PENATALAKSANAAN FRAKTUR MAKSILOFASIAL DENGAN MENGGUNAKAN MINI PLAT (Laporan dua kasus) Emmy Pramesthi D.S., Muhtarum Yusuf

dokumen-dokumen yang mirip
TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga

Gambar klasifikasi Le Fort secara sistematis

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. Trauma maksilofasial terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma. Penyebab trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB 2 TRAUMA MAKSILOFASIAL. Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Menurut Badan Pusat Statistik BPS (2010), diketahui jumlah penduduk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

FRAKTUR PADA TULANG MAKSILA

BAB II ANATOMI. Sebelum memahami lebih dalam tentang jenis-jenis trauma yang dapat terjadi pada mata,

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME. Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

BAB 2 TUMOR GANAS PADA 2/3 WAJAH. Tumor ganas yang sering terjadi pada wajah terdiri atas dua jenis yaitu: basal

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

FACIAL GUN SHOT WOUND IN CONFLICT AREA

BAB 2 PERSIAPAN REKONSTRUKSI MANDIBULA. mandibula berguna dalam proses pembicaraan, mastikasi, penelanan dan juga

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, sehingga resiko kecelakaan lalu lintas juga ikut meningkat. 1,2

BAB I PENDAHULUAN. industrilisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat

Fraktur Mandibula. Oleh : Uswatun Hasanah Radinal. Pembimbing : dr. Irzal. Supervisor : dr. John Pieter. Jr, Sp.B(K) Onk

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

2.2 Bibir Sumbing (Cleft Lip) Bibir sumbing adalah salah satu cacat lahir yang paling banyak dijumpai di dunia ini. Sumbing adalah kondisi terbelah

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY DISLOKASI TMJ DAN AVULSI JURUSAN KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

Modul 1 EKSISI TUMOR JARINGAN LUNAK KEPALA LEHER (ICOPIM )

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

SCLINICAL PATHWAY SMF THT RSU DAERAH Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. Trauma maksilofasial terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma. Penyebab trauma

Penanganan definitif fraktur komplek zigoma bilateral disertai fraktur basis kranii fossa anterior (Laporan Kasus)

OROANTRAL FISTULA SEBAGAI SALAH SATU KOMPLIKASI PENCABUTAN DAN PERAWATANNYA

PENATALAKSANAAN FRAKTUR NASAL. Anton Abby Chandra, Boedy Setya Santoso

BAB III KELAINAN KONGENITAL RONGGA MULUT

FRAKTUR TIBIA DAN FIBULA

GAMBARAN KLINIS DAN PERAWATAN ANOMALI ORTODONTI PADA PENDERITA SINDROMA CROUZON SKRIPSI

EKSTRAKSI CORPUS ALIENUM DI KEPALA DAN LEHER (ICOPIM 5-119)

Gambaran Penderita Fraktur Maksilofasial di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari 2009-desember 2011

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

LAPORAN KASUS BEDAH PLASTIK

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA. HARRY A. ASROEL Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dantelinga Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

RINCIAN KEWENANGAN KLINIS DOKTER SPESIALIS THT-KL. Dokter spesialis yang mengajukan : Lulusan : Tahun lulus:

Wan Rita Mardhiya, S. Ked

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi geligi dan struktur yang menyertainya dari suatu lengkung gigi rahang atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN TRAUMA MAKSILOFASIAL

Modul 7 EKSKOKLEASI KISTA RAHANG (ICOPIM 5-243)

BAB 2 ANKILOSIS SENDI TEMPOROMANDIBULA. fibrous atau tulang antara kepala kondilar dengan fosa glenoidalis yang dapat

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat 8

REKONTRUKSI CELAH BIBIR BILATERAL DENGAN METODE BARSKY

Teknik Radiografi Sinus Paranasal

OMPHALOMESENTERIKUS REMNANT

Laporan Kasus. Water Sealed Drainage Mini dengan Catheter Intravena dan Modifikasi Fiksasi pada kasus Hidropneumotoraks Spontan Sekunder

posisi cukup lama untuk memungkinkan mereka waktu untuk menyembuhkan. Ini mungkin membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung pada usia pasien dan

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk Indonesia sampai tahun ini mencapai 237,56 juta orang (Badan

Insidens Dislokasi sendi panggul umumnya ditemukan pada umur di bawah usia 5 tahun. Lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya pembangunan di bidang industri yang sangat maju yang

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB 2 FRAKTUR MANDIBULA. Fraktur mandibula adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang pada. berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.

