1 Beberapa daerah tersebut dalam Putusan MK No. 18/PUU-XI/2013dikutip dari beberapa media yaitu Jawa

dokumen-dokumen yang mirip
PUTUSAN Nomor 18 /PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

commit to user BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XV/2017

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENCATATAN KELAHIRAN

PENCATATAN KELAHIRAN MELEWATI BATAS WAKTU: PRA DAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XI/2013

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

I. PENDAHULUAN. sebuah sistem merupakan bagian dari administrasi pemerintahan dan. administrasi Negara dalam memberikan jaminan kepastian hukum dan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

BAB II PENCATATAN KELAHIRAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN A. Pengertian Pencatatan Kelahiran Menurut Undang-Undang No.

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. yang akan berakibat pada negara, pemerintah dan masyarakat.

PUTUSAN Nomor 48/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean)

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 54/PUU-XI/2013 Pencatatan Kelahiran Bagi WNI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 54/PUU-XI/2013 Pencatatan Kelahiran Bagi WNI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 18/PUU-XI/2013 TERHADAP PENERBITAN AKTA KELAHIRAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 27/PUU-XIII/2015 Status Pegawai Honorer dengan Berlakunya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 51/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 63/PUU-XII/2014 Organisasi Notaris

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Penjara 5 (lima) Tahun atau Lebih Bagi Calon Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 49/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 67/PUU-XIII/2015 Beban Penyidik untuk Mendatangkan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 46/PUU-XII/2014 Retribusi Terhadap Menara Telekomunikasi

PERATURAN BERSAMA WALIKOTA DEPOK DAN KETUA PENGADILAN NEGERI DEPOK NOMOR : 32 TAHUN 2012 NOMOR : W11.U21/2238/UM.01.10/IX/2012

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 57/PUU-XIV/2016 Pengampunan Pajak

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

I. PEMOHON Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS) yang diwakilkan oleh Gunawan

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor /PUU-VII/2009 tentang UU SISDIKNAS Pendidikan usia dini

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS 2011 SEMUA ANAK DI KABUPATEN SUKOHARJO TERCATAT KELAHIRANNYA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENGUMPULAN DAN PENGGUNAAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIII/2015 Pengumuman Terhadap Hak Cipta Yang Diselenggarakan Pemerintah

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG BANTUAN HUKUM PADA MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

NASKAH AKADEMIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN UU NO.23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BPK TETAP AUDIT KEUANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA.

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XIII/2015 Surat Ijo Tidak Menjadi Dasar Hak Pemilikan Atas Tanah

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 38/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Hak Recall

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-IV/2006 Perbaikan Tanggal 12 September 2006

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU dan WALIKOTA BENGKULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24

diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 137/PUU-XII/2014 Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Warga Negara Asing dalam Pengujian Undang-Undang

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

Transkripsi:

HUKUM PROGRESIF ALA MAHKAMAH KONSTITUSI Telaah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pencabutan Pasal 32 UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Adminduk Oleh: Ainul Yaqin Pengandaian penulis terkait tema di atas didasarkan pada 2 (dua) hal, yaitu; Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor 18/PUU-XI/2013 terkait dengan administrasi kependudukan telah memberikan satu khazanah bagi institusi-institusi pemerintah yang lain terkait dengan pelayanan publik agar memberikan pelayanan publik secara cepat dan murah. Kedua, pada tataran filosofis, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah cermin bahwa sebuah hukum tidak an sich dipandang secara formalistik, melainkan harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XI/2013 dilatarbelakangi oleh fakta empirik di masyarakat yang mengalami kerugian materi dalam melakukan proses pencatatan akta kelahiran yang melampaui 1 (satu) tahun. Dijelaskan dalam pasal 32 ayat ( 1) UU 23/2006 tentang Administrasi kependudukan bahwa pelaporan kelahiran yang melampaui batas waktu 60 hari sampai dengan 1 tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Kepala Instansi setempat. Kemudian pada pasal 32 ayat (2) UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dipersoalkan oleh pemohon menjelaskan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 tahun sebagaimana pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan. Proses melalui pengadilan ini ternyata mempersulit secara birokrasi dan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dalam membuat akta kelahiran menjadi tidak terjangkau. Hal ini dialami oleh Mutholib (seorang tukang parkir di Surabaya) selaku pemohon dan beberapa masyarakat di daerah yaitu; masyarakat Kabupaten Tanjung Alang Timur, Sulawesi Barat, Kabupaten Karawang, DKI Jakarta, Kabupaten Padang Sidempuan, dan Medan. 1 1 Beberapa daerah tersebut dalam Putusan MK No. 18/PUU-XI/2013dikutip dari beberapa media yaitu Jawa Pos tanggal 7 Januari 201, Jawa Pos tanggal 28 Desember 2012, Jawa Pos tanggal 6 Juni 2012, Surya tanggal 4 Januari 2013, Surya tanggal 3 Januari 2013, (Putusan MK No. 18/PUU-XI/2013, h. 8).

