1. Sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib

dokumen-dokumen yang mirip
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

Pajak Penghasilan (PPh) Umum

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II LANDASAN TEORI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

I. PENDAHULUAN MAKSUD DAN TUJUAN

Perpustakaan LAFAI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi:

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Pengertian Laporan Keuangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II BAHAN RUJUKAN

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya

PAJAK PENGHASILAN. Tujuan Instruksional :

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (KUP)

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan

DATA IDENTITAS WAJIB PAJAK DATA IDENTITAS WAJIB PAJAK

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI. YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

PENUNJUKAN BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PAJAK NEGARA BAB I

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PAJAK PENGHASILAN (PPh) Ps. 21/26

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III PAJAK PENGHASILAN

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN (PPh)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI. YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PAJAK PENGHASILAN. Pembagian Subjek Pajak. Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Luar Negeri SIAPA SUBJEK PAJAK?

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Pajak Penghasilan 1. Pengertian Penghasilan Penghasilan menurut UU RI No. 17 Tahun 2000 tentang pokok penghasilan, pasal 4 ayat 1 adalah ; adalah: Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atan diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2002 : 23.1) : Penghasilan didefinisikan sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Menurut Rimsky K. Judisseno (2004 : 50) : Penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsi dan atau menimbun serta menambah kekayaan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penghasilan 1. Sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak untuk menambah kekayaan yang bersangkutan.

2. Dapat dijadikan sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi. 3. Jumlah uang yang diterima oleh perorang, badan dan bentuk usaha lainnya yang digunakan untuk aktivitas ekonomi. 2. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut W No. 17 Tahun 2000 tentang pajak penghasuan pada pasal 21 disebutkan bahwa PPh Pasal 21 mempunyai pengertian : PPh pasal 21 adalah pemotongan, penyctoran, dan pclaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Menurut Mardiasmo (2002 :137) : Pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan wajib pajak pribadi dalam negeri yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran Iain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan seperti yang dinyatakan dalam pasal 21 UU Pajak Penghasilan Menurut Sjarifuddin Alsah (2002 : 7) : Pajak PenghasUan Pasal 21 (PPh pasal 21) adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium, tunjangan, dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah: 1. Pajak yang dikenakan atas penghasilan wajib pajak pribadi dalam negeri.

2. Pajak penghasilan yang berupa gaji, upah honorarium, tunjangan dan kegiatan lainnya. 3. Proses pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak orang pribadi. B. Subjek dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 1. Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 Subjek pajak adalah orang atau badan yane memenuhi kewajiban pajak subjektif dalam Undang-undang Pajak Penghasilan. Pembagian subjek pajak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yaitu UU No. 17 Tahun 2000 pasal 2 ayat 1 adalah sebagai berikut: a. Orang pribadi yaitu orang yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia maupun orang pribadi di luar Indonesia yang mendapat penghasilan dan Indonesia dan melakukan kegiatan di Indonesia. b. Warisan yang belum dibagikan yang merupakan satu kesatuan menggantikan yang berhak atau sebagai pengganti ahli wans. c. Badan, yang terdiri dan badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yakni perseroan terbatas, persekutuan komanditer, dan perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan, organisasi lain, dana pensiun dan bentuk usaha lainnya. d. Bentuk usaha tetap, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau badan yang

tidak didirikan dan tidak bertempat berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah pengeboran untuk eksplorasi pertambangan, perikanan, petemakan, pertanian, perkebunan, proyek konstruksi, pemberian jasa dilakukan lebih dan 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. 2. Tidak termasuk dalam subjek pajak PPh Pasal 21 adalah : a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau oejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat : bukan Warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima dan memeperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memeberikan perlakuan timbal balik. b. Pejabat perwakilan organisasi interaasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6I1/KMK.04/I994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 sepanjang : bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan atau pekerjaan Iain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. Untuk mengetahui lebih jelas yang termasuk subjek pajak PPh Pasal 21 menurut Rimsky K. Judisseno (2004 : 52) adaiah : a. Pegawai pada umumnya, yaitu orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. b. Pegawai tetap, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris, anggota komisaris, dan anggota dewan pengawas yang secara teratur ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung. c. Pegawai lepas, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. d. Penerima pensiun, yaitu orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.