PENANGANAN KASUS HIPOPLASIA MANDIBULA DENGAN KOMBINASI TEKNIK OSTEODISTRAKSI DAN GENIOPLASTI

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Pedersen, 1966). Selama melakukan prosedur pencabutan gigi sering ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

OSTEOTOMI LE FORT I PADA BEDAH ORTOGNATI

FRAKTUR DENTOALVEOLAR DAN PENANGANANNYA. Pedro Bernado

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANGKA KEJADIAN DIPLOPIA PADA PASIEN FRAKTUR MAKSILOFASIAL DI BANGSAL BEDAH RSUD ARIFIN ACHMAD PROPINSI RIAU PERIODE JANUARI 2011 DESEMBER 2013

BAB 2 CELAH LANGIT-LANGIT. yaitu, celah bibir, celah langit-langit, celah bibir dan langit-langit. Celah dari bibir dan langitlangit

Refrakturasi dalam upaya koreksi malunion pada fraktur mandibula multipel

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENATALAKSANAAN INFRA MERAH, MASSAGE DAN TERAPI LATIHAN PADA KONDISI POST ORIF CLOSED FRAKTUR ANTEBRACHII DEXTRA DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PENANGANAN PENDERITA SLEEP APNEA DAN KEBIASAAN MENDENGKUR

Penatalaksanaan fraktur simfisis mandibula dengan dua perpendicular mini-plates

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Muh. Irfan Rasul*., M.Z. Arifin**., Winarno*

BAB I PENDAHULUAN. menjadi 2 yaitu fraktur terbuka, yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit. fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

I. PENDAHULUAN. Fraktur adalah rusaknya kontinuitas struktur tulang, tulang rawan dan

Transkripsi:

PENATALAKSANAAN FRAKTUR MAKSILOFASIAL DENGAN MENGGUNAKAN MINI PLAT (Laporan dua kasus) Emmy Pramesthi D.S., Muhtarum Yusuf Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Trauma wajah merupakan kasus yang sering terjadi, menimbulkan masalah pada medis dan kehidupan sosial. Meningkatnya kejadian tersebut disebabkan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. 1 Trauma tumpul yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma tersebut. Trauma merupakan urutan keempat penyebab kematian, dapat terjadi pada semua usia terutama 1-37 tahun. Hampir 50% di Amerika Serikat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. 2 Maksila atau rahang atas merupakan tulang berpasangan. Maksila memiliki sepasang rongga berupa sinus maksilaris, ke atas berhubungan dengan tulang frontal dan tulang nasal, ke lateral dengan tulang zygoma dan inferior medial pada prosesus frontalis maksila. Maksila merupakan tulang yang tipis, pada bagian lateral lebih tebal dan padat, pada bagian ini disangga oleh zygomatikomaksilari. 1 Dewasa ini di Indonesia mulai berkembang bedah plastik rekonstruksi dan kepala leher di bidang THT-KL termasuk di antaranya penanganan trauma pada maksilofasial. Pada makalah ini akan dilaporkan dua kasus trauma maksilofasial yang meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Dilakukan pemeriksaan penunjang. Laboratorium dalam batas normal, foto LAPORAN KASUS Kasus Pertama Tn. P berusia 31 tahun berasal dari Flores datang ke poli THT-KL pada bulan Agustus 2008 dengan keluhan sulit mengunyah sejak mengalami kecelakaan lalu lintas yang terjadi satu bulan sebelum ke RSUD Dr. Soetomo. Sulit membuka mulut, nyeri kepala sisi kiri, makan bubur halus masih bisa. Tidak ada keluhan pada telinga, hidung dan tenggorok. Penglihatan kiri menghilang sejak kecelakaan lalu lintas tersebut. Lengan bawah kanan mengalami patah tulang dan sudah mendapat penanganan dari rumah sakit setempat setelah kecelakaan berlangsung. Tidak terdapat riwayat penurunan kesadaran sesaat ataupun setelah kecelakaan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kesadaran komposmentis, tidak didapatkan anemi, ikterus, sianosis dan sesak. Tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan telinga dalam batas normal. Hidung terdapat deformitas kiri. Tenggorok terdapat trismus 2cm, maloklusi, tonsil dan faring dalam batas normal. Pada inspeksi wajah didapatkan deformitas pada regio frontalis dan zygoma kiri. Kelopak mata kiri tidak dapat membuka (ptosis), penglihatan kanan masih baik sedangkan kiri sama sekali tidak dapat melihat. thorak dalam batas normal, foto nasal terdapat fraktur tulang nasal (gambar

