I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan.

Peran KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Oleh : Harrys Pratama Teguh Jumat, 25 Juni :05. Latar Belakang

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

I. PENDAHULUAN. diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. maka akan dikenakan sanksi, dalam proses inilah hukum harus ditegakkan. upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

Presiden, DPR, dan BPK.

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB III PENERAPAN ASAS OPORTUNITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA BAMBANG WIDJOJANTO

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

Bagian Kedua Penyidikan

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. Tujuan dari dibentuknya lembaga tersebut adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah merajalela keseluruh lapisan masyarakat. Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan suatu penyakit dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah. Lahirnya KPK didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tidak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial ekonomi dan politik yang memprihatinkan. Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang timbul, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi.

KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana pun. Seperti yang telah kita lihat pada beberapa waktu yang lalu. Dalam kasus penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK dengan mencegat mobilnya di pinggir jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK terhadap tersangka kasus korupsi Al Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut. Sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat itu, mungkin menjadi terapi shock kepada para koruptor lainnya. Secara tidak langsung kewenangan KPK yang terkadang dianggap melanggar privasi seseorang ini, menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang untuk berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi karena takut di tangkap oleh KPK yang datang seperti angin tanpa bisa diduga. Akan tetapi, dengan hasil kerja KPK selama ini yang berhasil mengungkap banyak kasus korupsi dan penanganannya jauh berbeda hasilnya dengan lembaga penegak hukum lainnya, yang salah satu indikasinya adalah terdakwa yang diproses KPK tidak pernah diputus bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyebabkan banyak pihak yang merasa terganggu sehingga mereka berusaha melakukan pelemahan terhadap KPK. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan melakukan kriminalisasi terhadap para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah Ketua KPK Antasari Azhar terjerat kasus pembunuhan pimpinan PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, mencuat kasus penahanan dua pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah yang diduga menyalahgunakan kewenangan dan

memeras bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo. Penyalahgunaan wewenang ini menyangkut kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf b UU No. 30 Th 2002 dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. Tetapi, dalam pengambilan keputusan tersebut Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja secara kolektif (Pasal 21 ayat (5). Pencekalan yang dilakukan oleh KPK terhadap Anggoro Widjojo dianggap tidak sesuai dengan pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Alasannya hingga tanggal 22 Agustus 2008 tersebut, Anggoro Widjojo tidak sedang dalam penyelidikan maupun penyidikan oleh KPK, dan KPK belum pernah memeriksa Anggoro. Sehingga adalah aneh jika Anggoro Widjojo tidak sedang dalam penyelidikan maupun penyidikan KPK namun sudah dikeluarkan pencekalan. Apalagi, pencekalan oleh KPK tersebut diduga ada unsur suap. Karena alasan tersebut pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dan ditahan oleh pihak kepolisian. Kasus kedua pimpinan KPK tersebut mendapat perhatian masyarakat yang begitu besar, simpati dan dukungan moral berbagai elemen masyarakat terhadap dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditahan polisi, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, makin deras. Bahkan masyarakat mendesak Polri agar membebaskan Bibit dan Chandra dengan menyodorkan diri mereka sebagai jaminan. Mereka juga mendesak Presiden agar segera mengambil langkah penyelesaian yang bersifat luar biasa dengan membentuk komisi independen

guna melakukan analisis hukum atas perkara yang disangkakan terhadap Bibit dan Chandra. Jika Presiden tak segera bertindak, mereka mengingatkan bahwa masyarakat bisa menjadikan Bibit dan Chandra sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang terkesan anti pemberantasan korupsi. Masyarakatpun meminta agar kasus Bibit dan Chandra ini dihentikan dengan mempertimbangkan asas keadilan. Adapun alasan-alasan sahnya untuk penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, antara lain: 1. Tidak terdapat cukup bukti, dalam arti tidak dapat ditemukan alat- alat bukti sah yang cukup. Artinya alat-alat bukti seperti yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa tidak terpenuhi ataupun alat-alat bukti minimum dari tindak pidana tersebut tidak dapat dijumpai, diketemukan dan tidak tercapai; 2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, artinya bahwa dimana penyidik berpendapat, peristiwa yang semula dianggap sebagai tindak pidana namun kemudian secara nyata bahwa peristiwa itu bukanlah suatu tindak pidana, maka penyidik kemudian menghentikan penyidikan atas peristiwa tersebut; 3. Penyidikan atau penuntutan dihentikan atau ditutup demi hukum, karena berdasarkan undangundang memang tidak dapat dilanjutkan peristiwa hukum tersebut, misalnya dalam hal ini antara lain tersangka meninggal dunia, terdakwa sakit jiwa, peristiwa tersebut telah diputus dan memiliki kekuatan hukum tetap, peristiwa hukum tersebut telah kadaluarsa. Dukungan masyarakat terhadap pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ini yang begitu besar, Presiden pun meminta agar penyelesaian perkara ini tidak perlu dilanjutkan ke

