GENDER BUDGET STATEMENT. (Pernyataan Anggaran Gender) TA. 2016

dokumen-dokumen yang mirip
PEDOMAN SENTRA PETERNAKAN RAKYAT (SPR)

GENDER BUDGET STATEMENT (Pernyataan Anggaran Gender)Tahun : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

KERANGKA ACUAN KERJA/TERM OF REFERENCE PENGEMBANGAN SARJANA MEMBANGUN DESA WIRAUSAHAWAN PENDAMPING (SMD WP) T.A. 2015

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 60/Permentan/HK.060/8/2007 TENTANG UNIT PERCEPATAN PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI TAHUN 2010

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTANIAN. Kredit Usaha. Pembibitan Sapi. Pelaksanaan. Pencabutan.

PEDOMAN PELAKSANAAN KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB III METODOLOGI. struktur organisasi dan pembagian tugas berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No.

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG

2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1992 Nomor

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

PENGANTAR. Ir. Suprapti

Revisi ke 05 Tanggal : 27 Desember 2017

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS BIBIT TERNAK BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 82/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS BIBIT TERNAK

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.25/MEN/2009 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 16/Permentan/OT.140/2/2008 TANGGAL : 11 Pebruari 2008 BAB I PENDAHULUAN. 1.1.

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN USAHA PERBIBITAN TERNAK TAHUN 2015 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

Samarinda, 29 Februari 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN

GENDER BUDGET STATEMENT (Pernyataan Anggaran Gender) Tahun 2013

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN PETIKAN TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 11/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/Permentan/OT.140/2/2015 TENTANG

II. GAMBARAN PELAYANAN DINAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

GUBERNUR LAMPUNG. KEPUTUSAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR G/ fjll.. /III.16/HK/2015

V. PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN

PENDAHULUAN. Sentra Peternakan Rakyat (yang selanjutnya disingkat SPR) adalah pusat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

Revisi ke 01 Tanggal : 18 April 2017

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 32/Permentan/OT.140/7/2008 TENTANG

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN PETIKAN TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 25/Permentan/PL.130/5/2008 TENTANG PEDOMAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN USAHA PELAYANAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 299/Kpts/OT.140/7/2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERTANIAN

PRIORITAS 5 MATRIKS ARAH KEBIJAKAN BUKU III RKP 2011 WILAYAH MALUKU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN

Selanjutnya tugas pembantuan tersebut meliputi : 1. Dasar Hukum 2. Instansi Pemberi Tugas Pembantuan

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 67/Permentan/OT.140/11/2007. TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN Dl SEKOLAH PERTANIAN PEMBANGUNAN

PEDOMAN PELAKSANAAN OPTIMALISASI FUNGSI UNIT PEMBIBITAN DAERAH TAHUN 2015

Analisa dan Usulan Kegiatan Berdasarkan Fungsi Yang Diselenggarakan Direktorat Pemantauan dan Pembinaan Pertanahan

PEDOMAN UMUM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) BAB I PENDAHULUAN

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dan Sasaran Pengertian dan Definisi...

Peraturan...

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 17/Permentan/OT.140/3/2011 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAN PENETAPAN RUMPUN ATAU GALUR TERNAK TAHUN 2014

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/Permentan/OT.210/3/2014 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN HORTIKULTURA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/Permentan/OT.140/1/2014 TENTANG

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. DAFTAR ISI... ii. I. Pendahuluan. 1 A. Latar Belakang. 1 B. Maksud dan Tujuan. 2 C. Sasaran... 2 D. Dasar Hukum...

