PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG

dokumen-dokumen yang mirip
2015, No Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468); 4. Peraturan Presiden Nomor 47

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG RENCANA UMUM PENGEMBANGAN TRANSPORTASI DARAT TAHUN

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

2015, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 5587); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang J

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Neg

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

(1) Pemetaan bandar udara intemasional sebagaimana dimaksud. Pasal 7 ayat (7) tercantum dalam lampiran VIII.

2 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

2016, No Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAMPIRAN C DAFTAR ISTILAH

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2015, No ruang wilayah Kabupaten Manggarai Barat sebagaimana yang direkomedasikan oleh Bupati Manggarai Barat melalui surat Nomor BU.005/74/IV

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No RITJ yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran N

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran N

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 45 TAHUN 2015 TENTANG PERSYARATAN KEPEMILIKAN MODAL BADAN USAHA DI BIDANG TRANSPORTASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

2 2015, No.322 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722) 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publi

2016, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN 2010 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

2 menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkuta

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATARAN TRANSPORTASI WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

2017, No Republik Indonesia Nomor 5229); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lntas dan Angkutan Jalan (Lembaran N

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 35 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN PENGHARGAAN WAHANA TATA NUGRAHA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

2018, No Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara R

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan L

Tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan; Mengingat : 1. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angk

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lemb

2013, No Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir deng

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2014, No Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Perat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 29 TAHUN 2016 TENTANG STERILISASI PELABUHAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 3. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM. 72 Tahun 2013 tentang K

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No c. bahwa untuk mempercepat penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut, darat, dan udara diperlukan progr

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

2018, No Perumahan Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 881) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan U

Mengingat -2- : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Nega

Menimbang : a. bahwa dalam Pasal 235 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2015, No Peraturan Pemerintah 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara (Lembaran Negara Republik Ind

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik In

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 20

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

Transkripsi:

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG TATA CARA DAN KRITERIA PENETAPAN SIMPUL DAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG SERTA LOKASI FASILITAS PERPINDAHAN MODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Simpul dan Lokasi Terminal Penumpang; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5221); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468); 4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24); 5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 7. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 60 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 68 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1113); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG TATA CARA DAN KRITERIA PENETAPAN SIMPUL DAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Jaringan lalu lintas dan angkutan jalan adalah serangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. 2. Ruang lalu lintas adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang dan/atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung. 3. Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda berupa terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara. 4. Terminal adalah pangkalan kendaraan bermotor umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan. 5. Simpul terminal penumpang adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yaitu wilayah administrasi Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi terminal penumpang dengan fungsi utama melayani kendaraan umum untuk angkutan lintas batas negara dan/atau angkutan antarkota antar provinsi dan dipadukan dengan pelayanan angkutan antarkota dalam provinsi, angkutan perkotaan, angkutan perdesaan dan/atau angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.

6. Lokasi terminal penumpang adalah letak bangunan terminal pada simpul jaringan lalu lintas dan angkutan jalan yang diperuntukkan bagi pergantian antar moda dan/atau intermoda pada suatu wilayah tertentu yang dinotasikan dengan titik koordinat. 7. Fasilitas perpindahan moda angkutan umum adalah fasilitas yang dipergunakan untuk keterpaduan antar moda angkutan dan kemudahan akses pada simpul transportasi yang meliputi bandar udara, pelabuhan, stasiun kereta api, dan pusat kegiatan serta sebagai pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan. 8. Menteri adalah Menteri Perhubungan. 9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat. Pasal 2 Ruang Lingkup Peraturan Menteri ini meliputi: a. kriteria dan tata cara penetapan simpul terminal penumpang; b. kriteria dan tata cara penetapan lokasi terminal penumpang; dan c. kriteria dan tata cara penetapan fasilitas perpindahan moda angkutan umum. BAB II KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN SIMPUL TERMINAL PENUMPANG Bagian Kesatu Kriteria Penetapan Simpul Terminal Penumpang Pasal 3 (1) Simpul terminal Penumpang terdiri atas: a. simpul terminal Penumpang Tipe A; b. simpul terminal Penumpang Tipe B; dan c. simpul terminal Penumpang Tipe C. (2) Simpul Terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai perwujudan dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 4 (1) Simpul Terminal Penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan memperhatikan: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; b. Rencana Umum Jaringan Trayek; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; d. pengembangan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; dan e. berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda transportasi/ terdapat perpindahan moda transportasi. (2) Simpul Terminal Penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. berada pada jaringan trayek Angkutan Lintas Batas Negara dan/atau Angkutan Antarkota Antarprovinsi; dan b. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan Lintas Batas Negara dan/atau Antarkota Antarprovinsi. c. dapat berada pada lintas penyeberangan yang menghubungkan jaringan jalan nasional dan/atau jalur kereta api nasional atau antarprovinsi sesuai dengan kebutuhan. (3) Simpul terminal penumpang tipe A yang berada pada pada lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditentukan berdasarkan kriteria: a. kajian teknis; b. rekomendasi dari penyelenggara pelabuhan; c. rencana induk pelabuhan. Pasal 5 (1) Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan memperhatikan: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; b. Rencana Umum Jaringan Trayek; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan d. pengembangan jaringan trayek Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi. (2) Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. berada pada Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); dan b. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan antarkota dalam provinsi; dan

