAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KELURAHAN JENGGOT KOTA PEKALONGAN TAHUN 2015

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

ANALISIS SPASIAL ASPEK KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PEKALONGAN

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

ANALISIS PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DAN MF-RATE DI KOTA PEKALONGAN

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prevalensi pre_treatment

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan

LAMPIRAN I DOKUMENTASI PENELITIAN

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

B A B 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing filaria kelompok nematoda, dan ditularkan oleh gigitan berbagai jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

1. PENDAHULUAN. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp. betina (Depkes R.I.,

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

5. Manifestasi Klinis

HUBUNGAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT PETANI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS DI DESA PEUNAYAN KECAMATAN NISAM KABUPATEN ACEH UTARA TESIS OLEH

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening.

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Gondanglegi Kulon kecamatan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina yang telah membawa virus Dengue dari penderita lainnya. Nyamuk ini biasanya aktif

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

BAB 1 : PENDAHULUAN. fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian penyakit Filariasis Filum nematoda termasuk salah satu filum yang besar, memiliki lebih dari 10.000 spesies, berukuran kecil, berbentuk selinder, seperti benang dengan tubuh yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat (roundworms) dan merupakan jenis yang sukses membuat kolonisasi dalam berbagai habitat. Nematoda terdapat dimana-mana dalam jumlah yang sangat besar terutama di lautan, mengkolonisasi danau-danau, sungai, rawa, dan berbagai jenis tanah mulai dari antartika hingga daerah tropis. Nematoda merupakan parasit pada berbagai jenis organisme seperti gangang, jamur, hewan, dan tumbuhan. Nematoda merupakan organisme penting karena banyak anggota-anggota yang bersifat parasit, antara lain Nippostrongylus sembeli (Heligmonellidae) pada tikus: Meloidogyne, Tylenchulus, dan Heterodera pada tanaman sayur-sayuran serta Ascaris, Trichina, dan filaria pada manusia (Walker, 1969, Hasegawa dan Tarore, 1995). Salah satu anggota nematoda yang merupakan parasit penting pada manusia adalah cacing filaria yang menyebabkan penyakit filariasis. (Sembel,2009) Filariasis atau yang disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi jenis parasit nematode atau oleh cacing Filaria limfatik yang ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex,dan merusak jaringan pada manusia yang mengenai kelenjar/saluran getah bening, dengan gejala akut berupa demam berulang, disertai tanda-tanda peradangan kelenjar/saluran getah

bening serta pada stadium lanjut berupa cacat anggota tubuh. Cacing tersebut hidup dikelenjar dan saluran getah bening (limfe) sehingga menimbulkan peradangan pada kelenjar dan saluran getah bening (andenolymphangitis) terutama pada daerah pangkal paha dan ketiak, peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut. Apabila tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna dapat menimbulkan cacat menetap yang sukar disembuhkan berupa pembesaran pada kaki, lengan, payudara, scrotum, dan kelamin wanita. (Achmadi, 2001) 2.1.1 Mekanisme Penyebaran Penyakit Filariasis 2.1.1.1 Agen (Penyebab Filariasis) Penyebab Filariasis menurut Ditjen PPM&PL (2002) adalah parasit nematoda jaringan. Ada tiga jenis nematoda jaringan yang ditemukan di Indonesia sebagai penyebab Filariasis yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. 2.1.1.2 Wuchereria Bancrofti Wuchereria bancrofti merupakan parasit manusia yang menyebabkan filariasis bancrofti atau wuchereria bancrofti, penyakit ini tergolong ke dalam filariasis limfatik, bersamaan dengan penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Parasit ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis diseluruh dunia. Cacing dewasa jantan dan betina hidup disaluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu, cacing betina berukuran 65-100 mm x 0,25 mm serta mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250-300 mikron x 7-8 mikron dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. Mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat dialiran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. jadi

