Laporan Akhir Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK ) Blora Tahun DAFTAR ISI... I DAFTAR TABEL... IV DAFTAR GAMBAR...

dokumen-dokumen yang mirip
PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PERKEMBANGAN INDEKS KEMAHALAN KONSTRUKSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Blora merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

Analisis Skalogram Guttman Kabupaten Blora Page 1

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

Sekapur. Penutup. Publikasi ini merupakan momentum awal kami sebelum publikasi lain diterbitkan dari hasil pengolahan data final hasil SP2010.

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN TAHUN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

KONDISI GEOGRAFIS. Luas Wilayah (Ha)

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

PELUANG PENINGKATAN PERANAN HUTAN PRODUKSI KPH RANDUBLATUNG TERHADAP PENINGKATAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 2 Perencanaan Kinerja

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB IV GAMBARAN UMUM

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

2016, No Kepada 34 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Su

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 1 Periode: Maret-Agustus 2015

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

BAB III TINJAUAN WILAYAH

Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang)

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

Transkripsi:

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... I DAFTAR TABEL... IV DAFTAR GAMBAR... VI DAFTAR GRAFIK... VII BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. LATAR BELAKANG... 1 1.2. DASAR HUKUM... 3 1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENYUSUNAN RKTK KABUPATEN BLORA TAHUN 2014-2034 7 1.4. KEDUDUKAN RKTK... 7 1.5. RUANG LINGKUP... 8 1.6. KERANGKA PIKIR RKTK... 8 1.7. SISTEMATIKA PENULISAN RKTK... 9 BAB II POTENSI DAN REALITAS... 11 2.1 KEADAAN UMUM WILAYAH... 11 2.1.1 LUAS DAN LETAK... 11 2.1.2 TOPOGRAFI... 12 2.1.3 IKLIM... 13 2.1.4 BATUAN INDUK DAN TANAH... 14 2.1.5 HIDROLOGI... 16 2.1.6 PENGGUNAAN LAHAN... 17 2.1.7 KEPENDUDUKAN... 18 2.2 POTENSI DAN KONDISI UMUM HUTAN KABUPATEN BLORA... 18 2.2.1 HUTAN NEGARA... 18 2.2.2 HUTAN RAKYAT... 21 2.2.2.1 LUAS HUTAN RAKYAT... 21 2.2.2.2 PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT... 22 2.3 KONTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN... 23 2.3.1 KONTRIBUSI EKONOMI... 23 2.3.1.1 PRODUKSI KAYU BULAT... 23 2.3.1.2 HASIL HUTAN BUKAN KAYU... 25 2.3.1.3 JASA LINGKUNGAN / WISATA ALAM... 25 2.3.1.4 INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU... 27 2.3.1.5 PENERIMAAN DANA PSDH... 28 2.3.1.6 KONTRIBUSI TERHADAP PDRB... 29 Page i

2.3.2 KONTRIBUSI EKOLOGI... 31 2.3.2.1 PELESTARIAN CAGAR ALAM... 32 2.3.2.2 PELESTARIAN KAWASAN LINDUNG... 33 2.3.2.3 REHABILITASI LAHAN KRITIS... 38 2.3.3 KONTRIBUSI SOSIAL BUDAYA... 39 2.3.4 KONDISI KELEMBAGAAN SEKTOR KEHUTANAN... 41 2.3.5 ISU STRATEGIS TERKAIT PENGURUSAN HUTAN DI WILAYAH KABUPATEN 43 2.3.5.1 KEMISKINAN... 43 2.3.5.2 PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN HUTAN... 40 2.3.5.3 POLA PENGELOLAAN DAN PEMASARAN HASIL HUTAN RAKYAT. 42 2.3.5.4 RIAP PERTUMBUHAN TANAMAN HUTAN RAKYAT... 43 2.3.5.5 KOMPETENSI DAN KOMITMEN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) 44 2.3.5.6 PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN... 44 2.3.5.7 KONTRIBUSI KEHUTANAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH... 46 BAB III ARAHAN KEBIJAKAN PENGURUSAN HUTAN KABUPATEN... 47 3.1. KRITERIA ARAHAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN HUTAN... 47 3.2. KERAGKA ANALISIS SPATIAL... 49 3.3. HASIL ANALISIS SPASIAL... 51 BAB IV VISI DAN MISI PENGURUSAN HUTAN... 52 4.1. VISI... 52 4.2. MISI... 52 BAB V KEKUATAN, KELEMAHAN, ANCAMAN DAN PELUANG... 54 5.1. ANALISA KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG, DAN ANCAMAN... 54 5.1.1. KEKUATAN DAN KELEMAHAN (STRENGTHS & WEAKNESSES)... 54 5.1.2. PELUANG DAN ANCAMAN (OPPORTUNITY &THREATS)... 56 5.2. SINTESIS HASIL ANALISIS SWOT... 57 BAB VI TARGET CAPAIAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI... 62 6.1 UMUM... 62 6.2 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK KONSERVASI... 65 6.3 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK PERLINDUNGAN... 66 6.4 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK REHABILITASI... 67 6.5 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK PENGUSAHAAN... 68 6.6 KEBIJAKAN DAN STRATEGI HUTAN RAKYAT UNTUK PERLINDUNGAN... 69 6.7 KEBIJAKAN DAN STRATEGI HUTAN RAKYAT UNTUK BUDIDAYA... 71 BAB VII KONTRIBUSI MANFAAT PADA PEMBANGUNAN KABUPATEN... 73 7.1. TARGET KONTRIBUSI EKONOMI... 73 Page ii

7.1.1. TARGET HASIL HUTAN KAYU... 73 7.1.2. TARGET PRODUKSI HASIL HUTAN BUKAN KAYU... 74 7.1.3. TARGET PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU... 75 7.1.4. TARGET PENGEMBANGAN JASA LINGKUNGAN... 75 7.1.5. TARGET KONTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PDRB... 76 7.2. TARGET KONTRIBUSI SOSIAL BUDAYA... 76 7.3. TARGET KONTRIBUSI EKOLOGI... 77 BAB VIII PENUTUP... 78 Page iii

DAFTAR TABEL TABEL II-1 LUAS KAWASAN HUTAN KABUPATEN BLORA BERDASARKAN FUNGSI HUTAN... 19 TABEL II-2 DISTRIBUSI LUAS WIAYAH KPH DI KABUPATEN BERDASARKAN FUNGSI HUTAN... 20 TABEL II-3 PERKEMBANGAN SEBARAN LUAS HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BLORA MENURUT WILAYAH KECAMATAN SAMPAI DENGAN TAHUN 2013... 21 TABEL II-4 VOLUME PRODUKSI KAYU BULAT DAN AFVAL/KAYU BAKAR DARI KAWASAN HUTAN NEGARA DAN HUTAN RAKYAT TAHUN 2008 S/D 2013... 23 TABEL II-5 LUAS LAHAN TUMPANG SARI DAN TANAMAN BAWAH TEGAKAN 2008 2013... 25 TABEL II-6 INDUSTRI BERBASIS KEHUTANAN DI KABUPATEN BLORA... 27 TABEL II-7 PODUK KAYU OLAHAN KABUPATEN BLORA TAHUN 2013... 28 TABEL II-8 REALISASI PEMBAYARAN PSDH 6 KPH DI KABUPATEN BLORA TAHUN 2013... 28 TABEL II-9 REALISASI PENERIMAAN PSDH PORSI KABUPATEN BLORA... 29 TABEL II-10 KONTRIBUSI SUB SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PDRB KABUPATEN BLORA TAHUN 2005-2013 ATAS DASAR HARGA BERLAKU (JUTA RP)... 30 TABEL II-11 KONTRIBUSI SUB SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PDRB KABUPATEN BLORA TAHUN 2005-2013 ATAS DASAR HARGA KONSTAN (JUTA RP)... 30 TABEL II-12 SEBARAN LOKASI MATA AIR DI LUAR KAWASAN HUTAN... 34 TABEL II-13 SEBARAN LOKASI MATA AIR DI DALAM KAWASAN HUTAN... 35 TABEL II-14 SEBARAN KAPASITAS DAN PEMANFAATAN WADUK DI KABUPATEN BLORA... 36 TABEL II-15 NERACA LUAS LAHAN KRITIS KABUPATEN BLORA (HA)... 38 TABEL II-16 DANA SHARING PRODUKSI PERIODE TAHUN 2008 S/D 2012 DARI KPH KEPADA LMDH DI KABUPATEN BLORA... 40 TABEL II-17 TABEL JUMLAH LMDH DI KABUPATEN BLORA... 42 TABEL II-18 TAKSIRAN KERUGIAN AKIBAT GANGGUAN KEBAKARAN HUTAN... 41 TABEL II-19 TAKSIRAN KERUGIAN AKIBAT GANGGUAN PENCURIAN HUTAN... 41 TABEL III-1 KRITERIA PENENTUAN ARAHAN SPASIAL RKTK KABUPATEN BLORA... 47 TABEL III-2 ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN... 48 TABEL III-3 LUAS ARAHAN INDIKATIF RKTK KABUPATEN BLORA... 51 TABEL V-1 MATRIKS EVALUASI FAKTOR STRATEGIS INTERNAL KEKUATAN... 54 TABEL V-2 MATRIKS EVALUASI FAKTOR STRATEGIS INTERNAL KELEMAHAN... 55 TABEL V-3 MATRIKS EVALUASI FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL PELUANG... 56 TABEL V-4 MATRIKS EVALUASI FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL ANCAMAN... 56 TABEL V-5 SINTESA HASIL AALISIS SWOT... 58 TABEL VI-1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI UMUM... 62 TABEL VI-2 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK KONSERVASI... 66 TABEL VI-3 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK PERLINDUNGAN... 67 TABEL VI-4 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK REHABILITASI... 68 TABEL VI-5 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK PENGUSAHAAN... 69 Page iv