c. dapat berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda transportasi sesuai dengan kebutuhan. Pasal 6 (1) Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan memperhatikan: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota; b. Rencana Umum Jaringan Trayek; c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan d. pengembangan jaringan trayek Angkutan Perkotaan dan/atau Perdesaan. (2) Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. berada pada Pusat Kegiatan Lokal (PKL); dan b. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan antarkota dalam provinsi; dan c. dapat berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda transportasi sesuai dengan kebutuhan. Bagian Kedua Tata Cara Penetapan Simpul Terminal Penumpang Pasal 7 Simpul Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh: a. Menteri, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe A; b. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe B; c. Bupati/Walikota, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe C; dan d. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang tipe C Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pasal 8 (1) Simpul Terminal Penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan masukan Gubernur. (2) Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan masukan Bupati/Walikota.

(3) Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan usulan/masukan dari SKPD yang bertanggungjawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Pasal 9 (1) Gubernur melaporkan kepada Direktur Jenderal atas penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe B dan Simpul Terminal Penumpang Tipe C yang berada di wilayah administrasi yang merupakan kewenangannya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak penetapan simpul terminal penumpang. (2) Bupati/Walikota melaporkan kepada Direktur Jenderal melalui Gubernur atas penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe C yang berada di wilayah administrasi yang merupakan kewenangannya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak penetapan simpul terminal penumpang. Pasal 10 (1) Simpul terminal penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a merupakan bagian dari Simpul Nasional Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai perwujudan dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional. (2) Simpul terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rangkaian yang saling terhubungkan dan membentuk koridor Simpul Terminal Penumpang. (3) Koridor Simpul Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. koridor simpul utara, koridor simpul tengah dan koridor simpul selatan; dan b. koridor simpul penghubung. (4) Koridor Simpul Terminal Penumpang tipe A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Bagian Ketiga Tata Cara Perubahan Penetapan Simpul Terminal Penumpang Pasal 11 (1) Penetapan Simpul Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dilakukan perubahan. (2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan evaluasi setiap 5 (lima) tahun sekali.

(3) Dalam hal terjadi perubahan Iingkungan strategis tertentu, evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun. (4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh: a. Direktur Jenderal, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe A; b. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe B; c. Bupati/Walikota, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe C; dan d. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe C pada Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pasal 12 (1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), Menteri merekomendasikan kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota untuk menetapkan perubahan Simpul Terminal Penumpang Tipe A menjadi Simpul Terminal Penumpang Tipe B dan/atau Tipe C. (2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), Gubernur dan/atau Bupati/Walikota mengusulkan kepada Menteri terhadap perubahan Simpul Terminal Penumpang Tipe B dan/atau Tipe C menjadi Simpul Terminal Penumpang Tipe A. Pasal 13 (1) Perubahan terhadap Penetapan Simpul Terminal Penumpang tipe A sebagai hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (2) Perubahan atas Penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagai hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. (3) Perubahan atas Penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagai hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota, kecuali Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. (4) Gubernur dan Bupati/Walikota melaporkan kepada Menteri atas perubahan penetapan Simpul Terminal Penumpang paling lama 1 (satu) bulan setelah ditetapkan.

