BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. Konstruksi perbuatan melawan hukum pidana kehutanan terhadap. penebangan hutan di luar rencana kerja tahunan pada pemilik izin usaha

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Mengingat :

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 80 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 49 TAHUN 2001

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 53/Menhut-II/2009 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN ALAT UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. ekonomi tinggi, serta hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PENJUALAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 03 TAHUN 2007 TENTANG PENJUALAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

this file is downloaded from

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 397/Kpts-II/2005

PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PERIJINAN PEMANFAATAN KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI

NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.186/MENHUT-II/2006 TENTANG

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur.

2016, No dimaksud dalam huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.192/MENHUT-II/2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja

bebas murni oleh pengadilan. Sementara itu vonis hukuman bagi pelaku IL di Indonesia selama ini bervariasi, yaitu antara 1 bulan sampai dengan 9

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PERIZINAN KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

R E P U B L I K I N D O N E S I A D E P A R T E M E N K E H U T A N A N J A K A R T A. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : SK.246/VI-BPHA/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004

PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

STANDARD DAN PEDOMAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DARI HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKM)

PP 6/1999, PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 13 TAHUN 2004 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.94/MENHUT-II/2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

BUPATI TANAH DATAR PROPINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DI KABUPATEN LAMONGAN

BUPATI MUSI RAWAS, TENTANG

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.398/MENHUT-II/2005 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 5 tahun 2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehut

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.73/Menlhk-Setjen/2015

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan memiliki fungsi sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru dunia. Indonesia dengan kekayaan alam berupa sumber daya hutan cukup besar memberikan kontribusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional, menjadi modal pembangunan dengan berbagai aktivitasnya untuk kesejahteraan masyarakat. Kekayaan sumber daya alam hutan dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak menguasai sumber daya hutan oleh Negara menurut Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, memberikan wewenang kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Dalam usaha pemanfaatan hutan pemerintah memberikan izin usaha yang disebut dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pemberian izin tersebut dapat diberikan kepada pihak BUMS, BUMN, BUMD, dan Koperasi. Setiap pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), mempunyai hak seperti yang tercantum dalam izin yang diberikan yaitu untuk mengambil 1

hasil hutan berupa kayu, dengan syarat-syarat tertentu seperti dengan tidak melakukan penebangan hutan di luar rencana kerja tahunan. Selain hak yang dimilikinya, setiap pemegang izin pemanfaatan hutan juga mempunyai kewajiban misalnya membuat Rencana Kerja Tahunan (RKT), melaksanakan penataan batas areal kerja, membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), membayar Dana Reboisasi (DR), dan sebagainya. Dengan segala hak dan kewajiban yang melekat terhadap izin pemanfaatan hutan yang diberikan oleh pemerintah, diharapkan tetap menjaga fungsi hutan yakni fungsi ekonomi (produksi), fungsi sosial, dan fungsi ekologi (lingkungan). Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada dasarnya menyelenggarakan fungsi produksi dengan melaksanakan pengelolaan hutan di tingkat operasional dalam wilayah izinnya, yaitu: (1) melakukan tata hutan dan menyusun rencana pengelolaan hutan (2) melaksanakan pemungutan hasil hutan (3) melakukan rehabilitasi hutan dan (4) melakukan perlindungan hutan. Dalam pelaksanaan fungsi tersebut, maka tugas dan fungsi pemerintah adalah menyelenggarakan fungsi regulator. Pengelolaan hutan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kemudian dijabarkan lebih lanjut pada PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Hak dan kewajiban pada pemilik IUPHHK diatur dalam Pasal 70 PP No. 6 Tahun 2007 yang salah satu kewajibannya menyusun Rencana Kerja Tahunan Pengelolaah Hasil Hutan Kayu (RKT-PHHK) dan Rencana Kerja Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (RKU-PHHK). Rencana Kerja Tahunan 2

