KETAHANAN PANGAN DAN STATUS GIZI KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO

dokumen-dokumen yang mirip
KETAHANAN PANGAN DAN STATUS GIZI KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO ETTI SUDARYATI JUANITA NURMAINI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

UNIVERSITAS INDONESIA

METODE PENELITIAN Waktu, Tempat, dan Desain Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

GAMBARAN KARAKTERISTIK KELUARGA BALITA DENGAN STATUS GIZI KURANG DAN BURUK DI KELURAHAN LANDASAN ULIN TENGAH KECAMATAN LIANG ANGGANG KOTA BANJARBARU

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB 1 : PENDAHULUAN. lebih. Kondisi ini dikenal sebagai masalah gizi ganda yang dapat dialami oleh anakanak,

METODE PENELITIAN. n =

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tembakau pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Asap rokok mengandung 4000 bahan kimia dan berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB I PENDAHULUAN UKDW. menurut Global Nutrition Report 2014, Indonesia termasuk dalam 17 negara

BAB I PENDAHULUAN. perlu disiapkan dengan baik kualitasnya (Depkes RI, 2001 dalam Yudesti &

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Esa Unggul

Semuel Sandy, M.Sc*, Maxi Irmanto, M.Kes, ** *) Balai Litbang Biomedis Papua **) Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. (1) anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya serta dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. demikian derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah apabila

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing, maka

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

Adequacy Levels of Energy and Protein with Nutritional Status in Infants of Poor Households in The Subdistrict of Blambangan Umpu District of Waykanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. Pada kelompok anak usia sekolah, termasuk remaja usia 16-18

Al Ulum Vol.59 No.1 Januari 2014 halaman

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius dari pemerintah. Gizi yang baik merupakan pondasi bagi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

Rizqi Mufidah *), Dina Rahayuning P **), Laksmi Widajanti **)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA GIZI BESI PADA TENAGA KERJA WANITA DI PT HM SAMPOERNA Oleh : Supriyono *)

BAB I PENDAHULUAN. Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Untuk mencapai SDM

BAB I PENDAHULUAN. Status pendidikan dan ekonomi sebuah negara berkaitan erat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI DESA KANIGORO, SAPTOSARI, GUNUNG KIDUL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

METODE. PAUD Cikal Mandiri. PAUD Dukuh. Gambar 2 Kerangka pemilihan contoh. Kls B 1 :25. Kls A:20. Kls B 2 :30. Kls B:25. Kls A:11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

METODE PENELITIAN. n1 = = 35. n2 = = 32. n3 =

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Key words: Food consumption pattern, social economic of the family, the growth of new kid in school.

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA DAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA TERTINGGAL KECAMATAN PINTUPOHAN MERANTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR TAHUN 2010

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB II KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

METODE. n = Z 2 P (1- P)

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

BAB 1 : PENDAHULUAN. keadaan gizi : contohnya gizi baik, gizi buruk, gizi kurang ataupun gizi lebih. Untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh negatif yang secara langsung maupun tidak langsung. yang berperan penting terhadap munculnya overweight (Hadi, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat. tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Jenis dan Cara Pengambilan Data

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. ganda yaitu masalah kurang gizi dan gizi lebih. Kurang energi protein (KEP) pada

Gambar Kerangka pemikiran hubungan faktor gaya hidup dengan kegemuka pada orang dewasa di Provinsi Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Gorontalo.

Food Coping Strategy : Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Status Gizi Balita

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2

BAB I PENDAHULUAN. pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar. Dalam

METODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberantasan kemiskinan dan kelaparan menjadi salah satu agenda

BAB 1 PENDAHULUAN. essensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan (Maslow, 1970

BAB 1: PENDAHULUAN. ketergantungan) dan tar yang bersifat karsinogenik. (1)

Transkripsi:

