BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan 2.1.1. Konsep Kemiskinan Kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Chambers (2010) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: a. Kemiskinan absolut kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Bank dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan di bawah $ 2/hari. b. Kemiskinan relatif Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). 15
16 Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Kondisi ini berkaitan dengan tingkat pendapatan. Jika tingkat pendapatan kecil maka tingkat pengeluaran rumah tangga tersebut juga kecil. Todaro (1995:37) mengemukakan bahwa variasi kemiskinan di negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : (1)luasnya negara, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) relatif pentingnya sektor publik dan swasta, (5) perbedaan struktur industri. Menurut United Nation Development Programme (UNDP) lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah pembangunan, seseorang dikategorikan sebagai orang miskin jika memiliki pengeluaran di bawah US$ 2 per hari (www.undp.org). United Nation Development Programme (UNDP) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang kehilangan tiga hal utama yaitu: 1. Kehidupan (lebih dari 30 persen penduduk negara-negara yang paling miskin cenderung hidup kurang dari 40 tahun). 2. Pendidikan dasar (diukur dari persentase penduduk dewasa yang buta huruf). 3. Ketetapan ekonomi (economic provisioning) diukur oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan
17 air bersih ditambah persentase anak-anak di bawah usia lima tahun yang kekurangan berat badan. Todaro (2003:230) juga menyebut bahwa kemiskinan adalah keadaan dimana seseorang hidup dengan konsumsi kurang dari 2 USS per hari. Pendekatan pengukuran kemiskinan dengan metode perhitungan konsumsi maka dibagi menjadi dua yaitu, makanan dan bukan makanan. Pengeluaran konsumsi yang meliputi makanan sumber bahan pokok, seperti beras, minyak dan sebagainya. Kemiskinan dapat diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis batas kemiskinan. Penduduk yang berada di bawah garis batas kemiskinan dikategorikan sebagai orang miskin. Garis batas kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan : 1. Biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2100 kalori per kapita per hari. 2. Biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, pendidikan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kemiskinan mengandung pengertian ketidakmampuan untuk memenuhi standar dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Masyarakat dikatakan miskin apabila berpendapatan kurang dari Rp. 72.780,00 per kapita per bulan di pedesaan dan Rp. 96.959,00 per kapita per bulan di perkotaan. Menurut Sajogyo dalam Arsyad (2010:303) kemiskinan diukur dengan tingkat konsumsi beras per kapita per tahun. Wilayah pedesaan yang
18 penduduknya mengkonsumsi beras kurang dari 240 kg per kapita per tahun dapat digolongkan sebagai penduduk miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan adalah 360 kg per kapita per tahun. Sajogyo membagi indikator kemiskinan menjadi tiga kelompok yaitu melarat, sangat miskin dan miskin. 2.1.2. Teori Lingkaran Kemiskinan Teori ini dikemukakan oleh Ragnar Nurske, ekonom pembangunan ternama di tahun 1953, yang mengatakan : A poor country is poor because it is poor (negara miskin itu karena dia miskin). Penyebab kemiskinan bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan. Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas menyebabkan rendahnya pendapatan yang mereka terima ketika pendapatan rendah maka akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Masalah yang muncul dalam lingkaran kemiskinan adalah bagaimana adanya keadaan yang menciptakan hambatan dalam pembentukan modal yang tinggi. Ketika pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan maka disisi lainnya akan tertarik untuk menanam modal. Kondisi seperti inilah yang tidak terjadi di negara yang sedang berkembang, seperti halnya yang terjadi di Indonesia.