Pengelolaah Hasil Hutan Kayu (RKT-PHHK) memuat rencana kerja menyangkut kewajiban dan hak pemilik IUPHHK dalam menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan selama 1 (satu) tahun kegiatan, dalam RKT ditetapkan jatah volume tebang dan luas areal tebangan yang meliputi blok dan petak tebangan untuk tahun berjalan. Secara teknis RKT ditetapkan berdasarkan daya dukung dan potensi sumber daya hutan dan menjadi pedoman atau acuan kerja setelah mendapat pengesahan dari pejabat berwenang. Pemilik IUPHHK wajib menyampaikan RKT dan tidak diperkenankan melakukan aktivitas kegiatan pengelolaan hutan di luar yang tercantum dalam RKT. Rencana pengelolaan IUPHHK mengacu pada potensi dimiliki menurut izin kawasan kelola hutan yang diberikan, di dalamnya telah dikaji aspek kelestarian hutan berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari. Rencana pengelolaan tersebut dijabarkan kedalam bentuk Rencana Kerja Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (RKU-PHHK) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan Rencana Kerja Tahunan Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (RKT-PHHK) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Dengan demikian asas pengelolaan hutan lestari merupakan substansi teknis kehutanan yang termuat dalam RKU-PHHK dan RKT-PHHK. Penebangan kayu yang tidak sesuai dengan RKT merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas pengelolaan hutan lestari dan perlindungan hutan. 3

Beberapa penelitian mengemukakan bentuk pelanggaran dan dikategorikan sebagai illegal logging yang dilakukan oleh pemilik IUPHHK/HPH dan terjadi di berbagai daerah di Indonesia 1 : 1. Penebangan di luar areal kewenangan pemegang hak pengusahaan hutan, seperti penebangan di luar blok Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2, penebangan di kawasan hutan konservasi dan penebangan di kawasan hutan lindung. 2. Penebangan melebihi toleransi hal ini terjadi pada pemilik IUPHHK/HPH dimana sudah ditetapkan target atau standar jumlah pohon yang bisa ditebang. Penebangan pohon melebihi batas toleransi adalah penebangan pohon yang melebihi target yang sudah ditetapkan. 3. Re logging atau penebangan ulang dalam bahasa setempat dikenal dengan cuci mangkok sebelum siklus tebangan berikutnya (daur) tercapai sudah ditebang lagi sehingga menyebabkan tegakan atau tunas manjadi rusak atau terdegradasi tanpa izin. 4. Memanipulasi isi dokumen Surat Keterangan Hasil Hutan Kayu (SKSHH) ataupun dengan membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek penebangan pohon secara liar atau penebangan pohon di luar RKT dengan praktek korupsi dan kolusi 1 Eddy O.S Hiariej, 2004, Pengaruh Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) Terhadap Penaggulangan Penyeludupan Kayu Illegal ke Malaysia, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2 RKT adalah Rencana Kerja Tahunan sebagai syarat pengusahaan hutan oleh pemegang HPH, aturan penebangan dalam sebuah kawasan HPH adalah suatu kawasan yang dibagi 7 blok RKL (Rencana Keja Lima Tahunan), yang sudah ditentukan urutan penebangannya mulai dari RKT I sampai dengan RKT V. tiap tahun, pemegang HPH menyerahkan RKT-nya. Harapannya, pada saat pindak kelokasi (RKT) yang lain, lokasi yang awal mendapat kesempatan untuk recovered. Namun, yang adalah saat pemegang HPH pindak kelokasi yang lain ada orang lain yang masuk dan menebang di lokasi awal. Sebenarnya tebangan di luar blok RKT yang sudah dientukan adalah merupakan suatu pelanggaran. Namun sanksi yang ada sekarang hanya merupakan sanksi administratif saja. 4