TABEL VI-6 KEBIJAKAN DAN STRATEGI HUTAN RAKYAT UNTUK PERLINDUNGAN... 70 TABEL VI-7 KEBIJAKAN DAN STRATEGI HUTAN RAKYAT UNTUK BUDIDAYA... 71 TABEL VII-1 PROYEKSI PRODUKSI KAYU DARI KAWASAN UNTUK PENGUSAHAAN... 74 Page v

DAFTAR GAMBAR GAMBAR I-1 KEDUDUKAN RKTK DALAM SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN... 7 GAMBAR I-2 KERANGKA PIKIR PENYUSUNAN RKTK KABUPATEN BLORA TAHUN 2014-2034... 9 GAMBAR II-1 PETA WILAYAH ADMINISTRASI KABUPATEN BLORA... 12 GAMBAR II-2 PETA KETINGGIAN TEMPAT WILAYAH KABUPATEN BLORA... 13 GAMBAR II-3 PETA CURAH HUJAN WILAYAH KABUPATEN BLORA... 14 GAMBAR II-4 PETA SEBARAN JENIS TANAH WILAYAH KABUPATEN BLORA... 15 GAMBAR II-5. PETA POTENSI BAHAN TAMBANG... 16 GAMBAR II-6 PETA HIDROLOGI WILAYAH KABUPATEN BLORA... 17 GAMBAR II-7 PETA PENGGUNAAN LAHAN KABUPATEN BLORA... 18 GAMBAR II-8 PETA KAWASAN HUTAN KABUPATEN BLORA... 20 GAMBAR II-9 PETA SEBARAN LOKASI HUTAN RAKYAT KABUPATEN BLORA... 22 GAMBAR II-10 PETA KAWASAN LINDUNG KABUPATEN BLORA... 37 GAMBAR II-11 PETA LAHAN KRITIS KABUPATEN BLORA... 39 GAMBAR III-1 ALUR PROSES PENENTUAN ARAHAN INDIKATIF PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN.. 49 GAMBAR III-2 KRITERIA DAN PARAMETER PENENTUAN ARAHAN INDIKATIF PERUNTUKAN... 50 GAMBAR III-3 KRITERIA DAN PARAMETER PENENTUAN ARAHAN INDIKATIF PERUNTUKAN HUTAN RAKYAT 50 GAMBAR III-4 PETA ARAHAN INDIKATIF RKTK KABUPATEN BLORA... 51 GAMBAR V-1 HASIL ANALISIS KWADRAN... 57 Page vi

DAFTAR GRAFIK GRAFIK II-1 PRODUKSI KAYU BULAT KABUPATEN BLORA TAHUN 2008-2013... 24 GRAFIK II-2 GRAFIK II-3 GRAFIK II-4 GRAFIK II-5 GRAFIK II-6 PROSENTASE KONTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PDRB KABUPATEN BLORA TAHUN 2005-2013... 31 TINGKAT PERTUMBUHAN PDRB DAN SUB-SEKTOR KEHUTANAN KABUPATEN BLORA TAHUN 2005 2013... 31 GARIS BATAS PENDUDUK MISKIN WILAYAH KAB. BLORA DAN PROV JATENG... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. PROSENTASE JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI KAB. BLORA DAN PROV JATENG... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI WILAYAH KAB. BLORA DAN PROV JATENG... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. Page vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan di Kabupaten Blora merupakan kesatuan ekosistem yang berisi sumber daya alam hayati yang wajib dikelola secara profesional, terencana, dan terpadu guna memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat Kabupaten Blora. Manfaat tersebut tercermin dari perannya sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan terutama karena fungsi hidroorologisnya (penguat Daerah Aliran Sungai (DAS), produksi air, dan penjaga degradasi tanah/lahan), penyedia bahan pangan dan oksigen, pengendali iklim, serta sumber plasma nutfah. Hutan di Kabupaten Blora juga berperan sebagai pemasok bahan baku industri kehutanan (hasil kayu maupun non kayu), lahan investor dalam berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, serta wadah kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Karakteristik sumber daya hutan bersifat multi dimensi, sehingga pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan harus dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan fungsi ekonomi, kelestarian lingkungan dan dinamika sosial budaya. Sumber Daya Hutan (SDH) Kabupaten Blora yang dikelola dan dikembangkan oleh Pemerintah dan masyarakat mempunyai potensi multi fungsi yang memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari hasil hutan kayu (HHK), melainkan juga berasal dari hasil hutan bukan kayu (HHBK), karbon, nilai biodiversity dan ekosistem. Oleh karena itu dalam jangka panjang pengurusan SDH harus dioptimalkan sehingga mampu mentransformasi potensi ekonomi, lingkungan dan sosial dari SDH menjadi manfaat nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Sumber Daya Hutan bagi Kabupaten Blora merupakan salah satu asset Pemerintah yang mempunyai peranan yang cukup besar, antara lain: 1. Sebagai sistem penyangga kehidupan, terutama fungsi hidrologis (menjaga keseimbangan DAS, menyediakan air dan menjaga degradasi tanah), iklim dan sumber plasma nutfah; 2. Sebagai sumber penyediaan bahan baku industri kehutanan (hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, dan jasa lingkungan); 3. Penyerapan investasi, penyerapan tenaga kerja dan sekaligus pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan; Page 1

4. Penyumbang kontribusi terhadap Produk Regional Domestik Bruto (PDRB) Kabupaten; 5. Penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa bagi hasil Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari sektor kehutanan. Cara pandang terhadap sumberdaya hutan sebagai modal ekonomi menuju cara pandang sumberdaya hutan yang harus dikelola secara lestari melalui 3 (tiga) macam syarat keharusan, antara lain : 1. Terjaminnya kepastian peruntukan kawasan hutan dalam luasan yang cukup dengan sebaran spasial yang proporsional; 2. Terjaminnya kemampuan dan kinerja unit manajemen untuk merealisasikan pengelolaan hutan sebagai ekosistem yang utuh yang memberikan manfaat ekologis, ekonomis dan sosial budaya secara lestari dan berkeadilan; 3. Terjaminnya keterediaan peraturan, perundangan dan penegakan hukum sebagai faktor pemungkin terselenggarakannya pengelolaan hutan secara optimal dan berkelanjutan Di sisi lain, keberadaan hutan di Kabupaten Blora sampai dengan akhir tahun 2013 masih di atas ketentuan minimal luas kawasan hutan sebagaimana amanat Undang- Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, yakni 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 395/Menhut- II/2004, total luas kawasan hutan di Propinsi Jawa Tengah ± 647.133,00 Ha atau sekitar 19,88 % dari luas daratan. Dari luas kawasan hutan tersebut ± 90.614,54 Ha (14,00%) diantaranya berada di wilayah Kabupaten Blora. Untuk dapat mencapai fungsi dan manfaat luas kawasan hutan yang optimal, diperlukan kegiatan pengelolaan yang didukung dengan perencanaan hutan yang mantap dalam kerangka sinergisitas penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih efektif, partisipatif, ransparan dan bertanggung gugat. Sejalan dengan hal tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, Pasal 41 ayat (2) disebutkan bahwa instansi kehutanan kabupaten/ kota wajib menyusun Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten yang dinilai melalui konsultasi para pihak dan disahkan oleh Bupati/ Walikota. Rencana kehutanan terdiri dari rencana kawasan hutan dan rencana pembangunan kehutanan. Rencana Kawasan Hutan mempertimbangkan rencana tata ruang dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan daerah, dan selanjutnya merupakan acuan spasial dalam penyusunan Rencana Pembangunan Kehutanan. Rencana kehutanan baik di tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/ kota maupun tingkat KPH merupakan kebutuhan yang sangat mendasar untuk memberikan Page 2