19 Gambar 2.1. Teori Lingkaran Kemiskinan Pada Gambar 2.1. memperlihatkan bahwa tingkat kemiskinan yang terjadi tidak dapat berdiri sendiri. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan bekerjanya sistem perekonomian yang tidak stabil. Misalnya ketika terjadi ketidak sempurnaan pasar akan mengakibatkan produktivitas rendah dan akan berdampak pada penurunan pendapatan. Todaro (1998:7) mengulas keterbelakangan penduduk negara berkembang terutama disebabkan karena tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan penyerapan tenaga kerja yang rendah, menyebabkan produktivitasnya rendah sehingga pendapatan rendah, hal ini mengakibatkan rendahnya standar kualitas hidup atau rendahnya tingkat hidup. Tingkat hidup yang rendah ditandai dengan kemiskinan, kesehatan yang buruk dan tidak memadai, pendidikan dan layanan masyarakat yang rendah.
20 Clark dalam Sukirno (2010;434) yang menyatakan penduduk dalam jumlah besar membawa kesulitan ekonomi bagi masyarakat yang hidup dengan metode tradisional. Jumlah penduduk yang besar yang tercermin pada besar penduduk pada setiap keluarga akan menyebabkan pendapatan per kapita yang rendah, apabila tidak diikuti oleh akumulasi modal yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga. Jhingan memaparkan dan memberikan rekomendasi kepada negara terbelakang untuk mengentas kemiskinan, hal yang perlu segera diatasi adalah memperlambat laju pertumbuhan penduduk dan memberikan bantuan modal serta bimbingan untuk menguasai teknologi. Samuelson dalam Mundrajat (1997:436) menyatakan bahwa penyebab dari terjadinya penduduk miskin di negara yang berpenghasilan rendah karena dua hal pokok yaitu rendahnya tingkat kesehatan dan gizi, serta lambatnya perbaikan mutu pendidikan sehingga menyebabkan rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan penduduk. Kedua hal tersebut terjadi karena rendahnya tingkat pendapatan penduduk yang menyebabkan kualitas penduduknya rendah. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi penduduk miskin di negara berpenghasilan rendah yaitu: 1. Melakukan pemberantasan penyakit. 2. Perbaikan kesehatan dan gizi. 3. Perbaikan mutu pendidikan. 4. Pemberantasan buta huruf. 5. Peningkatan ketrampilan penduduknya.
21 Kelima langkah tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas sumberdaya manusia. Kelima hal tersebut apabila dapat dilakukan dengan segera maka penduduk dapat menggunakan modal dengan lebih efektif dan menyerap teknologi baru. 2.2. Pertumbuhan Ekonomi 2.2.1. Konsep Pertumbuhan Ekonomi Menurut pandangan ekonom klasik mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang dan modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, (4) tingkat tekhnologi yang digunakan. Singkatnya pertumbuhan ekonomi adalah proses peningkatan kapasitas produksi dalam jangka panjang dari suatu negara untuk menyediakan barang ekonomi kepada penduduknya. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dapat digunakan ukuran sebagai berikut : 1. Produk Domestik Bruto (PDB) : Produk Domestik Bruto / Produk Domestik Regional Bruto apabila ditingkat nasional adalah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam satu tahun dan dinyatakan dalam harga pasar. 2. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita: Produk domestik bruto per kapita dapat digunakan sebagai alat ukur pertumbuhan yang lebih baik dalam mencerminkan kesejahteraan penduduk dalam skala daerah.