yang melibatkan antara pengusaha hutan dengan oknum pemerintah dan aparat. Terhadap penebangan hutan di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) pada pemilik Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu (IUPHHK) masih terdapat perdebatan apakah merupakan perbuatan melawan hukum pidana kehutanan atau masuk dalam ranah pelanggaran hukum administratif. Penebangan hutan di luar rencana kerja tahunan pada pemilik izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dianggap sebagai pelanggaran administrasi karena berdasar pada asas legal bahwa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) merupakan alas legalitas izin pemanfaatan hutan, adapun Rencana Kerja Tahunan (RKT) merupakan pedoman teknis agar pengaturan tata kelola pemanfaatan hutan dapat mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari dan sarana supervisi dalam menjaga hak-hak negara atas sumber daya hutan baik pajak maupun PNBP. Oleh karena itu penerapan sanksi administrasi menganggap bahwa pemegang izin adalah subjek yang sah melakukan tindakan atas hak pemanfaatan hutan dalam wilayah izin yang diberikan dan RKT bentuk administrasi kehutanan semata dalam rangka tertib pengelolaan hutan guna tercipta pengelolaan hutan lestari. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur penebangan hutan di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) pada pemilik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sebagai perbuatan melawan hukum pidana kehutanan. Namun diatur dalam Pasal 74 PP No. 6 Tahun 2007 5

menetapkan sebagai sanksi administrasi dengan kewajiban membayar denda sebanyak 10 (sepuluh) kali Provisi Sumber Daya hutan (PSDH). Penebangan di luar blok Rencana Kerja Tahunan dalam praktek pengelolaan hutan oleh pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dapat menimbulkan kerusakan hutan apabila penebangan yang dilakukan tidak sesuai dengan potensi dan daya dukung sumberdaya hutan sebagai asas penyusunan dan pengesahan RKT. Kegiatan yang menyebabkan kerusakan hutan merupakan perbuatan melawan hukum pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 Ayat (2) jo Pasal 78 Ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sementara argumen yang mendasarkan penebangan hutan di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT), merupakan perbuatan melawan hukum pidana kehutanan, bahwa sebuah izin pemanfaatan hutan yang diberikan menunjuk terhadap areal hutan tertentu. Maka kalau aktivitas penebangan dilakukan di luar areal yang ditunjuk berdasarkan izin yang diberikan artinya dia tidak memiliki izin untuk melakukan kegiatan penebangan di luar areal yang diizinkan maka kegiatannya adalah kegiatan illegal. Pasal 1 Angka (10) PP No. 6 tahun 2007, dijelaskan bahwa izin pemanfaatan hutan adalah sebagai izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang terdiri dari izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan. Dalam kerangka ini jelas bahwa setiap izin 6

selalu diikuti oleh penunjukan terhadap areal hutan tertentu yang diizinkan untuk dimanfaatkan. Hukum pidana kehutanan mengatur tentang kejahatan di bidang kehutanan selain mengatur tentang kejahatan individu (individual crime) juga mengatur kejahatan yang dilakukan badan usaha atau badan hukum (corporate crime). Bekerjanya hukum pidana yang tidak efektif di bidang kehutanan salah satunya disebabkan oleh pemahaman sempit terhadap hukum pidana sebagai ultimum remidium sehingga hukum pidana bersifat administrative penal law, yang merupakan penunjang/pendukung sanksi administratif. Padahal jika tuntutan pidana dilakukan mempunyai kelebihan bahwa pidana memberikan stigma dan pencelaan terhadap pelaku, serta pertanggungjawaban pidana mempunyai prosedur perlindungan yang lebih kuat. Pasal 50 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dicantumkan berbagai perbuatan yang dilarang dilakukan oleh setiap orang atau orang-orang tertentu yang berkaitan dengan kehutanan, sanksi pidananya diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sedangkan pada Pasal 78 Ayat (14) yang mengatur sanksi pidana yang dilakukan oleh badan usaha atau badan hukum yang tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang seluruh perbuatan pidananya mengacu pada ketentuan Pasal 50 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3). Artinya bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur perbuatan pidana yang dilakukan oleh individu juga perbuatan pidana yang dilakukan badan usaha, pemilik izin usaha pemanfaatan 7