arah pengurusan dan pengelolaan hutan ke depan melalui pemanfaatan secara optimal dan lestari guna mentransformasi potensi multi fungsi hutan menjadi barang jasa yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat, serta merealisasikan peran dan posisi penting kehutanan dalam pembangunan kabupaten/kota. Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten yang selanjutnya disebut RKTK adalah rencana yang berisi arahan-arahan makro pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan serta perkiraan kontribusi sektor kehutanan terhadap pembangunan wilayah demi terciptanya kesejahteraan masyarakat dan pencapaian posisi strategis sektor kehutanan Kabupaten pada tahun 2034. Dengan demikian RKTK merupakan acuan yang harus dipedomani dalam penyusunan rencana pembangunan, investasi, dan rencana kerja kehutanan dalam berbagai skala geografis, jangka waktu, serta fungsifungsi pokok kawasan hutan yang cakupannya lebih rendah. Mempertimbangkan keberadaan sumberdaya hutan dengan segala potensi dan peranannya yang strategis dalam mendukung pembangunan di wilayah Kabupaten Blora, maka kawasan hutan di Kabupaten Blora wajib untuk dipertahankan kecukupan luasnya serta dikelola sesuai dengan fungsinya berdasarkan RKTK Blora yang disusun untuk jangka waktu 20 tahun. Penyusunan RKTK Blora Periode Tahun 2014-2034 didasarkan pada hasil analisis spasial maupun realitas dan potensi yang ada di Kabupaten Blora, mencakup di dalamnya kawasan hutan dengan segala fungsinya (fungsi produksi, fungsi konservasi, dan fungsi lindung) serta arahan pengurusan hutan ke depan (perencanaan, pengelolaan, penelitian, pengembangan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan pengawasan hutan). Isu-isu strategis dan berbagai permasalahan serta tantangan mendasar yang dihadapi oleh sektor kehutanan di Kabupaten Blora meruakan sebuah hal yang harus diakomodasikan kepentingannya untuk meningkatkan ketajaman dan rasionalitas RKTK Blora. 1.2. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan RKTK Kabupaten Blora Tahun 2014-2034 adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang- Page 3

Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4436); 6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2007 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814); Page 4

11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam; 14. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; 15. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; 16. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5217); 17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006-2025; 18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan; 19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.4/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam; 20. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/ 2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 460); 21. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/ 2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 381); Page 5

22. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36 /Menhut-II/ 2013 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten Tahun 2011-2030 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 911); 23. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Di Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jateng Tahun 2003 Nomor 134); 24. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup di Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 Nomor 5 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4); 25. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 28); 26. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 46 Tahun 2012 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2030 (Berita Daerah Provinsi Jateng Tahun 2012 Nomor 46); 27. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 3 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Blora (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2008 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 3); 28. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Blora Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 7); 29. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Blora Tahun 2010-2015 (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 8).. 30. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 13 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Blora (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 13) 31. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blora Tahun 2011-2030 (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 18) Page 6

1.3. Maksud dan Tujuan Penyusunan RKTK Kabupaten Blora Tahun 2014-2034 Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Kabuaten Blora dimaksudkan sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah dan para pihak dalam proses pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan hutan dan hutan hak di wilayah administratif Kabupaten Blora Tujuan Penyusunan Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK) Blora Tahun 2014-2034 adalah : 1. Terbangunnya koordinasi, keterpaduan dan sinergitas pengelolaan sumberdaya hutan tingkat Unit Manajemen Hutan, tingkat Kabupaten, tingkat Propinsi dan tingkat Nasional. 2. Tercapainya proses pengelolaan hutan dengan keseimbangan fungsi ekonomi, kelestarian lingkungan dan dinamika sosial budaya. 3. Terealisasikannya transformasi potensi dan manfaat sumberdaya hutan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat secara optimal dan lestari. 4. Optimalisasi besaran peran dan posisi kehutanan dalam pembangunan wilayah Kabupaten Blora. 1.4. Kedudukan RKTK Kedudukan RKTK dalam sistem perencanaan kehutanan adalah sebagaimana yang tersajikan pada gambar berikut. Gambar I-1 Kedudukan RKTK Dalam Sistem Perencanaan Kehutanan Page 7

RKTK merupakan penjabaran dari RKTP yang disusun di tingkat Kabupaten/Kota. Dalam penyusunan RKTK, harus memperhatikan arahan kebijakan pada RKTP dan RKTN serta Rencana Makro Penyelenggaraan Kehutanan. Selanjutnya RKTK dijabarkan ke tingkat yang lebih rendah di tingkat kesatuan pengelolaan hutan (tapak) dalam bentuk RKPH. 1.5. Ruang Lingkup Rencana KehutananTingkat Kabupaten (RKTK) Blora 2014 2034 merupakan penjabaran dari RKTN 2011-2030 dan RKTP Jawa Tengah 2011-2030. Ruang lingkup Rencana KehutananTingkat Kabupaten (RKTK) Blora 2014 2034 meliputi : 1. Tujuan, kebijakan dan strategi pengurusan hutan Kabupaten Blora. 2. Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten mencakup seluruh aspek pengurusan hutan, kawasan lindung/ budidaya dan hutan rakyat yaitu perencanaan, pengelolaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan pengawasan. 3. Gambaran kondisi saat ini. 4. Target kondisi yang diinginkan. 5. Skenario atau arahan kegiatan pemenuhan dalam rangka menuju target yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan. 1.6. Kerangka Pikir RKTK RKTK merupakan perencanaan kawasan hutan maupun hutan hak yang ada di kabupaten/ kota. Penyusunan RKTK dimulai dari data dan informasi gambaran keberadaan kawasan hutan dan hutan hak di wilayah kabupaten/ kota yang mencakup kondisi umum kawasan hutan negara dan hutan hak di wilayah kabupaten/ kota serta potensi-potensi yang terkandung di dalamnya yang dapat dikelola untuk mendapatkan manfaat dan nilai lebih baik dari aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Kerangka berfikir RKTK Blora disajikan dalam Gambar 1.2. Page 8

Gambar I-2 Kerangka Pikir Penyusunan RKTK Kabupaten Blora Tahun 2014-2034 1.7. Sistematika Penulisan RKTK BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang (Dasar Hukum, Tujuan, Ruang Lingkup). 1.2. Sistematika Penulisan. BAB II POTENSI DAN REALITAS 2.1. Potensi dan Kondisi Umum Hutan di Kabupaten Blora. 2.2. Kontribusi Sektor Kehutanan Kabupaten Blora (Ekonomi, Ekologi, dan Sosial). 2.3. Kondisi KelembagaanSektorKehutananKabupaten Blora. 2.4. Isu StrategisTerkaitPengurusanHutanKabupaten Blora. BAB III ARAHAN INDIKATIF KEBIJAKAN PENGURUSAN HUTAN KABUPATEN BLORA BAB IV VISI DAN MISI PENGURUSAN HUTAN KABUPATEN BLORA BAB V INDIKASI KEKUATAN, KELEMAHAN, ANCAMAN, DAN PELUANG BAB VI KEBIJAKAN DAN STRATEGI Page 9

BAB VII KONTRIBUSI MANFAAT EKONOMI, SOSIAL DAN LINGKUNGAN SEKTOR KEHUTANAN PADA PEMBANGUNAN KABUPATEN BLORA. BAB VIII PENUTUP LAMPIRAN Peta Arahan Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK) Blora Tahun 2014-2034 (Skala 1:100.000) Page 10

BAB II POTENSI DAN REALITAS 2.1 Keadaan Umum Wilayah 2.1.1 Luas dan Letak Blora merupakan Kabupaten yang berada dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah administratif Kabupaten Blora kurang lebih 1.820,59 km 2. Secara astronomis Kabupaten Blora terletak di antara 111 0 06 22,19 s.d. 111 0 37 48,63 Bujur Timur dan 6 0 50 57,37 s.d. 7 0 22 32,09 Lintang Selatan. Jarak terjauh dari barat ke timur sepanjang 57 km dan jarak terjauh dari utara ke selatan sepanjang 58 km. Batas-batas yang melingkupi wilayah Kabupaten Blora adalah : Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Ngawi Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Pati, Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Grobogan. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kababupaten Bojonegoro dan Tuban Page 11

Gambar II-1 Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Blora 2.1.2 Topografi Kabupaten Blora berada di daerah cekungan di antara pegunungan Kendeng Utara dan pegunungan Kendeng Selatan yang membujur dari barat ke timur. Sebagian besar (72,38%) bertopografi datar bergelombang dengan kelas kelerengan 0-15 %. Selebihnya bertopografi agak curam dengan kelas kelerengan 16%-40%. Berada di ketinggian antara 25 meter s.d. 350 meter diatas permukaan laut. Sebaran wilayah berdasarkan ketinggiannya adalah seperti dapat dilihat pada peta ketinggian tempat berikut. Page 12

2.1.3 Iklim Gambar II-2 Peta Ketinggian Tempat Wilayah Kabupaten Blora Data iklim tahun 2003 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan jumlah curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.354,7 mm dengan rata-rata jumlah hari hujan sebanyak 85,5 hari. Rata-rata jumlah curah hujan bulanan tahun 2006 s/d tahun 2012 berdasarkan sistim klasifikasi iklim Schmidtz dan Ferguson, wilayah Kabupaten Blora memiliki 4 bulan kering (jumlah curah hujan < 60 mm) dan 7 bulan basah (> 100 mm) dengan nilai Q = 57 %, berada dalam range (33,33 % - 60 %) sehingga tergolong dalam tipe iklim C atau agak basah. Sedangkan menurut klasifikasi iklim Oldemen termasuk dalam tipe iklim D dengan jumlah bulan basah (curah hujan >200 mm) berturut-turut 3-4 bulan. Page 13

