BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa

BAB I PENDAHULUAN. hal yang tidak dipahami kemudian dilihat, diamati hingga membuat seseorang

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas Sumber Daya Manusia. Dewasa ini semua orang membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. global. Hal tersebut lebih penting dibandingkan dengan sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan berbagai pihak yang terkait secara bersama-sama dan bersinergi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan positif di berbagai bidang kehidupan baik dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi sangat penting pada saat ini, terutama untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi dalam dunia pendidikan, khususnya di negara kita agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pendidikan individu diharapkan mampu untuk

2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI TULISAN DAN PENGUASAAN KONSEP SISTEM EKSKRESI SISWA KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail

BAB 1 PENDAHULUAN. perlu untuk ditingkatkan dan digali sebesar-besarnya karena hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. orang orang yang terlibat di dalamnya. Untuk itu, selain sebagai pengembang

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN SEJARAH DI SMAN 1 MEDAN DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bidang kehidupan yang dirasakan penting

BAB I PENDAHULUAN. rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan belajar yang menjadi acuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan satu sektor yang paling penting dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. berarti mempunyai efek, pengaruh atau akibat, selain itu kata efektif juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. kritis, kreatif dan mampu bersaing menghadapi tantangan di era globalisasi nantinya.

ABSTRAK. iii Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Salah satu cara yang digunakan meningkatkan kualitas pendidikan. adalah dengan pembaharuan sistem pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. belajar diantaranya motivasi belajar dan tingkat kemampuan awal siswa.

I. PENDAHULUAN. kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan yang cukup

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pembelajaran sastra saat ini. Kondisi itu menyebabkan hasil belajar

BAB I PENDAHULUAN. pendidikannya, karena kualitas pendidikan merupakan. tingkat kesejahteraan masyarakat pada suatu negara. Melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Spesialis. Berdasarkan website resmi Universitas X

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga serta lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan kurikulum KTSP (2006) saat ini siswa dituntut untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan usaha sadar dan disengaja oleh guru untuk

BAB I PENDAHULUAN. universal yang dilakukan oleh manusia. Dengan pendidikan diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

Bab I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan pembelajaran memungkinkan siswa bersosialisasi dengan. menghargai perbedaan (pendapat, sikap, dan kemampuan prestasi) dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Berbicara tentang pendidikan, berarti membicarakan tentang hidup dan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kualitas pendidikan di Indonesia selalu berusaha untuk ditingkatkan agar mencapai hasil yang semakin baik kedepannya. Pendidikan merupakan aspek terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan pendidikan mencakup aspek yang luas, baik dari segi pendidik, siswa juga sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia itu sendiri. Dari segi sistem pendidikan, dapat kita lihat secara jelas pada kurikulum yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan tuntutan jaman dan perkembangan sistem pendidikan agar menjadi lebih baik. Tuntutan kurikulum di Indonesia terhadap siswa mencakup aspek yang luas. Siswa dituntut untuk meningkatkan cara bersikap yang semakin baik, memiliki sifat yang bermoral, berakhlak juga prestasi dan pengetahuan siswa semakin dituntut lebih. Tuntutan dari kurikulum jika digolongkan secara umum, dapat terbagi menjadi 3 kategori besar, yaitu sikap, afektif dan kognitif. Ketiga komponen ini merupakan komponen-komponen yang membentuk teori school engagement. School engagement adalah seberapa besar usaha siswa seberapa besar usaha siswa melibatkan dirinya di dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen dari segi behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks, 2004). 1