mempunyai periodisitas. Pada umumnya mikrofilaria Wuchereria bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam hari. Pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (Paruparu, Jantung, Ginjal) Di daerah Pasifik, mikrofilaria W.bancrofti mempunyai perioditas subperiodikdiurna. Mikrofilaria terdapat di dalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. (Utama, 2008) Daur hidup wuchereria bancrofti memerlukan waktu sangat panjang masa pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk kira-kira 2 minggu dan masa pertumbuhan parasit di dalam tubuh manusia kira-kira 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan dalam Presbytis cristata (lutung). Di daerah perkotaan parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinguefasciatus, di pedesaan vektor penularannya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. (Utama, 2008) 2.1.1.3 Brugia malayi Brugia malayi dapat dibagi dalam dua varian yaitu yang hidup pada manusia dan yang hidup manusia dan hewan misalnya kucing, kera. Penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi disebut dengan Filariasis malayi.brugia malayi hanya terdapat di Asia, dari India sampai ke Jepang. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 55 mmx 0,16 mm dan mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung ukuran mikrofilaria Brugia malayi adalah 200-260 mikron x 8 mikron dan yang jantan berukuran 22-23 mm x 0,09 mm. Perioditasi mikrofilaria Brugia malayi adalah periodik nokturna, sub periodik nokturna, atau nan periodik mikrofilaria

terdapat dalam darah tepi siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu malam hari. Daur hidup di dalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan mengalami dua kali pergantian kulit berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III. Di dalam tubuh nyamuk parasit ini Brugia malayi yang hidup pada manusia di tularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris dan yang hidup pada hewan di tularkan nyamuk Mansonia. (Utama,2008) 2.1.1.4 Brugia timori Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang di sebabkan oleh Brugia timori di sebut Filariasis timori. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tengara Timur. Cacing dewasa betina dan jantan hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu, cacing betina berukuran 21-39 mm x 0,1 mm dan yang jantan 13-23 mm x 0,08 mm, cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dan ukuran mikrofilaria Brugia timori adalah 280-310 mikron x 7 mikron. Perioditas mikrofilaria Brugia timori adalah periodik nokturna. Daur hidup di dalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan, Brugia timori yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirotis. (Utama, 2008)

2.1.2 Morfologi Cacing Filaria Menurut Nugroho tahun 1996 bahwa secara umum daur hidup ketiga spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi didalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah. 1. Makrofilaria Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar. 2. Mikrofilaria Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang di sebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 µm x 8µm dan mempunyai sarung. Secara mikrokopis morfologi spesies mikrofilaria dapat di bedakan berdasarkan ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.

Tabel 2.1 Jenis Mikrofilaria Yang Terdapat Di Indonesia Dalam Sediaan Darah Pewarnaan Giemsa No Karakteristik W.bancrofti B.malayi B.timori 1. Gambaran umum dalam sediaan darah 2. Perbandingan lebar dan panjang ruang kepala Melengkung Melengkung Melengkung mulus kaku dan patah kaku dan patah 1:1 1: 2 1:3 3. Warna sarung Tidak berwarna 4. Ukuran panjang (µm) Merah muda Tidak berwarna 240-300 175-230 265-325 5. Inti badan Halus. tersusun rapi Kasar. Berkelompok Kasar, berkelompok 6. Jumlah inti di ujung 0 2 2 ekor 7. Gambaran ujung ekor Sumber : Nugroho, 1996 Seperti pita ke arah ujung Ujung tumpul agak Ujung tumpul agak 3. Larva Dalam Tubuh Nyamuk Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melespaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1) bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-3000 µm x 15-30 µm dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada

stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau pada hari ke 10-14 pada spesies Wuchereria larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping di sertai dengan gerakan yang aktif stadium 3 ini merupakan cacing infektif. (Husada, 1990) 2.1.2.1 Daur Hidup Nyamuk Nyamuk termasuk dalam kelompok serangga yang mengalami metamorfosis sempurna dengan bentuk siklus berupa bentuk telur, larva, pupae, dan bentuk nyamuk dewasa. Dalam hal ini nyamuk dewasa yang hidup di dalam bebas, sedangkan ketiga stadium lainnya hidup dan berkembang di dalam air. 1. Culex a.telur Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk kelompok (raft). Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan. b.larva Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk culex biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air.

Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh) hari. c. Pupa Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan. (Sembel, 2009) 2. Anopheles a. Telur Telur nyamuk Anopheles berbentuk oval panjang, kedua ujungnya lancip dan mempunyai pelampung, meletakkan telur di atas permukaan air satu per satu terpisah. biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan. b. Larva Larva atau sering juga disebut jentik dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air pada Anopheles biasanya secara

horizontal atau sejajar dengan permukaan air yang berguna untuk mendapatkan oksigen dari udara. Larva biasanya akan berpupasi sesudah sekitar 7(tujuh) hari. Larva berbentuk siphon yang pendek sekali atau siphon spiracle berbentuk seperti cincin pada ruas ke delapan abdomen. Pada ruas abdomen terdapat palmate hair. c. Pupa atau jentik Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa Setelah melewati masa pertumbuhan dari pupa selanjutnya berkembang menjadi nyamuk dewasa, nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya nyamuk dewasa terbang mencari makan dan dalam keadaan istirahat Anopheles hinggap agak tegak lurus dengan permukaan. (Sembel, 2009)

3. Aedes a. Telur Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk satu persatu. Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan. b. Larva Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk Aedes biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air. Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh) hari. c. Pupa Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari

makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan. (Sembel, 2009) 2.1.2.2 Perilaku Nyamuk Menurut Sembel (2009) perilaku nyamuk selalu memerlukan 3 tempat untuk kelangsungan hidupnya yaitu : a. Perilaku Mencari Darah Beberapa spesies nyamuk dalam perilaku mencari darah berbeda yaitu pada nyamuk Culex aktif pada waktu pagi, siang, dan pada waktu sore atau malam. Pada nyamuk Aedes dalam mencari darah aktif pada siang hari. Pada nyamuk Anopheles ini ada yang aktif terbang pada waktu pagi, siang, sore ataupun malam. Dihubungkan dengan tempat ada spesies nyamuk yang aktifitas menggigit lebih cenderung di dalam rumah (Endophagic) namun ada pula yang cenderung menggigit di luar rumah saja (Exsophagic) yaitu biasanya terdapat pada nyamuk Anopheles Berdasarkan pada macam darah yang di senangi dapat dibedakan antara nyamuk yang menggigit manusia saja (anthropopilik) dan ada pula yang hanya menggigit hewan (zoopilik) namun ada pula yang tidak mempunyai pilihan tertentu dalam mencari sumber darah. Untuk mempertahankan hidupnya nyamuk betina memerlukan darah bagi proses pertumbuhan telurnya. Tiap beberapa hari secara periodik nyamuk akan mencari darah. Interval tersebut tergantung pada masing-masing spesies dan sangat di pengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu dan kelembaban.

b. Perilaku Istirahat Istirahat bagi nyamuk memiliki arti istirahat yang sebenarnya menunggu proses pematangan telur dan istirahat sementara yaitu pada saat nyamuk masih aktif mencari darah. Pada waktu malam hari ada nyamuk yang masuk ke dalam rumah hanya untuk menghisap darah kemudian keluar, ada pula yang sebelum menggigit maupun yang sudah menggigit hinggap pada dinding rumah untuk istirahat. c. Perilaku Berkembang Biak Nyamuk mempunyai kemampuan untuk memilih peridukan atau tempat untuk berkembang biak dengan kebutuhannya. Ada spesies yang senang terkena matahari langsung dan ada pula yang memilih pada tempat yang teduh, ada yang senang di air payau, pada air yang jernih dan ada pula yang senang di air kotor. (Sembel, 2009) 2.1.2.3 Tempat Berkembang Biak Nyamuk Diketahui bahwa tempat berkembang biak nyamuk adalah pada genangan genangan air. Pemilihan tempat peletakan telur dilakukan oleh nyamuk betina dewasa. Pemilihan tempat yang disenangi sebagai tempat pembiakan dilakukan secara turun temurun oleh seleksi alam. Berdasarkan tempat tersebut maka dapat dibedakan berdasarkan jenis nyamuk yaitu: a. Culex Nyamuk-nyamuk ini biasanya meletakkan telur dan berbiak di selokanselokan yang berisi air bersih ataupun selokan air pembuangan domestik yang kotor (air organik), serta di tempat-tempat pegenangan air domestik atau air hujan di atas permukaan tanah. (Sembel, 2009)

b. Aedes Aedes biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (di rumah, sekolah, kantor), kaleng-kaleng atau kantung-kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, bambu pagar, dan semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih. Jentik-jentik nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di tempat-tempat penampungan air tersebut. (Sembel, 2009) c. Anopheles Nyamuk Anopheles dapat berbiak dalam kolam-kolam air tawar yang bersih, air kotor, air payau, maupun air-air yang tergenang di pinggiran laut. (Sembel, 2009) 2.1.3 Rantai Penularan Filariasis Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu: 1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya. a. Manusia Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengedap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya.