pengadilan karena dalam perkembangannya muncul ketidakpercayaan terhadap proses penyidikan sehingga menimbulkan silang pendapat. Pihak Kejaksaan Agung pun akhirnya mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dengan beberapa alasan, yakni alasan yuridis dan sosiologis. Alasan yuridis yang dikemukakan penuntut umum adalah perbuatan pidana kedua pimpinan KPK non aktif itu ada, tetapi mereka tidak menyadari akibat dari perbuatan tersebut. Apa yang mereka lakukan sudah berdasarkan ketentuan undang-undang, sama seperti apa yang dilakukan oleh para pendahulunya (pimpinan KPK sebelum Chandra - Bibit). Kemudian, untuk alasan sosiologis, penuntut umum beranggapan jika kasus Chandra- Bibit ini diteruskan, maka lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Lagipula, dorongan masyarakat untuk menghentikan kasus ini sangat besar, karena dinilai tidak cukup bukti. Selain itu, untuk menjaga harmonisasi antar ketiga lembaga penegak hukum pihak Kejaksaan memilih tidak meneruskan kasus ini ke Pengadilan. Namun dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) untuk kasus dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah mengundang kontroversi, perdebatan, dan menimbulkan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan. Keluarnya surat penghentian tersebut menjadi pertanyaan para advokat yang menilai sistem hukum Indonesia telah rusak dan mengeliminasi asas persamaan seseorang di mata hukum. Karena alasan yang dipergunakan adalah alasan sosiologis yaitu kasus Bibit-Chandra yang apabila diteruskan, maka lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya tidak pernah diatur dalam undang-undang. Alasan sosiologis inilah yang dipergunakan oleh Anggodo Widjojo untuk mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pihak pengadilan menilai bahwa

surat ketetapan penghentian penuntutan yang dikeluarkan kejaksaan tidak sah dan memerintahkan agar perkara Bibit-Chandra dilimpahkan ke pengadilan. Secara yuridis formal, tidak ada yang salah dengan putusan praperadilan tersebut. Sejak awal, penerbitan SKPP telah menimbulkan pertentangan logika berpikir hukum. Di satu sisi, dalam kasus Bibit-Chandra kejaksaan telah mengeluarkan P-21, yang berarti perkara telah lengkap, termasuk bukti-buktinya, dan siap dilimpahkan ke pengadilan. Adapun di sisi lain, kejaksaan menerbitkan SKPP. Kejagung menanggapi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memerintahkan agar perkara Bibit-Chandra dilanjutkan ke pengadilan dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pihak Kejagung merasa majelis hakim yang memutus perkara tersebut tidak memperhatikan suasana saat SKPP itu diterbitkan. Namun banding yang diajukan Kejagung gagal, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan Anggodo Widjojo dan menyatakan perkara Bibit-Chandra harus dilanjutkan ke pengadilan. Setelah putusan tersebut dijatuhkan pihak kejaksaan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Agung menyatakan tidak bisa menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung atas pembatalan SKPP untuk kasus dengan tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah. Alasan utama MA dalam mengambil putusan itu adalah masalah formal pengajuan PK tersebut. Peninjauan Kembali tak dapat diterima karena tak memenuhi syarat formal, sesuai dengan Pasal 45 huruf a UU No. 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu Mahkamah Agung berhak memutus Peninjauan Kembali dalam tingkat kasasi kecuali yang dibatasi oleh undang-undang yaitu putusan praperadilan.

Kejaksaan Agung pun akhirnya memutuskan untuk mengesampingkan penuntutan (deponering) perkara Bibit-Chandra. Alasannya demi kepentingan umum yang lebih luas lagi, yaitu pemberantasan korupsi. Dengan keluarnya deponering, maka pimpinan KPK secara keseluruhan akan lebih fokus dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam pemberantasan Korupsi. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis tertarik untuk mengangkat judul Analisis Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Bibit-Chandra. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Apakah alasan penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit-Chandra? b. Apakah penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit-Chandra sesuai dengan ketentuan undang-undang? c. Adakah alternatif lain selain surat ketetapan penghentian penuntutan untuk menghentikan perkara Bibit-Chandra? 2. Ruang Lingkup Pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah Analisis Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Bibit Chandra. Untuk menghindari pembahasan yang terlalu meluas maka ruang lingkup penelitian hanya tertuju pada tiga ruang lingkup, yaitu: alasan penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit-Chandra, apakah penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan tersebut sesuai dengan ketentuan undang-undang dan