2 Ketika siswa terlibat dalam sikap, afektif dan kognitif di sekolah akan membuat siswa bukan hanya sekedar datang ke sekolah karena sekedar kewajiban sehingga mendapat nilai yang baik atau mencapai standar minimum agar naik kelas atau lulus dari sekolah nantinya. Siswa yang terlibat akan berusaha untuk mengerahkan usaha yang melebihi tuntutan/standar nilai minimum yang ditetapkan oleh sekolah, menantang diri dan membuat goal yang lebih tinggi/baik, bertahan dalam pelajaran-pelajaran yang sulit dan berusaha untuk mencari penyelesaiannya, menikmati proses pembelajaran yang dilakukan, hubungan yang lebih baik antara guru dan siswa juga siswa akan bersikap lebih positif selama bersekolah. Tuntutan dari kurikulum juga keinginan agar siswa mencapai hasil didik yang terlibat dalam sekolah, tentu akan berefek kepada sekolah sebagai pelaksana dari pendidikan. Sekolah akan berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tuntutan dari kurikulum. Selain itu sekolah juga tentu akan bersaing dengan sekolah lainnya untuk mendapatkan peserta didik yang banyak. Sekolah berusaha memerbaiki dan meningkatkan kualitas sekolahnya. Salah satunya dengan cara meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengajaran yang tujuannya untuk peningkatan tingkat prestasi sekolah. Salah satu sekolah di Indonesia yang berada di kota Bandung, SMA X merupakan salah satu sekolah yang berusaha untuk memenuhi tuntutan kurikulum, baik dari segi sikap, afektif dan kognitif. Sekolah ini memiliki kekhasan dibandingkan dengan sekolah lain, yaitu menjalankan sistem asrama penuh. Selain siswa, para pendidik serta staf sekolah juga tinggal bersama dalam

3 satu area sekolah. Semua siswa dilarang untuk keluar dari area sekolah pada hari senin-sabtu, dan hanya diperbolehkan keluar dari area sekolah hanya pada waktu pesiar (hari minggu) atau pada waktu yang telah ditentukan oleh sekolah. SMA X juga memiliki kedisiplinan yang sangat ketat, berbeda dari sekolah-sekolah lainnya yang berada di Kota Bandung. Setiap siswa diwajibkan untuk memberikan hormat kepada orang lain yang ditemuinya, termasuk para guru dan siswa yang lebih senior. Setiap siswa dilarang untuk menggunakan handphone di dalam area sekolah. Setiap siswa juga wajib mengikuti semua kegiatan yang telah dijadwalkan. Siswa tidak akan dapat mengelak dari kegiatankegiatan yang harus diikutinya, karena para guru akan dapat dengan mudah mencari siswa yang bersangkutan tersebut di dalam lingkungan sekolah. Berdasarkan hasil wawancara kepada wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, pendekatan pembelajaran yang diterapkan di sekolah mengarah kepada student centered learning. Student centered learning adalah sebuah pandangan yang menghubungkan antara perhatian yang terpusat pada siswa secara individu (genetik, pengalaman, pandangan, latar belakang, bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan-kebutuhan mereka) dengan perhatian yang terpusat pada proses pembelajaran (penyelenggaran pembelajaran dan pengajaran yang terbaik yang paling efektif di dalam menghasilkan tingkatan tertinggi terhadap motivasi, pembelajaran dan prestasi bagi seluru siswa. (McCombs & Whisler 1997, 9). Terdapat 12 prinsip yang melandasi student centered learning.

4 Didapatkan gambaran umum bahwa para guru berusaha untuk membuat setiap siswa tertarik dalam belajar di kelas (menggambarkan prinsip 1), siswa diberikan waktu untuk memahami materi pelajaran juga diberikan tugas makalah yang setiap minggunya dikumpulkan (menggambarkan prinsip 2 dan 4), Para guru juga mengajar dengan berbagai cara dan menggunakan teknologi (laptop) sebagai basis dari pembelajaran sehingga membebaskan siswa dalam cara belajar juga menekankan pada kemandirian siswa selama belajar (menggambarkan dengan prinsip 3), memerhatikan rasa keingintahuan, kelebihan, kelemahan, kondisi fisik dan perasaan siswa selama pembelajaran berlangsung (menggambarkan dengan prinsip 5). Memberikan tugas yang menarik minat dan motivasi siswa dalam belajar (menggambarkan prinsip 7), memerhatikan kesesuaian antara pembelajaran yang diberikan dengan kemampuan siswa dalam pembelajaran (sesuai prinsip 8), tidak membeda-bedakan siswa yang berbeda suku, agama tetapi juga menerima setiap siswa dengan respek dan menghormati siswa (menggambarkan prinsip 9 dan 10), memerhatikan latar belakang siswa juga berusaha untuk memahami dan mengerti pemikiran setiap siswa dalam memberikan pembelajaran (menggambarkan prinsip 11 dan 12). Keuntungan dari persepsi siswa terhadap guru yang menerapkan student centered learning secara teoritis sangat banyak. Keuntungan yang dirasakan bukan hanya kepada siswa, tetapi juga kepada pendidik. Pendidik dapat menjadi semakin bersemangat dalam mengajar, berperilaku lebih positif kepada siswa, lebih antusias dan lebih berpikiran positif dalam menghadapi berbagai masalahmasalah kaitannya dengan siswa.