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat. b.hewan Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia. (Utama, 2008) 2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis 3. Manusia yang retan terhadap filariasis Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3). Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah

tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk. sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi untuk ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik penularan dapat terjadi siang dan malam hari. (Utama, 2008)

Skema Rantai Penularan Filariasis adalah sebagai berikut Gambar 2.1 : Skema Rantai Penularan Filariasis.

2.1.4 Teori Simpul Filariasis Teori Simpul Pada Penyakit Filariasis Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4 Penderita Filariasis Hewan Nyamuk Anopheles Nyamuk Aedes Nyamuk Culex Faktor Manusia 1.umur 2.jenis kelamin 3.imunitas Sehat Sakit Faktor Nyamuk 1.siklus gonotrofik 2.frekuensi menggigit manusia Faktor Agent 1.Wucheria bancrofti 2.Brugia malayi 3.Brugia timori Sumber. Achmadi, 1991 Gambar 2.2.Teori Simpul Patogenesis Penyakit Filariasis 2.1.5 Gejala Klinis Filariasis Variabel lain yang berpengaruh Suhu udara, kelembaban, tempat perkembangbiakan nyamuk, kebiasaan keluar rumah, pemakaian kelambu, pekerjaan. Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada kronisnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi W.Barofti, B.malayi dan B.Timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi

oleh B.malayi, B.timori. Infeksi W.bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B.malayi, B,timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin. 2.1.5.1 Gejala Klinis Akut Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi, B.timori dibandingkan karena infeksi W.bancrofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis tetapi sebaliknya pada infeksi W.bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis). (Dinkes Sumut, 2010) 2.1.5.2 Gejala klinis Kronis Gejala klinis kronis terdiri dari limfedama, lymp scrotum, kiluria, hidrokel a. Limfedema Pada infeksi W.bancrofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan dibawah siku dimana siku dan lutut masih normal. b. Lymph Scrotum Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan

kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfeda skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar c. Kiluria Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W.bacrofti sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut: 1. Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung lemak, dan kadang-kadang di sertai (haematuria) 2. Sukar kencing 3. Kelelahan tubuh 4. Kehilangan berat badan d. Hydrocele Adalah pelebaran kantung buah zakar karena tertumpuknya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hydrocele dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut: 1. Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi. 2. Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus 3. Kadang-kadang akumulasi cairan limfe di sertai dengan komplikasi yaitu komplikasi dengan Chyle (Chylocele), darah (Haematocele) atau nanah (Pyocele). Uji transiluminasi dapat di gunakan untuk

membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat di kerjakan oleh dokter puskesmas yang telah di latih. 4. Hydrocele banyak ditemukan di daerah endemis W.bancrofti dan di gunakan sebagai indikator adanya infeksi W,bancrofti. (DinKes Sumut, 2010). 2.1.6 Patogenesis Filariasis Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum pekembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran kelenjar limfe, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi) sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik : 1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk kejaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan keretanan

kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack) 2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES) bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack) 3. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut : a. Gejala peradangan lokal berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri Yaitu : 1. Limfangitis : peradangan di saluran limfe 2. Limfadenitis : peradangan di kelenjar limfe 3. Adeno limfangitis (ADL) : peradangan saluran dan kelenjar limfe 4. Abses (lanjutan ADL) 5. Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis, dan orkitis b. Gejala peradangan umum berupa demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah. 4. Kerusakan sistem limfatik termasuk kerusakan saluran limfa kecil yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema. 5. Pada penderita limfedema serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga

terjadi peningkatan stadium limfedema dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (piting) akan menjadi pembengkakan menetap (non piting). (Oemijati, 2006) 2.1.7 Diagnosis Filariasis Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan 1.Diagnosis Parasitologi A. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsetrasi Knott, membran filtrasi.pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00 wib) mengingat periodiditas mikrofilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan hispatologi kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat ditemukan di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor. B. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk medeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction/PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection. (Utama, 2008) 2. Radiodiagnosis A.Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerakgerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan infeksi filaria oleh W.bancrofti.