hutan dilarang melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan, kalau perbuatan tersebut tetap dilakukan dapat diartikan orang atau badan usaha tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum pidana kehutanan. Perdebatan tentang penebangan hutan di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) pada pemilik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dengan melihat akibatnya pada kerusakan hutan adalah merupakan perbuatan melawan hukum pidana kehutanan, tetapi pada peraturan lain Pasal 74 PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan adalah pelanggaran administrasi sehingga melahirkan ketidakpastian hukum Ketidakpastian tersebut berujung pada pemahaman antara Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim belum berada pada satu persepsi yang kompak sehingga menjadikan bebasnya terdakwa di tingkat Pengadilan pertama dan kemudian kembali divonis bersalah di tingkat kasasi. Berdasarkan hal tersebutlah penulis berkeinginan menulis tesis mengenai Konstruksi Perbuatan Melawan Hukum Pidana Kehutanan Terhadap Penebangan Hutan Di Luar Rencana Kerja Tahunan Pada Pemilik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah konstruksi perbuatan melawan hukum pidana kehutanan terhadap penebangan hutan di luar rencana kerja tahunan pada pemilik izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu? 8

C. Keaslian Penelitian Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah yang telah dilakukan, belum ditemukan topik dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Beberapa karya ilmiah tersebut hanya memuat sebagian-sebagian dari unsurunsur penelitian ini, namun berbeda dalam hal pengkajian masalah. Adapun beberapa karya ilmiah tersebut adalah: 1. Suharyono, 2009, Perbuatan Melawan Hukum Korporasi Pemegang Ijin Penguasaan Hutan dan Pertanggungjawabannya Berdasarkan Hukum Kehutanan (Studi Kasus Adelin Lis Direktur Keuangan Umum PT. Keang Nain Development Indonesia), Tesis, Magister Hukum Program Pascasarjan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan Suharyono menyimpulkan bahwa penebangan hutan di luar rencana kerja tahunan yang dilakukan oleh PT. Keang Nam Development Indonesia (KNDI) dengan Direktur Umum/Keuangan Adelin Lis tidak termasuk sebagai perbuatan melawan hukum pidana kehutanan tetapi merupakan pelanggaran administratif. Kesimpulan tersebut didasarkan pada hubungan hukum antara Adelin Lis Direktur PT. KNDI (pemegang hak) dengan Departemen Kehutanan tunduk pada hukum administrasi negara berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 805/KPTS/-II/1999 tentang perpanjangan hak pengusahaan hutan PT KNDI. Sedangkan penelitian penulis adalah membangun konstruksi hukum terhadap penebangan hutan di luar rencana kerja tahunan pada pemilik izin 9

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan demikian penelitian yang dilakukan oleh penulis jelas berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. 2. Eddy O.S. Hiariej, 2004, Pengaruh Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) Terhadap Penanggulangan Penyelundupan Kayu Illegal ke Malaysia, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan Eddy O.S Hiariej adalah penelitian normatif empiris dengan lokasi di Kalimantan Barat menyimpulkan Illegal logging dan illegal trade yang terjadi di Kalimantan Barat melibatkan banyak pihak termasuk Bupati, DPRD, aparat penegak hukum dan petugas bea cukai diperbatasan. Jadi pada penelitian Eddy O.S. Hiariej pada aspek hukum pidana, hukum lingkungan, dan hukum tata negara serta hukum internasional. Sedangkan penelitian penulis adalah menemukan konstruksi hukum terhadap penebangan hutan di luar rencana kerja tahunan pada pemilik izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan demikian penelitian yang dilakukan oleh penulis jelas berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dari penelitian tersebut di atas dapat dilihat meneliti tentang perbuatan melawan hukum di bidang kehutanan. Namun penelitian tersebut memiliki pendekatan yang berbeda dengan penulisan dan penelitian hukum yang penulis lakukan. Oleh karena itu maka dapat penulis sampaikan bahwa penelitian ini belum pernah diteliti oleh peneliti terdahulu. 10

D. Manfaat Penelitian Terkait dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Untuk memberikan informasi kepada penulis dan masyarakat dalam hal memperluas wawasan ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang kehutanan. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait khususnya aparat penegak hukum. 11