10 e. Penerima honorarium, yaitu orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukannya. f. Penerima upah, yaitu orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan. 3. Hak dan Kewajiban Subjek Pajak PPh Pasal 21. berikut: Subjek pajak PPh Pasal 21 memiliki hak dan kewajiban sebagai a. Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan PTKP, penerima penghasilan harus menyerahkan surat pemyataan kepada pemotong pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri. b. Kewajiban tersebut harus dilaksanakan pula dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan tahun takwim. c. Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. d. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekeijaan dari badan perwakilan negara asing dan organisasi internasional yang dikecualikan sebagai pemotong PPh

11 pasal 21, diwajibkan untuk menghitung dan membayar sendiri jumlah pajak penghasilan yang terhutang dalam tahun berjalan dan atas penghasilan tersebut dilaporkan dalam surat pemberitahuan. 4. Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 Dalam Undang-undang Perpajakan yaitu UU RI No. 17 Tahun 2000 pasal 4, yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Yang termasuk objek pajak dalam UU RI No. 17 Tahun 2004 pasal 4 tentang Pajak Penghasilan adalah : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangaa, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun,, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan,dan penghargaan. c. Laba usaha. d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai penggantr saham atau penyertaan modal.

12 2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. 3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha. 4. Keuntungan karena pengambilalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan kedgamaan atau badan pendidikan atau sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau pengusaha antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian uang. g. Deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti. i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. k. Keuntungan karena pembebasan utang.

13 1. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi. o. luran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas anggotanya. p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Mengenai penghasilan yang berupa bunga deposito dan tabungantabungan lainnya, pengfaasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah. 5. Penghasilan Yang Dikccualikan DaJam Pemotongan PPh Pasal 21 Menurut Rim sky K. Judisseno yang tidak termasuk dalam objek pajak PPh Pasal 21 adalah: a. Bantuan atau sumbangan. b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial atau pengusaha kecil (termasuk koperasi) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada

14 hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. c. Warisan. d. Harta (tennasuk setoran tunai) yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah. f Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. g. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia. h. luran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilan dana pensiun tersebut dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

15 i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi. j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana. k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. 6. Pengurangan-pengurangan YangDiperbolehkan Dalam penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak, Undang-undang PPh memperbolehkan wajib pajak untuk mengurangi biaya-biaya tertentu dari penghasilan brutonya. Pengurangan penghasilan bruto dengan biaya-biaya tertentu tersebut akan menghasilkan penghasilan netto dan selanjutnya dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Menurut Pasal 7 ayat 1 UU PPh No. 17 Tahun 2000, PTKP diberikan sebesar: a. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk din wajib pajak orang pribadi.

16 b. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin. c. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. d. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda daiam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga, Dengan berlakunya KMK No. 564/KMK.04/2004. Menurut Triyani Budianto (2005: 9), tentang penyesuaian besamya Penghasilan Tidak Kena Pajak, maka terhitung sejak tahun pajak 2005 besamya PTKP menjadi sebagai berikut: a. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk diri wajib pajak orang pribadi. b. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin. c Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. d. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis

17 keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Hasil dari pengurangan antara penghasilan netto dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diperoleh Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang kemudian Penghasilan Kena Pajak tersebut dijadikan dasar untuk menentukan besamya tarif yang dikenakan atas penghasilan tersebut. Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak sesuai dengan Undang-undang Perpajakan Tahun 2000 pasal 17 ayat 1 huruf a adalah sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) Di atas Rp 25.000.000 s/d Rp 50.000.000 (dua puluh lima juta rupiah s/d lima puluh juta rupiah) ^^^ Di atas Rp 50.000.000 s/d Rp 100.000.000 (lima puluh juta rupiah s/d seratus juta rupiah) Di atas Rp 100.000.000 s/d Rp 200.000.000 (seratus juta rupiah s/d dua ratus juta rupiah) Di atas Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) Tarif Pajak 5% (lima persen) 10% (sepuluh persen) 15% (lima belas persen) 25% (dua puluh lima persen) 35% (tiga puluh lima persen) C. Pemotong Pajak Penghasilan Dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan pasal 21, pemerintah telah memberi kuasa kepada pihak-pihak tertentu untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sehubungan dengan imbalan pekerjaan atau jasa atau kegiatan lain yang diterima oleh wajib pajak. Menurut Gunadi (2002:71), Pihak-pihak tersebut adalah sebagai berikut:

18 a. Pemberi keija (orang pribadi dan badan) yang memberi gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekeijaan yang dilakukan pegawai atau bukan pegawai. b. Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium dan pembayaran lain sehubungan dengan pekeijaan atau jasa atau kegiatan lain. c. Dana pensiun, PT. Taspen, PT. Astek, badan penyelenggara Jamsostek atau badan yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama dan bentuk apapun. d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekeijaan bebas. e. Perusahaan, badan dan penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Menteri Keuangan juga menetapkan bahwa badan perwakilan dan organisasi internasional tidak termasuk pemberi keija yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak. 1. Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21 Menurut Anastasia Diana dkk (2004 : 6), Hak-hak Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah : a. Pemotong pajak berhak untuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT tahunan pasal 21.

19 b. Pemotong pajak berhak untuk meperhitungkan kelebihan setoran PPh pasal 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan. c. Pemotong pajak berhak untuk meperhitungkan kelebihan setoran pada SPT tahunan dengan PPh pasal 21 yang terutang pada untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya. d. Pemotong pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. e. Pemotong pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil Kurang Bayar. Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21 : a. Pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

20 b. Pemotong pajak wajib mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak Setempat. c. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetor PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke bank persepsi atau kantor pos dan giro, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya. d. Pemotong pajak wajib melaporkan Penyetoran PPh Pasal 21 sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. e. Pemotong pajak waiib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun. f. Pemotong pajak wajib meiampiri SPT Tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan.

21 2. Cara Penghitungan dan Pemotongan PPh Pasal 21 Menurut Sumihar Petrus Tambunan (2003 : 20), menjelaskan perhitungan atas penghasilan yang secara teratur diterima oleh pegawai tetap. a. Mencari penghasilan netto sebulan. Untuk menetukan besarnya penghasilan netto, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, iuran THT yang dibayar pegawai. Biaya jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasiian yang besarnya 5 % dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 1.296.000 setahun atau Rp 108.000 sebulan. b. Penghasilan netto ini kemudian dikali 12 untuk mendapatkan penghasilan netto selama satu tahun. c. Untuk menetukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, penghasilan netto satu tahun dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang sebenarnya. d. Hasil pengurangan ini kemudian dikalikan dengan tarif pajak sebagaimana disebutkan dalam UU Perpajakan No. 17 Tahun 2000 pasal 17. e. PPh pasal 21 sebulan diperoleh dengan cara membagi PPh pasal 21 setahun dengan 12. jika pegawai mulai bekerja tidak diawal tahun, dibagi dengan banyaknya bulan pegawai tersebut bekerja.

22 f Pemotongan PPh pasal 21 atas uang lembur dan penghasiian yang sejenis yang diterima atau diperoleh pegawai bersamaan dengan gaji bulanannya, yaitu dengan menggabungkan pada gaji bulanannya. 3. Cara Pencatatan PPh Pasal 21 Menurut Gunadi (2002 : 96), pencatatan PPh Pasal 21 secara akuntansi dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Pada saat pembayaran gaji pegawai serta pemotongan PPh Pasal 21, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), dan Jaminan Hari Tua (JHT): Biaya gaji Hutang PPh Pasal 21 HutangJKK&JK Hutang JHT Kas b. Pada saat perusahaan menanggung Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Hari Tua (JHT): BebanJKK&JK Beban JHT HutangJKK&JK Hutang JHT

23 c. Pada saat penyetoran PPh Pasal 21, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Hari Tua (JHT) ke kas negara : Hutang PPh Pasal 21 Hutang JKK&JK Hutang JHT Kas Selain pencatatan secara akuntansi, PPh Pasal 21 sebelum dilaporkan ke kantor penyuluhan pajak setempat terlebih dahulu hams dicatat dalam surat pemberitahuan massa pajak penghasilan pasal 21 yang masuk pelaporan setiap bulan dan perusahaan wajib membuat perhitungan pajak penghasilan pasal 21 tahunan yang dicatat dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan. 4. Cara Pelaporan PPh Pasal 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 disetor dan dilaporkan setiap bulan oleh pemberi kerja masing-masing untuk pelaporan batas terakhir adalah tanggal 20 bulan berikutnya dan untuk penyetoran adalah tanggal 10 bulan berikutnya. Angsuran pajak penghasilan tersebut dihitung dan dilaporkan dengan menggunakan SSP yang kemudian pada akhir tahun pajak akan dihitung seluruh pajak yang terhutang dan dikurangi angsuran yang telah dibayar sehingga diperoleh pajak yang masih harus dibayar. Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan pasal 21 wajib diisi oleh perusahaan. Fungsi dan SPT tahttnaft tersebut adalah