Menurut pengakuan Mutholib (sebagaimana terlampir dalam putusan) bahwa proses pengurusan akta kelahiran yang terlambat 1 (satu) tahun lebih, harus meminta surat pengantar kepada RT/RW, kemudian ke kelurahan, ke kantor pos besar, ke bank, dan membawa 2 (dua) orang saksi. Proses ini adalah bentuk birokrasi yang berlapis dan berbelit-belit. Hal ini tentu tidak sejalan dengan kebijaksanaan nasional untuk melakukan reformasi birokrasi dan pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945, sebagaimana konsideran UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Beberapa argumentasi yang diajukan oleh pemohon sebagai bahan diskusi dalam tulisan yaitu; Pertama, argumentasi yuridis bahwa pada dasarnya penerbitan akta kelahiran adalah hak seseorang penduduk, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 2 huruf a Undang-Undang ini bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan. Potensi hak setiap penduduk itu sebagai penjabaran dari: a. Pasal 53 ayat (2) Undang -Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886) bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. b. Keberadaan hak anak tersebut juga dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235), Pasal 5 yang berbunyi setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Pada Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi identitas setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya. Identitas sebagaimana dimaksud dlama ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran. c. Status hukum hak anak tersebut, berasal dari muara hukum nasional yaitu Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Kedua, argumentasi empirik bahwa di level pelaksanaan ketiga undang-undang diatas ternyata justru mempersulit dan membebani masyarakat serta melanggar hak dan konstitusi. Ketiga undang-undang tersebut oleh pemohon diuraikan sebagai berikut;

