PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. negara dari segala ketidaknyamanan warga negaranya. Pembangunan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia. untuk merumuskan norma hukum dalam penanggulangannya. 1

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

Kajian yuridis terhadap putusan hakim dalam tindak pidana pencurian tanaman jenis anthurium (studi kasus di Pengadilan Negeri Karanganyar)

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

II. TINJAUAN PUSTAKA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM UU NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNCTO UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Ayu Dian Ningtias, SH.MH.

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan exra ordinary crime 1, sehingga memerlukan. dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dan hendak dilaksanakan oleh bangsa ini tidak hanya hukum

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

Institute for Criminal Justice Reform

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara

Transkripsi:

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh : AGUNG LISTIANTO C100.060.014 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 i

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam Undang- Undang Dasar 1945 yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dari Pasal yang tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechtstaat), dan bukan berdasarkan kekuasaaan belaka (Macshstaat). Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian merupakan bentuk penegakan hukum 1 1 Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 2007. hal 1 1

2 Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu satu tindak pidana yang dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang paling tua. Seperti kata pameo, korupsi itu tua dalam usia muda dalam berita. Bersamaan dengan perkembangan peradapan umat manusia, bentuk, jenis dan cara korupsi juga terus berkembang semakin canggih. Kejahatan korupsi merupakan kejahatan

3 yang dilakukan secara sistematis dan terorganisasi, serta dilakukan oleh orangorang yang mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam tatanan sosial masyarakat, oleh karena itu kejahatan ini sering disebut white collar crime atau kejahatan kerah putih. Dalam praktik korupsi yang sedemikian rupa, tertata dengan rapi modus kejahatan dan kualitasnya, menjadikan kejahatan korupsi ini sulit untuk diungkap. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum 2. Subyek dari tindak pidana korupsi adalah orang dan korporasi, di dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, memperluas pengertian orang, di dalam Pasal 1 sub 3 menyebutkan Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Dan di dalam Pasal 1 sub 1 UU No.31 Tahun 1999 jo No.20 Tahun 2001 memberi arti korporasi adalah Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 2 Ibid, hal 2

4 Perbuatan-perbuatan yang dijadikan tindak pidana korupsi menurut UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, dapat didefinisikan dari rumusan tindak pidananya. Dilihat dari pola penempatan norma dan sanksinya, maka rumusan tindak pidana korupsi di dalam undang-undang ini, memuat secara bersama-sama dalam satu pasal, uraian unsur-unsur perbuatan yang dilarang atau pidana sanksi yang diancamkan. Pola perumusan dalam undang-undang ini, ditandai dengan penempatan ancaman pidana minimum dan pidana maksimum secara khusus, artinya pasal demi pasal. Salain itu dalam tindak pidana secara substansif dianggap berat, ancaman pidana pokok bersifat kumulatif antara pidana penjara dengan pidana denda. Sementara itu dalam tindak pidana yang kualifikasinya dianggap lebih ringan, ancaman pidananya bersifat alternatif 3. Jenis pidana yang diancamkan dalam tindak pidana korupsi, meliputi pidana pokok yang terdiri dari pidana penjara dan denda, sedangkan pidana mati diposisikan sebagai pidana yang bersifat khusus, yang hanya boleh dijatuhkan hakim apabila tindak pidana itu dilakukan pada keadaan tertentu yang mana di jelaskan dalam pasal 2 ayat 2 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001. Mengenai jenis pidana tambahan ada jenis baru yang tidak dikenal menurut pasal 10 KUHP, dan termuat dalam pasal 18 ayat 1 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 adalah : 3 Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. Jasa Grafindo Persada. 2005 hal 119

5 a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. d. Pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Dari uraian pidana tambahan yang terdapat dalam UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 Pasal 18 ayat 1, yang merupakan salah satu ciri khusus undang-undang ini adalah pembayaran uang pengganti yang tedapat dalam sub b. Pidana pembayaran uang pengganti, walaupun ada persamaan sifat dengan pidana denda yakni sama dalam hal nilai uang atau rupiah yang dibebankan atas harta kekayaan si pembuat atau terpidana, namun subtansinya sungguh berbeda. Perbedaan itu mengenai jumlah uang dalam pidana denda, tidaklah perlu dihubungkan dengan akibat atau kerugian yang diderita maksudnya adalah kerugian negara. Akan tetapi, pada pidana pembayaran uang pengganti wajib dihubungkan dengan adanya akibat atau kerugian yang timbul oleh adanya korupsi yang dilakukan oleh si pembuat. Tujuan pidana pembayaran uang