1). Dilakukan CT scan 3 dimensi didapatkan multipel fraktur pada tulang zygoma, tulang frontal, atap dan dinding medial orbita kiri, tulang nasal, dinding anterior-medial dan lateral sinus maksilaris kanan/kiri dan septum nasi, displacement septum nasi ke kanan, retensi kista sinus maksilaris kanan, sinusitis maksilaris kiri dan ptisis bulbi kiri (gambar 2, 3 dan 4). Gambar 1. Foto nasal tampak fraktur tulang nasal Gambar 2. CT scan 3 dimensi tampak fraktur tulang frontal, dinding medial orbita kiri

Gambar 3. CT scan kepala lateral kiri tampak displacement septum nasi Gambar 4. CT scan kepala tampak ptisis bulbi kiri Dilakukan konsultasi ke departemen mata untuk ptisis bulbi kiri, didapatkan visus mata kanan 6/6 sedangkan mata kiri 0, direncanakan operasi bersama untuk dilakukan conjunctival flap sebagai persiapan pemasangan bola mata palsu 2 bulan setelah operasi. Pada tanggal 11 September 2008 dilakukan operasi rekonstruksi. Pada fraktur frontal dan zygoma dilakukan refrakturisasi, rekonstruksi tulang nasal dilakukan osteotomi. Dilanjutkan pembuatan conjuntival flap oleh sejawat mata. Teknik operasi rekonstruksi adalah sebagai berikut, setelah dilakukan desinfeksi lapangan operasi dibuat gambar tempat irisan di atas tempat fraktur dengan metilen biru. Pada tempat gambar rencana irisan diinfiltrasi dengan lidokain efedrin. Dibuat irisan sesuai garis lipatan kulit, periosteum dipisahkan dengan rush kemudian dilakukan refraktur pada tulang zygoma dan frontal. Dilakukan pemasangan mini plat dan difiksasi dengan sekrup, luka operasi ditutup. Rekonstruksi tulang nasal kiri dengan osteotomi medial dan lateral dengan pembuatan incisi di interkartilago septum nasi, refraktur tulang nasal kemudian diangkat dan difiksasi dengan pemasanganan tampon anterior pada kavum nasi kiri.

Gambar 5. Refraktur, reposisi dan pemasangan plat Setelah operasi penderita dirawat di ruangan THT-KL. Pengobatan yang diberikan yaitu Ampisilin Sulbaktam 3 x 1.5 gram, ketorolac 3 x30 mg, statrol tetes mata 3 x 2 tetes, diet bubur halus dan perawatan luka operasi tiap hari dengan salep gentamisin dan ditutup kasa steril. Selama perawatan di ruangan penderita mengalami perbaikan, 2 hari pasca operasi trismus menghilang sehingga diet bubur halus dapat diubah secara bertahap menjadi diet nasi. biasa. Luka operasi mengering tidak tampak tanda infeksi. Pada hari ke lima tampon anterior dilepas, penderita tidak didapatkan buntu hidung. Hari ketujuh jahitan dibuka dan hari ke delapan diperbolehkan pulang. Satu minggu setelah keluar rumah sakit penderita kontrol, kondisi makin membaik tidak didapatkan maloklusi, makan minum lancar, bicara tidak sulit, tidak didapatkan tanda infeksi pada luka bekas operasi, dan tidak didapatkan buntu hidung Gambar 6. Foto penderita sebelum operasi (a) dan 1 minggu pasca operasi