2017, No Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Le

2018, No Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran

KEMENTERIAN PERTANIAN PEDOMAN UMUM. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Ir. Bambang Santosa, M.Sc NIP

LKPJ- AMJ Bupati Berau BAB V halaman 403

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 42/Permentan/OT.140/3/2013 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN PETANI BERPRESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 626/Kpts/PD.330/12/2003 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/KP.340/1/2007 TENTANG

RENCANA KERJA TAHUNAN BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG TAHUN 2018

2 yang dikoordinasikan oleh Sekretaris Jenderal dengan anggota dari masingmasing unit kerja eselon I terkait. PUMP, PUGAR, dan PDPT merupakan upaya ke

PENDAHULUAN. Kemajuan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran bidang peternakan.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/Permentan/SR.230/7/2015 TENTANG FASILITASI ASURANSI PERTANIAN

BUPATI TEMANGGUNG BUPATI TEMANGGUNG,

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG PELAKSANAAN PENDIDIKAN TEKNIS PEMERINTAHAN BAGI CALON CAMAT

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN Target. Realisasi Persentase URAIAN (Rp)

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN KOMODITAS PERKEBUNAN KABUPATEN JEMBRANA

DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

1.1. VISI DAN MISI DINAS PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KOTA PRABUMULIH. pedoman dan tolak ukur kinerja dalam pelaksanaan setiap program dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (TERM OF REFERENCE) PILOT PROJECK PENGEMBANGAN OPTIMASI LAHAN SENSITIVE GENDER TAHUN 2013

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang

Revisi ke 02 Tanggal : 16 Maret 2017

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara

2 Tahun 2008 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4915); 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lemb

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/Permentan/OT.140/1/2014 TENTANG

Terlampir. Terlampir

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERLUASAN AREAL UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN TERNAK KERBAU

KEBIJAKAN PENGANGGARAN SEKTOR PERTANIAN

PEDOMAN PENILAIAN PETANI BERPRESTASI BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

Transkripsi:

GENDER BUDGET STATEMENT (Pernyataan Anggaran Gender) TA. 2016 Kementerian Negara / Lembaga : Kementerian Pertanian Unit Organisasi : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Program Kegiatan Program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan Pengembangan Kawasan Peternakan Output Terbentuknya 50 SPR Perintis di 17 Provinsi Analisis Situasi Ternak adalah satu dari sekian sumberdaya alam yang memberikan kontribusi positif pembangunan nasional. Pengelolaaan komoditas peternakan yang benar akan meningkatkan produktivitas ternak, penyuburan lahan pertanian, pengembangan energi alternatif, peningkatan kesempatan kerja, dan memberikan kesejahteraan bagi peternak Indonesia. Dengan demikian, komoditas ternak dapat digunakan sebagai lokomotif pembangunan pertanian di Indonesia yang setiap gerbongnya diisi oleh komoditas lain. Potensi di atas, tidak tercermin dengan kondisi peternakan di Indonesia saat ini. Contohnya, usaha peternakan sapi potong di Indonesia didominasi oleh usaha peternakan berskala kecil dengan jumlah Rumah Tangga Peternak sebesar 4.204.213 orang (PSPK 2011) yang menguasai lebih dari 98% ternak di Indonesia, dengan ciri: 1) rata-rata kepemilikan ternak relatif rendah dan menyebar; 2) ternak dipelihara sebagai tabungan hidup; 3) jiwa kewirausahaan yang rendah; 4) lahan pemeliharaan tidak jelas; 5) usaha beternak dilakukan secara turun temurun; dan 6) sebagian besar tidak memiliki modal untuk membeli ternak. Kondisi demikian mengakibatkan posisi tawar peternak rendah dan tidak berorientasi bisnis untuk menjadi usaha pokok. Potensi peternak berskala kecil tersebut secara keseluruhan menjadi tulang punggung bangsa Indonesia untuk menyediakan bahan pangan asal hewan bagi seluruh penduduknya. Sehingga diperlukan kontribusi seluruh pemangku kepentingan peternakan dan kesehatan hewan untuk mengkonsolidasikan kekuatan peternak berskala kecil tersebut dalam kegiatan pra produksi, produksi, dan pasca