a. Menimbulkan kesulitan, hambatan, keruwetan, beban biaya dan tambahan beban bagi Pengadilan Negeri dan telah membuat kesibukan tersendiri bagi Mendagri, sehingga dalam kurun waktu 5 (lima) terus menerus membuat Surat Edaran, dispensasi dan penangguhan pelaksanaan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang ini (bukti P-4). b. Pasal 32 ayat (2) Undang -Undang ini telah melakukan pelanggaran hak yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa jaminan hak anak untuk memperoleh status kewarganegaraan telah dibebani kewajiban sekaligus sebagai sanksi bahwa bila terlambat melaporkan 1 (satu) tahun, maka ada syarat berat yakni harus dengan penetapan pengadilan negeri. c. Akibat adanya kewajiban dan sanksi dalam UU a quo, maka pengurusan akta kelahiran telah menimbulkan biaya besar, apalagi bagi masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan, yaitu antara lain: biaya transportasi beberapa kali ke pengadilan, mengurus leges ke kantor pos, menghadirkan 2 saksi, mengurus surat kenal lahir ke kepala desa, dan lain-lain. Hal tersebut telah merugikan dan melanggar hak konstitusional warga negara khususnya para Pemohon akta kelahiran. Contoh biaya sidang Pengadilan Negeri Malang berkisar sekitar Rp.177.000,- sampai Rp. 236.000,- sesuai dengan jarak jauh dekat, dan biaya itu disetorkan lewat rekening bank. ntuk penyiapan proses persidangan dan penetapan di Pengadilan Negeri Kepanjen Malang, harus membuat 8 jenis surat termasuk surat penetapan sebanyak 8 halaman, adapun bagi Pemohon harus menyiapkan 7 jenis surat di luar perjalanan ke kantor pos besar di kota. Dari uraian fakta dan argumentasi yang diajukan oleh pemohon diatas, penulis berkesimpulan bahwa permasalahan yang terjadi di atas diakibatkan oleh kebijakan pelayanan publik yang seharusnya memudahkan secara birokratis dalam melayani masyarakat, ternyata justru mempersulit dan membebani masyarakat sebagaimana pengaturan pada Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Berdasarkan fakta empiris dan argumentasi yang diajukan oleh pemohon di atas, maka Mahkamah Konstitusi merespon dengan beberapa pertimbangan hukum yang dalam dan luas dari aspek tinjauan kajian masyarakat hukum. 2 Secara yuridis, Mahkamah Konstitusi 2 Masyarakat hukum adalah sekelompok orang dalam wilayah tertentu dimana berlaku serangkaian peraturan yang jadi pedoman bertingkah laku bagi setiap anggota kelompok dalam pergaulan hidup yang jadi

berpendapat bahwa berdasarkan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tentang kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga rakyatlah yang menentukan di dalam suatu negara. Otonomi daerah adalah bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat, sehingga negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat (3) dan (4) serta pasal 28 ayat (1) UU 23/2002 3 Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa pelayanan akta kelahiran merupakan kewajiban pemerintah di bidang administrasi kependudukan yang diselenggarakan dengan sederhana dan terjangkau. Pada sisi lain, setiap penduduk wajib melaporkan setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya, termasuk kelahiran. Pada tataran implementasi undang-undang terkait dengan pelayanan publik, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa penyelenggara pelayanan publik (pemerintah) masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga menimbulkan dampak terjadinya berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Kesadaran masyarakat yang semakin tinggi untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik dan berkualitas seringkali terhambat oleh berbagai persoalan teknis administratif yang tidak dapat segera diatasi karena masih adanya ketentuan hukum yang tidak kondusif bagi pelayanan publik yang cepat, sederhana, dan murah. Secara sosiologis, Mahkamah Konstitusi menguraikan urgensi akta kelahiran bagi penduduk dan menjelaskan dampak domino apabila akta kelahiran tersebut dikelola secara berbelit-belit. Bagi Mahkamah Konstitusi, administrasi Kependudukan (akta kelahiran) sangat penting bagi penduduk, karena dengan akta kelahiran penduduk akan memperoleh dokumen kependudukan pedoman bertingkah laku bagi setiap anggota kelompok dalam pergaulan hidup mereka (http://www.kumpulanistilah.com/2012/11/pengertian-masyarakat-hukum.html) 3 Pasal 27 ayat (3) UU 23/2002 bahwa Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran. Pasal 27 ayat (4) UU 23/2002 menyatakan, Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya. Pasal 28 ayat (1) UU 23/2002 menyatakan, Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.