Kasus Kedua Tn. IM berusia 15 tahun berasal dari Bangkalan datang ke IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 30 Desember 2008 rujukan dari dokter spesialis THT-KL setempat untuk penanganan fraktur maksilofasial lebih lanjut setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 4 hari sebelumnya saat penderita mengendarai sepeda motor. Tidak ada riwayat pingsan, mimisan beberapa saat setelah kecelakaan berlangsung, penglihatan baik, tidak ada trismus, tidak ada keluhan pada telinga dan tenggorok. Dari pemeriksaan fisik didapatkan telinga, hidung dan tenggorok dalam batas normal. Pada pipi kiri terdapat deformitas, tidak didapatkan hematom dan nyeri. Dilakukan pemeriksaan penunjang foto waters pada 30 Desember 2008 didapatkan fraktur dasar orbita kiri, dinding medial dan lateral sinus maksilaris kiri, hematosinus maksilaris kiri.. Gambar 7. Foto waters tampak adanya fraktur dan hematosinus maksilaris kiri Pemeriksaan penunjang lainnya berupa CT Scan kepala irisan aksial tanpa kontras (fokus pada sinus paranasalis) dengan kesimpulan fraktur dasar orbita kiri dan dinding anterior sinus maksilaris kiri disertai penebalan mukosa rongga hidung kanan kiri. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal Gambar 8. CT Scan kepala Tn. IM tampak fraktur pada dinding anterior sinus maksilaris kiri

Pada tanggal 6 Januari 2009 dilakukan operasi. Teknik operasi sebagai berikut, desinfeksi lapangan operasi dengan povidon iodine 10% lapangan operasi dipersempit dengan kain steril. Membuat gambar irisan tepat dibawah pelipatan palpebra inferior kiri dengan metilen biru, infiltrasi dengan lidokain efedrin dan dilanjutkan dengan irisan sesuai dengan lipatan kulit. Irisan diperdalam lapis demi lapis mencapai periosteum mencapai fragmen fraktur. Fragmen fraktur direposisi dan dilakukan fiksasi dengan mini plat. Setelah fiksasi selesai dilakukan penjahitan lapis demi lapis. Pasca operasi penderita dirawat di ruang THT-KL dengan mendapat terapi ampicilin sulbaktam 3x 1.5 gram, ketorolac 3x1 ampul, rawat luka. Pada hari kedua luka operasi baik tidak didapatkan tanda infeksi, penderita diperbolehkan pulang. Kontrol satu minggu pasca operasi untuk melepas jahitan. Saat kontrol luka operasi kering, tidak didapatkan nyeri maupun tanda-tanda infeksi. Gambar 9. Teknik operasi dengan incisi pada pelipatan palpebra inferior Gambar 10. Foto penderita Tn.IM sebelum operasi dan 1 minggu pasca operasi