KETAHANAN ANGAN DAN STATUS GIZI KELUARGA EROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI KABUATEN KARO Etti Sudaryati, sudaryatiety@yahoo.co.id Juanita, joean_ita@yahoo.com Nurmaini, nurmainik@yahoo.com Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Abstrak revalensi merokok di Kabupaten Karo tinggi demikian juga dengan permasalahan anak pendek. Berdasarkan hal ini maka dilakukan penelitian di Kecamatan Berastagi pada 120 keluarga perokok dengan rancangan croossectional. engumpulan data ketahanan pangan meliputi data ketersediaan dan konsumsi pangan, serta status gizi. Konsumsi keluarga dikumpulkan dengan metoda food list recall. Status gizi dihitung berdasarkan indeks antropometri. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan ketersediaan pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein dalam rumah tangga perokok, juga dengan status gizi keluarga. Konsumsi energi dan protein mempunyai hubungan dengan status gizi keluarga. Ketersediaan pangan keluarga perokok ditunjukkan dengan adanya rawan kelaparan tingkat ringan (34,2%). Masih dijumpai keluarga yang defisit energi dan protein. Status gizi keluarga perokok yang normal ada 72,5%. engeluaran rokok berhubungan dengan ketersediaan pangan, dan konsumsi protein, tetapi tidak dengan konsumsi energi dan status gizi keluarga. Diharapkan keluarga perokok meningkatkan konsumsi energi dan protein serta mengurangi jumlah rokok agar dialihkan untuk makanan keluarga. Kata kunci: keluarga perokok, ketersediaan pangan, konsumsi, status gizi

ENDAHULUAN Konsumsi rokok menunjukkan trend meningkat dari 182 milyar batang pada tahun 2001 (WHO, 2002) menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009 (WHO, 2012). Angka perokok di Indonesia pada kepala keluarga miskin mencapai 70%. Data Riskesdas menunjukkan perokok di Indonesia mengalami peningkatan yaitu 34,7% proporsi perokok usia di atas15 tahun pada tahun 2010 menjadi 36,3% tahun 2013. roporsi perokok di rovinsi Sumatera Utara tahun 2008 adalah 35,7%, dan terbanyak Kabupaten Karo (40,6%). Trend belanja rokok yang mengalami peningkatan, ini berdampak pada kesehatan keluarga dan juga pada ekonomi keluarga. Rumah tangga miskin lebih memilih mengalihkan membelanjakan uangnya untuk rokok dan bukan untuk kebutuhan pokok lainnya, seperti makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan dalam upaya memperbaiki gizi keluarga. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menyebabkan semakin banyaknya anak-anak menderita gizi kurang. ermasalahan gizi kurang adalah sebagai wujud dari kekurangan konsumsi pangan atau zat gizi, yang dampaknya sangat luas, dan diukur dari status gizi. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah pangan menyangkut ketersediaan pangan atau kerawanan konsumsi pangan, yang sekarang ini menjadi isu ketahanan pangan. ada tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi isu internasional. Menurut Baliwati, et al (2004), ketahanan pangan merupakan rangkaian dari komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan, kemudahan memperoleh pangan dan pemanfaatan pangan. enelitian terdahulu terkait kesehatan keluarga dan komunitas serta faktor yang mempengaruhinya, telah diteliti Sudaryati (2012), yang hasilnya menemukan bahwa sebanyak 24,5% anak umur 6-24 bulan mempunyai pertumbuhan yang kurang. ertumbuhan anak 6-24 bulan dipengaruhi faktor keluarga. Selanjutnya hasil penelitian Juanita (2011) menyimpulkan bahwa pengeluaran rokok lebih besar dari kemampuan membayar rumah tangga untuk pelayanan kesehatan. roporsi pengeluaran rokok juga lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Artinya, hilangnya kesempatan untuk berinvestasi pada sektor pendidikan dan kesehatan. erlu meningkatkan kesadaran di masyarakat bahwa tidak merokok adalah investasi, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun negara. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa masih adanya masalah kesehatan dan gizi yang berkaitan dengan keluarga dan komunitas, sehingga dirasa penting melakukan penelitian yang mencari tahu bagaimana keadaan ketahanan pangan keluarga perokok dan status gizi keluarga perokok. enelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketersediaan pangan keluarga perokok dan hubungannya dengan konsumsi energi dan protein keluarga perokok, juga hubungannya dengan status gizi keluarga perokok. Selain itu menganalis hubungan konsumsi energi dan protein keluarga perokok dengan status gizi keluarga perokok, serta menganalisis hubungan pengeluaran rokok dengan ketersediaan pangan, konsumsi energi protein dan status gizi keluarga perokok. BAHAN DAN CARA Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan croossectional, yang memakai sampel adalah rumah tangga perokok sebanyak 120 keluarga. Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Berastagi, suatu kota kecil di daerah pegunungan sebagai tujuan wisata domestik maupun mancanegara. engumpulan data ketahanan pangan dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan alat ukur kuesioner, meliputi data ketersediaan dan konsumsi pangan keluarga. Ketersediaan pangan diukur untuk melihat keadaan pangan keluarga dalam 12 bulan terakhir dengan measuring household food security. Konsumsi pangan keluarga dikumpulkan untuk melihat asupan energi dan protein keluarga dengan metoda food list recall. Status gizi dihitung berdasarkan indeks

