BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada Bab IV, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aktor Penyelenggara Pengadaan Tanah a. Lembaga Pertanahan (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) adalah aktor tunggal dari pihak pemerintah yang melaksanakan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Lembaga pertanahan memiliki kewenangan memberikan lisensi kepada penilai untuk menilai harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, penilaian ganti kerugian, musyawarah penetapan kompensasi, pemberian ganti kerugian dan pelepasan tanah. b. Penilai pertanahan merupakan aktor lain dalam pengadaan pertanahan. Lembaga pertanahan bersifat independen dalam melaksanakan kegiatan peniliaannya. Lembaga penilai memperoleh lisensi izin praktik dari Kementrian Keuangan dan memperoleh lisensi resmi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/ harga objek pengadaan tanah. c. Hubungan/ relasi antara Lembaga Pertanahan (BPN RI) dengan Lembaga Independen (Peniliai) adalah Kerja Sama. Kedua aktor berperan dalam 127
pengadaan tanah, namun menunjukan pola dimana Lembaga Pertanahan yang memegang peranan penting dan bertanggun jawab atas kegiatan pengadaan tanah, Intensitas kerjasama antara kedua lembaga ini tidak tinggi. Dimana Lembaga Pertanahan menunjuk Lembaga Penilai yang kompeten di bidang penilaian. Untuk selanjutnya melakukan tugas penilaian sesuai ketentuan (terikat kontrak). 2. Kepentingan Umum a. Pemerintah memaknai segala bentuk kegiatan pembangunan yang dilakukakan demi kemakmuran rakyat adalah kepentingan umum. Pilihan objek kepentingan umum dalam undang-undang ini menggunakan penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas mengidentifikasi tujuannya untuk pembangunan. Berdasarkan pilihan objek kepentingan umum yang terdapat dalam perundangan ini, peneliti berpendapat bahwa makna kepentingan umum yang masih belum sesuai dengan ideologi kepentingan umum yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat. b. Penyebutan langsung jenis proyek pembangunan kepentingan umum merupakan dari hasil implikasi pengambilan keputusan yang pragmatis dan tidak melibatkan etis implikasi. Dengan kata lain pemerintah meyakini proyek-proyek kepentingan umum tersebut secara nyata memang urgen dan penting masyarakat walaupun kebanyakan tidak 128
menyadari hal tersebut. Oleh karena itu peneliti menyimpulkan kepentingan umum yang dipilih oleh pemerintah yaitu kepentingan umum realistis. Proyek-proyek yang diuraikan dalam uu ini bersifat eksklusif dan merupakan hal yang harus dijamin pemerintah pengadaan tanahnya. Akan tetapi tipologi kepentingan realistis seperti ini akan menimbulkan konflik atau masalah apabila sebagian besar jumlah masyarakat tidak menerima bentuk proyek kepentingan umum yang telah di klaim oleh pemerintah. c. Pemerintah belum bisa mengaktualisasikan fungsi sosial atas tanah secara nyata dalam undang-undang ini. Fungsi sosial hanya bersifat prosedural, dimana pemilihan kepentingan yang digunakan pemerintah telah menggeser nilai fungsi sosial atas tanah. Fungsi sosial juga digunakan sebagai doktrin agar pemilik tanah mau melepaskan hak milik atas tanah demi kesejahteraan bersama seluruh rakyat. Hal yang paling mencolok ialah masih ada jaminan dari pemerintah pada investor di bidang infrastruktur dalam hal pengadaan tanah (berorentasi bisnis/ investasi). Hal ini sangat bertentangan dengan fungsi sosial atas tanah yang tidak memberi ruang bagi dunia usaha/ bisnis untuk melakukan pengadaan tanah dengan di fasilitasi pemerintah. Selanjutnya, UU ini belum memuat ketentuan yang bersifat antisipatif dan represif terhadap spekulan pengadaan tanah. Disaat tanah memiliki pergeseran nilai ekonomis, maka 129