produksi, serta kegiatan penunjang yang saling bersinergi dan berkelanjutan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas dan mengacu Permentan 50/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian, Kepmentan 43/2015 tentang Penetapan Kawasan Sapi Potong, Kerbau, Kambing, Sapi Perah, Domba dan Babi Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Peternak, maka pendekatan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan ke depan akan ditempuh melalui pengembangan Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang didalamnya menerapkan Sekolah Peternakan Rakyat (Sekolah-PR) sebagai jawaban dan alternatif solusi untuk mengembangkan peternakan rakyat menuju usaha bisnis kolektif yang feaseble, bankable, dan berdaya saing. Keberhasilan SPR diharapkan mampu mendorong kinerja pembangunan peternakan dan kesehatan hewan yang telah digariskan dalam Rencana Strategis Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mencakup : (i) peningkatan produksi; (ii) peningkatan daya saing peternakan dan; (iii) peningkatan kesejahteraaan peternak. Sehingga dengan tercapainya sasaran program pemenuhanan pangan asal ternak dan agribisnis peternakan rakyat akan menyokong kedaulatan pangan nasional yang tertuang dalam Nawacita, sekaligus mempersiapkan usaha peternakan Indonesia dalam menghadapi berlakunya pasar bebas asean atau yang lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Group kun 1 Indikator Input 1 Indikator Output 1 Peternak berskala kecil berbasis kelompok dan atau gabungan kelompok Terbentuknya 50 SPR Perintis di 17 Provinsi Berdirinya SPR Perintis yang dikelola oleh kelompok/masyarakat baik laki-laki maupun perempuan Anggaran Output Indikator Outcome atau dampak/hasil secara luas Rp.40.000.000.000 Milyar,- (Empat Puluh Milyar rupiah) Peningkatan populasi dan produktivitas ternak yang dikelola oleh kelompok laki-laki maupun perempuan

Term Of Reference KEMENTERIAN : Kementerian Pertanian UNIT ESELON : Direktorat Jenderal Peternakan dan KesehatanHewan PROGRAM : Program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan HASIL : Terbentuknya 50 SPR Perintis di 17 Provinsi UNIT ESELON II/SATKER : Sekretariat Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan KEGIATAN : Pengembangan Kawasan Peternakan INDIKATOR KINERJA KEGIATAN : SATUAN UKURAN & Peningkatan populasi dan produktivitas ternak yang dikelola oleh kelompok laki-laki maupun perempuan JENIS KELUARAN : Berdirinya Kelompok SPR yang dikelola oleh kelompok/masyarakat baik laki-laki maupun perempuan VOLUME : 50 SPR Perintis A. LATAR BELAKANG 1. Dasar Hukum Tugas/Fungsi Untuk melaksanakan SPR, maka diperlukan dasar hukum yang mendasari pelaksanaan kegiatan ini. Adapun dasar hukum yang dimaksud sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaga Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaga Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaga Negara Nomor 4355);

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400); 4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438); 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5619); 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5589; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Peternak (Lembaran Negara Tahun 2013 Nomor 6); 8. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/HK.140/4/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Pertanian Republik Indonesia Tahun 2015 2019; 9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/8/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian; 10. Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 43/Kpts/PD.410/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Sapi Potong, Kerbau, Kambing, Sapi Perah, Domba dan Babi Nasional. Selain dasar hukum di atas, pengembangan SPR juga harus mengacu Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2015 2019. 2. Gambaran Umum Ternak adalah satu dari sekian sumberdaya alam yang memberikan kontribusi positif pembangunan nasional. Pengelolaaan komoditas peternakan yang benar akan meningkatkan produktivitas ternak, penyuburan lahan pertanian, pengembangan energi alternatif, peningkatan kesempatan kerja, dan memberikan kesejahteraan bagi peternak Indonesia. Dengan demikian, komoditas ternak dapat digunakan sebagai lokomotif pembangunan pertanian di Indonesia yang setiap gerbongnya diisi oleh komoditas lain. Potensi di atas, tidak tercermin dengan kondisi peternakan di Indonesia saat ini. Contohnya, usaha peternakan sapi potong di Indonesia didominasi oleh usaha peternakan berskala kecil dengan jumlah Rumah Tangga Peternak sebesar 4.204.213 orang (PSPK 2011) yang menguasai lebih dari 98% ternak di Indonesia, dengan ciri: 1) rata-rata kepemilikan ternak relatif rendah dan menyebar; 2) ternak dipelihara sebagai tabungan hidup; 3) jiwa kewirausahaan