PEMBAHASAN Pembagian pola trauma wajah pertama kali diungkapkan oleh Rene Le Fort pada 1901, melaporkan penelitian pada jenazah yang mengalami trauma tumpul. Disimpulkan terdapat pola prediksi fraktur berdasarkan kekuatan dan arah trauma. Terdapat tiga predominan tipe yaitu Le Fort I III. 3,4,5 1. Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin, transversal ) Garis fraktur pada maksila bagian bawah dapat memisahkan palatum dari korpus maksila. Bila komplit garis fraktur dapat meliputi septum nasi bagian bawah, dasar hidung, bagian lateral apertura piriformis, fosa kanina, dasar sinus maksilaris dan dinding anterolateral maksila. 2. Fraktur Le Fort II (piramidal) Merupakan 35-55% dari fraktur maksilofasial, arah dapat juga dari horizontal. Bila komplit garis fraktur pada tulang nasal, prosesus frontalis maksila, tulang lakrimal, daerah infra orbita (mendekati garis sutura zygomatiko maksilaris) dan lateral inferior dinding sinus maksilaris. 3. Le Fort III (craniofacial disjunction) Merupakan tipe terberat karena dapat memisahkan bagian bawah maksila dengan basis kepala, namun tipe ini jarang dijumpai sekitar 5-15%. Arah trauma dapat oblik maupun horizontal. Bila komplit garis fraktur terletak pada sisi atas hidung (sutura fronto nasal) yaitu fraktur tulang nasal, prosesus frontal maksila, tulang lakrimal, lamina papirasea, sinus ethmoid dan fisura orbitalis inferior. Pembagian bentuk fraktur dapat juga disebut sebagai komplit, inkomplit, hemi Le Fort atau hanya berdasar lokasi spesifik seperti fraktur maksila secara khusus disebut fraktur maksila medial, sagital atau para sagital fraktur palatum durum. 2 Trauma wajah jarang muncul hanya dalam satu klasifikasi saja namun dapat berupa kombinasi tipe fraktur, tapi penggolongan menurut Le Fort ini masih dapat digunakan sebagai pertimbangan dan komunikasi. 3,4,5 Pada kasus pertama didapatkan gambaran mendekati Le fort III, yaitu terdapat multipel fraktur pada tulang zygoma, tulang frontal, atap dan dinding medial orbita kiri, tulang nasal, dinding anterior-medial dan lateral sinus maksilaris kanan/kiri dan septum nasi, displacement septum nasi ke kanan, retensi kista sinus maksilaris kanan, sinusitis maksilaris kiri dan ptisis bulbi kiri. Sedangkan pada kasus kedua fraktur hanya pada dinding anterior sinus maksilaris kiri saja. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa fraktur maksilofasial tidaklah selalu harus sesuai dengan tipe Le Fort tertentu. Diagnosis fraktur maksilofasial ditegakkan secara klinis ditunjang oleh pemeriksaan lainnya. Fraktur maksila sulit terlihat secara jelas dengan pemeriksaan radiologi biasa tapi mudah terlihat melalui CT scan kraniofasial potongan koronal dan aksial. CT scan sangat dibutuhkan khususnya untuk daerah orbita. Pemeriksaan radiologi biasa yang masih dapat digunakan adalah Waters, skull lateral. 3

Pada kedua penderita ini diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan klinis ditunjang dengan radiologi yaitu foto nasal, waters, CT scan kepala didapatkan multipel fraktur pada tulang zygoma, tulang frontal, atap dan dinding medial orbita kiri, tulang nasal, dinding anterior-medial dan lateral sinus maksilaris kanan/kiri dan septum nasi, displacement septum nasi ke kanan, retensi kista sinus maksilaris kanan, sinusitis maksilaris kiri dan ptisis bulbi kiri. Sedangkan pada kasus kedua tampak adanya fraktur didinding sinus maksilaris dan hematosinus. Penggunaan mini plat pada pembedahan fraktur maksilofasial sudah banyak dilakukan di negara maju karena dapat memberikan fiksasi stabil, namun terdapat kendala karena saat ini harga plat yang relatif mahal sehingga penggunaannya masih selektif bagi yang mampu. 4,6 Plat difiksasi pada tulang menggunakan screw yang masing-masing ditempatkan pada poin fiksasi tulang. Tujuan pemasangan plat adalah untuk fiksasi stabil setelah mengembalikan ke posisi anatomi sesungguhnya. 7 Pada kedua kasus ini digunakan miniplat dan screw untuk fiksasi pada fraktur tulang zygoma dan dinding anterior sinus maksilaris kiri. Pada fraktur tulang hidung sering terjadi deviasi piramid hidung disertai deviasi septum. Keadaan ini membutuhkan penanganan septorinoplasti. Deviasi diatasi dengan septoplasti dan deviasi piramid dengan dengan osteotomi. Tindakan ini dilakukan bila sudah terjadi kalsifikasi atau sudah lebih dari 2 minggu. 8 Hal ini disebabkan sudah terjadi kalsifikasi (bone healing), dimulai pada minggu 2-3 setelah trauma berlangsung. 9 Agar dapat dilakukan reposisi tulang piramid hidung, tulang hidung harus dilepaskan dari tulang frontal dan tulang maksila dengan oteotomi. Prosedur ini dilakukan melalui insisi interkartilago atau hemitranfiksi, setelah undermining dilakukan osteotomi medial dan lateral melalui irisan tersebut dengan menggunakan osteotom. 9,10 Pada kasus pertama dilakukan osteotomi untuk koreksi piramid hidung, setelah itu dilakukan koreksi septum dengan menggunakan forsep. Untuk stabilisasi dipasang tampon pita kemisetin sebagai fiksasi internal, tampon dilepas pada hari kelima. 9 Maloklusi dapat muncul pada berbagai bentuk Le Fort, biasanya disebabkan karena oklusi gigi molar yang tidak sempurna. Epistaksis dapat disebabkan robekan mukosa sinus maksilaris, dasar hidung, bagian bawah septum hidung pada Le Fort I-II dan septum hidung bagian atas pada Le Fort III. 2 Pada kasus pertama setelah operasi maloklusi menghilang, koreksi refraktur tulang zygoma dan pemasangan plat ternyata juga memperbaiki oklusi gigi molar penderita. Pada kasus kedua epistaksis disebabkan robekan mukosa sinus maksilaris sesuai dengan tempat fraktur dan menyebabkan hematosinus. Sekitar 5% trauma kepala dapat menyebabkan kerusakan pada N. Optikus dan robekan bola mata yaitu pada fraktur wajah bagian tengah khususnya daerah nasofrontal, terutama pada Le Fort III. Keluhan gangguan penglihatan pada penderita haruslah mendapat perhatian dan penanganan segera untuk menghindari kebutaan pada penderita. 10 Pada kasus pertama didapatkan visus kanan normal dan visus kiri O, hal ini dialami sejak kecelakaan berlangsung. Oleh sejawat mata dilakukan flap kunjungtiva sebagai persiapan pemasangan bola mata palsu.