antropometri masing-masing anggota keluarga, yaitu BB/U, TB/U dan BB/B untuk umur 2 tahun, IMT/U untuk umur >2 tahun-18 tahun, IMT untuk >18 tahun. engeluaran belanja rokok diukur dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat. Bivariat dengan menggunakan uji kai kuadrat dengan terlebih dahulu membuat kategorik pada data dengan kategori binary. Status gizi keluarga diukur berdasarkan umur, berat badan, tinggi badan. Diambil batasan pada 50% anggota keluarga yang berstatus gizi normal menurut indeks antropometri masing-masing anggota keluarga, maka dikatakan status gizi keluarga adalah normal, dan diluar dari itu disebut tidak normal (gizi kurang, pendek, kurus, gemuk, obesitas). Batasan kategori ketersediaan pangan adalah terjamin dan rawan kelaparan. Konsumsi pangan keluarga terdiri dari konsumsi energi dan protein. Batasan kategori adalah defisit jika konsumsi kurang dari 70% Angka Kecukupan Gizi (AKG) anjuran. Tidak defisit terdiri dari kurang jika 70%-80% AKG, sedang jika 80% - 99% AKG dan baik jika 100% AKG. HASIL DAN EMBAHASAN Gambaran merokok dalam keluarga di kecamatan Berastagi menunjukkan bahwa anggota keluarga yang merokok lebih banyak adalah kepala keluarga dengan umur pertama kali merokok rata-rata 17 tahun. Dalam keluarga Karo, merokok merupakan hal yang biasa terkait dengan budaya, dimana pada acara adat, rokok selalu disuguhkan kepada keluarga yang dianggap lebih tinggi kedudukannya dalam adat. Disamping itu, pada anak yang mulai menginjak dewasa, rokok merupakan simbol yang menyatakan anak mulai memasuki usia dewasa dan sudah berlaku adat istiadat suku. Rokok diberikan pada anak laki-laki, sementara pada remaja putri dan perempuan dewasa terbiasa menyuntil (sirih yang dicampur dengan tembakau dan lain-lain). Jumlah batang rokok yang dihisap per hari rata-rata 14,23 batang dengan jumlah terbanyak sekitar 48 batang atau sekitar 3 bungkus rokok dan jumlah minimum 1 batang. Maka uang yang dikeluarkan untuk belanja rokok rata-rata sekitar Rp. 15.610,83 dengan porsi terbanyak mengeluarkan belanja rokok Rp. 52.800,00 per hari per orang. engeluaran rokok di daerah penelitian ini merupakan pengeluaran terbanyak kedua setelah pengeluaran untuk makanan. engeluaran belanja rokok dalam sebulan mempunyai nilai median sebesar Rp. 396.000,00 dan proporsi keluarga yang di atas atau sama dengan nilai median adalah 89 (74,2%) keluarga, dan proporsi keluarga di bawah nilai median ada 31 keluarga (25,8%). Rata-rata konsumsi untuk rokok dan makanan adalah sebesar 78,1% (Rp. 897.208,00 untuk makanan dan Rp. 465.717,00 untuk rokok). engeluaran rokok per bulan rata-rata adalah sebesar Rp. 465.717,00 atau 26,7% dari total pendapatan keluarga. engeluaran rokok lebih besar dari rata-rata pengeluaran non pangan (Rp. 382.750,00 atau 21,9% pendapatan). Sedangkan pengeluaran pangan rata-rata Rp. 897.208,00, atau 51,4% dari total pendapatan. Jika melihat dari besarnya yang dibelanjakan untuk konsumsi (pangan+rokok) di atas 70% maka sosial ekonomi dalam keluarga di Kecamatan Berastagi masih rendah. Gambaran sosial ekonomi yang tinggi jika belanja untuk konsumsi makanan (termasuk rokok) hanya berkisar sekitar 20-30% saja dari total pendapatan. Walaupun rata-rata pendapatan sudah di atas upah minimum propinsi Sumatera Utara (Rp. 1.600.000,00), tetapi masih belum sejahtera karena besarnya pengeluaran untuk konsumsi (makanan+rokok) lebih dari 70%. endapatan berkaitan dengan pendidikan karena pendidikan merupakan peluang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. endidikan kepala keluarga 54,2% sekolah menengah atas (SMA), dan 95,8% status pekerjaan kepala keluarga adalah bekerja dengan jenis pekerjaan terbanyak adalah wiraswasta atau berdagang (46,1%). endapatan sangat erat kaitannya dengan ketersediaan pangan dalam keluarga, yang akan mempengaruhi konsumsi zat gizi, dan akhirnya akan mempengaruhi status gizi. Gambaran ketersediaan pangan serta tingkat konsumsi energi dan protein dalam keluarga