harga tanah akan cepat melambung sehingga pemerintah/ instansi yang memerlukan tanah akan terbebani karena harus membayar kompensasi atau ganti rugi dalam jumlah yang besar. 3. Kompensasi a. Aspek yang menjadi obyek ganti rugi dalam pengadaan tanah hanyalah aspek fisik yang bersifat ekonomis. Kejelasan penilaian hanya pada komponen komponen kerugian langsung seperti tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman dan benda lainnya. Tetapi dampak kerugian yang tidak langsung tidak dijelaskan secara rinci (Kerugian lain yang dapat dinilai). Pemerintah belum memberikankan ketentuan penilaian aspek ganti rugi non fisik yang bersifat sosiologis dan filosofis seperti yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam. Akan tetapi satu hal yang penting, penilaian harga tanah yang dilakukan oleh penilai independen, meninggalkan acuan perhitungan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ke Harga Pasar. Berdasarkan ketentuan lembaga penilai, harga tanah dihitung berdasarkan harga pasar yang berkembang. hal ini merupakan suatu upaya perbaikan cara perhitungan yang sebeleumnya merugikan pemilik hak atas tanah. Kesimpulanya meskipun ada perbaikan pada acuan penilaian, pemerintah masih mengabaikan aspek sosiologis dan filosofis yang sebenarnya penting bagi pemilik hak atas tanah untuk mencapai kesejahteraan. 130
b. Bentuk kompensasi yang diberikan pemerintah terfokus pada kompensasi berupa fisik (uang). Dalam musyawarah penetapan harga, pemerintah mengutamakan ganti rugi berupa uang, meskipun ada opsi lain berupa tanah pengganti pemukiman kembali dll. Akan tetapi keseluruhan opsi ini semuanya berbentuk fisik. Bentuk lain yang disepakati/ non fisik juga belum jelas bagaimana yang ditawarkan pemerintah. c. Dalam penilaian harga hanya tersedia sedikit ruang bagi pemilik hak untuk menentukan nilai harga. Selain itu tidak menjadi jaminan bahwa lembaga penilai berlaku independen dalam penilaian kompensasi. Mengingat lembaga ini ditunjuk oleh pemerintah/ lembaga pertanahan, dan sangat mungkin berpihak kepada pemerintah/ lembaga pertanahan. Perundangan ini mengatur penetapan dan kesepakatan nilai kompensasi ditentukan melalui musyawarah. Akan tetapi undang-undang belum memuat asas musyawarah dalam mekanisme pengadaan tanah. Dikhawatirkan dengan tidak adanya asas musyawarah, UU pengadaan tanah ini kurang responsif dan fasilitatif terhadap aspirasi kepentingan bersama. Belum adanya pengaturan yang konkrit mengenai musyawarah dalam penetapan harga sangat berpotensi merugikan pemilik hak atas tanah. Ketidak jelasan ini akan berakibat pada posisi yang tidak setara antara panitia pengadaan tanah dan pemilik hak atas tanah. Dikhawatirkan juga substansi materi musyawarah yang belum jelas tidak efektif 131
mempertemukan kepentingan dan hak pemilik tanah dan pemerintah yang membutuhkan tanah. Kesimpulannya, posisi antara panitia pengadaan tanah dengan pemilik hak atas tanah belum setara dalam penetapan nilai kompensasi. Panitia pengadaan tanah lebih mendominasi sedangkan dan ruang gerak pemilik hak atas tanah dipersempit dalam penetapan harga. Substansi pengaturan tentang penetapan kompensasi dalam pasal-pasal perundangan ini menyiratkan bahwa prinsip-prinsip dan etika bermusyawarah belum terakomodir didalamnya. Makna musyawarah cendrung bias dari esensinya. Pemerintah cendrung bersifat represif dengan menempatkan lembaga pertanahan sebagai pihak yang dominan dalam menentukan bentuk dan nilai ganti rugi kepada pemilik hak atas tanah. 4. Penyelesaian Konflik Pengadaan Tanah a. Pemerintah meninggalkan konsepsi pencabutan hak atas tanah. Dimana apabila tidak tercapai kata kesepakatan dalam penetapan lokasi dan kompensasi, pemerintah melalui hak menguasai negara atas tanahnya melakukan pencabutan hak atas tanah. Pemerintah lebih menekankan instrumen penyelesaian konflik melalui lembaga peradilan sebagai wadah masyarakat menyampaikan keberatan. Hal inilah yang menyiratkan pemerintah mulai mengedepankan Paradigma menghormati hak rakyat dalam UU ini. 132