B. Pemeriksaan Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia. (Utama, 2008) 3. Diagnosis Imunologi Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk deteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif. Pada stadium obstruktif mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi dalam darah kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria. (Utama, 2008) 2.1.8 Penentuan Stadium Limfedema Limfedema terbagi dalam 7 stadium atas dasar hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalm melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita. Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :

1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai. 2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi dibuat dalam satu stadium lumfedema. 3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. 5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan penatalaksanaan kasus. Tabel 2.2.Stadium Limfedema/Tanda Kejadian Bengkak, Lipatan Dan Benjolan Pada Penderita Kronis Filariasis Gejala Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Bengkak dikaki Lipatan kulit menghila ng waktu bangun tidur pagi Menetap Menetap Menetap menetap, meluas tidak ada tidak ada Dangkal Dangkal dalam, kadang dangkal menetap, meluas dangkal, dalam menetap, meluas dangkal, dalam Nodul tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada Ada Kadang kadang Mossy lesions* Hambata n berat tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada Ada kadangkadang Tidak Tidak Tidak Tidak tidak Tidak Ya Sumber : DinKes Sumut,2010

2.1.9 Penetapan Kabupaten/Kota Endemis Dilakukan berdasarkan hasil survei cepat dan survei darah jari, dan ditetapkan oleh provinsi. a. Survei Kasus Kronis Filariasis Survei kasus kronis filariasis merupakan cara untuk menemukan kasus kronis, dan pada desa yang ditemukan kasus kronis terbanyak akan dilakukan survei darah jari. Dan cara memperoleh data kasus kronis filariasis adalah laporan dari masyarakat, kartu status di Puskesmas dan Rumah Sakit, Penemuan kasus oleh tenaga kesehatan. Dan dalam pelaksanaan adalah sebagai berikut : 1. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mendistribusikan Formulir data kasus kronis Filariasis Desa (Formulir-1), formulir data kasus kronis filariasis Puskesmas (Formulir-2) dan bahan promosi berupa gambar kasus kronis filariasis ke semua Puskesmas di seluruh wilayah kerjanya. 2. Puskesmas membuat surat edaran penemuan kasus kronis filariasis kepada para Kepala Desa/Lurah dan tokoh masyarakat /kader di seluruh wilayah kerja Puskesmas yang dilampiri formulir data kasus kronis filariasis Desa (Formulir-1) dan media promosi. 3. Puskesmas melakukan sosialisasi kasus kronis filariasis pada pertemuanpertemuan di kecamatan dan Desa serta menyebarluaskan media promosi di tempat-tempat umum. 4. Semua data kasus kronis yang diperoleh dari Kepala Desa, Tokoh masyarakat atau penderita yang melapor langsung ke Puskesmas direkapitulasi oleh Puskesmas.

5. Dilakukan konformasi kasus kronis filariasis oleh petugas Puskesmas 6. Data selanjutnya dicatat dalam formulir data kasus kronis filariasis Puskesmas (Formulir-2). 7. Formulir data kasus kronis filariasis puskesmas yang telah diisi dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. (DinKes Sumut, 2010) Dari data kasus kronis yang diperoleh, dapat ditentukan Angka kesakitan Kronis (Chronic Disease Rate=CDR) di suatu desa dalam persen CDR = b. Survei Darah Jari Jumlah Kasus filariasis di desa yang disurvei X 100 % jumlah penduduk desa tersebut Adalah indentifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas intensitas infeksinya. Yang dimulai pada jam 20.00 waktu setempat dengan menghitung kepadatan Ratarata Mikrofilaria dan Menghitung Mikrofilaria rate 1. Kepadatan rata-rata mikrofilaria dari hasil survei darah jari disatu Desa adalah angka rata-rata mikrofilaria permili liter darah yang dihitung dengan menjumlahkan semua mikrofilaria yang ditemukan pada semua sedian dibagi dengan jumlah orang yang sediaannya positif, kemudian dikalikan faktor pengali. 2. Menghitung mikrofilaria rate bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.