22 Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan faktor terpenting dalam pembangunan. Keberhasilan pembangunan suatu negara diukur berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung peningkatan persentase dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Produk Domestik Regional Bruto merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara/wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode tertentu. Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah dapat diperoleh melalui tingkat pertumbuhan nilai PDRB atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Indeks pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut :. 2.1 Dimana: LP = laju pertumbuhan ekonomi i = sektor 1,2, 9 t = tahun t Hadi Sasana (2006;29) mengemukakan, PDRB adalah nilai bersih barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode. PDRB dapat menggambarkan
23 kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber saya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh masingmasing daerah sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut. Adanya keterbatasan dalam penyediaan faktor-faktor tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah. Keterkaitan perekonomian suatu negara dimana masing-masing sektor tergantung pada sektor yang lain, saling memerlukan baik dalam tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan oleh sektor pertanian dan jasa-jasa. Menurut Sukirno (2008:36), cara perhitungan Pendapatan Nasional dapat diperoleh melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut : Pendapatan Nasional yang merupakan aktivitas ekonomi dapat dikategorikan dalam tiga aspek yaitu: Pertama, aspek produksi atau menurut lapangan (sektoral) dikategorikan kedalam sembilan sektor yang disebut PDB/PDRB dari sisi penawaran agregat (aggregate supply side). Kedua, dari aspek pengeluaran/penggunaan terdiri dari konsumsi rumah tangga (C), investasi pemerintah dan swasta (I), konsumsi pemerintah (G), eksport (X) dan import (I), aspek inilah yang disebut sebagai GNP dari sisi permintaan agregat (aggregate demand side). Ketiga, adalah aspek distribusi terhadap faktor-faktor produksi yang terdiri dari upah/gaji, bunga, dan keuntungan/laba;
24 termasuk biaya penyusutan, subsidi dan pajak tidak langsung, mekanisme ketiga ini disebut sebagai PDB/PDRB dari sisi pendapatan (income side). Ketiga aspek dari PDB/PDRB tersebut menunjukkan sirkulasi uang yang terjadi akibat aktivitas ekonomi. Jadi, dari ketiga aspek dari PDB/PDRB tersebut terkait secara langsung dengan sistem logistik. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga setiap tahun, sedangkan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar dimana dalam perhitungan ini digunakan tahun 2000. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun, sedangkan menurut BPS Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku digunakan untuk menunjukkan besarnya struktur perekonomian dan peranan sektor ekonomi. Pendekatan pembangunan tradisional lebih dimaknai sebagai pembangunan yang lebih memfokuskan pada peningkatan PDRB suatu provinsi, Kabupaten, atau Kota. Sedangkan pertumbuhan ekonomi dapat
25 dilihat dari pertumbuhan angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Saat ini umumnya PDRB baru dihitung berdasarkan dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral / lapangan usaha dan dari sisi penggunaan. Selanjutnya PDRB juga dihitung berdasarkan harga berlaku dan harga konstan. Total PDRB menunjukkan jumlah seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh penduduk dalam periode tertentu. 2.2.2. Teori Pertumbuhan Neoklasik Teori pertumbuhan neo klasik dikembangkan oleh dua orang ekonom yaitu : Solow dan Swan dalam Sukirno (2010;33). Teori neoklasik berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi bersumber pada penambahan dan perkembangan faktor faktor yang mempengaruhi penawaran agregat. Teori pertumbuhan ini juga menekankan bahwa perkembangan faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi merupakan faktor penentu dalam pertumbuhan ekonomi. Teori neoklasik juga membagi tiga jenis input yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu : 1. Pengaruh modal dalam pertumbuhan ekonomi 2. Pengaruh teknologi dalam pertumbuhan ekonomi 3. Pengaruh angkatan kerja yang bekerja dalam pertumbuhan ekonomi Teori neoklasik memiliki pandangan dari sudut yang berbeda dari teori klasik yaitu dari segi penawaran. Pertumbuhan ekonomi ini bergantung kepada fungsi produksi, persamaannya dinyatakan dengan :