Pilihan kepentingan umum dalam perundangan ini telah menyimpang dari hakikat fungsi sosial atas tanah. Sehingga mengganggu keseimbangan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat. Perluasan objek dalam perundangan ini sudah tidak dikelola sepenuhnya oleh pemerintah, melainkan adanya campur tangan swasta dan ditujukan untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu UU No. 2 Tahun 2012 ini masih belum bisa lepas dari pilihan kepentingan yang bisa dikuasai oleh swasta. Betapapun UU ini berupaya melindungi hak-hak rakyat dengan pendekatan ekonomi dan hukum. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa memungkuri pilihan objek kepentingan umum masih memberikan ruang untuk pihak swasta berinvestasi. b. Pemerintah melaksanakan mekanisme penilaian dengan bekerja sama dengan lembaga penilaian sehingga diharapkan nilai tanah sesuai dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang harapannya mampu memenuhi hak pemilik hak atas tanah. Akan tetapi peneliti mencatat upaya pendekatan ini belum maksimal karena aspek penilaian yang diatur hanya fokus pada aspek fisik dan tidak menghitung aspek non fisik (sosilogis dan filosofis). Akan tetapi secara garis besar pemerintah melakukan pendekatan demi kesejahteraan ( pendekatan ekonomi) pemilik hak atas tanah. 133
c. Pemerintah mengatasi konflik dalam pengadaan tanah dengan menggunakan instrumen penyelesaian melalui pengadilan/ litigasi. Pemerintah melalui keputusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri dan/ Mahkamah Agung menjamin keadilan bagi pemilik hak atas tanah. Oleh karena itu, dapat dikatakan metode penyelesaian konflik yang diambil oleh pemerintah ialah litigasi. Dengan demikian tentu saja pendekatan holistik selain pendekatan ekonomis yang tadi di uraikan pada bagian sebelumnya, pendekatan hukum merupakan pilihan pendekatan yang dijadikan instrumen pemerintah dalam menyelesaikan konflik. Pemerintah nampaknya metode litigasi dapat menyelesaikan konflik dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Akan tetapi metode litigasi memeliki kelemahan dimana, penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan cendrung bersifat konfrontatif, lebih memperhitungkan menang dan kalah, lebih memperhitungkan aspek yang bersifat materialistik dan mengabaikan unsur sosial masyarakat Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong. 134
B. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan yang peneliti susun diatas, maka secara tekstual dapat dilihat perspektif pemerintah terhadap pengadaan tanah di Indonesia melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk kepentingan Umum. Dari kebijakan tersebut, peneliti melihat masih ada beberapa hal atau ketentuan yang perlu diperbaiki agar pengadaan tanah untuk kepentingan umum berjalan seperti yang diinginkan demi kesejahteraan seluruh rakyat. Untuk itu rekomendasi yang dapat peneliti berikat sebagai berikut: 1. Definisi yang belum konkret mengenai kepentingan umum sangat berpotensi menimbulkan konflik karena penafsiran yang berbeda. Oleh karena itu prinsip dan kriteria kepentingan umum hendaknya diuraikan lebih rinci meliputi sifat kepentingan umum, bentuk kepentingan umum dan ciri kepentingan umum sehingga kriteria kepentingan umum dapat diformulasikan secara pasti, adil dan dapat diterima oleh masyarakat. Undang-undang ini juga perlu membuat ketentuan khusus yang mengatur sekaligus membedakan tujuan berbagai pembangunan kepentingan umum baik yang bersifat investasi dan kepentingan usaha monopoli pemerintah untuk mencegah investor mengatas namakan kepentingan umum agar difasilitasi pengadaan tanahnya. 2. Pengalaman di Negara Malaysia dan Vietnam menunjukan bahwa tidak ada kerugian yang diderita oleh pemegang hak atas tanah dari pelepasan tanah 135
mereka. Kedua negara tersebut menjamin pemilik hak atas tanah mendapat keuntungan dari kompensasi yang diterima. Salah satu kelemahan prinsip dalam pengaturan kompensasi perundangan ini adalah bentuk ganti rugi yang tidak memperhitugkan kerugian yang bersifat non fisik. Oleh karena itu peneliti merekomendasikan penambahan aspek penting yang perlu dinilai dalam penetapan kompensasi. Selain aspek ekonomis yang selama ini menjadi perhatian pemerintah, sangat penting juga pemerintah memperhatikan aspek sosiologis dan aspek filosofis sebagai variabel yang ikut dinilai. Dengan demikian diharapkan penetapan/ pemberian kompensasi menjamin kehidupan pemilih tanah menjadi lebih baik. Yang lebih penting lagi dengan kompensasi yang lebih baik maka akan menjauhkan pemerintah pada konflik/ masalah yang dapat mengganggu kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan. 3. Bentuk kompensasi yang diberikan pemerintah terfokus pada kompensasi berupa fisik (uang). Pemerintah belum mengatur dengan jelas bentuk lain dari kompensasi yang disepakati ( non fisik) yang ditawarkan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan/ menambahkan opsi lain berupa kompensasi non fisik seperti perbaikan dan peningkatan mata pencaharian masyarakat dan program pengembangan masyarakat yang lebih bersifat sosial. 136