Mf Rate = Jumlah sediaan darah positif mikrofilaria X 100 % jumlah sediaan darah diperiksa Bila Mf.Rate > 1% di salah satu atau lebih lokasi survei maka Kabupaten/Kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan pengobatan massal. Bila Mf Rate < 1 % pada semua lokasi survei maka Kabupaten/Kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan pengobatan selektif yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah. (DinKes Sumut, 2010) 2.1.10 Program Eliminasi Filariasis Adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis di tengah-tengah masyarakat sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 1997 WHO membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah, Pada tahun 2000 WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (The Global Good of Elimination of Limphatic Filariasis as a Public Health Problem By The Year 2020). Menyusul kesepakatan global tersebut pada tahun 2002 Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah disingkat ElKaGa pada tahun 2020. (DinKes Sumut, 2010) Eliminasi Filariasis bertujuan yaitu: 1. Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020 2. Menurunnya angka mikrofilaria (mikrofilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota

3. Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Dalam program eliminasi filariasis ini terdapat dua bentuk tindakan yang dilakukan berupa Pengobatan massal yaitu pemberian obat kepada semua penduduk di daerah endemis filariasis dengan DEC, Albendazole dan Paracetamol setiap tahun sekali minimal selama 5 tahun berturut-turut. Dan Tatalaksana kasus yaitu pengobatan dn perawatan penderita klinis filariasis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan membatasi kecacatan. (DinKes Sumut, 2010) 2.1.11 Upaya Pencegahan dan Pengendalian Menurut Sembel (2009) upaya pencegahan yang dilakukan adalah menghindari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Pada dasarnya tujuan dilakukan upaya ini adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu yang terdiri dari penyebab (agent), tuan rumah (host), lingkungan (environmental). Upaya pencegahan penting dan selalu diutamakan karena dapat dilakukan dengan biaya yang murah serta mudah pelaksanaannya hasil yang diperoleh lebih optimal. Upaya pencegahan dan pengeliminasi Fialariasis yang efektif antara lain: 1.Memutuskan rantai penularan filariasis melalui program pengobatan massal di daerah endemis filariasis. 2. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus filariasis. 3. Pengendalian vektor secara terpadu. 4. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara. 5. Memperkuat surveilans dan pengembangan penelitian.

2.1.12 Pengobatan Pada Filariasis Pengobatan dilakukan yaitu dengan pemberian obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC), albendazole dan paracetamol yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun. DEC diberikan 6mg/KgBB sekali pemberian. Sebaik nya obat diminum sesudah makan dan di depan petugas. dibawah ini Dosis obat ditentukan berdasarkan berat badan atau umur sesuai tabel Tabel 2.3. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan Berat Badan (Kg) DEC (100mg) Tablet Albendazole (400mg) Tablet Paracetamol (500mg) Tablet 10-16 1 1 0,5 17-25 1,5 1 0,5 26-33 2 1 1 34-40 2,5 1 1 41-50 3 1 1 51-58 3,5 1 1 59-67 4 1 1 68-75 4,5 1 1 76-83 5 1 1 >84 5,5 1 1 2.2 Rumah Sehat Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung di gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, serta tempat pengembangan kehidupan keluarga. Oleh karena itu keberadaan rumah yag sehat, aman, serasi, dan teratur sangat diperlukan agar fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik. (MenKes, 1989)