dijadikan sebagai indikator untuk mengetahui keadaan ketahanan pangan dalam keluarga. Ketahanan pangan menggambarkan keadaan keluarga yang rawan pangan. Keterjaminan pangan dalam keluarga menjadi penting untuk pertumbuhan atau pemeliharaan jaringan tubuh, terutama untuk keluarga yang anggotanya ada balita maupun ibu hamil, sebab sangat berisiko untuk terjadinya masalah kesehatan dan gizi. Anak-anak yang sedang bertumbuh membutuhkan kecukupan gizi sesuai dengan pertumbuhannya. Menurut Laura (1989), konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang berguna menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisma, memperbaiki jaringan tubuh dan mendukung pertumbuhan. Tabel 1 menunjukkan gambaran ketahanan pangan dalam keluarga perokok. Tabel 1. Gambaran Ketahanan angan Keluarga di Kecamatan Berastagi energi dan protein. Diantara 41 keluarga yang ketersediaan pangannya tidak terjamin (rawan kelaparan tingkat ringan) ada 51,2% keluarga yang mempunyai masalah gizi. Sedangkan dari 79 keluarga yang terjamin ketersediaan pangannya, yang mempunyai masalah gizi dalam keluarga ada 15,2%. Demikian juga dengan keluarga yang defisit konsumsi energi dan protein mempunyai kecenderungan untuk terjadi masalah gizi dalam keluarganya lebih besar. Tabel 2. Hubungan ketersediaan pangan dan konsumsi energi dan protein dengan status gizi Ketahanan angan Status gizi keluarga Tidak normal Normal Ketersediaan pangan: -Rawan lapar ringan - Terjamin 21 12 51,2 15,2 20 67 48,8 84,8 0,000 Ketahanan pangan keluarga n =120 % Ketersediaan pangan keluarga : - Rawan kelaparan tingkat ringan - Terjamin 41 79 34,2 65,8 Tingkat konsumsi energi keluarga : - Defisit (70% AKG) - Tidak defisit: Kurang (70% - 80% AKG) Sedang (80% - 99% AKG) Baik ( 100%) 42 32 31 15 35,0 26,7 25,8 12,5 Tingkat Konsumsi energi: -Defisit -Tidak defisit Tingkat Konsumsi protein: -Defisit -Tidak defisit 19 14 20 13 45,2 17,9 41,7 18,1 23 64 28 59 54,8 82,1 58,3 81,9 Jumlah 33 27,5 87 72,5 0,001 0,005 Tingkat konsumsi protein keluarga: - Defisit (70% AKG) - Tidak defisit: Kurang (70% - 80% AKG) Sedang (80% - 99% AKG) Baik ( 100%) Status Gizi Keluarga : - Normal - Tidak normal 48 31 22 19 87 33 40,0 25,8 18,3 15,8 72,5 27,5 Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi pangan (energi dan protein) dengan status gizi (p<0,001). Tabel 2 menunjukkan hubungan keduanya. Hasil ini mempunyai makna bahwa masalah gizi dalam keluarga perokok ada 27,5% yang kecenderungannya disebabkan oleh ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi Tabel 3 dan 4 menunjukkan hubungan antara ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi energi, dimana keluarga yang ketersediaannya terjamin mempunyai kecenderungan tingkat konsumsi energi dan protein yang tinggi. Tabel 3. Hubungan ketersediaan pangan dengan tingkat konsumsi energi pada keluarga perokok Ketahanan angan Konsumsi Energi keluarga Defisit Tidak defisit Ketersediaan pangan: -Rawan lapar ringan - Terjamin 27 15 65,9 19,0 14 64 34,1 81,0 Jumlah 42 35,0 78 65,0 0,000

