PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PRT/M/2015 TENTANG RENCANA DAN RENCANA TEKNIS TATA PENGATURAN AIR

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PRT/M/2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PRT/M/2015 TENTANG PENANGGULANGAN DARURAT BENCANA

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/PRT/M/2015 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 /PRT/M/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM DRAINASE PERKOTAAN

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PRT/M/2015 TENTANG EKSPLOITASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PRT/M/2015 TENTANG PENGELOLAAN ASET IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN STATUS DAERAH IRIGASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04/PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN WILAYAH SUNGAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

AN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2015 TENTANG KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.20/MEN/2008 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PERAIRAN DI SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/PRT/M/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 /PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN GARIS SEMPADAN JARINGAN IRIGASI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PRT/M/2013 TENTANG PEDOMAN PENANGGULANGAN DARURAT BENCANA AKIBAT DAYA RUSAK AIR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PRT/M/2015 TENTANG KOMISI IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 18 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PENGALIHAN ALUR SUNGAI DAN/ATAU PEMANFAATAN RUAS BEKAS SUNGAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BANGKA TENGAH

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 18/MEN/2008 TENTANG AKREDITASI TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR WILAYAH SUNGAI BODRI KUTO

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor : 11 /PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JALAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

BUPATI BANGKA TENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JALAN KHUSUS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 14 /PRT/M/2010 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 c. bahwa guna memberikan dasar dan tuntunan dalam pembentukan kelembagaan pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, diperlukan komisi i

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PRT/M/2012 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN ASET IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

Transkripsi:

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai asas otonomi daerah, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membagi kewenangan pengelolaan bangunan pengaman pantai kepada Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota; b. bahwa pantai sebagaimana dimaksud pada huruf a, mempunyai peran penting, baik sebagai pusat pertumbuhan, pelabuhan, perdagangan, permukiman masyarakat maupun ekosistem alam tempat berkembangnya berbagai biota pantai dan perikanan; g : c. bahwa bangunan pengaman pantai sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditujukan untuk melindungi dan mengamankan masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai, ekosistem pantai, fasilitas umum, fasilitas sosial dan kawasan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, atau nilai sejarah dari perusakan yang diakibatkan kegiatan manusia atau akibat bencana alam; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu ditetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengenai pengamanan pantai;

- 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3046); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8); 4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2015 tentang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 16); 5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 1304); 6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan Umum; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT TENTANG PENGAMANAN PANTAI. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan : 1. Pantai adalah daerah yang merupakan pertemuan antara laut dan daratan diukur pada saat pasang tertinggi dan surut terendah.

- 3-2. Daerah pantai adalah suatu daratan beserta perairannya dimana pada daerah tersebut masih saling dipengaruhi baik oleh aktivitas darat maupun laut (marine). 3. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. 4. Pengamanan pantai adalah upaya untuk melindungi dan mengamankan daerah pantai dan muara sungai dari kerusakan akibat erosi, abrasi, dan akresi. 5. Zona pengamanan pantai adalah satuan wilayah pengamanan pantai yang dibatasi oleh tanjung dan tanjung, tempat berlangsungnya proses erosi, abrasi, dan akresi yang terlepas dari pengaruh satuan wilayah pengamanan pantai lainnya. 6. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 7. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. 8. Pola Pengelolaan Sumber Daya Air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. 9. Rencana Tata Pengaturan Air yang berupa pola pengelolaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. 10. Rencana pengelolaan sumber daya air adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air. 11. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.