yang dapat menjadi bukti yang sempurna sebagai sebuah akta autentik, yang menjadi bukti jati diri seseorang, hubungan seseorang dengan keluarganya yang akan memiliki rentetan akibat hukum baik tanggung jawab perdata orang tua kepada anak, maupun hak waris seseorang. Seseorang yang tidak memiliki akta kelahiran, secara de jure keberadaannya tidak dianggap ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah keturunannya, dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaannya. Akibat terburuk adalah adanya manipulasi identitas anak yang semakin mempermudah eksploitasi anak, seperti perdagangan anak, pemanfaatan tenaga kerja anak, dan kekerasaan terhadap anak. Akta kelahiran juga berkaitan dengan syarat legal-formal identitas seseorang di hadapan hukum, karena salah satu di antaranya terkait dengan penentuan batasan usia seseorang untuk dikatakan sebagai dewasa menurut hukum, dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Di sisi yang lain, penataan administrasi kependudukan bukan semata-mata demi kepentingan penduduk atau warga negara itu sendiri, melainkan juga kepentingan birokrasi. Menurut Mahkamah Konstitusi, negara membutuhkan data kependudukan untuk merencanakan dan melaksanakan program-program pembangunan yang terarah dan tepat sasaran. Salah satu standar birokrasi yang berkarakter good governance adalah dapat dilihat kualitas pelayanan publik sekaligus penyelenggaraannya. Secara filosofis, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa keberatan masyarakat dalam pengurusan akta kelahiran melalui mekanisme penetapan pengadilan serta keharusan melalui prosedur administrasi dan waktu yang cukup panjang dan biaya yang lebih banyak dapat menimbulkan tertundanya keadilan atau keadilan yang terabaikan ( justice delayed, justice denied). Keberatan tersebut bukan saja bagi mereka yang tinggal jauh di daerah pelosok tetapi juga bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Proses di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat awam sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak konstitusional warga negara terhadap kepastian hukum. Uraian pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis di atas, Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan bahwa pasal 32 ayat (1) dan (2) di nyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat atau mengabulkan permohonan pemohon. Dengan demikian pengurusan akta kelahiran dapat dilakukan langsung di tingkat dinas kependudukan dan catatan sipil setempat tanpa melalui proses pengadilan Putusan Mahkamah Konstitusi ini jika dimaknai lebih dalam, sebenarnya mencerminkan corak hukum (produk hukum) yang berkarakter hukum progresif. Sajtipto Raharjo menjelaskan bahwa secara moral, hukum progresif itu mendorong agar cara kita berhukum tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan yang lebih baik. 4 Apa yang dilakukan Mahkamah Konstitusi sebenarnya mengarah pada bagaimana reformasi pelayanan publik dalam hal ini adalah pengurusan akta kelahiran menjadi lebih baik. Ketika layanan akta kelahiran diproses melalui lembaga peradilan ternyata melahirkan kerumitan-kerumitan (hal yang tidak baik) bagi masyarakat, maka dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut layanan akta kelahiran bisa menjadi murah dan mudah (hal yang lebih baik). Hukum progresif juga memberikan gagasan yaitu kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo. 5 Putusan Mahkamah Konstitusi di atas selain berlandaskan aspek yuridis juga melandaskan pada aspek sosiologis, yaitu kerumitan pengurusaan akta kelahiran di pengadilan ternyata memberatkan masyarakat dari sisi waktu dan biaya. Uraian keberatan masyarakat ini diulang-ulang oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, artinya Mahkamah Konstitusi hendak memberikan pesan kepada kita semua bahwa ketika aturan hukum itu bertentangan dengan kepentingan hak asasi manusia, maka yang harus diunggulkan adalah kepentingan hak asasi manusia. Nilai kemanusiaan ini juga menjadi ciri dari hukum progresif. Satjipto mengatakan, hukum dianggap profesional jika hukum tersebut mengarah pada tujuan kemanusiaan. 6 4 http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/01/12/hukum-progresif-prof-satjipto-rahardjo/ 5 Status quo : adalah membiarkan keadaan yang sekarang seperti keadaan yang sebelumnya (http://berbagitentanghukum.blogspot.com/2011/12/arti-status-quo_22.html), "Status quo" berasal dari bahasa Latin, artinya 'keadaan tetap sebagaimana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan sebelumnya'. Jadi, mempertahankan status quo berarti mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya. (http://id.wikisource.org/wiki/buku_praktis_bahasa_indonesia_2/61-90) 6 http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/01/12/hukum-progresif-prof-satjipto-rahardjo/