Ketersediaan pangan yang terjamin pada rumah tangga perokok memberikan kontribusi bagi pemenuhan konsumsi pangan, dimana diantara 41 keluarga yang rawan lapar ringan menjadikan keluarga itu kekurangan konsumsi protein (75,6%). Demikian dengan 79 keluarga yang cukup atau terjamin ketersediaan pangannya ada sebanyak 78,5% keluarga tidak defisit atau kekurangan konsumsi protein (Lihat Tabel 4). Ketersediaan pangan yang terjamin dalam rumah tangga perokok kecenderungannya yang utama adalah makanan yang mengandung karbohidrat, sedangkan makanan yang mengandung protein kurang tersedia di rumah sehingga makanan jenis sumber protein kurang terjamin, atau rawan kelaparan tingkat ringan. Jenis makanan protein yang lebih baik berasal dari makanan hewani, dan tersedia dalam keadaan segar. Namun daerah pegunungan biasanya kurang akan ketersediaan makanan hewani seperti ikan, jikapun ada dalam keadaan kering. Makanan hewani termasuk makanan yang lebih mahal dibandingkan dengan makanan nabati. Sehingga untuk keluarga perokok ini lebih baik mengalihkan belanja rokoknya kepada belanja makanan. Tingkat konsumsi pangan dalam penelitian ini merupakan hasil perbandingan konsumsi pangan keluarga dalam bentuk energi dan protein dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan. AKG yang dianjurkan merupakan ukuran kecukupan zat gizi rata-rata setiap hari dengan mempertimbangkan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas. enghitungan konsumsi pangan (energi dan protein) keluarga dalam penelitian ini diukur dengan memperhatikan umur, dan jenis kelamin serta jumlah anggota keluarga. Ketahanan keluarga Tabel 4. Hubungan ketersediaan pangan dengan tingkat konsumsi protein pada keluarga perokok angan Ketersediaan pangan: -Rawan lapar ringan - Terjamin Konsumsi rotein Defisit Tidak defisit 31 17 75,6 21,5 10 62 24,4 78,5 Jumlah 48 40,0 72 60,0 0,000 engeluaran untuk rokok atau belanja rokok akan lebih baik dikurangi dan dialihkan untuk belanja makanan. Belanja rokok ratarata sebesar 36,5% akan lebih baik jika dibelanjakan untuk makanan yang mengandung protein, karena tingkat konsumsi protein banyak yang defisit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja rokok mempunyai hubungan dengan ketersediaan pangan keluarga, dapat dilihat dalam Tabel 5. Tabel 5. Hubungan belanja rokok dengan ketersediaan pangan keluarga Belanja rokok Ketersediaan pangan (Rp/bulan) Nilai Median Rawan lapar ringan Terjamin 396.000 < 396.000 25 16 28,1 51,6 64 15 79,1 48,4 0,017 Jumlah 41 34,2 79 65,8 Belanja rokok tidak mempunyai hubungan dengan tingkat konsumsi energi (p>0,05). Tetapi dengan tingkat konsumsi protein mempunyai hubungan. Belanja rokok yang di atas atau di bawah nilai median keduanya lebih banyak pada keluarga yang tidak defisit (Tabel 6). Tabel 6. Hubungan belanja rokok dengan tingkat konsumsi energi Belanja rokok Tingkat konsumsi energi (Rp/bulan) Nilai Median Defisit Tidak Defisit 396.000 < 396.000 29 13 32,6 41,9 60 18 67,4 58,1 0,347 Jumlah 42 35,0 78 65,0