- 4-12. Masyarakat adalah seluruh rakyat Indonesia, baik sebagai orang perseorangan, kelompok orang, masyarakat adat, badan usaha, maupun yang berhimpun dalam suatu lembaga atau organisasi kemasyarakatan. 13. Pengelola sumber daya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air. 14. Institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air adalah Balai Besar Wilayah Sungai/Balai Wilayah Sungai. 15. Instansi terkait dengan penggunaan sumber daya air adalah lembaga kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang terkait dengan penggunaan sumber daya air yang meliputi, penggunaan sumber daya air untuk olahraga, pariwisata, pertanian, perikanan, perindustrian, transportasi air, dan lingkungan hidup. 16. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 17. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 18. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumber daya air. Pasal 2 Pengamanan pantai diselenggarakan berdasarkan zona pengamanan pantai dan mempertimbangkan wilayah sungai, pola serta rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai. Pasal 3 (1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan bagi Balai Besar Wilayah Sungai dan Balai Wilayah Sungai dalam melaksanakan kegiatan pengamanan pantai. (2) Peraturan Menteri ini dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah atau masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pengamanan pantai. (3) Peraturan Menteri ini bertujuan agar Balai Besar Wilayah Sungai, Balai Wilayah Sungai, pemerintah daerah, atau masyarakat dapat melaksanakan kegiatan pengamanan pantai secara efektif dan efisien.

- 5 - Pasal 4 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini mengatur tahapan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan bangunan, pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah berupa bangunan pengamanan pantai, pembiayaan bangunan pengaman pantai, dan peran masyarakat. Pasal 5 Pengamanan pantai dimaksudkan untuk melakukan perlindungan dan pengamanan terhadap: a. masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai dari ancaman gelombang dan genangan pasang tinggi (rob), erosi serta abrasi; b. fasilitas umum, fasilitas sosial, kawasan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan nilai sejarah serta nilai strategis nasional yang berada di sepanjang pantai; dan c. pendangkalan muara sungai. Pasal 6 (1) Pengamanan pantai dilakukan berdasarkan aspek umum dan aspek teknis. (2) Aspek umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. studi kelayakan pengamanan pantai; dan b. penyusunan program pengamanan pantai. (3) Aspek teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. perencanaan detail pengamanan pantai; b. pelaksanaan pengamanan pantai; c. operasi dan pemeliharaan bangunan pengaman pantai; d. pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah berupa bangunan pengaman pantai; e. pembiayaan pengamanan pantai; dan f. peran masyarakat.

- 6 - Pasal 7 (1) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a, dimaksudkan untuk mengevaluasi kelayakan bangunan pengaman pantai, meliputi: a. kelayakan ekonomi, sosial, dan lingkungan; b. kesiapan masyarakat untuk menerima rencana kegiatan; c. keterpaduan antarsektor; d. kesiapan pembiayaan; dan e. kesiapan kelembagaan. (2) Penyusunan program pengamanan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b, mengacu pada studi kelayakan pengamanan pantai sesuai dengan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dan rencana zonasi wilayah pesisir. (3) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dan rencana zonasi wilayah pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pelaksanaan pengamanan pantai dilakukan berdasarkan zona pengamanan pantai. Pasal 8 (1) Perencanaan detail pengamanan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dilakukan melalui tahapan: a. inventarisasi; dan b. penyusunan rencana detail. (2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. pengumpulan data; dan b. identifikasi masalah. (3) Penyusunan rencana detail sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pengolahan data; b. pra desain; c. pemilihan alternatif pengamanan pantai; dan d. detail desain pengamanan pantai.

- 7 - Pasal 9 Perencanaan detail pengamanan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. kelestarian sumber daya pantai dan komponen alami lingkungan pantai yang ada; b. dampak lingkungan yang ditimbulkan; c. kondisi sosial ekonomi masyarakat; d. peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengamanan pantai; e. kondisi politik dan kelembagaan; dan f. estetika atau keindahan. Pasal 10 (1) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a meliputi: a. pengumpulan data sekunder; dan b. pengumpulan data primer. (2) Pengumpulan data sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diperoleh dari instansi terkait dan masyarakat. (3) Pengumpulan data primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. survai pemetaan; b. survai hidro-oseanografi; c. survai mekanika tanah dan geoteknik; d. survai sosial ekonomi; dan e. survai lingkungan. Pasal 11 (1) Identifikasi masalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b, diperlukan untuk memperoleh informasi awal mengenai permasalahan fisik, peraturan perundang-undangan terkait dengan pengamanan pantai, sumber daya manusia dan kelembagaan yang diperlukan dalam pengamanan pantai. (2) Informasi awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari instansi terkait dan didukung dengan peninjauan lapangan.