5 Keuntungan pendekatan pembelajaran student centered learning juga banyak, seperti ketika siswa percaya bahwa guru berusaha untuk mendengarkan dan mengenal siswa, siswa akan menjadi lebih efektif dalam belajar, lebih mandiri, lebih bersemangat dan antusias dalam pembelajaran yang dilakukan (komponen behavioral). Siswa akan lebih kritis dalam belajar, seperti memertanyakan lebih banyak mengenai pelajaran yang mereka dapatkan dari guru, menganalisa pengetahuan yang mereka dapatkan, menginginkan hasil yang lebih tinggi dan baik, juga kemampuan membuat keputusan (komponen cognitive). Selain itu, hubungan antar siswa juga hubungan siswa dan guru akan lebih positif. Siswa akan lebih menghormati guru dan menyadari bahwa mereka dapat banyak belajar dari sesamanya (komponen emotional) (McCombs & Whisler 1997, 56-61). Berbagai pendekatan pembelajaran dapat diterapkan dalam suatu pembelajaran, tetapi dengan pendekatan pembelajaran student centered learning dapat memberikan lebih banyak kelebihan dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran lainnya. Pendekatan pembelajaran ini juga merupakan pendekatan pembelajaran yang sedang diusahakan oleh pemerintah untuk diterapkan dalam setiap sekolah yang ada di Indonesia. Pendekatan pembelajaran yang diterima akan dipersepsi oleh siswa. Setiap persepsi siswa akan memengaruhi bagaimana pemahaman siswa terhadap hal-hal yang dilakukan oleh guru. Hasil dari pemahaman itu akan membuat siswa mengubah kesan terhadap apa yang dilakukan guru ketika mengajar dan kesan tersebut akan memengaruhi bagaimana proses kognitif siswa terhadap pendekatan

6 pembelajaran. Dari proses kognitif akan memengaruhi emosi/perasaan siswa terhadap guru dan pelajaran. Dengan kondisi kognitif dan emosi pada akhirnya memicu kecenderungan sikap apa yang akan dimunculkan siswa, dan hal ini pada akhirnya akan memengaruhi bagaimana siswa bersikap di dalam kelas. Ketika siswa telah memersepsikan bahwa guru telah menerapkan student centered learning, seperti siswa memersepsikan guru telah memerhatikan kesesuaian pembelajaran dengan kemampuan siswa dalam belajar, siswa memersepsikan guru telah memberikan tugas yang menarik minat, juga siswa memersepsikan bahwa guru memerhatikan kelemahan, kelebihan, kondisi fisik dan psikis siswa akan membuat siswa berpikir bahwa cara mengajar guru mendukung kondisi, minat dan sesuai dengan kebutuhan siswa, siswa juga menjadi lebih ingin memelajari materi lebih mendalam dan mencapai suatu prestasi,. Siswa akan semakin tahan dalam menghadapi permasalahan yang ditemui, coping positif terhadap masalah, lebih fokus pada materi yang dipelajari juga (komponen cognitive). Dengan cognitive yang demikian, berpengaruh terhadap emotional siswa. Siswa dapat menjadi lebih senang terhadap guru yang mengajar, pelajaran yang diajarkan juga teman-teman sekelas yang saling memotivasi. Motivasi siswa meningkat juga senang dalam belajar, sehingga siswa dalam proses pembelajaran menghadapi persoalan yang dirasakan sulit, siswa tidak akan mudah menyerah dikarenakan adanya antusiasme dan motivasi intrinsik terhadap pelajaran tersebut (komponen emotional).