Rumah adalah sebuah tempat tujuan akhir dari manusia. Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia. (Wicaksono, 2009) Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi pula sebagai tempat tinggal serta digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya. Selain itu rumah juga merupakan pengembangan kehidupan dan tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk menghabiskan sebagian besar waktunya. Rumah sehat dan nyaman merupakan sumber inspirasi penghuninya untuk berkarya, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. (DepKes, 2002) 2.2.1 Syarat-syarat Rumah Sehat Menurut Irianto (2007) yang mengutip pendapat wislow, bahwa syarat-syarat rumah sehat terdiri dari : 1. Memenuhi kebutuhan Fisiologi antara lain : a. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu). b. Penghawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian udara dalam ruangan c. Terhindar dari kebisingan yang menggangu d. Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar. 2. Memenuhi Kebutuhan Psikologi : a. Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing anggota keluarga

b. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangan dan kebebesannya, tidak terganggu oleh anggota keluarga dalm rumah, tetangga. c. Mempunyai ruang sebagai tempat berkumpulnya anggota keluarga. d. Cara mengatur rumah harus memenuhi rasa keindahan. e. Memiliki Wc di kamar mandi dan adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut. 3. Mencegah Penularan Penyakit a. Tersedianya air bersih yang memenuhi syarat b. Pengolahan tinja dan limbah rumah tangga yang memenuhi syarat c. Bebas vektor penyakit dan tikus d. Kepadatan hunian kamar yang tidak berlebihan. e. Cukup sinar matahari pagi f. Makan dan minuman terlindung dari pencemaran g. Pencahayaan dan penghawaan yang cukup. 4. Mencegah Terjadinya Kecelakaan : Syarat agar dapat mencegah terjadinya kecelakaan meliputi : a. Konstruksi rumah dan material yang digunakan harus cukup kuat (berkualitas baik) b. Tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir. 2.2.2 Syarat-syarat Rumah Untuk Memenuhi Kebutuhan Fisiologis Menurut Irianto (2007) syarat-syarat rumah untuk memenuhi kebutuhan fisiologi dapat dilihat dari kondisi fisik rumah yaitu yang meliputi :

1. Suhu Ruangan Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak berubah sebaiknya tetap berkisar antara 18-20 C. Pada rumah-rumah modern suhu ruangan dapat diatur dengan air conditioning. 2. Harus Cukup Mendapat Penerangan Rumah harus cukup mendapat penerangan baik siang maupun malam hari. Pada pagi hari ruangan agar diusahakan mendapat sinar matahari. 3. Harus Cukup Mendapat Pertukaran Hawa (Ventilasi) Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar. Fungsi yang kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen serta ventilasi juga berfungsi untuk menjaga agar kelembaban ruangan rumah selalu tetap dalam keadaan optimum. 4. Harus Cukup Mempunyai Isolasi Suara Dinding ruangan harus kedap suara, baik terhadap suara yang berasal dari luar maupun dari dalam. 2.2.3 Fungsi Rumah Menurut Siregar (2006) yang mengutip pendapat Azwar, rumah memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Sebagai tempat untuk melepaskan lelah, beristirahat setelah penat melaksanakan kewajiban sehari-hari. 2. Sebagai tempat berkumpul keluarga atau membina rasa kekeluargaan bagi segenap anggota keluarga yang ada.

3. Sebagai tempat berlindung dari bahaya yang mengancam 4. Sebagai lambang status sosial yang dimiliki, yang masih dirasakan sampai sekarang 5. Sebagai tempat meletakkan atau menyimpan barang yang dimiliki 2.2.4 Jenis-jenis Rumah Menurut Machfoed (2008), rumah berdasarkan bahan bangunannya terdiri dari : 1. Rumah Non Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu, bambu. 2. Rumah Semi Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu dan campuran batu, pasir dan semen. 3. Rumah Permanen yaitu rumah yang keseluruhan bahan bangunan terbuat dari campuran batu, pasir dan semen 2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya filariasis 2.3.1 Faktor Lingkungan Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanamanan air. Daerah endemis W.bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx.quiquefasciatus. Sedangkan daerah endemis W.baccrofti tipe pedesaan