26 Y = TK t α L t 1 α dimana Y adalah output, K adalah modal, L adalah angkatan kerja yang bekerja dan T adalah teknologi. Karena tingkat kemajuan teknologi ditentukan secara eksogen maka model neo klasik Solow juga disebut model pertumbuhan eksogen (Mankiw, 2006;2l6-234). 2.2.3. Teori Pertumbuhan Kuznet Pertumbuhan ekonomi Kuznet dalam Jhingan (2007;57) menunjukan adanya kemampuan jangka panjang dari pertumbuhan ekonomi suatu negara untuk menyediakan barang-barang ekonomi kepada rakyatnya. Hal ini dapat dicapai apabila ada kemajuan dibidang teknologi, kelembagaan dan penyesuaian idiologi. Teori pertumbuhan Kuznet dalam analisinya menambahkan enam karakteristik pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu : 1. Tingginya tingkat pendapatan perkapita 2. Tingginya produktifitas tenaga kerja 3. Tingginya faktor transformasi struktur ekonomi 4. Tingginya faktor transformasi sosial idiologi 5. Kemampuan perekonomian untuk melakukan perluasan pasar 6. Adanya kesadaran, bahwa pertumbuhan ekonomi sifatnya terbatas
27 2.2.4. Teori Perubahan Struktural Teori pembangunan Lewis dalam Todaro (1994:330) pada dasarnya membahas proses pembangunan yang terjadi antara daerah kota dan desa yang mengikutsertakan proses urbanisasi yang terjadi di antara kedua tempat tersebut. Teori ini juga membahas pola investasi yang terjadi di sektor modern dan juga sistem penetapan upah yang berlaku di sektor modern yang pada akhirnya akan berpengaruh besar terhadap arus urbanisasi yang ada. Gambar 2.2. Model Lewis Untuk Perubahan Sektoral Perekonomian Pada Gambar 2.2. di atas menurut Lewis, perekonomian suatu negara terbagi dua yaitu Perekonomian Tradisional (pedesaan) yang menitikberatkan pada sektor pertanian dan Perekonomian Modern
28 (perkotaan) yang menitik beratkan pada sektor industri. Gambar sebelah kanan atas merupakan fungsi produksi sektor pertanian, dimana total output adalah TP A, dan input yang dipakai adalah tenaga kerja (L A ), dimana modal dan teknologi diasumsikan konstan. Bagian kanan bawah menunjukkan kurva produktivitas marginal tenaga kerja (MP L ) dan kurva produktivitas tenaga kerja rata rata (AP L ). Lewis mengasumsikan adanya surplus tenaga kerja atau MP L sama dengan nol, dimana semua tenaga kerja di pedesaan menghasilkan output yang sama sehingga tingkat upah ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja rata-rata (AP L ) bukan oleh produktivitas marginal tenaga kerja (MP L ). Chenery dalam Todaro (1995:68) dalam analisis teori Pattern of Development atau Teori Perubahan Struktural merupakan teori yang menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang, yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern dan didominasi oleh sektor industri dan jasa. Penelitian yang dilakukan Chenery tentang transformasi struktural produksi menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita, perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri.
29 2.2.5. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Syaratnya adalah hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut menyebar disetiap golongan masyarakat, termasuk di golongan penduduk miskin. Penelitian yang dilakukan Wongdesmiwati (2009), menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Dalam hal ini perlu diambil kebijakan guna mengarahkan pertumbuhan ekonomi agar pertumbuhan tersebut dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, atau sering disebut pro poor growth. Bigsten dan Levin (2000) menyebutkan bahwa strategi pro-poor growth tidak hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga harus dikombinasikan dengan kebijakan distribusi pendapatan. Osmani (2004) dalam studinya menekankan peran pengangguran dalam menjelaskan hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, mengingat masyarakat miskin banyak bersandar pada tenaga kerjanya. Di samping itu return to labor juga sangat ditentukan oleh physical assets, human capital, dan social capital, yang jika faktor-faktor tersebut rendah maka seorang pekerja dapat terjebak dalam kemiskinan.