yang rendah; 4) lahan pemeliharaan tidak jelas; 5) usaha beternak dilakukan secara turun temurun; dan 6) sebagian besar tidak memiliki modal untuk membeli ternak. Kondisi demikian mengakibatkan posisi tawar peternak rendah dan tidak berorientasi bisnis untuk menjadi usaha pokok. Potensi peternak berskala kecil tersebut secara keseluruhan menjadi tulang punggung bangsa Indonesia untuk menyediakan bahan pangan asal hewan bagi seluruh penduduknya. Sehingga diperlukan kontribusi seluruh pemangku kepentingan peternakan dan kesehatan hewan untuk mengkonsolidasikan kekuatan peternak berskala kecil tersebut dalam kegiatan pra produksi, produksi, dan pasca produksi, serta kegiatan penunjang yang saling bersinergi dan berkelanjutan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas dan mengacu Permentan 50/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian, Kepmentan 43/2015 tentang Penetapan Kawasan Sapi Potong, Kerbau, Kambing, Sapi Perah, Domba dan Babi Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Peternak, maka pendekatan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan ke depan akan ditempuh melalui pengembangan Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang didalamnya menerapkan Sekolah Peternakan Rakyat (Sekolah-PR) sebagai jawaban dan alternatif solusi untuk mengembangkan peternakan rakyat menuju usaha bisnis kolektif yang feaseble, bankable, dan berdaya saing. Keberhasilan SPR diharapkan mampu mendorong kinerja pembangunan peternakan dan kesehatan hewan yang telah digariskan dalam Rencana Strategis Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mencakup : (i) peningkatan produksi; (ii) peningkatan daya saing peternakan dan; (iii) peningkatan kesejahteraaan peternak. Sehingga dengan tercapainya sasaran program pemenuhanan pangan asal ternak dan agribisnis peternakan rakyat akan menyokong kedaulatan pangan nasional yang tertuang dalam Nawacita, sekaligus mempersiapkan usaha peternakan Indonesia dalam menghadapi berlakunya pasar bebas ASEAN atau yang lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). 3. Tujuan Tujuan utama menggunakan SPR untuk membangun peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Mewujudkan usaha peternakan rakyat dalam suatu perusahaan kolektif yang dikelola dalam satu manajemen; b. Meningkatkan daya saing usaha peternakan rakyat melalui peningkatan pengetahuan, kesadaran, dan penguatan keterampilan peternakan rakyat; c. Membangun sistem informasi sebagai basis data untuk menyusun populasi ternak berencana; d. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak rakyat; dan e. Meningkatkan kemudahan pelayanan teknis dan ekonomis bagi peternakan rakyat

4. Rincian Kegiatan 1) Sosialisasi dilakukan oleh pemerintah daerah bersama perguruan tinggi yang telah menjajaki kerjasama untuk mengawal dan mendampingi SPR di wilayah calon SPR yang akan didirikan. Adapun peserta sosialisasi adalah peternak rakyat (individu maupun kelompok) yang akan bergabung di dalam SPR; 2) Pembentukan SPR dan Usulan Daerah; 3) Penetapan SPR oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan; 4) Monitoring dan Evaluasi. 5. Indikator, Keluaran, Volumen dan Satuan 1) Indikator Keluaran Tersedianya SPR meliputi: a) Identifikasi kelompok dan Peternak; b) Identifikasi populasi ternak (ruminansia maupun non ruminansi); c) Pembentukan kelembagaan SPR ; d) Deklarasi SPR; e) Rekrutmen manajer SPR dan Koordinator Manajer; f) MoU Bupati dengan Perguruan Tinggi 2) Volume dan Satuan Ukur SPR mengoptimalkan pemanfaatan sumber dana dan sumber daya menuju bisnis kolektif dari semua pihak, yaitu fasilitas dari: 1) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan berupa sarana dan pelayanan teknis; 2) Pemerintah Daerah berupa sarana dan pelayanan pemasaran; 3) Akademisi, Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Pengembangan SDM berupa pengawalan dan pendampingan SDM; 4) Kementerian/Lembaga Terkait berupa layanan ekonomi; dan 5) Swasta berupa asuransi, kemitraan dan investasi. 6. Indikator Kinerja Peningkatan hasil produksi dan populasi ternak 7. Cara Pelaksanaan Kegiatan Cara pelaksanaan SPR sebagai berikut: a. Melakukan pembentukan SPR; b. Pelaksanaan /implementasi SPR; c. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan.