7 Dengan kondisi cognitive dan emotional siswa demikian, maka akan turut memengaruhi bagaimana behavior siswa baik di dalam sekolah, kelas dan juga terhadap guru dan teman sebayanya. Hal ini akan membuat siswa berperilaku menjadi lebih positif. Siswa akan lebih aktif bertanya kepada guru mengenai hal yang tidak dimengerti, memerhatikan penjelasan guru, lebih aktif dalam proses pembelajaran dan juga menaati peraturan seperti tepat waktu dalam mengumpulkan tugas (komponen behavioral). Dengan kedisiplinan yang ketat, sistem asrama juga pendekatan pembelajaran berbasis student centered learning, SMA X tidak terlepas dari berbagai masalah yang mencakup sikap behavioral, emotional dan cognitive siswa. Beberapa siswa di SMA X masih dengan sengaja melanggar peraturan yang ada dan merasa bahwa peraturan terlalu ketat, juga memiliki hubungan yang kurang baik dengan teman sebaya maupun senior sehingga memunculkan permasalahan sosial antar siswa. Siswa ketika pembelajaran berlangsung masih melakukan pelanggaran seperti membuka hal-hal yang tidak berhubungan dengan materi yang sedang diajarkan. Siswa juga merasa bosan dan jenuh terhadap pembelajaran, merasa berat dengan tugas yang diberikan, waktu yang sangat padat di sekolah sehingga waktu untuk belajar menjadi kurang efektif. Waktu yang kurang menjadikan siswa hanya belajar dengan waktu yang tersisa, atau seadanya saja. Terdapat juga beberapa siswa belajar semalam sebelum ujian atau membaca sekilas materi yang diujikan. Dari survei awal, didapatkan gambaran dari 30 siswa bahwa sebanyak 6 siswa (20%) memersepsikan bahwa belum diterapkan prinsip-prinsip student

8 centered learning dalam mengajar dan sebagian besar siswa (80%) sudah memersepsikan bahwa sudah diterapkan student centered learning. Walau sebagian besar (80% siswa) telah memersepsikan bahwa SMA X telah menerapkan student centered learning, tetapi sebanyak 19 dari 30 siswa (63,3%) masih menunjukkan indikator perilaku yang mengarah kepada komponen school engagement yang rendah. Dari hasil ini didapatkan kesenjangan antara teori yang telah dijelaskan diatas dengan permasalahan pada sekolah. Dari kesenjangan ini, maka peneliti ingin meneliti apakah ada hubungan antara persepsi terhadap penerapan student centered learning dan komponen school engagement. 1.2 Identifikasi Masalah Ingin mengetahui hubungan persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan komponen school engagement di SMA X kota Bandung. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan komponen school engagement di SMA X kota Bandung.

9 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan komponen school engagement di SMA X kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk: a. Memberi sumber referensi bagi peneliti selanjutnya mengenai hubungan persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan komponen school engagement. b. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambahkan perkembangan teori dan alat ukur student centered learning dan komponen school engagement. 1.4.2 Kegunaan Praktis a. Penelitian ini dapat menjadi informasi bagi siswa SMA X mengenai hubungan persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning terhadap school engagement sehingga dapat lebih memahami tujuan dari pendekatan pembelajaran yang diterapkan dan hasil yang diharapkan dengan penerapan pendekatan pembelajaran tersebut. b. Penelitian ini juga dapat menjadi sebuah gambaran bagi para pendidik SMA X mengenai hubungan persepsi siswa terhadap penerapan

10 student centered learning dan school engagement. Hal ini dapat menjadi bahan evaluasi program pembelajaran di SMA X kota Bandung. 1.5 Kerangka Pikir SMA X adalah salah satu sekolah dengan sistem asrama. Setiap siswanya tidak diperbolehkan untuk keluar dari lingkungan sekolah tanpa ijin. Setiap siswa disediakan asrama sebagai tempat tinggal, para pengajar beserta keluarga juga disediakan rumah, juga tempat tinggal bagi staf sekolah yang berada dalam satu lingkungan sekolah, sehingga berdekatan. Hal ini memudahkan interaksi antara siswa dan guru. Selain sistem asrama, kedisplinan sekolah ini merupakan hal yang diutamakan. Setiap siswa wajib menaati peraturan yang ada, seperti dilarang membawa handphone ke dalam lingkungan sekolah sehingga setiap siswa tidak memiliki alat komunikasi ke luar terkecuali laptop yang digunakan untuk keperluan pembelajaran. Siswa juga wajib mengikuti semua kegiatan termasuk akademik dan non-akademik, tidak ada siswa yang dapat bolos dari setiap kegiatan yang telah ditetapkan karena guru dapat dengan mudah mengunjungi asrama siswa atau mencari siswa di lingkungan sekolah. Siswa tidak diperkenankan keluar dari area sekolah selama 3 bulan pertama bersekolah. Dengan sistem asrama, sistem pembelajaran, tujuan visi misi sekolah dan juga ketatnya kedisiplinan yang diterapkan, tentu mengharapkan agar menghasilkan hasil yang positif bagi siswa didiknya, untuk pengembangan siswa