2.1.4 Batuan Induk dan Tanah Gambar II-3 Peta Curah Hujan Wilayah Kabupaten Blora Berdasarkan kondisi geologi, formasi batuan induk di Kabupaten Blora dapat diklasifikasikan sebagai : a) Formasi Alluvium, jenis ini terdiri atas tanah lempung, lanau, pasir dan kerikil. Wilayah yang mengandung jenis tanah ini adalah Kecamatan Kunduran, Banjarejo, Ngawen, Blora, Jati, Randublatung, Kradenan, dan Kedungtuban; b) Formasi Tambak Kromo. Jenis terdiri atas batu lempeng, rapal dan batu gamping. Wilayah yang termasuk dalam jenis ini adalah semua kecamatan di Kabupaten Blora kecuali Kecamatan Todanan dan Kecamatan Kradenan; c) Formasi Salerejo. Jenis ini terdiri atas batu lempung dan batu gamping. Wilayah yang termasuk dalam jenis ini adalah Kecamatan Cepu, Sambong, Jepon, dan Banjarejo; d) Formasi Mundu. Jenis ini atas tanah napal. Wilayah yang termasuk dalam jenis ini adalah semua kecamatan di Kabupaten Blora kecuali di Kecamatan Kedungtuban dan Cepu; Page 14

e) Formasi Ledok. Jenis ini terdiri atas batu gamping dan batu glukonit.wilayah termasuk dalam formasi ini meliputi Kecamatan Jiken, Jepon, Banjarejo, dan Kunduran; dan f) Formasi Madura. Jenis ini terdiri dari gamping dan karal. Wilayah yang termasuk dalam formasi ini adalah Kecamatan Todanan. Dengan batuan induk di atas, jenis tanah sebagai yang terbentuk dan wilayah sebarannya adalah seperti dapat dilihat pada peta tanah berikut. Gambar II-4 Peta Sebaran Jenis Tanah Wilayah Kabupaten Blora Page 15

2.1.5 Hidrologi Gambar II-5. Peta Potensi Bahan Tambang Keberadaan pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan telah banyak membentuk anak-anak sungai yang bermuara pada sungai Lusi untuk wilayah Blora bagian tegah dan barat dan bermuara pada Sungai Bengawan Solo untuk wilayah Blora bagian timur. Sebagian besar anak sungai yang ada hanya dialiri air pada saat musim penghujan, sedang pada musim kemarau pada umumnya dalam kondisi kering. Dalam pewilayahan Daerah Aliran Sungai, sebagian Kabupaten Blora berada di DAS Jratun Seluna, Sub-DAS Lusi, Sub-Sub-DAS : Medang, Sanggrahan, Ingas Jajar, Lusi Hulu, Geger Sapi, Sambongsari, Kedug Waru dan Sub-DAS Juana, Sub-Sub-DAS Juana. Sedang sebagian yang lain berada di DAS Solo, Sub-DAS Wulung. Sub-DAS Lusi meliputi wilayah Kecamatan Blora, Tunjungan, Banjarejo, Jepon, Jiken, Ngawen, Kunduran, dantodanan bagian selatan. Sub-DAS Juana meliputi Kecamatan Todanan bagian Utara. Sub-DAS Wulung, meliputi wilayah Kecamatan Sambong, Cepu, Kedungtuban, Kradenan, Randublatung dan Jati. Page 16

Gambar II-6 Peta Hidrologi Wilayah Kabupaten Blora 2.1.6 Penggunaan Lahan Bentuk penggunaan lahan wilayah Kabupaten Blora hampir setengahnya atau 90.416,52 Ha (49,77%) berupa kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani, sedangkan selebihnya berbentuk sawah dengan luas 46.041,82 Ha, lahan pekarangan dan pemukiman 16.952,81 Ha, lahan tegalan dengan luas 26.196,01 Ha, waduk 56,96 Ha, perkebunan 4,00 Ha, pertambangan 21,60 Ha dan bentuk penggunaan lain-lain 2.369,08 Ha. Kabupaten Blora dalam tatanan administrasi pemerintahan terdiri dari 16 Kecamatan dengan 271 Desa dan 24 Kelurahan yang mencakup 1.125 Dusun, 1.206 Rukun Warga dan 5.462 Rukun Tetangga. Page 17

Gambar II-7 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Blora 2.1.7 Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Blora pada tahun 2012 adalah sebanyak 846.432 jiwa terdiri dari laki-laki 417.401 jiwa dan perempuan 429.031 jiwa atau seks ratio sebesar 97,29 penduduk. Tingkat kepadatan penduduk rata-rata adalah 465 jiwa per km 2. Berdasarkan data jumlah penduduk tahun 1993 sampai dengan 2012 menunjukkan laju pertambahan penduduk rata-rata sebesar 0,42 % per tahun. Mata pencaharian penduduk sebagian besar petani dan pedagang, sisanya adalah dalam bidang industri, konstruksi, jasa, dan lain-lain. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 sebanyak 134.900 orang (16,27%) dengan laju penurunan kemiskinan rata-rata 4,74 % pertahun. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Blora tahun 2012 sebesar 5,03 %, sementara laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah Tahun 2013 sebesar 5,8 % dan Nasional 5,78 %. 2.2 Potensi dan Kondisi Umum Hutan Kabupaten Blora 2.2.1 Hutan Negara Page 18

1. Luas Hutan Negara Berdasarkan SK Penunjukkan Menteri Kehutanan No 359/Menhut-II/2004 tahun 2004 luas kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah adalah 647.133 hektar yang tersebar di 35 Kabupaten. Blora merupakan Kabupaten dengan kawasan hutan terbesar di Provinsi Jawa Tengah dengan luas kawasan hutan ± 90.614,54 Ha atau 14,00% dari total luas kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah. Rincian luas kawasan hutan di Kabuaten Blora berdasarkan fungsinya adalah seperti disajikan pada Tabel 2.1. berikut. Tabel II-1 Luas Kawasan Hutan Kabupaten Blora Berdasarkan Fungsi Hutan NO FUNGSI HUTAN LUAS (HA) % 1 KAWASAN KONSERVASI 55,40 0,03 Kawasan Suaka Alam (KSA) / - - - Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Cagar Alam 55,40 2 HUTAN LINDUNG - 3 HUTAN PRODUKSI 90.559,15 49,74 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 147,13 Hutan Produksi (HP) 90.412,02 Jml Kawasan Hutan 90.614,54 49,77 Jml Kawasan Hutan & Konservasi Perairan 90.614,54 49,77 Luas Daratan Kabupaten Blora 182.058,31 100,00 Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Kabuaten Blora 2013 2. Pengelolaan Hutan Negara Pengelolaan kawasan hutan negara di Kabupaten Blora dilakukan oleh Perum Perhutani sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah nomor 72 Tahun 2010 pasal 3 ayat (1) : Sesuai dengan Dengan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perusahaan untuk melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Dalam operasionalnya pengelolaan kawasan hutan negara terbagi dalam unit-unit Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) sebagai representasi dari unit kelestarian pengelolaan hutan dengan batas-batas pewilayahan tidak identik dengan batas administrasi pemerintahan. Pengelolaan kawasan hutan Kabupaten Blora sesuai batas batas pewilayahannya dikelola oleh tujuh KPH, yaitu : KPH Randublatung, KPH Blora, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH Mantingan, KPH Pati dan KPH Ngawi. Rincian luas kawasan hutan di Kabupaten Blora yang dikelola oleh masing-masing Page 19

KPH berdasarkan fungsi hutan adalah seperti ditampilkan pada Tabel 2.2. dan Gambar 2.1. berikut. Tabel II-2 Distribusi Luas Wiayah KPH di Kabupaten Berdasarkan Fungsi Hutan No KPH Fungsi Hutan (Ha) Jumlah Produksi Produksi Terbatas Cagar Alam * ) 1 KPH Blora 15.105,02 15.105,02 2 KPH Cepu 27.068,16 30,00 27.098,16 3 KPH Randublatung 32.068,22 25,40 32.093,62 4 KPH Ngawi 8.689,70 8.689,70 5 KPH Mantingan 5.764,67 5.764,67 6 KPH Kebonharjo 1.612,77 147,13 1.759,90 7 KPH Pati 103,48 103,48 Jumlah 90.412,02 147,13 55,40 90.614,54 Sumber : Perhutani di Wilayah Administrasi Kabupaten Blora, 2013 Keterangan : *) di bawah pengelolaan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kementrian Kehutanan Gambar II-8 Peta Kawasan Hutan Kabupaten Blora Page 20