BAB III KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG Bagian Kesatu Kriteria Penetapan Lokasi Terminal Penumpang Pasal 14 Lokasi Terminal penumpang ditetapkan dengan memperhatikan: a. tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan; b. kesesuaian lahan dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; c. kesesuaian lahan dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan jalan dan jaringan trayek; d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan; e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain; f. permintaan angkutan; g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi; h. keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan; dan i. kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pasal 15 Tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a merupakan kemudahan untuk dijangkau dari aspek waktu dan biaya yang memenuhi kriteria: a. tersedia pelayanan angkutan umum yang memadai dan memenuhi standar pelayanan minimal; b. berada pada pusat kegiatan dan/atau pusat bangkitan perjalanan angkutan orang; dan/atau c. berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda transportasi. Pasal 16 (1) Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b pada Lokasi Terminal Tipe A terletak pada lahan yang sesuai dengan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

(2) Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b pada Lokasi Terminal Tipe B terletak pada lahan yang sesuai dengan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan b. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. (3) Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b pada Lokasi Terminal Tipe C terletak pada lahan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Pasal 17 Kesesuaian lahan dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan jalan dan jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c didasarkan atas kriteria: a. untuk Lokasi Terminal Tipe A: 1. terhubung dengan jalan arteri atau rencana jalan arteri; dan 2. terletak dalam jaringan trayek antarkota antarprovinsi dan/atau angkutan lintas batas negara atau rencana pengembangan jaringan trayek antarkota antarprovinsi dan/atau angkutan lintas batas Negara. b. untuk Lokasi Terminal Tipe B: 1. terhubung dengan jalan arteri atau kolektor; dan 2. terletak dalam jaringan trayek antar kota dalam provinsi. c. untuk Lokasi Terminal Tipe C: a. terhubung dengan jalan kolektor atau lokal; dan b. terletak dalam jaringan trayek perkotaan/pedesaan. Pasal 18 Kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d sebagai dasar rencana pengembangan terminal yang utuh. Pasal 19 Keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e dimaksudkan untuk menghindari dampak negatif akibat pembangunan dan pengoperasian terminal.

Pasal 20 Permintaan angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f didasarkan atas kebutuhan angkutan yang dimungkinkan mengakibatkan bangkitan perjalanan, yang meliputi perkiraan jumlah: a. penumpang; dan b. trayek yang melayani. Pasal 21 (1) Kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g didasarkan atas kelangsungan operasional terminal. (2) Kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan: a. topografi; b. kondisi permukaan tanah, kelandaian permukaan tanah; c. aliran air permukaan/sistem drainase; d. status tanah; e. daya dukung dan struktur tanah; dan f. infrastrukur dan jaringan utilitas. (3) Kelayakan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan analisa perhitungan keuntungan dan kerugian yang akan terjadi dari investasi yang dilakukan dan jangka waktu pengembalian investasi tersebut yang dihitung dengan: a. Internal Rate of Return (IRR) yaitu tingkat bunga pengembalian suatu kegiatan pembangunan/pengembangan Terminal Penumpang, yang perhitungannya berdasarkan pada besaran Net Present Value (NPV) sama dengan 0 (nol); b. Net Present Value (NPV) merupakan nilai keuntungan bersih saat sekarang, yang perhitungannya berdasarkan pada manfaat yang diperoleh untuk proyek pembangunan Terminal Penumpang pada suatu kurun waktu tertentu dengan mempertimbangkan besaran tingkat bunga bank komersial; c. Profitability Index (PI) atau Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan suatu besaran yang membandingkan antara keuntungan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan dalam kurun waktu penyelenggaraan kegiatan pembangunan/pengembangan Terminal Penumpang. (4) Kelayakan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelayakan yang memberikan keuntungan secara ekonomis bagi pengembangan wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung. (5) Kajian kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan tim teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.