6 pengganti adalah pengembalian atau pemulihan kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi, tetapi pidana denda semata-mata ditujukan bagi pemasukan uang untuk kas negara 4 Pelaksanaan putusan pidana pembayaran uang pengganti dilakukan dengan meminta pembayaran atau pelaksanaan secara sukarela oleh terpidana selama tenggang waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Apabila setelah tenggang waktu satu bulan, tidak juga dibayar, maka dilakukan upaya paksa dengan cara jaksa menyita harta benda terpidana dan dilelang dimuka umum yang hasilnya dimasukkan ke kas negara. Apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka terpidana dipidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dilakukan dan pidana penjara ini telah ditentukan dalam vonis hakim terlebih dahulu. Berkaitan dengan pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti, kenyataan dalam praktik sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara efektif, karena banyak faktor yang menghambat baik dari terpidana, penegak hukum dan aturan-aturan pelaksanaanya. 4 Adami Chazawi. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayu Media Publishing. 2005 hal 354

7 Dalam hal ini pelaksanaan putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, menurut Pasal 270 KUHAP serta Pasal 30 huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dilakukan oleh jaksa selaku eksekutor. Untuk mengetahui efektifitas dan tingkat keberhasilan pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti serta dari uraian latar belakang di atas maka dalam penyusunan skripsi ini, penulis berminat untuk mengangkat masalah tersebut dengan judul : PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA B. Rumusan Masalah 1. Apa yang menjadi dasar hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana pembayaran uang pengganti? 2. Sejauh mana pelaksanaan terhadap putusan pidana pembayaran uang pengganti berhasil dilaksanakan? 3. Upaya apa yang dilakukan oleh jaksa selaku eksekutor untuk memaksimalkan pidana pembayaran uang pengganti?

8 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dasar hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi. 2. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan putusan pidana pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi berhasil dilaksanakan. 3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan oleh jaksa selaku eksekutor untuk memaksimalkan pidana pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini besar harapan penulis untuk dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis : a. Memberikan masukan pada pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. b. Menambah pengetahuan penulis pada khususnya tentang dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

9 c. Menambah pengetahuan penulis pada khususnya tentang pelaksanaan putusan pidana pembayaran uang pengganti. 2. Manfaat Praktis : a. Memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. b. Memberikan masukan kepada para aparat penegak hukum dalam menangani masalah korupsi. c. Sebagai referensi bagi penelitian berikutnya. D. Kerangka Konseptual Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan mengganggu pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus di prioritaskan, hal ini disebabkan karena akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi sangat luas dan berpengaruh buruk terhadap semua bidang, khususnya bidang perekonomian. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang berupa perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, baik yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga

10 negara, baik di tingkat pusat maupun daerah atau BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan untuk memberikan manfaat, kemakmuran, dan kasejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Dengan demikian, perekonomian negara yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau masyarakat yang didasarkan pada kebijakan pemerintah untuk kemakmuran rakyat 5. Mengenai sistem penjatuhan pidana didalam UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, ada kekhususan dibandingkan dengan hukum pidana umum, yaitu sebagai berikut : 1. Dalam hukum pidana korupsi dua jenis pidana pokok yang dijatuhkan bersamaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat imperatif, yaitu antara pidana penjara dan denda. Dua jenis pidana pokok yakni penjara dan denda wajib kedua-duanya di jatuhkan serentak. Sistem imperatif 5 Ibid, hal 46

11 kumulatif ini terdapat pada Pasal 2, 6, 8, 9, 12, 12B. Tampaknya, sistem penjatuhan pidana imperatif kumulatif diancamkan pada tindak pidana korupsi yang paling berat. b. Penjatuhan dua jenis pidana pokok serentak yang bersifat imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dan denda. Diantara dua jenis pidana pokok ini wajib dijatuhkan ialah pidana penjara (imperatif), namun dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan pidana denda (fakultafif). Disini pidana denda tidak wajib dijatuhkan, melainkan boleh dijatuhkan (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidana penjara. Jadi khusus untuk penjatuhan pidana denda bersifat fakultatif yang dibandingkan dengan KUHP sifat penjatuhan pidana fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana tambahan. Sistem imperatif-fakultatif ( penjara imperatif, denda fakultatif) ini disimpulkan dari dua kata yakni dan atau mengenai kalimat mengenai ancaman pidana dari rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Disini hakim dapat memilih antara menjatuhkan satu saja, yaitu penjara (sifatnya imperatif) atau juga menjatuhkan secara bersamaan dengan pidana denda (sifat fakultatif). Sistem penjatuhan pemidanaan imperatf-fakultatif ini terdapat pada tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 3, 5, 7, 10, 11, 13, 21, 22, 23, dan 24. 2. Sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara

12 maupun pidana denda dan tidak menggunakan sistem dengan menetapkan ancaman pidana maksimum umum dan minimum umum seperti dalam KUHP. 3. Maksimum khusus pidana penjara yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum dalam KUHP (15 tahun), yakni paling tinggi sampai 20 tahun. Dalam KUHP boleh menjatuhkan pidana penjara sampai melebihi batas maksimum 15 (lima belas) tahun yakni 20 (dua puluh tahun), dalam hal apabila terjadi pengulangan atau perbarengan ( karena dapat ditambah sepertiganya) atau tindak pidana tertentu sebagai alternatif dari pidana mati (misal Pasal 104, 340, 365 ayat 4 KUHP). 4. Dalam hukum pidana korupsi tidaklah mengenal pidana mati sebagai suatu pidana pokok yang diancamkan pada tindak pidana yang berdiri sendiri. Akan tetapi, mengenal pidana mati dalam hal tindak pidana tersebut, Pasal 2 terdapat adanya alasan pemberatan pidana. Jadi pidana mati itu adalah pidana yang dapat dijatuhkan bilamana ada alasan pemberatan pidana, yaitu apabila melakukan tindak pidana korupsi Pasal 2 dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2), yaitu bila dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu terjadinya bencana alam nasional; sebagai pengulangan; atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Dalam sistem pemidanaan hukum pidana formil korupsi yang mengancam dengan pidana penjara kumulatif dengan denda atau pidana penjara kumulatif

13 fakultatif dengan denda, baik pada maksimum khusus maupun minimum khusus tidaklah berlaku apabila nilai objek tindak pidana korupsi tersebut Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 kurang dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). Untuk nilai objek tindak pidana korupsi kurang dari lima juta rupiah ini ancaman pidananya ialah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 6. Dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, kedudukan polisi, jaksa dan hakim mempunyai peranan yang signifikan dan urgent dalam suatu proses peradilan, dimana hasil akhirnya dari proses peradilan tersebut berupa putusan pengadilan atau sering digunakan putusan hakim, karena hakimlah yang memimpin sidang di pengadilan itu 7. Hakim dalam memutus perkara pidana korupsi tentunya memiliki pertimbangan pertimbangan baik dari segi yuridis, sosiologis, psikologis, maupun faktor internal dan eksternal yang ada pada diri hakim, sehingga setiap putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggung jawabkan baik secara hukum, moral, agama maupun kepada masyarakat. Dari hal tersebut maka akan tercipta suatu kepastian hukum serta wibawa hukum dalam masyarakat. 6 Ibid, hal 357 7 Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hal 182

14 E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang objek yang diteliti maupun gejala-gejala lainnya. Penelitan deskriptif adalah penelitian yang merupakan prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak 8. 2. Lokasi Penelitian Surakarta. Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil lokasi di kota 3. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan penelitian Yuridis Sosiologis dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang sistematis dan menyeluruh tentang pelaksanaan putusan pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. 8 Soerjono dan Abdulrahman. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2003. hal 23

15 4. Jenis Data Penulis dalam penelitian ini menggunakan sumber data yang terbagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun penjelasan mengenai sumber data primer dan sumber data sekunder adalah sebagai berikut : a. Data Primer Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian yaitu dari hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dan Jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta. b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari kepustakaan yang dalam hal ini adalah : 1. Bahan Hukum Primer meliputi peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Bahan Hukum sekunder meliputi hasil karya ilmiah para pakar sarjana dan hasil penelitian 5. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang dipergunakan penulis adalah sebagai berikut: a. Studi lapangan ( field Research ), merupakan penelitian secara langsung terhadap obyek yang diteliti dalam rangka memperoleh data primer

16 dengan cara wawancara. Wawancara ini dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung terhadap hakim dan jaksa serta para pihak yang dianggap mengetahui tentang masalah ini. b. Studi kepustakaan ( Library Research ), merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca dan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, laporan hasil penelitian, serta segala hal yang berkaitan dengan masalah ini. 6. Metode Analisis Data. Penulis menggunakan analisis kualitatif, yaitu suatu analisis data yang menggunakan dan memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil penelitian dan jawaban-jawaban dari informan yaitu hakim dan jaksa, yang dicari hubungan antara data yang satu dengan data yang lain kemudian disusun secara sistematis. Metode analisis data kualitatif dilakukan dengan cara menyeleksi data yang telah terkumpul dan memberikan penafsiran terhadap data-data itu kemudian menarik kesimpulan 9 F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penyusunan dan pemahaman terhadap skripsi ini, maka disusun dengan sistematika yang terdiri dari empat bab. 9 Winarno Surakhman. 1998.Paper, Skripsi, Disertasi. Bandung : Tarsito. hal 16

17 Pendahuluan. Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumasan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penelitian. Tinjauan Pustaka. Dalam bab ini, penulis akan menguraikan mengenai tinjauan umum yang terbagi dalam tiga sub bab yaitu Tinjauan umum mengenai Tindak pidana, Tindak pidana korupsi dan Pidana. Hasil Penelitian dan Pembahasan. Dalam bab ini, penulis akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang dasar hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana pembayaran uang pengganti, menguraikan sejauh mana pelaksanaan putusan pidana pembayaran uang pengganti berhasil dilaksanakan, Menguraikan upaya-upaya apa, yang dilakukan oleh jaksa selaku eksekutor untuk memeksimalkan pembayaran uang pengganti, serta dasar hukum Jaksa dalam melakukan eksekusi pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi Penutup. Berisi tentang kesimpulan dan saran yang menjadi penutup skripsi ini.