2.2.2 Hutan Rakyat 2.2.2.1 Luas Hutan Rakyat Lahan dengan penutupan hutan saat ini dapat dijumpai di luar kawasan hutan, yaitu di lahan masyarakat yang ditanami dengan jenis tanaman kehutanan yang kemudian diistilahkan sebagai Hutan Rakyat. Hutan Rakyat menjadi sangat berkembang sejak dijalankannya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), Fasilitasi Bantuan Bibit, Aksi Penanaman Serentak, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon (GPTPP), Hutan Sekolah, gerakan One Man One Tree (OMOT), One Billion Indonesian Trees (OBIT), Kebun Bibit Rakyat (KBR). Pesatnya perkembangan hutan rakyat juga ditunjang dengan adanya hutan rakyat pola swadaya maupun pola kemitraan. Data terakhir menunjukkan luas hutan rakyat di Kabupaten Blora telah mencapai 18.015,29 Ha yang tersebar di seluruh wilayah Kecamatan. Perkembangan dan sebaran lokasi hutan rakyat secara rinci ditampilkan pada Tabel 2.3. berikut. Tabel II-3 Perkembangan Sebaran Luas Hutan Rakyat di Kabupaten Blora Menurut Wilayah Kecamatan Sampai Dengan Tahun 2013 No Kecamatan 2009 2010 2011 2012 2013 1 Jati 776,160 826,160 846,160 871,160 896,16 2 Randublatung 799,364 799,364 859,364 884,364 909,36 3 Kradenan 525,240 550,240 570,240 570,240 620,24 4 Kedungtuban 537,240 537,240 617,240 617,240 667,24 5 Cepu 246,400 246,400 246,400 246,400 296,40 6 Sambong 669,140 669,140 709,140 709,140 734,14 7 Jiken 1.056,971 1.056,971 1.096,971 1.096,971 1.121,97 8 Bogorejo 1.628,158 1.628,158 1.628,158 1.628,158 1.678,16 9 Jepon 1.133,840 1.158,840 1.198,840 1.223,840 1.248,84 10 Blora 1.433,540 1.433,540 1.473,540 1.473,540 1.498,54 11 Banjarejo 1.043,640 1.118,640 1.158,640 1.208,640 1.208,64 12 Tunjungan 1.005,880 1.030,880 1.050,880 1.050,880 1.075,88 13 Japah 1.511,435 1.561,435 1.601,453 1.626,435 1.601,44 14 Ngawen 1.219,720 1.269,720 1.329,720 1.329,720 1.379,72 15 Kunduran 1.026,290 1.026,290 1.066,290 1.066,290 1.066,29 16 Todanan 1.672,260 1.772,260 1.812,250 1.837,260 2.012,26 Jumlah 16.225,278 16.625,278 17.265,286 17.465,278 18.015,28 Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Kabupaten Blora 2013 ; Blora Dalam Angka Tahun 2014 Page 21

Gambar II-9 Peta Sebaran Lokasi Hutan Rakyat Kabupaten Blora 2.2.2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat Hutan rakyat adalah hutan yang dikembangkan di atas lahan milik. Sebaran dan keragaan hutan rakyat ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah : luas kepemilikan lahan, minat, waktu tumbuhnya minat dan lain-lain. Dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut, keragaan hutan rakyat pada umumnya tersebar secara sporadis dengan kelas umur yang bervariasi. Motivasi masyarakat dalam mengembangkan hutan rakyat, juga cukup bervariasi, antara lain : Sebagai investasi untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjaraangan dan tebangan akhir, Sebagai tabungan bisa diambil sewaktu-waktu membutuhkan atau untuk diwariskan kepada anak-anaknya, Sebagai cara untuk meningkatkan nilai jual tanah, Sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan kayu yang harganya semakin mahal, Sebagai cara untuk menjaga lingkungan khususnya untuk meningkatkan peresapan air hujan ke dalam tanah. Dengan situasi tersebut sampai saat ini pola pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Blora pada umumnya masih bersifat individual. Hutan rakyat yang saat ini sudah menerapkan pola pengelolaan kelompok dan telah lulus sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) tahun 2012 adalah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Jati Mustika kecamatan Blora. Gapoktan lain yang sedang mempersiapkan pola Page 22

pengelolaan kelompok dan mempersiapkan proses menuju sertifikasi VLK adalah Gakpoktan Jati Mustika II Kecamatan Ngawen dan Gapoktan Jati Mulyo Kecamatan Todanan. 2.3 Kontribusi Sektor Kehutanan 2.3.1 Kontribusi Ekonomi 2.3.1.1 Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat dari kawasan hutan merupakan produksi gabungan dari 7 KPH Perum Perhutani yang mengelola kawasan hutan di Kabupaten Blora. Jenis kayu bulat yag diroduksi dari hutan negara didominasi oleh jenis Jati, sedang jenis Mahoni/Sonobrit, Sonokeling dan jenis Rimba Campuran hanya menempati porsi tidak lebih dari 3 %. Selain kayu bulat juga dihasilkan kayu bakar/afval yang merupakan kayu sisa yang tidak memenuhi standar ukuran/sortimen panjang dan diameter. Sedangkan produksi kayu bulat dari lahan hutan rakyat merupakan data produksi hutan rakyat dari seluruh wilayah kecamatan yang dilaporkan ke instansi Dinas Kehutanan. Total volume kayu bulat dan kayubakar/afval yang diproduksi dari kawasan hutan negara dan lahan hutan rakyat dalam 6 tahun terakhir secara terinci adalah seperti disajikan pada Tabel 2.4 berikut. Tabel II-4 Volume Produksi Kayu Bulat dan Afval/Kayu Bakar Dari Kawasan Hutan Negara dan Hutan Rakyat Tahun 2008 s/d 2013 No Jenis 2008 2009 2010 2011 2012 2013 A PERHUTANI A1 Kayu Bulat 1 Jati 83,681.85 75,885.94 92,848.91 79,474.64 83,214.33 81,208.73 2 Mahoni 1,028.24 1,412.80 977.65 1,489.75 1,514.15 1,999.47 3 Sonokeling 11.31 287.449 9.49 250.422 60.94 267.356 4 Rimba Campur 152.18 307.657 482.08 750.04 260.39 1,011 Jumlah (m 3 ) 84,873.58 77,893.85 94,318.13 81,964.85 85,049.81 84,486.77 A2 Ky Bakar/Afval 1 Jati 814.21 717.72 1,144.20 847.83 919.55 4,443.51 2 Mahoni 7.11 16.50 12.50 5.50 0.11 41.72 3 Sonokeling - - - 2.50-2.50 4 Rimba Campur - - 5.50 99.00 61.50 166.00 Jumlah (Sm) 821.32 734.22 1,162.20 954.83 981.16 4,653.73 B HUTAN RAKYAT Kayu Bulat (m 3 ) No data No data 7,682.91 3,177.30 1,884.00 2,321.00 Sumber : Perhutani di Wilayah Administrasi Kabupaten Blora, 2013 Page 23

Grafik II-1 Produksi Kayu Bulat Kabupaten Blora Tahun 2008-2013 Volume produksi kayu bulat dari kawasan hutan selama 6 tahun terakhir terlihat cukup fluktuatif. Angka produksi yang fluktuatif tersebut tidak mencerminkan potret kinerja pengelolaan hutan lestari yang dilakukan oleh ke 7 KPH Perum Perhutani yang mengelola kawasan hutan di Kabupaten Blora. Faktor yang penyebab terjadinya fluktuasi tersebut adalah rencana penebangan menurut waktu dan tempat yang telah disusun oleh dari masing-masing KPH. Untuk KPH yang wilayah kerjanya berada di Kabupaten Blora dan Kabupaten lainnya, kegiatan penebagannya akan menyebabkan kenaikan produksi bagi Kabupaten Blora jika lokasi tebang yang telah direncanakan berada di wilayah Kabupaten Blora. Demikian pula sebaliknya akan berengaruh pada penurunan produksi ketika lokasi tebangannya berada diluar wilayah Kabupaten Blora. Data produksi kayu bulat dari lahan hutan rakyat terlihat terlalu rendah dan kurang berimbang dengan data luasannya. Data yang terlalu kecil tersebut ternyata terlihat masih mengalami penurunan sejak tahun 2010. Dengan pola pengelolaan hutan rakyat yang pada umumnya masih bersifat individual dan sistim administrasi/ tata niaga kayu rakyat yang tidak terlalu mengikat, faktor penyebab rendahnya data produksi tersebut kemungkinan adalah karena tidak adanya laporan produksi ke Dinas Kehutanan Kabupaten Blora. Beberapa alasan tidak adanya laporan ke Dinas Kehutanan antara lain karena volume tebangan per pemilik relatif kecil, untuk digunakan sendiri, diperjualbelikan di bawah tangan kepada tetangga dan lain- lain. Terlebih sejak terbitnya Permenhut Nomor P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal Dari Hutan Hak yang memberikan wewenang kepada Perangkat Desa yang sudah memiliki hak sebagai Penerbit SKAU. Data produksi kayu dari lahan hutan rakyat menjadi semakin tidak termonitor karena selain penerbitan SKAU tidak lagi menjadi kewenangan Dinas Kehutanan, juga belum optimalnya koordinasi data antara petugas penerbit SKAU dengan Dinas Kehutanan. Page 24