30 Kondisi diatas diperkuat oleh kajian dari Bank dunia (2003), bahwa penyebab dasar kemiskinan secara makro adalah: (1) kegagalan distribusi tingkat pertumbuhan ekonomi; (2) tingginya tingkat inflasi di suatu negara; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat. 2.3. Pertumbuhan Penduduk 2.3.1. Teori Pertumbuhan Penduduk Malthus dalam Sukirno (2010;200) mengungkapkan hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi dimana jika jumlah populasi di suatu tempat akan meningkat sangat cepat dengan mengikuti deret ukur dan persediaan pangan hanya akan meningkat mengikuti deret hitung. Karena itu pertumbuhan persediaan pangan tidak dapat mengimbangi kecepatan pertambahan penduduk, maka pendapatan per kapita akan cenderung menurun. Malthus dalam teorinya mengungkapkan apabila semakin banyak pertumbuhan penduduk maka akan terjadi kelangkaan pada sumber daya alam yang ada, karena sarana untuk menghidupi kehidupan manusia dibatasi oleh kelangkaan tanah, besarnya tanah yang gersang di muka bumi dan oleh menurunnya proporsi
31 produk yang harus selalu dihasilkan dari penambahan capital yang terus menerus terhadap tanah yang sudah ditanam. Dalam teorinya Solow menjelaskan bagaimana tingkat tabungan dan investasi, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi mempengaruhi tingkat output perekonomian dan pertumbuhannya sepanjang waktu, dan dalam teori ini perkembangan teknologi diasumsikan sebagai variabel yang eksogen. Jadi apabila kedua teori itu dihubungkan maka secara garis besar memang berhubungan, karena pertumbuhan ekonomi itu akan meningkat dan juga menurun seiring dengan meningkatnya dan menurunnya pertumbuhan penduduk. 2.3.3. Hubungan Pertumbuhan Penduduk dengan Tingkat Kemiskinan Todaro (2004:28) menyatakan bahwa salah satu konsekuensi negatif dari pertumbuhan penduduk yang tinggi adalah meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kenaikan penduduk yang cepat cenderung menurunkan tingkat pertumbuhan per kapita di sebagian besar negara berkembang. Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga akan menyebabkan akses ke tingkat pendidikan dan kesehatan juga menjadi lebih rendah. Meningkatnya pertumbuhan penduduk juga akan mengakibatkan tingkat pengangguran semakin meningkat yang nantinya akan berdampak pada meningkatnya tingkat kemiskinan.
32 Akses pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri yang terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Dalam bersaing untuk mendapatkan lapangan kerja yang ada, taraf pendidikan menentukan. Akses pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang. Sedangkan akses kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa. Efeknya adalah produktivitas menurun dan pendapatan akan menjadi rendah. Jhingan (2003;378) menyatakan pertumbuhan penduduk yang pesat suatu negara menyebabkan terjadinya kemiskinan, pertumbuhan penduduk benar-benar dianggap sebagai hambatan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang cepat mempersempit lahan dan memperberat tekanan pada lahan serta menyebabkan pertumbuhan ekonomi sehingga memicu kemiskinan. Pertumbuhan penduduk dapat menimbulkan masalah pada penyediaan pangan, perumahan, peralatan rumah tangga, peralatan modal, pendidikan dan kesehatan. Akibat selanjutnya akan menyebabkan pendapatan per kapita yang rendah sehingga standar hidup juga rendah.
33 2.4. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang membahas masalah Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan adalah : Penelitian yang dilakukan oleh Deolalikar (2002) mengenai pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Thailand, menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah daerah di bidang pendidikan dan pembangunan infrastruktur digunakan untuk memperbaiki kualitas tenaga kerja dan perbaikan upah. Peningkatan kualitas tenaga kerja dan perbaikan upah otomatis akan mengurangi kemiskinan dan mengatasi ketimpangan pendapatan yang berkaitan pada terbentuknya kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pengeluaran pemerintah daerah dapat mengurangi kemiskinan serta berkurangnya ketimpangan pendapatan. Siregar dan Wahyuniarti (2006) meneliti Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin, menggunakan variabel PDRB, share sektor pertanian, share sektor industri, populasi dan tingkat pendidikan di Indonesia. Hasil analisisnya, dalam kurun waktu 1995-2005 menunjukan jumlah penduduk miskin masih persisten di atas 20 persen dan belum bisa dikurangi bahkan ada kecenderungan meningkat. Kenaikan PDRB sebesar 1 triliun menurunkan jumlah penduduk miskin sekitar 9000 orang. Peningkatan jumlah penduduk sebanyak 1000 orang meningkatkan jumlah penduduk miskin 249 orang.