11 dalam berbagai aspek yaitu behavioral, emotional dan cognitive. Setiap komponen ini merupakan hal penting yang ingin dicapai oleh sekolah, menghasilkan anak didik yang berakhlak, cerdas juga memiliki sikap yang baik. Komponen behavioral, emotional dan cognitive merupakan komponen dalam school engagement. School engagement adalah seberapa besar usaha siswa SMA X melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen dari segi behavioral, emotional serta cognitive engagement. Komponen pertama yaitu beh avioral engagement, merupakan usaha siswa SMA X untuk berperilaku positif, terlibat dalam kegiatan akademik maupun ekstrakurikuler, kontribusi aktif dalam kelas. Siswa yang terlibat secara behavioral akan menunjukkan perilaku seperti berkontribusi terhadap seperti tidak bolos, tidak membawa barang yang dilarang ke dalam sekolah, mengikuti setiap pelajaran yang diwajibkan, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah, mengikuti kegiatan belajar dengan baik, seperti fokus pada apa yang diajarkan guru, berkontribusi dalam kelas, aktif bertanya kepada guru dan terlibat dalam aktivitas kelas seperti diskusi. Sedangkan siswa yang kurang engaged secara behavioral, maka akan sering bolos dari sekolah, melakukan pekerjaan dari tugas akademik atau kegiatan non-akademik dengan setengah hati, pasif dan hanya diam saja di dalam kelas tanpa memerhatikan pelajaran. Komponen kedua yaitu emotional engagement, mencakup reaksi siswa terhadap sekolah, guru juga teman-teman. Siswa yang terlibat secara emotional,

12 maka akan menunjukkan sikap tertarik terhadap pelajaran yang diajarkan, senang dan suka terhadap sekolah, guru juga teman, antusias dalam apa yang dikerjakan dan merasa bagian dari sekolah, memiliki hubungan sosial yang baik. Sedangkan siswa yang kurang terlibat secara emosi, akan menunjukkan perilaku mudah bosan dalam belajar, kurang bersemangat, tidak antusias dalam belajar, memiliki relasi yang kurang baik dengan orang lain, cemas, takut, sedih terhadap sekolah dan merasa sekolah adalah sebagai beban. Komponen ketiga yaitu cognitive engagement, menekankan pada pembelajaran juga literatur dan instruksi pembelajaran, tujuan pencapaian dan regulasi diri. Siswa yang terlibat secara kognisi, akan cenderung menghadapi masalah atau kegagalan dengan pikiran yang lebih positif, lebih fleksibel dalam mencari pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, menyukai tantangan yang melebihi standar yang telah ditetapkan, berusaha menguasai lebih banyak pelajaran, mencari strategi belajar yang sesuai. apabila siswa yang kurang engaged secara cognitive, maka akan menghindari tugas yang diberikan, lebih mudah menyerah dalam menghadapi masalah, mudah terdistraksi dalam belajar, hanya memelajari apa yang diajarkan di kelas tanpa mengusahakan pengetahuan yang lebih, cenderung apatis dan menetapkan target yang rendah atau tidak membuat tujuan sama sekali. Dalam pendidikan, upaya peningkatan ketiga komponen ini tidak akan terlepas dari bagaimana pendekatan pembelajaran yang diberikan oleh pendidik. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan yaitu student centered learning. Metode ini merupakan metode yang sedang digalakkan untuk diterapkan