24 sebagai sarana bagi pemotong pajak untuk menetapkan sendiri besamya PPh Pasal 21 yang terhutang dan dipotong dengan cara melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dan telah disetor dalam satu tahun takwim. SPT tahunan Pasal 21 yang telah diisi dengan benar dan ditandatangani disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun berikutnya dan tempat penyampaiannya adalah sama dengan tempat pemotong pajak memperoleh NPWP (Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat). Apabila terdapat pajak yang kurang dibayar maka pembayarannya adalah selambat-lambatnya tanggal 25 Maret dalam tahun yang sama dengan tahun pelaporan. SPT tahunan ini disampaikan secara langsung ke kedua tempat tersebut dan atas penyampaian SPT tersebut pemotong pajak menerima tanda bukti penerimaan. Selain itu SPT tahunan juga dapat disampaikan melalui kantor pos secara tercatat dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan. Pemotong pajak dapat melakukan pembetulan SPT tahunan PPh Pasal 21 yang sudah disampaikan dalam jangka waktu 2 tahun sesudah berakhirnya takwim sepanjang Dirjen Pajak belum melakukan pemeriksaan. Pembetulan dilakukan sendiri oleh pemotong pajak dengan mencantumkan kata "PEMBETULAN" di bagian atas SPT induk dan setiap lampiran yang perlu dibetulkan.

25 Kantor pajak akan memberikan sanksi-sanksi sehubungan dengan penyampaian SPT tahunan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Sanksisanksi yang dapat diberikan adalah : a. Denda Administrasi Sanksi ini dikenakan apabila surat pemberitahuan tidak tepat pada waktunya, yaitu berupa denda sebesar Rp 50.000,00 dan Rp 100.000,00. untuk SPT tahunan pembayaran denda ini dilakukan sendiri oleh pemotong pajak dengan menggunakan SSP terpisah dari SSP untuk pembayaran kekurangan pokok pajak. b. Bunga Sanksi ini akan dikenakan antara lain terhadap keterlambatan atau kekurangan pembayaran pajak termasuk oleh pembetulan yang dilakukan sendiri oleh pemotong pajak. Apabila pajak yang terutang menurut St>T tahunan lebih besar dari pajak yang terutang menurut penghitungan sementara pada waktu mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT tahunan, maka atas kekurangan itu dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan. c. Kenaikan Apabila SPT tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat teguran, maka dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dengan sanksi

26 administrasi bempa kenaikan 100% dan jumlah PPh Pasal 21 yang kurang/tidak disetor dalam satu tahun takwim. d. Sanksi Pidana Sanksi dikenakan apabila: 1. Pemotong pajak kealpaan, tidak menyampaikan SPT tahunan atau menyampaikan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana kurungan selambat-lambatnya satu tahun dan denda setinggi-tingginya dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar. 2. Pemotong pajak dengan sengaja tidak menyampaikan SPT tahunan atau menyampaikan SPT atau keterangan lain yang isinya tidak benar dan tidak lengkap atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan denda seting-tingginya empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 3. Pemotong pajak melakukan percobaan untuk menyampaikan SPT tahunan dan atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakuakan kompensasi pajak, dipidana dengan penjara selama-lamanya 8 tahun dan denda setinggi-

27 tingginya empat kaii jumlah restitusi yang dimohon atau kompensasi yang dilakukan oleh pemotong pajak. Contoh format perfiitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut: Gajibulanan Rp Tunjangan-tunjangan: - Tunjangan Jabatan Rp - Tunjangan makan siang Rp - Tunjangan transport Rp - Tunjangan pajak Rp + PenghasilanBruto Rp (I) Biaya Jabatan 5 % x (I) Rp IuranPensiun(dibayarpekerja) Rp Iuran THT (dibayar pekerja) Rp + Jumlah pengurangan Rp nnnn (\\) Pengfrasilan netto sebulan Rp (III) Penghasilannettosetahun(12x(III)) Rp PTKP Rp () PKPsetahun Rp PPh terhutang (tarif pajak x PKP setahun) Rp (IV) PPhsebuIan((IV):12) Rp