2.3.1.2 Hasil Hutan Bukan Kayu Hasil hutan bukan kayu dari kawasan hutan di Kabupaten Blora diproduksi dari pemanfaatan lahan tumpang sari di petak-petak tanaman jati dibawah umur 2 tahun dengan tanaman polowijo dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan tanaman empo-empon (temu awak, kencur putih dll). Luas kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk lahan tumpangsari dan penanaman bawah tegakan pada tahun 2008 dan 2013 adalah sebagai berikut. Tabel II-5 Luas Lahan Tumpang Sari dan Tanaman Bawah Tegakan 2008-2013 No Jenis Komoditi Satuan Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 1 Palawija Ha 2,105.14 797.94 387.43 114.58 869.42 875,53 2 Emponempon Ha 782.00 12,509.00 12,357.00 12,791.70 1,387.30 568,75 Sumber : Perum Perhutani Wilayah Administrasi Kabupaten Blora 2013 Melalui gerakan peningkatan produksi pangan berbasis koorporasi seperti dirilis oleh Kepala Unit I Perum Perhutani Jawa Tengah, rata-rata per tahun dapat diproduksi hasil pangan/ polowijo yang dapat diproduksi dari lahan tumpangsari sebanyak ± 9.312 ton/tahun dengan nilai pada tahun 2012 ± Rp 16,5 miliar. 2.3.1.3 Jasa Lingkungan / Wisata Alam Kawasan hutan negara, Blora memiliki lokasi wisata alam yang sangat potensial untuk dikembangkan, antara lain adalah : Wisata Loko Tour menggunakan kereta api dengan pemadangan lebatnya pohon jati di sepanjang jalan yang dilalui kereta hingga di lokasi Gubug Payung. Wisata alam di Gubug Payung dengan daya tarik berupa pohon jati alam dengan usia diperkirakan mencapai antara 100 hingga 200 tahun, terletak di Gubug Payung, 17 Km dari jalan raya Blora Cepu. Wisata jati alam umur 150 tahun sebanyak 1.766 pohon, terletak di kawasan Temengeng, Kecamatan Sambong. Satu pohon yang mati terjual dengan harga Rp. 1 Milyar dan tercatat dalam dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Page 25

Wisata alam jati Denok dengan daya tarik umurnya yang mencapai lebih dari 300 tahun, mendapatkan rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai jati terbesar dan umurnya tertua di Indonesia, dengan tinggi sekitar 30 meter dan keliling pangkal bawahnya mencapai 839 cm. Terletak di di Dukuh Temetes, Desa Jatisari, Kecamatan Banjarejo, tepatnya di petak 62, RPH Temetes, BKPH Temanjang, KPH Randublatung, usianya lebih dari 300 tahun. Dari Blora ke arah Randublatung pada sekitar kilometer 15, belok ke arah barat dengan jarak sekitar 7 kilometer. Wisata alam Goa Terawang. Terletak terletak di kawasan hutan KPH Blora, di pinggir jalan Todanan-Blora, Kecamatan Todanan. Goa Terawang adalah sebuah goa yang memanjang ± 500 m. Dibagian dalamnya terdiri dari 5 goa yang sambung-menyambung. Goa paling depan adalah Terawang 1, goa selanjutnya disebut Terawang 2 dan seterusnya sampai dengan Terawang 5. Setiap goa memiliki detail dinding dan stalaktit-stalagmit di dalamnya yang khas. Pada bagian langit-langit memiliki lubang alami dengan diameter yang bervariasi yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalam gua. Melalui lobang langit-langit menjadi semacam ventilasi sirkulasi udara di dalam gua, memungkinkan pengunjung untuk melihat pohon-pohon jati dan pohon lainnya yang tumbuh di atas goa. Keberadaan potensi wisata alam tersebut sampai saat ini belum dipromosikan secara maksimal sebagai lokasi wisata yang mampu mendatangkan wisatawan domestic maupun manca negara. Wisata alam tersebut akan memiliki prospek bisnis yang lebih maksimal jika pembangannya disinergikan dengan potensi wisata budaya maupun sejarah yang terdapat di Kabupaten Blora, antara lain : Wisata budaya kehidupan masyarakat samin di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo; Wisata budaya museum Pamudya Ananta Toer; Wisata pengilangan minyak di Kecamatan Cepu; Wisata eksplorasi minyak sumur tua di Desa Semanggi, Ledok, Kawengan; Wisata kerajinan bubut dan industri kreatif akar jati di Desa Jepon dan Jiken; Wisata religi makam Sunan Pojok di seputaran alun-alun Blora; Page 26

Wisata sejarah SD Darmorini sekolah wanita pertama di Indonesia; Wisata alam Desa Sayuran. 2.3.1.4 Industri Pengolahan Kayu Ketersediaan bahan baku kayu telah mendorong tumbuhnya usaha industri berbasis kehutanan khususnya industri rumah tangga dan industri kecil yang tersebar di Kabupaten Blora. Jenis industri tersebut antara lain adalah industri meubel, bubut kayu, ukir-ukiran, indutri kreatif akar jati sampai dengan industri pengolahan kayu dan furniture. Sampai dengan tahun 2013 berdasarkan statistik tahun 2014 terdapat industri berbasis kehutanan sebanyak 1.702 Unit, terdiri dari dari industri rumah tangga sebanyak 1.072 Unit, industri kecil sebanyak 611 Unit, industri sedang sebanyak 16 Unit dan industri besar sebanyak 3 Unit. Keberadaan industri kehutanan tersebut ternyata mampu memberikan kontribusi ekonomi terhadap pembangunan wilayah Kabupaten Blora dengan total produk yang dihasilkan sebesar ± Rp. 294.627.177.000,- pada tahun 2012 dan menjadi ± Rp. 368.726.010.000,- pada tahun 2013. Data selengkapnya tentang industri berbasis kehutanan ditampilkan pada dua tabel berikut. A Tabel II-6 Industri Berbasis Kehutanan Di Kabupaten Blora No Jenis Industri 2012 2013 Industri Rumah Tangga Unit Nilai Prod (Rp. 000) Unit Nilai Prod (Rp. 000) 1 Perabot Ruta (mebel) 908 71.913.600 883 60.927.000 2 Bubut Kayu 64 2.880.000 64 2.880.000 3 Ukir-ukiran Kayu 124 9.675.000 125 10.312.500 Jumlah IRT 1096 84.468.600 1072 74.119.500 B Industri Kecil 1 Mebel 549 82.350.000 563 94.584.000 2 Pengolahan Kayu 28 21.000.000 28 26.208.000 3 Industri Kreatif dari Akar Jati 20 9.100.000 20 10.800.000 Jumlah Industri Kecil 597 112.450.000 611 131.592.000 C Industri Sedang 1 Pengolahan Kayu 17 60.686.489 16 108.110.952 Jumlah Industri Sedang 17 60.686.489 16 108.110.952 D Industri Besar 1 Industri Penggergajian dan 1 33.402.033 1 51.283.503 Pengawetan 2 Furniture 2 3.620.055 2 3.620.055 Jumlah Industri Besar 3 37.022.088 3 54.903.558 Jumlah Industri 1.713 294.627.177 1.702 368.726.010 Sumber : Kabupaten Blora Dalam Angka Tahun 2012 dan 2013 Page 27

Tabel II-7 Poduk Kayu Olahan Kabupaten Blora Tahun 2013 NO SORTIMEN PRODUKSI (m³) 1 BBI Komponen - 2 Finger joint - 3 Parket block 552.817 4 Finish flooring 2,038.499 5 Garden furniture 149.433 6 Skirting 0.234 7 Decking 119.972 8 Listoni - 9 Lamela - 10 Lam parket - 11 Reng 564.913 12 Raw sawn timber rimba 12,268.787 13 Kayu Olahan Lain. 4,268.317 JUMLAH 19,962.972 Sumber : Statistik Kehutanan Kabupaten Blora, 2013 2.3.1.5 Penerimaan Dana PSDH Atas kayu yang diperoduksi dari kawasan hutan Perum Perhutani berkewajiban untuk membayar Dana Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Besarnya realisasi pembayaran dana PSDH yang dibayarkan oleh Perhutani sebagai pihak pengelola hutan di dalam kawasan hutan pada tahun 2013 melalui 6 KPH yang terletak di Kabupaten Blora adalah sebesar Rp. 16.101.120.614,- Tabel II-8 Realisasi Pembayaran PSDH 6 KPH di Kabupaten Blora Tahun 2013 KPH Realisasi Pembayaran PSDH Per Jenis (Rp) Jumlah PSDH Jati Mahoni Sonokeling Rimba KyBkr/Afval Camp Blora 1.461.058.526 8.410.540 9.480.900 51.290 319.554 1.479.320.810 Randublatung 8.326.427.065 34.749.100 326.700 1.170.236 350.444 8.363.023.545 Cepu 5.080.043.322 4.537.522 3.844.200 242.060 1.093.250 5.089.760.354 Matingan 556.780.010 1.313.890 3.254.880 1.589.050 25.200 562.963.030 Kebonharjo 429.656.950 2.513.980 31.320 432.202.250 Ngawi 163.577.318 10.273.307 173.850.625 Jumlah 16.017.543.191 61.798.339 16.906.680 3.052.636 1.819.768 16.101.120.614 Sumber : Perhutani di Wilayah Administrasi Kabupaten Blora, 2013 Sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dana PSDH tersebut harus didistribusikan kepada Pemerintah Kabupaten Penghasil sebesar 32%, Pemerintah Propinsi sebesar 16 %, Pemerintah Kabupaten Non Penghasil dalam satu wilayah Propinsi sebesar 32 % dan Pemerintah Pusat sebesar Page 28