- 8 - (3) Peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dimaksudkan untuk memperoleh data fisik permasalahan pantai dan analisis tentang perkiraan penyebab kerusakan pantai. Pasal 12 (1) Pengolahan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a meliputi: a. pengolahan data sekunder; dan b. pengolahan data primer. (2) Pra desain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b berisi: a. pengembangan alternatif; b. kriteria desain; c. tata letak; d. bentuk pengamanan pantai; e. material pengamanan pantai; dan f. pertemuan konsultasi publik. (3) Hasil dari pra desain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk menentukan pemilihan alternatif pengamanan pantai. (4) Pemilihan alternatif pengamanan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c dapat berupa: a. perlindungan buatan (artificial protection); b. perlindungan alami (natural protection); dan c. adaptasi. (5) Perlindungan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, meliputi pembangunan: a. struktur lunak (soft structures); b. struktur keras (hard structure); dan c. kombinasi antara struktur lunak dan struktur keras. (6) Perlindungan alami sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, antara lain berupa perlindungan hutan/tanaman mangrove, gumuk pasir (sand dunes), terumbu karang, dan cemara pantai.

- 9 - (7) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan penyesuaian terhadap perubahan alam, penurunan risiko dampak yang mungkin terjadi, dan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam. (8) Pengembangan alternatif, kriteria desain, tata letak, bentuk dan material pengamanan pantai dilakukan melalui konsultasi publik dengan instansi teknis dan masyarakat terkait. Pasal 13 (1) Berdasarkan pemilihan alternatif pengamanan pantai dilakukan detail desain. (2) Detail desain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perhitungan struktur; b. gambar rencana; c. spesifikasi teknis; d. perhitungan volume; dan e. perhitungan biaya. (3) Gambar rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi denah dan penampang. (4) Spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bagian dari dokumen lelang mengenai pelaksanaan konstruksi bangunan pengaman pantai yang berisi penjelasan persyaratan teknis pekerjaan yang dilelangkan. (5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi: a. syarat-syarat material yang digunakan; b. syarat jenis, kapasitas, dan jumlah peralatan utama minimal yang diperlukan; c. syarat-syarat kualifikasi dan jumlah personil inti yang dipekerjakan; d. metode pelaksanaan pekerjaan; e. jadwal waktu pelaksanaan; f. mengutamakan produksi dalam negeri; dan g. kriteria kinerja produk (output performance) yang diinginkan. (6) Perhitungan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dihitung sesuai dengan harga satuan upah dan bahan pada saat perencanaan.

- 10 - Pasal 14 Perencanaan detail pengamanan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 termasuk perhitungan struktur dan perhitungan volume dilakukan sesuai dengan Pedoman Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai. Pasal 15 (1) Pelaksanaan pengamanan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b meliputi kegiatan pra-persiapan, persiapan pelaksanaan, pelaksanaan, dan penyerahan pekerjaan. (2) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan biaya, mutu, dan waktu yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan. Pasal 16 Pelaksanaan konstruksi bangunan pengamanan pantai dilakukan sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Konstruksi Bangunan Pengaman Pantai. Pasal 17 Operasi dan pemeliharaan bangunan pengaman pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c, dimaksudkan agar bangunan pengaman pantai dapat berfungsi optimal. Pasal 18 (1) Kegiatan operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, meliputi: a. pemantauan; b. sosialisasi kebijakan; dan c. pengoperasian pompa dan pintu air. (2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi kegiatan pengamatan dan pengukuran bangunan pengaman pantai pada zona pengamanan pantai guna mendapatkan informasi tentang kondisi fisik. (3) Kondisi fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit berupa: a. kerusakan pantai dan kerugian yang ditimbulkan; b. perubahan bentuk fisik pantai; c. perubahan pola arus dan angkutan sedimen; d. bangunan pantai dan fungsinya;