13 oleh pemerintah, dan SMA X telah berbasis pada pendekatan pengajaran student centered learning (berdasarkan hasil wawancara terhadap wakil kepala sekolah). Student centered learning adalah metode pendekatan pembelajaran menerapkan perpaduan antara menggabungkan fokus pada setiap keunikan dan kemampuan setiap siswa SMA X dan juga pada materi pembelajaran di dalam kelas, pengajar memfasilitasi agar siswa lebih termotivasi secara intrinsik dan aktif dalam belajar. Student centered learning terdiri dari 12 prinsip yang melandasi yaitu dasar dari proses pembelajaran (prinsip 1), tujuan proses pembelajaran (prinsip 2), pembentukan pengetahuan (prinsip 3), pemikiran kritis (prinsip 4), pengaruh motivasi pada pembelajaran (prinsip 5), motivasi intrinsik dalam belajar (prinsip 6), karakteristik tugas yang dapat meningkatkan motivasi (prinsip 7), hambatan dan peluang dalam perkembangan (prinsip 8), keragaman sosial dan budaya (prinsip 9), penerimaan sosial, harga diri dan pembelajaran (Prinsip 10), perbedaan individual dalam pembelajaran (prinsip 11) dan filter kognitif (prinsip 12). Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip dasar dari proses pembelajaran (prinsip 1) maka akan melihat bahwa guru membantu siswa menghubungan apa yang harus siswa pelajari dengan tujuan pribadi dan membantu siswa melihat bahwa apa yang mereka pelajari akan berguna bagi mereka. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip tujuan proses pembelajaran (prinsip 2), maka akan melihat guru membantu siswa untuk menyaring dan memerbaiki konsep dan membentuk makna dan perlahan

14 memvalidasi proses revisi dan perbaikan siswa. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip pembentukan pengetahuan (prinsip 3), akan melihat bahwa guru membantu siswa mengorganisasi informasi-informasi yang siswa pelajari dengan berbagai alternatif metode belajar. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip pemikiran kritis (prinsip 4), akan melihat guru membantu siswa untuk membandingkan dan mengklasifikasikan informasi yang didapatkan, kemudian membuat keputusan, menemukan, membedakan pemikiran yang masih baru secara kritis. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip pengaruh motivasi pada pembelajaran (prinsip 5), maka akan melihat bahwa guru memerhatikan motivasi sebagai fondasi dalam aspek pembelajaran siswa, seperti seberapa banyak dan dalam informasi yang diproses, dipelajari dan diingat oleh siswa. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip motivasi intrinsik dalam belajar (prinsip 6), maka akan melihat guru berusaha memberikan dukungan, saran dan membantu mengarahkan siswa untuk memelajari seusai hasrat dan cinta siswa untuk belajar. Siswa yang memersepsi bahwa telah diterapkannya prinsip karakteristik tugas yang dapat meningkatkan motivasi (prinsip 7), maka akan melihat guru berusaha memberikan tugas dengan kesulitan optimal dan relevan sehingga siswa termotivasi dan pembelajaran meningkat. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip hambatan dan peluang dalam perkembangan (prinsip 8), maka akan melihat guru berusaha memahami perkembangan setiap siswa dan memberikan tantangan yang sesuai dengan kemampuan siswa dalam belajar, sesuai kemampuan fisik siswa. Tidak merasakan guru memaksa siswa yang masih

15 belum mampu secara tahapan perkembangan agar sama dengan siswa lainnya yang lebih cepat tahapan perkembangannya. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip keragaman sosial dan budaya (prinsip 9), maka akan melihat guru bertindak tidak membeda-bedakan siswa berdasarkan suku, rasa, agama, hasilnya dapat memiliki insight dan pemecahan permasalahan baru. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip penerimaan sosial, harga diri dan pembelajaran (prinsip 10), maka akan melihat guru memelihara relasi dengan siswanya sehingga merasa diperhatikan, diterima dan dihargai. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip perbedaan individual dalam pembelajaran (prinsip 11), maka akan melihat guru berusaha melihat setiap kemampuan dan pilihan untuk cara dan strategi belajar juga mengakomodasi keunikan dan perbedaan setiap siswa. Siswa yang memersepsi telah diterapkannya prinsip filter kognitif (prinsip 12), maka akan melihat guru berusaha untuk mengetahui setiap siswa dengan kacamatanya siswa sebagaimana memandang dunia, mengapa suatu perilaku muncul dari siswa, sehingga memberikan siswa perasaan dimengerti dan dipahami. Dengan siswa memersepsi diterapkannya prinsip student centered learning oleh guru, dapat memengaruhi proses kognitif dan individu siswa terhadap guru juga pelajaran, dimana pendekatan pembelajaran yang berbeda memengaruhi kebutuhan, dorongan, motif, pertimbangan dan juga keputusan siswa sehingga pada akhirnya memengaruhi tingkah laku siswa dalam sekolah. Dari segi cognitive, siswa menjadi tidak cepat menyerah dalam menghadapi pelajaran yang dianggap sulit, mencari informasi tambahan dan mendalami materi juga berusaha