20%. Dengan komposisi pembagian tersebut, pada tahun 2013 Kabupaten Blora sebagai daerah penghasil menerima pembagian dana PSDH sebesar Rp. 5.262.659.666,-. Adapun nilai pembagian dana PSDH untuk Kabupaten Blora sebagai Kabupaten penghasil dalam 5 tahun terakhir adalah seperti dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel II-9 Realisasi Penerimaan PSDH Porsi Kabupaten Blora NO TAHUN PENERIMAAN PSDH 1 2009 5.427.390.555 2 2010 5.555.807.166 3 2011 6.280.608.001 4 2012 6.881.006.315 5 2013 5.262.659.666 Sumber : Perhutani di Wilayah Administrasi Kabupaten Blora, 2013 2.3.1.6 Kontribusi Terhadap PDRB Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu daerah/wilayah dalam suatu periode tertentu. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah/wilayah. Secara kuantitatif PDRB merupakan nilai barang dan jasa, oleh karena itu PDRB dihitung atas harga berlaku (at current price) dan PDRB atas dasar harga konstan (at constant price). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat perubahan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil. Dengan keragaan potensi sumberdaya hutan yang ada dan berbagai kegiatan produktif yang berbasis hutan, sektor kehutanan menjadi sektor yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomial wilayah Kabupaten Blora. Data PDRB Kabupaten Blora periode tahun 2005 s/d 2013 menunjukkan bahwa struktur ekonomi Kabupaten Blora selama ini didominasi oleh sektor pertanian. Kehutanan sebagai salah satu sub sektor dibawah sektor pertanian, memiliki peran penting terhadap pembangunan ekonomi Kabupaten Blora. Besaran sumbangan sektor kehutanan terhadp PDRB atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan tahun 2000 adalah sebagai berikut : Page 29

Tabel II-10 Kontribusi Sub Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora Tahun 2005-2013 Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rp) Tahun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rp) Kontribusi (Juta Rp) Sektor Kehutanan Prosentase Kontribusi Peringkat Kontribusi 2005 2,555,231 370,277 14.49% III 2006 2,873,717 408,698 14.22% III 2007 3,181,590 426,642 13.41% III 2008 3,636,796 506,631 13.93% III 2009 3,993,823 531,464 13.31% III 2010 4,472,315 574,235 12.84% III 2011 4,868,973 632,895 13.00% III 2012 5,313,938 652,759 12.28% III 2013 5,976,506 747,582 12.51% III Sumber : Kabupaten Blora Dalam Angka Tahun 2010 ; 2013 ; 2014 Tabel II-11 Kontribusi Sub Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora Tahun 2005-2013 Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rp) Tahun PDRB Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rp) Kontribusi (Juta Rp) Sektor Kehutanan Prosentase Kontribusi Peringkat Kontribusi Prosetase Pertumbuhan 2005 1,731,375 265,890 15.36% II 3.97 % 2006 1,803,169 273,415 15.16% II 2.83% 2007 1,883,659 262,644 13.94% III (3.94)% 2008 1,979,626 278,147 14.05% III 5.90% 2009 2,078,033 284,241 13.68% III 2.19% 2010 2,182,809 292,562 13.40% III 2.93% 2011 2,241,692 300,761 13.42% III 2.80% 2012 2,354,441 294,394 12.50% III (2.13)% 2013 2.472.180 300.156 12,14% III 1.97% Sumber: Kabupaten Blora Dalam Angka Tahun 2010 ; 2013 ; 2014 Sub-sektor kehutanan memiliki peran strategis terhadap PDRB Kabupaten Blora selama periode tahun 2005 s.d. 2013 dengan tingkat kontribusi terbesar ke tiga di bawah sektor sub-sektor Tanaman Pangan dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan besaran kontribusi pada tahun 2013 sebesar Rp 747.582.000.000,- atau sebesar 12,51%. Selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 pertumbuhan riil sektor kehutanan terlihat berfluktuasi. Pada tahun 2007 dan 2012 pernah mengalami pertumbuhan negative, tetapi pada tahun 2013 pertumbuhannya kembali positif sebesar 1,97%. Page 30

Grafik II-2 Prosentase Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora Tahun 2005-2013 Grafik II-3 Tingkat Pertumbuhan PDRB dan Sub-Sektor Kehutanan Kabupaten Blora Tahun 2005 2013 2.3.2 Kontribusi Ekologi Hutan sebagai salah satu sumberdaya terbarukan (renewable resource) selain memberikan manfaat yang dapat dihitung (tangible banefit) juga memberikan manfaat kualitatif (intangible benefit) terhadap perbaikan kualitas ekologi dan lingkungan. Intangible benefit hutan ini walaupun sampai sekarang belum ada kesepakatan metode kuantifikasinya akan tetapi semua pihak sepakat jika jasa lingkungan dari keberadaan hutan secara nyata dapat dirasakan dan dinikmati. Sedemikian signifikannya manfaat Page 31

yang diperankan hutan terhadap kelestarian ekologi, maka pada tempat-tempat tertentu yang memiliki kerawanan ekologis atau memiliki nilai konservasi tinggi harus ditetapkan sebagai kawasan konservasi, kawasan perlindungan dan wilayah rehabilitasi. 2.3.2.1 Pelestarian Cagar Alam 1. Cagar Alam Bekutuk Cagar Alam Bekutuk memiliki luas 25,40 Ha dan merupakan kawasan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT). Terletak di Petak 37, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Gumeng, Bagian Hutan (BH) Bekutuk, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung. Secara administratif termasuk wilayah Desa Tanggel, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora. Penunjukan Cagar Alam Bekutuk melalui SK Menteri Pertanian No.596/Kpts/Um/9/1975 tanggal 17 Februari 1975. Dikukuhkan melalui SK Menteri Kehutanan No.79/Menhut-II/2004 tanggal 10 Maret 2004. Saat ini keseluruhan areal cagar alam Bekutuk merupakan kawasan hutan dengan penutupan berupa vegetasi hutan alam jati. Kewenangan pengelolaan Cagar Alam Bekutuk berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Seksi Konservasi Wilayah I Surakarta. Untuk mendukung pengelolaan ekosistemnya telah ditetapkan zona penyangga seluas 331,30 ha berupa Hutan alam sekunder (HAS) Bekutuk yang selama ini menjadi habitat Elang Bido (Spilornis cheela), Biawak (Varanus salvatore) dan Merak Hijau (Pavo muticus). 2. Pelestarian Cagar Alam Cabak I/II Cagar Alam Cabak I/II dengan luas 30,00 Ha. Terletak di Petak 94, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cabak, Bagian Hutan (BH) Cabak, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu. Secara administratif termasuk wilayah Desa Cabak, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora. Cagar Alam Cabak Page 32

I/II ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 6 tanggal 21 Februari 1919, Lembaran Negara Hindia Belanda tahun 1919, No. 90. Alasan penunjukan kawasan hutan di petak 94 RPH Cabak sebagai Cagar alam adalah karena dengan kawasan ini merupakan hutan Jati tua yang tersambung langsung dengan ekosistem hutan primer. Namun Jati tua tersebut telah ditebang pada jaman Jepang. Tanaman yang ada saat ini adalah hasil dari penanaman kembali pada tahun 1951. Cagar alam seluas 30 Ha yang didominasi tegakan Jati (Tectona grandis) ini pada musim kemarau rawan terjadi kebakaran hutan, baik kebakaran yang berasal dari cagar alam sendiri, maupun kebakaran yang berasal dari rembetan kebakaran di hutan produksi Perum Perhutani yang berbatasan langsung dengan cagar alam. Cagar Alam Cabak I/II berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Seksi Konservasi Wilayah I Surakarta. 2.3.2.2 Pelestarian Kawasan Lindung 1. Sempadan Sungai Sesuai dengan peraturan yang berlaku, utuk melindungi kualitas ekosistem sungai dan fungsi sungai dari proses degradasi akibat erosi dan sedimentasi maka area dalam jarak 100 meter dari tepi kanan kiri di sepanjang sungai perlu dilestarikan dan dilindungi serta ditetapkan sebagai kawasan lindung sempadan sungai. Di wilayah Kabupaten Blora terdapat dua sungai besar, yaitu Sungai Bengawan Solo dan Sungai Lusi. Sungai Lusi terbentang mulai dari wilayah hulu yang berada di pegunungan Kendeng Utara menuju ke hilir dan melintasi wilayah Kabupaten Blora dari arah timur laut menuju ke barat. Menjadi menjadi muara bagi anak-anak sungai yang berada dalam wilayah tangakapan air. Daerah tangkapan air sungai Lusi meliputi dua per tiga wilayah Kabupaten Blora, yaitu meliputi wilayah Kecamatan Blora, Bogorejo, Jiken, Jepon, Banjarejo, Ngawen, Tunjungan, Japah, Todanan dan Kunduran. Sungai Bengawan Solo melintas di sisi timur wilayah Kabupaten Blora dan mejadi batas wilayah Kabupaten Blora dengan Kabupaten Bojonegoro dan Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Daerah tangkapan air sungai Bengawan Solo di Kabupaten Blora meliputi wilayah Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, Kedungtuban, Cepu, Sambong, Jiken bagian timurdan Bogorejo wilayah timur. Page 33