Belanja rokok mempunyai hubungan dengan tingkat konsumsi protein. Tetapi diantara keluarga yang mengeluarkan uang untuk rokok lebih besar atau sama dengan Rp. 399.000,00 mempunyai tingkat konsumsi protein yang lebih banyak tidak defisit (66,3%). Diasumsikan hal ini dapat terjadi karena seringnya keluarga menghadiri acara adat, dimana pada acara adat tersebut selalu disuguhkan rokok dan makanan yang mengandung protein. Tabel 7. Hubungan belanja rokok dengan tingkat konsumsi protein Belanja rokok (Rp/bulan) Nilai Median - 399.000 - < 399.000 Tingkat konsumsi protein Defisit Tidak Defisit 30 33,7 59 66,3 18 58,1 13 41,9 Jumlah 48 35,0 78 65,0 0,017 Hasil penelitian ini menunjukkan belanja rokok kepala keluarga tidak berhubungan dengan status gizi. Status gizi terjadi tidak dalam sebentar tetapi mempunyai proses waktu, mulai dari keadaan kekurangan energi atau protein yang berkelanjutan. Data Tabel 8 menunjukkan bahwa pengeluaran rokok yang lebih besar ataupun lebih kecil dari nilai median sama-sama mempunyai status gizi keluarga yang lebih banyak tidak normal. Artinya berapapun nilai ekonomi yang dikeluarkan untuk rokok mempunyai kecenderungan status gizi keluarga menjadi tidak normal. Disamping itu belanja rokok lebih langsung berhubungan dengan ketersediaan pangan dalam keluarga perokok. Selanjutnya ketersediaan berhubungan dengan konsumsi pangan, dan konsumsi pangan yang memengaruhi status gizi. Tabel 8. Hubungan pengeluaran rokok dengan status gizi Belanja rokok Status gizi Status gizi (Rp/bulan) Nilai Median Normal Tidak normal - 396.000 - < 396.000 24 9 27,0 20,0 65 13 73,0 54,2 1,0 Jumlah 33 27,5 87 72,5 Kesimpulan 1. Ketersediaan pangan yang semakin terjamin memberikan kecenderungan peluang status gizi keluarga menjadi normal, demikian juga dengan konsumsi energi dan protein yang mencukupi menekan terjadinya masalah gizi pada keluarga perokok. 2. Ketersediaan pangan yang terjamin dalam keluarga perokok lebih cenderung akan meningkatkan konsumsi energi dan protein. 3. Belanja rokok tidak berhubungan dengan konsumsi energi dan status gizi dalam keluarga perokok. 4. Kecenderungan belanja rokok yang lebih besar tidak memberikan peluang untuk defisit konsumsi protein dalam keluarga perokok. SARAN Diharapkan ada sosialisasi tentang makanan yang seimbang bagi keluarga perokok agar keluarga mengerti dan mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kesehatan dan gizi, dapat melalui pemberdayaan keluarga dengan pendekatan promotif dan preventif kesehatan, sehingga diharapkan keluarga terutama kepala keluarga dapat menekan kegiatan menghisap rokok dan mengalihkan belanja rokok ke belanja makanan. Selain itu perlu advokasi kepada pemerintah daerah dalam upaya penurunan perilaku merokok dengan membuat kebijakan/perda tentang merokok, yang akan berdampak pada peningkatan ketersediaan pangan dalam rumah tangga perokok, yang akhirnya memengaruhi konsumsi dan status gizi keluarga. DAFTAR USTAKA Baliwati, Y., dkk. (2004). engantar pangan dan gizi. Jakarta: n. Swadaya. Dinas Kesehatan rovinsi Sumatera Utara. (2009). rofil Kesehatan rovinsi Sumatera Utara tahun 2008. Medan.

Juanita. (2011). Kebijakan subsidi kesehatan bagi rumah tangga miskin, konsumsi rokok dan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Indonesia Tahun 2001 dan 2004. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Laura, H.J., et al. (1989). angan, gizi dan pertanian. Terjemahan Suhardjo. Jakarta: UI ress. Kemenkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar. Riskesdas 2010. Jakarta. Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Riskesdas 2013. Jakarta. Sudaryati, E. (2012). Faktor-faktor yang menyokong pertumbuhan kanak-kanak dalam kalangan keluarga miskin di Kota Binjai Sumatera Utara Indonesia, Disertasi, Universiti Sains Malaysia, enang, Malaysia. WHO, 2002. The Tobacco Atlas. World Health Organization. WHO, 2012. The Tobacco Atlas. World Health Organization.