34 Peningkatan inflasi sebesar 1 unit (persen per tahun) meningkatkan jumlah penduduk miskin 2375 orang, dampak peningkatan share industri terhadap penurunan kemiskinan lebih besar 2,6 kali dari share sektor pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Suryahadi, dkk (2008), sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Siregar walaupun sama sama berlokasi di Indonesia. Suryahadi, dkk lebih fokus pada efek lokasi, sektoral dan komponen pertumbuhan ekonomi, di Indonesia. Periode penelitian mulai tahun 1984 2002, mereka menemukan bahwa pertumbuhan sektor jasa di pedesaan mengurangi kemiskinan di semua sektor dan lokasi. Namun, pertumbuhan jasa di perkotaan memiliki efek terbesar terhadap penurunan kemiskinan. Mereka menemukan bahwa pertumbuhan pertanian di pedesaan sangat mengurangi kemiskinan di daerah pedesaan, penyumbang terbesar kemiskinan di Indonesia. Ini berarti, pertumbuhan sektor pertanian di daerah pedesaan masih memainkan peran utama dalam mengurangi kemiskinan, kebijakan yang memungkinkan pertumbuhan yang kuat di sektor jasa daerah perkotaan dan sektor pertanian di pedesaan akan mempercepat pengurangan kemiskinan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Loayza dan Raddatz (2009), mengenai komposisi pentingnya pertumbuhan bagi pengentasan kemiskinan (lintas negara di dunia), periode penelitian tahun 1981 2000 memberikan penjelasan mengenai heterogenitas lintas negara dalam merespon kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan kemiskinan. Penelitian ini lebih
35 berfokus pada struktur pertumbuhan output itu sendiri, dimana menjelaskan mekanisme dua sektor yang terkait yaitu, komposisi pertumbuhan sektoral dan intensitas tenaga kerja. Dimana intensitas tenaga kerja dapat mempengaruhi upah pekerja yang pada akhirnya pengentasan kemiskinan bisa dicapai. Ini artinya bahwa tidak hanya ukuran pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan tetapi juga masalah komposisi dan kontribusi dari sektorsektor padat tenaga kerja tidak terampil seperti pertanian, konstruksi, dan manufaktur yang berperan dalam pengentasan kemiskinan. Todo (2013) yang meneliti tentang efek kemiskinan yang disebabkan adanya transformasi struktural dan spatial pedesaan perkotaan (studi negaranegara berkembang di dunia) periode penelitian tahun 1980 2004. Sebagai negara berkembang, pola struktural transformasi dan urbanisasi memiliki perbedaan substansial antar beberapa negara. Dimana ditemukan bahwa tranformasi dari pertanian ke ekonomi non pertanian pedesaan dan ke kotakota sekunder, yang menghasilkan pola pertumbuhan yang lebih inklusif tapi lambat sehingga pengurangan kemiskinan pedesaan lebih lambat dari kota besar. Di pedesaan pertanian menjadi kunci dalam menurunkan angka kemiskinan tetapi sebaliknya, di perkotaan sektor non pertanian mempunyai dampak lebih kuat dalam mereduksi kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Devangi, Perera dan Lee (2013), tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi dan kualitas kelembagaan terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Asia (sembilan negara berkembang di Asia Timur dan Selatan) untuk periode 1985-2009. Penelitian
36 ini menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan, apabila didukung dengan stabilitas pemerintahan dalam bidang penegakan hukum, akuntanbilitas birokrasi dan distribusi pendapatan. Kebijakan institusi juga akan menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi rumah tangga miskin untuk meningkatkan produksi dan pendapatan mereka. Misalnya, keterbukaan perdagangan yang lebih besar dapat meningkatkan pendapatan rata-rata yang diterjemahkan ke dalam pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan produktivitas yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih cepat.