4. Pemerintah perlu memuat ketentuan yang bersifat antisipatif dan represif terhadap spekulan pengadaan tanah. Ketentuan ini bertujuan untuk menghindarkan pemerintah/ instansi yang memerlukan tanah terbebani dengan kompensasi atau ganti rugi dalam jumlah yang besar. karena esensi dari fungsi sosial atas tanah ialah demi kesejahteraan bersama/ demi kepentingan orang banyak. Sehingga tidak tepat jika pengadaan tanah dijadikan sebagai peluang bagi spekulan/ pemilik hak atas tanah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari kompensasi yang diberikan pemerintah. 5. Mencermati metode atau instrumen yang digunakan pemerintah untuk menyelesaikan konflik pengadaan tanah melalu lembaga peradilan (litigasi). Terdapat beberapa kekurangan didalamnya karena cendrung bersifat konfrontatif, membutuhkan biaya besar, waktu yang panjang, cendrung menguntungkan pihak yang kuat (pihak yang berkuasa) dan mengabaikan unsur sosial dalam masyarakat yang bersifat kekeluargaan. Maka pemerintah juga perlu mengkaji dan mengembangkan alternatif penyelesaian konflik secara komprehensif. Alternatif model penyelesaian konflik pengadaan tanah yang cocok dengan karakter bangsa Indonesia adalah Alternative Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian menggunakan cara ADR ini lebih mengutamakan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat dengan mengedepankan aspek kekeluargaan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan masyarakat yang heterogen. 137
6. Penyelesaian dengan cara non litigasi ( Alternatif Dispute Resolution) memberikan penyelesaian konflik dengan waktu yang singkat tidak memerlukan biaya yang tinggi dan dilakukan dengan cara yang damai, salah satunya melalui musyawarah. Gagasan pemerintah untuk menyelesaikan konflik melalui cara persuasif sudah tertuang melalui instrumen musyawarah penetapan kompensasi. Akan tetapi, perundangan ini belum memuat asas musyawarah dan menguraikan prinsip musyawarah secara konkret. Oleh karena itu kebijakan ini hendaknya mengatur dan menjamin musyawarah dilakukan secara langsung, bersama dalam kedudukan setara, sehingga semua pihak merasa dihargai peran dan kedudukan sebagai subyek hukum. 7. Dalam menganalisis permasalahan di tesis ini peneliti menggunakan pendekatan yang dikonsepkan oleh Bernhard Limbong. Konsep yang coba diambil berupa model kompensasi, pendekatan dan paradigma baru yang digunakan pemerintah sebagai strategi untuk mencegah dan mengatasi konflik. Di sisi lain, peneliti mencoba menawarkan sudut pandang lain dalam mencegah konflik yaitu mengembangkan sumber daya dan mekanisme peacebuilding dalam menyelesaikan permasalahan konflik pengadaan tanah, dimana didalamnya terdapat sebuah dasar budaya untuk merespon dan menangani konflik secara konstruktif dengan memunculkan ide fungsi sosial atas tanah secara substantif. hal bertujuan untuk membentuk budaya 138
kesadaran dari setiap masyarakat bahwa dalam kepentingan pribadinya melekat pula kepentingan orang banyak. Pemerintah bisa mewujudkan fungsi sosial atas tanah dengan menggunakan pendekatan sosiologik antropologik. Dengan mewujudkan kebijakan yang membuka ruang yang luas dan bebas kepada masyarakat agar secara bubbling up para masyarakat dapat memutuskan sendiri secara bertanggung jawab kegunaan lahan-lahan mereka untuk kepentingan orang banyak. Dengan kata lain meningkatkan derajat partisipasi masyarakat yang sebelumnya hanya mendukung dan memberikan masukan secara lisan/ tertulis mengenai pengadaan tanah (konsultatif) ke tahap mobilisasi dimana masyarakat mampu mengontrol inisiatif mereka sendiri dalam proses pengadaan untuk kepentingan orang banyak. Dengan begitu maka akan terwujud masyarakat yang berdaya dan mampu mengelola sendiri urusan publiknya. 139