Pasal 22 Keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf h dalam penetapan lokasi terminal tidak berada dalam daerah: a. bencana alam; b. konflik sosial; dan/atau c. rawan/potensi kecelakaan lalu lintas. Pasal 23 Kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf i yaitu terpeliharanya kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup. Bagian Kedua Tata Cara Penetapan Lokasi Terminal Penumpang Pasal 24 (1) Lokasi Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Simpul Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Lokasi Terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terletak pada Simpul Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diperuntukkan bagi pergantian antar moda dan/atau intermoda pada suatu wilayah tertentu. Pasal 25 Lokasi Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ditetapkan oleh: a. Menteri, untuk Terminal penumpang tipe A; b. Gubernur, untuk Terminal penumpang tipe B; c. Bupati/Walikota, untuk Terminal penumpang tipe C; dan d. Gubernur, untuk Terminal penumpang tipe C di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pasal 26 (1) Permohonan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diajukan oleh penyelenggara terminal penumpang kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan persyaratan sebagai berikut:

a. letak lokasi yang diusulkan dilengkapi dengan titik koordinat geografis yang digambarkan dalam peta; dan b. studi kelayakan yang memuat paling sedikit uraian kriteria penetapan lokasi Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penilaian dan pengkajian atas persyaratan permohonan penetapan lokasi Terminal Penumpang paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. (4) Dalam hal hasil penilaian dan pengkajian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyatakan belum memenuhi persyaratan, Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara tertulis beserta alasannya kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (5) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan kembali kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi. (6) Bentuk surat permohonan dan penolakan penetapan lokasi terminal sebagaimana contoh 1 dan contoh 2 pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB IV KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN FASILITAS PERPINDAHAN MODA ANGKUTAN UMUM Bagian Kesatu Kriteria Penetapan Fasilitas Perpindahan Moda Angkutan Umum Pasal 27 (1) Dalam rangka integrasi pelayanan untuk keterpaduan antar moda angkutan dan kemudahan akses pada simpul transportasi ditetapkan lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum pada bandar udara, pelabuhan, stasiun kereta api, dan pusat kegiatan. (2) Fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan: a. rencana induk pelabuhan, stasiun, dan bandara; b. rencana tata ruang; dan c. rencana jaringan pelayanan angkutan. (3) Fasilitas perpindahan moda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:

a. berada pada pusat kegiatan; b. berada pada pelabuhan, stasiun, bandara; c. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan; d. kemudahan akses pengguna jasa angkutan; e. permintaan angkutan. Bagian Kedua Tata Cara Penetapan Fasilitas Perpindahan Moda Angkutan Umum Pasal 28 (1) Lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ditetapkan oleh: a. Menteri, untuk yang terletak pada lokasi bandar udara, pelabuhan, dan stasiun kereta api; b. Gubernur/Bupati/Walikota, untuk yang terletak pada pusat kegiatan sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. (2) Fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh penyelenggara pusat kegiatan/ pelabuhan/bandar udara/stasiun kereta api. (3) Penyelenggaraan fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 29 (1) Permohonan penetapan lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diajukan oleh penyelenggara fasilitas perpindahan moda angkutan umum kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan persyaratan sebagai berikut: a. letak lokasi yang diusulkan dilengkapi dengan titik koordinat geografis yang digambarkan dalam peta; dan b. studi kelayakan yang memuat paling sedikit uraian kriteria penetapan fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf e. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penilaian dan pengkajian atas persyaratan permohonan penetapan lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.

(4) Dalam hal hasil penilaian dan pengkajian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyatakan belum memenuhi persyaratan, Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara tertulis beserta alasannya kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (5) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan kembali kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi. (6) Bentuk surat permohonan dan penolakan penetapan lokasi terminal sebagaimana contoh 1 dan contoh 2 pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Diundangkan di Jakarta pada tanggal IGNASIUS JONAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR

Diperiksa oleh: Kasubbag Peraturan Perundang undangan : Terlebih dahulu: 1. Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama : 2. Kasubdit Jaringan Transportasi Jalan : 3. Direktur LLAJ : 4. Direktur LLASDP : 5. Direktur BSTP : 6. Direktur KTD : 7. Sesditjen Hubdat :