(rural) secara umum kondisi lingkungan sama dengan daerah endemis B.malayi. (DepKes, 2007) Lingkungan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, dimana secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, Lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. (DepKes, 2007) a. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis, lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat peridukan dan beristirahatnya nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes resevoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B,malayi sub periodik nokturna dan non periodik. (DepKes RI, 2006) 1. Suhu Udara Suhu udara berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Menurut Chwatt (1980), suhu udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25-30 C. (DepKes, 2007) 2. Kelembaban Udara Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan mengigit, istirahat, dan lain-lain nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada

kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan. (DepKes, 2007) 3. Angin Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah, adalah satu faktor ikut menentukan jumlah kontak atara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak terbang nyamuk Anopheles adalah terbatas biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat perindukannya, bila ada angin yang kuat nyamuk Anopheles bisa terbawa sampai 30 km. 4. Hujan Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan dan jenis vektor serta jenis tempat perkembangbiaknya (breeding place). 5. Sinar Matahari Sinar matahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada spesies nyamuk. Nyamuk An.aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembangbiak dalam air yang ada sinar matahari dan adanya peneduh. Spesies lain tidak menyukai air dengan sinar matahari tetapi lebih menyukai tempat yang rindang, Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An.sundaicus lebih suka tempat yang teduh, An.hyrcanus dan

An.punctulatus spp lebih suka tempat yang terbuka, dan An.barbirostis dapat hidup baik di tempat teduh maupun yang terang. (DepKes, 2007) 6. Arus Air An.barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir lambat, sedangkan An.minimis menyukai aliran iar yang deras dan An.letifer menyukai air tergenang, An.maculatus berkembangbiak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti. Beberapa spesies mampu untuk berkembang biak di air tawar dan air asin seperti yang dilaporkan di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTT bahwa An.subpicutus air payau ternyata di laboratorium mampu bertelur dan berkembang biak sampai menjadi nyamuk dewasa di air tawar seperti nyamuk Anopheles lainnya. 7. Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah genangan-genangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar harus selalu berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi genangan air dibedakan atas genangan air besar dan genangan air kecil. (DepKes, 2007) 8. Keadaan Dinding Keadaan rumah, khususnya dinding rumah berhubungan dengan kegiatan penyemprotan rumah (indoor residual spraying) karena insektisida yang disemprotkan ke dinding akan menyerap ke dinding rumah sehingga saat nyamuk hinggap akan mati akibat kontak dengan insektisida tersebut. Dinding

rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan lebih banyak lagi lubang untuk masuknya nyamuk. 9. Pemasangan kawat kasa Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah. Menurut Davey (1965) penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia. b. Lingkungan Biologik Lingkungan biologik dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penularan filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air, genangan air, rawa-rawa, dan semak-semak sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. Tumbuhan bakau, lumut, gangang dan berbagai tumbuhan lainnya dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepal timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair, mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah, hal ini tergantung pada kesukaan menggigit nyamuknya. (DepKes RI, 2006) Telur Mansonia ditemukan melekat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 10-16 butir, telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing, lalu larva dan pupanya melekat pada

akar atau batang tumbuhan air dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut kalau pada larva terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan pada terompet, sehingga dengan alat kait itu baik siphon maupun terompet dapat berhubungan langsung dengan udara (Oksigen) yang ada di jaringan udara tumbuhan air. Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk Mansonia dan kita tahu bersama kalau spesies inang Mansonia sp antara lain eceng gondok, kayambang. Akhirnya untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit filariasis ini selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakit, caranya bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk Mansonia sp. (DepKes RI, 2006) c. Lingkungan Kimia Dari lingkungan ini baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18% dan tidak berkembang biak pada kadar garam 40% ke atas, meskipun di beberapa tempat di sumatera utara An.sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar An. letifer dapat hidup ditempat yang asam/ph rendah. (Notoatmodjo, 1997) d. Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari

atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intesitas kontak dengan vektor (bila vektor menggigit pada malam hari). Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden pada perempuan karena umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya.(notoatmodjo, 1997) 1. Kebiasaan Keluar Rumah Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Menurut hasil penelitian Kadarusman (2003) diketahui bahwa kebiasaan keluar pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,002.). (Kadarusman, 2003) 2. Pemakaian Kelambu Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunkan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadiaan filariasis (OR=8,09). (DepKes, 2003) 3. Obat Anti Nyamuk Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan oleh masyarakat seperti berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan obat nyamuk semperot atau obat nyamuk bakar, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk atau dengan cara memberantas nyamuk. Menurut Asri (2006) diketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat nyamuk malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,004). (Asri, 2006)