adakah alternatif lain selain surat ketetapan penghentian penuntutan untuk menghentikan perkara Bibit Chandra. Lokasi penelitian didasarkan pada studi kasus yang masuk dalam wilayah hukum Jakarta Selatan. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penulisan Sesuai permasalahan di atas, maka tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui alasan penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit Chandra. 2. Untuk mengetahui apakah penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara Bibit Chandra sesuai dengan ketentuan undang-undang. 3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya alternatif lain selain surat ketetapan penghentian penuntutan untuk menghentikan perkara Bibit Chandra. 2. Kegunaan Penulisan a. Secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat berguna untuk perkembangan penegakan hukum khususnya bidang hukum pidana. b. Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan bacaan, menambah wawasan dan bermanfaat bagi para praktisi atau rekan-rekan mahasiswa yang ingin melakukan penelitian dalam bidang yang sama. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis Penuntutan adalah menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa (Wirjono Prodjodikoro dalam Rusli Muhammad, 2007 : 76). Kewenangan untuk melakukan penuntutan dilakukan oleh penuntut umum. Penuntut umum itu sendiri adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan, yang dapat dipandang dalam konkretnya sebagai tindakan penuntutan adalah: a. apabila jaksa telah mengirimkan daftar perkara kepada hakim disertai surat tuntutannya. b. apabila terdakwa ditahan dan mengenai tempo penahanan dimintakan perpanjangan kepada hakim sebab kalau sudah lima puluh hari waktu tahanan masih dimintakan perpanjangan secara moril boleh dianggap bahwa jaksa sudah menganggap cukup alasan untuk menuntut. c. apabila dengan salah satu jalan jaksa memberitahukan kepada hakim bahwa ada perkara yang akan diajukan kepadanya. (Moeljatno dalam Rusli Muhammad, 2007 : 76) Menurut Djoko Prakoso (1987 : 209) ada dua asas penuntutan sehubungan dengan wewenang penuntutan di dalam KUHAP, yaitu: 1. Asas Legalitas, penuntut umum diwajibkan menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum. 2. Asas Oportunitas, penuntut umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum.

Asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Bagian Kedua Khusus Pasal 35 huruf c menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum yang menyangkut kepada seluruh rakyat bukan sekelompok golongan saja, dan harus dikoordinasikan juga dengan lembaga-lembaga pemerintah yang terkait terhadap asas ini. Penuntut umum pada dasarnya wajib melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang telah melakukan tindak pidana di dalam daerah hukumnya, namun ada beberapa keadaan yang dapat menghapuskan kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan, yaitu: a. Apabila kepentingan hukum atau kepentingan umum memang menghendaki agar penuntut umum tidak melimpahkan perkaranya kepengadilan untuk diadili. b. Apabila terdapat dasar-dasar yang menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelakunya. c. Apabila terdapat dasar-dasar yang membuat penuntut umum harus menangguhkan penuntutan terhadap pelakunya. (Rusli Muhammad, 2007 : 77) 2. Konseptual Untuk menghindari terjadi kekeliruan dan kesalahpahaman terhadap pembahasan, maka penulis akan memberikan beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan dari beberapa istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini. Adapun istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Kesatuan Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. (Pasal 1 ayat (1) KUHAP). b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 ayat (2) KUHAP). c. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 ayat (5) KUHAP). d. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. (Pasal 1 ayat (15) KUHAP). e. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. (Pasal 1 ayat (6) huruf b KUHAP). f. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan. (Pasal 1 ayat (7) KUHAP). g. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau pununtut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk melakukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 ayat (12) KUHAP).

E. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulis dalam rangka pembuatan skripsi ini, maka diadakan sistematika penulisan yaitu terbagi dalam 5 (lima) bab sebagai berikut : I. PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan penulisan, menguraikan kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini merupakan pemahaman mengenai pengertian umum tentang pokok-pokok yang menjadi bahasan dalam hal ini adalah mengenai proses penyidikan terhadap tersangka sesuai dengan hukum acara pidana. III. METODE PENELITIAN Bab ini merupakan uraian metode-metode yang digunakan dalam penulisan skripsi yaitu tentang langkah-langkah atau cara-cara yang dipergunakan dalam penelitian yang memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini memuat pokok pembahasan atau hasil analisis yang dilakukan oleh penulis, yaitu Analisis Penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Bibit Chandra. V. PENUTUP Bab ini merupakan suatu kesimpulan dari hasil penelitian serta memuat saran-saran penulis dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.

DAFTAR PUSTAKA Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Prakoso, Djoko. 1987. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana. Bina Aksara. Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman http://www.hukumonline.com, 15 April 2010 http://www.kompas.com, 17 April 2010