- 11 - e. pengaruh bangunan pantai terhadap lingkungan; f. pemanfaatan sempadan pantai dan perubahan garis pantai; g. kegiatan masyarakat yang merusak ekosistem pantai; dan h. jumlah penduduk yang mengalami dampak kerusakan. (4) Sosialisasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi kegiatan: a. larangan penebangan hutan/tanaman mangrove; b. larangan penambangan di sempadan pantai; c. tatacara pemanfaatan sempadan pantai; dan d. peraturan perundang-undangan yang terkait. (5) Pengoperasian pompa dan pintu air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berupa: a. pengoperasian pintu pengendali banjir; dan b. pengoperasian pompa pada sistem polder. Pasal 19 (1) Kegiatan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, meliputi kegiatan pemeliharaan: a. bangunan pengaman pantai; b. alur muara sungai; dan c. lingkungan pantai. (2) Pemeliharaan bangunan pengaman pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pemantauan dan evaluasi. (3) Pemeliharaan alur muara sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi kegiatan pengerukan muara secara periodik. (4) Pemeliharaan lingkungan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi kegiatan penanaman pohon pelindung pantai, penambahan pasir pada kawasan yang tererosi, pembersihan lingkungan pantai dari sampah dan limbah. Pasal 20 (1) Berdasarkan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 pada ayat (2) dapat dilakukan pemeliharaan atau rehabilitasi.

- 12 - (2) Kegiatan pemeliharaan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan program, biaya, mutu, dan waktu yang telah ditetapkan dalam tahap pemeliharaan. (3) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bangunan pengaman pantai dilakukan sesuai dengan Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pengaman Pantai. (4) Pelaksanaan rehabilitasi bangunan pengaman pantai dilakukan sesuai dengan Pedoman Rehabilitasi Bangunan Pengaman Pantai. Pasal 21 (1) Seluruh bangunan pengaman pantai yang dibangun dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dicatat sebagai barang milik negara. (2) Seluruh bangunan pengaman pantai yang dibangun dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dicatat sebagai barang milik daerah. (3) Penatausahaan/pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang berupa bangunan pengaman pantai dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 22 (1) Pembiayaan pengamanan pantai ditetapkan berdasarkan angka kebutuhan nyata pengamanan pantai. (2) Pembiayaan pengamanan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. sistem informasi; b. perencanaan; c. pelaksanaan konstruksi; d. operasi dan pemeliharaan; e. rehabilitasi; f. pengelolaan barang milik negara/barang milik daerah; dan g. pemberdayaan masyarakat.

- 13 - Pasal 23 (1) Sumber dana untuk pembiayaan pengamanan pantai dapat berasal dari: a. anggaran pemerintah, b. anggaran pemerintah daerah; c. anggaran swasta; atau d. anggaran swadaya masyarakat. (2) Anggaran swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan anggaran keikutsertaan swasta dalam pembiayaan pengamanan pantai. (3) Anggaran swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, merupakan anggaran keikutsertaan masyarakat pengguna pantai dalam pembiayaan pengamanan pantai. (4) Penerimaan dan penggunaan sumber dana untuk pembiayaan pengamanan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 (1) Pemerintah Pusat dan/atau pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran untuk biaya pengamanan pantai sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. (2) Pembiayaan pengamanan pantai dapat dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah Pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pembiayaan yang dilakukan dengan anggaran swasta dan/atau anggaran swadaya masyarakat dikelola langsung oleh pihak swasta dan/atau masyarakat yang bersangkutan. Pasal 25 (1) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf f mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan pengawasan terhadap pengamanan pantai. (2) Peran masyarakat dalam pengamanan pantai dilakukan sesuai dengan Pedoman Peran Masyarakat Dalam Pengamanan Pantai.

- 14 - Pasal 26 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini: a. ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengamanan pantai yang telah ada sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini; b. kegiatan pengamanan pantai yang masih dalam proses sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. Pasal 27 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 April 2015 MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, ttd. M. BASUKI HADIMULJONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 April 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 532