2. Kawasan Sekitar Mata Air Kekeringan dan kekurangan air selalu menjadi pesoalan yang berulang setiap musim kemarau datang di Kabupaten Blora. Penutupan hutan di pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan telah membentuk banyak mata air yang selama ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Untuk melindungi fungsi dan manfaat mata air diperlukan perlindungan dan pelestarian ekosistem di kawasan sekitar mata air. Sesuai dengan peraturan yang berlaku kawasan spetuar mata air yang harus dilindungi dan dilestarikan adalah dalam radius jarak 200 eter dari mata air atau 12,56 Ha. Sebaran loasi mata air di kabupaten Blora adalah seperti disajikan pada Tabel berikut. Tabel II-12 Sebaran Lokasi Mata Air di Luar Kawasan Hutan No. Nama Sumber Desa/Kecamatan Kpsitas puncak (Lt/dtk) Kpsitas Minimal (Lt/dtk) Manfaat Luas yg diari (Ha) 1 Biting Biting, Sambong 14 3.5 Irigasi 14 2 Klampok Klampok, Bogorejo 51 12.75 Irigasi 3 Jepang Rejo Jepangrejo, Blora - 14 4 Sukorejo Sukorejo, Tunjungan 16 4 Irigasi 5 Kedungrejo Kedungrejo, Tunjungan 18 4.5 Irigasi 6 Kedung Bawang Ds.Sitirejo, Tunjungan 18 4.5 Irigasi 7 Kedung Lo Kedungrejo, Tunjungan 18 4.5 Irigasi 8 Sari Mulyo Sarimulyo, Ngawen 18 4.5 Irigasi 150 9 Kalinanas Japah, Japah 26 6.5 Irigasi 10 Krocok Japah, Japah 26 7 Irigasi 11 Ngawen Ombo Ngawen Ombo, 29 7.25 Irigasi 0 Kunduran 12 Cungkup Cungkup, Kunduran 110 27.5 Irigasi 20 13 Karanganyar Karanganyar, Todanan 26 6.5 Irigasi 20 14 Bicak Bicak, Todanan 14 3.5 Irigasi 12 15 Kajengan Kajengan, Todanan 0 Irigasi 65 16 Cokrowati Cokrowati, Todanan 31 7.75 Irigasi 40 17 Dringo Dringo, Todanan 52 13 Irigasi 20 18 Ledok Ledok, Todanan 58 14.5 Irigasi 21 19 Bedingin Bedingin, Todanan 57 14.25 Irigasi 20 20 Gembleb Kedung Wungu, Todanan 56 14 Irigasi 52 21 Watu Lunyu Watu Lunyu, Todanan, 73 18.25 Irigasi 25 22 Patiyan Patiyan, Todanan 425 106.25 Irigasi 55 23 Gedung Sari Kedungsari, Todanan 67 16.75 Irigasi 36 24 Rondokuning Rondo Kuning, Kunduran 57 14.25 Irigasi 0 Sumber : KLHS, Bappeda, 2011 Page 34

Tabel II-13 Sebaran Lokasi Mata Air di Dalam Kawasan Hutan No. Nama Sumber Letak Luas Luas Sempadan 1 Sendang Wedok Petak 68a, RPH Sumengko, BKPH Boto, KPH Randublatung 2 Sendang Lanang Petak 67c, RPH Boto, BKPH Boto, 3 Sendang Kuwung KPH Randublatung Petak 123c, RPH Menden, BKPH Beran, KPH Randublatung 4 Sendang Salak Petak 123a, RPH Trembes, BKPH Temuireng, KPH Randublatung 5 Sendang Apit Petak 14, RPH Sigih, BKPH Boto, 6 Mata Air Banyuasin/ Sumur Uripan 7 Mata Air Delok/ Sendang Tutupan KPH Randublatung Petak 22g, RPH Banyuasin, BKPH Ngliron, KPH Randublatung Petak 51a, RPH Delok, BKPH Tanggel, KPH Randublatung Manfaat 0,1 10,00 Air bersih 0,1 9,70 Air bersih 0,1 2,00 Air bersih 0,1 10,00 Air bersih 0,1 6,70 Air bersih 0,1 8,70 Air bersih 0,1 10,10 Air bersih 8 PAM Wanatirta Cabak, KPH Cepu Air bersih 9 Sendang Batur KPH Cepu Air Wedok bersih 10 Sendang Punggur KPH Cepu Air bersih 11 Sendang Banyu Uyah KPH Cepu Air bersih 12 Sendang Plaosan KPH Cepu Air bersih 13 Sendang Padaan Sili KPH Cepu Air bersih 14 Kedungprahu KPH Cepu Air bersih Luas yg diari (Ha) Masy Desa Sumengko Masy Desa Sumengko Masy Desa Bodeh Masy Desa Doplang Masy Desa Kepoh Masy Desa Ngodo Masy Desa Tanggel 3. Sempadan Waduk Pada prinsipnya air hujan akan lebih memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungan jika bisa ditahan selama mungkin untuk tetap berada di daratan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menahan air agar tidak secepatnya mengalir sebagai run off dan kembali ke sungai, salah satu diantaranya adalah dengan pembuatan waduk atau embung air. Guna memenuhi kebutuhan air persawahan Pemerintah telah mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit untuk pembuatan waduk. Fungsi waduk Page 35

akan mampu bertahan sesuai yag direncanakan manakala tidak terjadi pendangkalan akibat proses sedimentasi yang berlebih. Untuk melindungi fungsi waduk dari ancaman sedimentasi, perlu dilakukan upaya pelestarian lingungan di sekitar waduk dalam radius 100 m dari batas pemukaan tertinggi air waduk. Di Kabupaten Blora terdapat 7 waduk/ embung yang perlu dilindungi dari ancaman sedimentasi dan pendangkalan yang terlalu cepat. Sebaran lokasi dan debit air dari masing-masing waduk tersebut secara terinci adalah seperti ditampilkan dalam Tabel II-14 Berikut. Tabel II-14 Sebaran Kapasitas dan Pemanfaatan Waduk di Kabupaten Blora No. Nama Waduk Desa / Kecamatan Kpsitas puncak (Lt/dtk) Kpsitas Minimal (Lt/dtk) Manfaat Luas yg diari (Ha) 1 WD. Tempuran Tempuran, Blora 224 0 Irigasi 803 2 WD.Greneng Tunjungan 122 Irigasi 265 3 Emb. Kulur Siti Rejo, Tunjungan 18 4.5 Irigasi 4 Jetak Wanger Sarimulyo, Ngawen 22 5.5 Irigasi 5 WD. Bruk Ngrambitan, Japah 97 24.25 Irigasi 320 6 WD. Bogem Bogem, Japah 62 15.5 Irigasi 30 7 WD. Bradag Bradag, Japah 35 8.75 Irigasi 10 Sumber : KLHS, Bappeda, 2011 4. Kawasan Mirip Kriteria Hutan Lindung Kawasan dengan fisiografi seperti kawasan lindung seluas 3.077,75 Ha yang terdapat terutama di Kecamatan Todanan, Jepon bagian Utara dan Jiken bagian Utara 5. Kawasan Rawan Bencana Banjir Longsor Kawasan Rawan Bencana Longsor seluas 1.014,60 Ha yang tersebar di KecamatanTodanan, Bogorejo dan Jiken. Kawasan Rawan Bencana Banjir dari meluapnya sugai Bengawan Solo yang mencapai luasan 2.507,20 tersebar di Kecamatan Cepu Kedungtuban dan Kradenan 6. Kawasan Pelestarian Plasma Nitfah (KPPN) Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) Banglean yang menjadi habitat Biawak ( Varanus salvatore ) yang dalam masuk CITES Appendix II, Merak Hijau (Pavo muticus ) yang dilindungi pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam & Ekosistem, PP RI No 7 tahun 1999, mempunyai nilai umbrella index yang tinggi, Elang bido (Spilornis cheela) yang dilindungi pemerintah melalui PP RI No 7 tahun 1999, mempunyai nilai umbrella index yang tinggi. Page 36

Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) Randublatung yang menjadi habitat Biawak ( Varanus salvatore ) yang dalam masuk CITES Appendix II, Merak Hijau (Pavo muticus ) yang dilindungi pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam & Ekosistem, PP RI No 7 tahun 1999, mempunyai nilai umbrella index yang tinggi, Elang bido (Spilornis cheela) yang dilindungi pemerintah melalui PP RI No 7 tahun 1999, mempunyai nilai umbrella index yang tinggi 7. Kawasan Resapan Air Kawasan resapan air seluas 14.274,85 Ha yang tersebar 13 Kecamatan. Luasnya wilayah sebaran kawasan resapan air ini karena Blora sering mengalami kekurangan air di musim kemarau, sehingga banyak wilayah yang harus dilindungi sebagai kawasan resapan air 8. Kawasan Karst Kawasan Karst jalur Sukolilo sebagai perlindungan tata air bawah tanah dengan luas mencapai 45,30 Ha. Gambar II-10 Peta Kawasan Lindung Kabupaten Blora Page 37