KESIMPULAN Telah dilakukan penangana terhadap dua kasus trauma maksilofasial. Pada kasus pertama penanganan lebih dari dua minggu setelah kecelakaan berlangsung dilakukan refraktur, reposisi dan pemasngan mini plat. Didapatkan hasil baik dengan squale pada mata. Pada kasus kedua penanganan kurang dari dua minggu setelah kecelakaan, dilakukan reposisi dan pemasangan mini plat. Didapatkan hasil baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Stack CB, Ruggiero PF. Maxillary and periorbiatal fractures. In: Bailey JB, Johnson TJ, eds. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. 4 th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia; 2006 : 975-993 2. Arden R, Nathog HR. Maxillary fractures. In: Paparella M, Shumrick AD, eds. Otolaryngology Plastic and Reconstructive Surgery and Interrelated Diciplines. 3 rd ed. WB Saunders Company. Philadelphia; 1991: 2927-2938 6. Dodson TB, Jafek WB. Zygomatic, maksillary and orbital fractures. In: Jafek WB, Murrow WB eds. ENT Secrets 3 rd ed. Elsevier. Philadelphia; 2005: 334-340 7. Kellman MR, Tatum AS. Complex facial trauma with plating. In: Bailey JB, Johnson TJ eds. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. 4 th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia; 2006 : 1027-1044 8. Trimartani. Tekhnik septorinoplasti. Disampaikan dalam: Simposium Nasional dan KuRSUDs-Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti. Malang; 2006 9. Prein J. Manual of Internal Fixation in the Cranio-Facial Skeleton. Springer-Verlag.Berlin Heidelberg, New York; 1998 10. Lore MJ, Klotch WD. Fracture of facial bones. In: Lore MJ, Medina EJ eds. An Atlas of Head & Neck Surgery. 4 th ed. Elsevier Inc. Philadelphia; 2005: 595-652 3. SJ Mathes ed. Facial fracture. In: Plastic Surgery Vol.3, 2 nd ed. Elsevier Inc.Philadelphia; 2006: 229-255 4. Murr HA. Maxillofacial trauma. In: Lalwani KA ed. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2 nd ed. Lange Mc Graw Hill. New York; 2003: 203-213 5. Thornton FJ, Talavera F, Garza RJ eds. Facial Trauma, maxillary and Le fort fractures. E medicine. Last update June 8, 2006. Accesed 9-20- 2008