16 mencapai suatu prestasi dengan melakukan perencanaan dan strategi pembelajaran yang lebih efektif. Cara berpikir siswa yang demikian dapat meningkatkan proses berpikir menjadi lebih kritis, efektif dalam mendalami materi (cognitive engagement). Dengan kondisi cognitive siswa SMA X demikian, akan turut memengaruhi bagaimana motif sehingga perasaan siswa terhadap pelajaran yang sedang dipelajari, terhadap guru yang sedang mengajar dan juga sesama siswa. Siswa akan merasa lebih antusias dan senang berada di dalam sekolah, lebih bersemangat dan tidak merasa bosan ketika proses belajar-mengajar berlangsung, juga sesama siswa akan memiliki perasaan yang lebih positif, saling mendukung dan memotivasi dalam belajar. Perasaan-perasaan siswa berkembang menjadi lebih positif terhadap sekolah secara keseluruhan (emotional engagement). Ketika persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning berhubungan dengan komponen cognitive dan emotional engagement siswa, pada akhirnya akan memengaruhi keputusan siswa dalam berperilaku/bersikap selama dalam sekolah/kelas/sesama temannya. Siswa akan menjadi lebih positif dalam berperilaku. Siswa akan lebih mudah untuk bertanya kepada guru mengenai hal yang tidak dimengerti, memerhatikan penjelasan guru, lebih aktif dalam proses pembelajaran dan juga menaati aturan seperti tepat waktu dalam mengumpulkan tugas. Siswa menjadi lebih berperilaku positif, berpartisipasi aktif dalam akademik dan non-akademik juga (behavioral engagement). Ada beberapa faktor yang turut memengaruhi school engagement, yaitu student level factor, classroom context dan individual need. Student level factor

17 terdiri dari kebebasan dalam memilih, partisipasi siswa dalam kebijakan sekolah, pengembangan akademis, ukuran kelas, kesempatan siswa SMA X untuk memilih dan tujuan pembelajaran yang jelas dan konsisten, usaha kooperatif terhadap sekolah. Ukuran kelas dan kesempatan siswa SMA X untuk memilih memengaruhi school engagement, dimana murid memiliki kesempatan lebih untuk berpartisipasi dan mengembangkan relasi sosial dan seperti tujuan pembelajaran yang jelas dan konsisten memengaruhi school engagement, dimana murid memiliki tujuan yang jelas untuk dicapai dan dimanifestasikan dalam perilaku belajar. Classroom context terdiri dari dukungan guru, teman sebaya, struktur kelas, dukungan kemandirian dan karakteristik tugas. Dalam dukungan guru, ketika guru memerlakukan siswa secara sama/adil, maka dapat berpengaruh pada hubungan yang positif dengan guru. Guru tidak hanya memerhatikan siswa yang kompeten tanpa mengabaikan siswa yang mengganggu/agresif sehingga membantu siswa dalam bersikap. Kondisi demikian salah satunya dapat berpengaruh pada tingginya partisipasi siswa dalam pembelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut dan dapat berpengaruh pada tingkat prestasi siswa. Dalam faktor teman sebaya, ketika siswa merasa diterima oleh temantemannya maka salah satu pengaruhnya yaitu dalam bidang relasi sosial dan rasa diterima oleh sesama siswa semakin menjadi positif, siswa akan berperilaku sesuai dengan lingkungan/aturan yang berlaku, juga sesama siswa akan berdiskusi dengan teman sekelas secara aktif mengenai akademik/permasalahan akademik.