8. Pelaksana dan Penanggung Jawab Kegiatan a. Pelaksana Kegiatan Pelaksana SPR di tingkat pusat dikelola oleh Sekretariat Nasional SPR selanjutnya disebut Setnas-SPR, merupakan Pengarah dan Unit Khusus Akselerasi Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan. Struktur organisasi Setnas-SPR terdiri dari pengarah, ketua, sekretaris dan anggota yang diangkat oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Struktur pelaksana SPR di tingkat provinsi adalah Sekretariat Provinsi SPR selanjutnya disebut Setprov-SPR yang diketuai oleh koordinator manajer yang direkrut oleh Ditjen PKH dan dibantu oleh 2 (dua) orang staf administrasi yang ditunjuk Kepala Dinas Provinsi yang menjalankan fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Koordinator manajer berfungsi sebagai perpanjangan tangan Seknas-SPR Ditjen PKH dan bertugas mengkoordinasikan implementasi SPR dan mengkoordinir manager SPR di kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerjanya. Segala hal terkait dengan operasional koordinator manajer sepenuhnya dibebankan dari anggaran Ditjen PKH. Di tingkat kabupaten/kota yang mempunyai SPR, manajer berfungsi sebagai pelaksana operasional SPR yang mempunyai kewenangan dan tugas sebagai fasilitator, dinamisator, motivator, dan mediator dalam mengimplementasikan tugas dari GPPT. Segala hal terkait dengan operasional manajer sepenuhnya dibebankan dari anggaran Ditjen PKH b. Penanggung Jawab Kegiatan Penanggung Jawab SPR di tingkat pusat dikelola oleh Sekretariat Nasional SPR selanjutnya disebut Setnas-SPR, merupakan Pengarah dan Unit Khusus Akselerasi Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan. Struktur organisasi Setnas-SPR terdiri dari pengarah, ketua, sekretaris dan anggota yang diangkat oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Struktur pelaksana SPR di tingkat provinsi adalah Sekretariat Provinsi SPR selanjutnya disebut Setprov-SPR yang diketuai oleh koordinator manajer yang direkrut oleh Ditjen PKH dan dibantu oleh 2 (dua) orang staf administrasi yang ditunjuk Kepala Dinas Provinsi yang menjalankan fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Koordinator manajer berfungsi sebagai perpanjangan tangan Seknas-SPR Ditjen PKH dan bertugas mengkoordinasikan implementasi SPR dan mengkoordinir manager SPR di kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerjanya. Segala hal terkait dengan operasional koordinator manajer sepenuhnya dibebankan dari anggaran Ditjen PKH. Di tingkat kabupaten/kota yang mempunyai SPR, manajer berfungsi sebagai pelaksana operasional SPR yang mempunyai kewenangan dan tugas sebagai fasilitator, dinamisator, motivator, dan mediator dalam mengimplementasikan tugas dari GPPT. Segala hal terkait dengan operasional manajer sepenuhnya dibebankan dari anggaran Ditjen PKH

9. Jadwal Kegiatan No Uraian Kegiatan Rencana Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Pembentukan SPR x x x 2 Pelaksanaan SPR x x x x x x x x 3 Evaluasi, Monitoring Pelaporan x x x 10. Penutup Dengan adanya SPR, peternak berskala kecil baik individu maupun yang sudah tergabung dalam kelompok atau asosiasi didorong untuk berkonsolidasi membangun perusahaan/bisnis kolektif yang dikelola secara profesional dalam satu manajemen. Ini merupakan salah satu upaya untuk menjadikan peternak berdaulat dan memiliki posisi tawar lebih tinggi.