18 Dalam faktor struktur kelas, ketika norma dan aturan dalam kelas jelas dan efisien bagi siswa, pengaturan kelas baik dan harapan terhadap siswa jelas, dapat mengurangi masalah kedisiplinan yang muncul, lebih senang di kelas, juga harapan yang jelas akan memengaruhi performa dan tujuan belajar siswa. Dalam faktor dukungan kemandirian, ketika siswa memiliki lebih banyak pilihan yang diberikan mengenai tugas yang dikerjakan, dapat memengaruhi siswa, salah satunya menjadi lebih lama bertahan dalam suatu masalah, dan akan meningkatkan minat siswa dalam memelajari materi. Terakhir, faktor karakteristik tugas, ketika tipe tugas yang diberikan menuntut siswa mengerti dan memahami lebih mendalam, dapat membuat siswa mengasumsikan konsep, mengeksekusi dan mengevaluasi tugas juga meningkatkan perilaku belajar yang lebih positif, daripada tugas yang hanya memerlukan menghafal dan mengingat kembali. Faktor individual need terdiri dari kebutuhan relasi, kebutuhan otonomi dan kebutuhan kompetensi. Dalam faktor kebutuhan relasi, ketika siswa terpenuhi kebutuhan relasinya, baik terhadap sekolah, guru dan teman sekolah, dapat berkontribusi pada meningkatnya school engagement, memiliki perasaan positif terhadap relasi yang dimilikinya dan juga memberikan peningkatan positif pada school engagement siswa di dalam sekolah. Dalam kebutuhan otonomi, ketika siswa memiliki banyak pilihan, relatif bebas dari kontrol ekternal dan dapat membicarakan keputusan yang akan diambil, siswa akan bertindak lebih dengan motivasi internal, lebih menyenangi aktivitas tersebut dan mengerjakan aktivitas dengan baik. Dalam faktor kebutuhan kompetensi, ketika siswa dapat menentukan

19 apa kesuksesan mereka, dapat mengerti apa yang diperlukan apa yang menjadi lebih baik, maka lebih meningkatkan peran kognitif siswa dalam mencapainya.

Penerapan pendekatan pembelajaran oleh guru SMA X Bandung Persepsi siswa terhadap Siswa SMA X penerapan student kota Bandung centered learning Prinsip 1 : Dasar proses pembelajaran Prinsip 2 : Tujuan proses pembelajaran Prinsip 3 : Pembentukan pengetahuan Prinsip 4 : Pemikiran kritis Prinsip 5 : Pengaruh motivasi dalam pembelajaran Prinsip 6 :Motivasi intrinsik dalam belajar Prinsip 7 : Karakteristik tugas-tugas yang dapat meningkatkan pembelajaran Prisnip 8 : Peluang dan hambatan dalam perkembangan Prinsip 9 : Keragaman sosial dan budaya Prinsip 10 : Penerimaan sosial, harga diri dan pembelajaran Prinsip 11 : Perbedaan individual dalam pembelajaran Prinsip 12 : Filter kognitif - Student level factors - Classroom context - Individual needs Behavioral engagement Emotional engagement Cognitive engagement School engagement 20 Ada hubungan Tidak ada hubungan Ada hubungan Tidak ada hubungan Ada hubungan Tidak ada hubungan 1.1 Bagan kerangka pikir

21 1.6 Asumsi Penelitian Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa: 1. Penerapan student centered learning pada sekolah SMA X terdiri dari dua belas prinsip yaitu dasar proses pembelajaran, tujuan proses pembelajaran, pembentukan pengetahuan dan pemikiran kritis. Pengaruh motivasi dalam pembelajaran, motivasi intrinsik dalam belajar dan karakteristik tugas-tugas pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi, hambatan dan peluang dalam perkembangan. keragaman sosial dan budaya dan penerimaan sosial, harga diri dan pembelajaran. Perbedaan individu dalam pembelajaran dan filter kognitif. 2. School engagement siswa SMA X terdiri dari tiga komponen yaitu behavioral, emotional dan cognitive engagement. 3. Tingkah laku dari hasil persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning akan beragam berdasarkan prinsip-prinsip yang melandasi dan berhubungan dengan komponen dari school engagement siswa SMA X. 4. School engagement siswa SMA X dipengaruhi oleh faktor-faktor student level factor, classroom context dan individual needs.

22 1.7 Hipotesis Penelitian H o = Tidak terdapat hubungan antara persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan behavioral engagement di SMA X kota Bandung. H 1 = Terdapat hubungan antara persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan behavioral engagement di SMA X kota Bandung. H o = Tidak terdapat hubungan antara persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan emotional engagement di SMA X kota Bandung. H 1 = Terdapat hubungan antara persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan emotional engagement di SMA X kota Bandung. H o = Tidak terdapat hubungan antara persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan cognitive engagement di SMA X kota Bandung. H 1 = Terdapat hubungan antara persepsi siswa terhadap penerapan student centered learning dan cognitive engagement di SMA X kota Bandung.