BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan exra ordinary crime 1, sehingga memerlukan. dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

BAB III HASIL PENELITIAN KESEIMBANGAN SANKSI PIDANA KURUNGAN SEBAGAI SANKSI PENGGANTI SANKSI PIDANA DENDA

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

II. TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

2017, No kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas, serta relevansi harga wajar benda sitaan Rp300,00 (tiga ratus rupiah) yang dapat dijual

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015. HUKUMAN TAMBAHAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh : Inggrid Pilli 2

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

UANG PENGGANTI. (Sumber Gambar : tokolarismanis.files.wordpress.com)

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat. disimpulkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Penyelesaian. Uang Pengganti. Pengadilan. Pemberantasan TIPIKOR. Petunjuk Pelaksanaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

Kasus Korupsi PD PAL

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus Presiden Republik Indonesia,

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

Pasal 48 yang berbunyi :

PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790]

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB III PENUTUP. menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : Jaksa Agung Muda, peraturan perihal Jaksa Agung Muda Pengawasan

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA INDUSTRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

Transkripsi:

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legislasi, perumusan ketentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep rancangan undang-undang yang diajukan ke legislatif. Menurut Barda Nawawi Arief, strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakekat permasalahannya. Bila hakekat permasalahannya lebih dekat dengan masalah-masalah dibidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan pidana denda atau semacamnya. 46 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Sehubungan dengan adanya kalimat dapat dijatuhi pidana tambahan dalam Pasal 17 tersebut, maka penjatuhan pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi sifatnya adalah fakultatif, artinya bahwa hakim tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili, melainkan 46 Efi Laila Kholis, Loc.Cit. hal. 16

terserah pada pertimbangannya apakah disamping menjatuhkan pidana pokok, hakim juga bermaksud menjatuhkan suatu pidana tambahan atau tidak. 47 Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidana dengan seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan memberi efek takut kepada orang lain agar tidak melakukan korupsi. Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi tindak pidana korupsi. Menurut Undang- Undang, salah satu unsur tipikor adalah adanya tindakan yang merugikan negara. Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi suatu korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi. 48 Penjatuhan pidana tambahan dapat dilihat dalam arti sempit maupun luas. Dalam arti sempit, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Dilihat dalam arti luas, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai putusan pidana yang dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksanaan pidana. Seperti pidana lainnya, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dicantumkan dalam putusan hakim. 49 47 P.A.F. Lamintang, Loc.Cit, hal. 84 48 Efi Laila Kholis, Loc.Cit, hal. 17 49 Ibid., hal 17-18

Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa pengumuman putusan hakim yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukan merupakan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.3 KUHP, kecuali dalam putusan hakim tersebut terdapat perintah kepada Jaksa agar putusan hakim diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 KUHP. 50 Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut di atas, maka Pasal 18 ayat (1) huruf b menentukan bahwa pidana tambahan dapat berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan yang berupa uang pengganti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, maka perlu adanya alat-alat bukti antara lain keterangan ahli (sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP) yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Hal ini perlu dilakukan karena penentuan pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak pidana korupsi. 51 Adapun yang dimaksud dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut menurut R. Wiyono tidak hanya ditafsirkan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi 50 R.Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 126 51 Ibid., hal. 129

yang masih dikuasai oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, tetapi ditafsirkan juga termasuk harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, yang pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, harta benda tersebut oleh terdakwa sudah dialihkan penguasaannya kepada orang lain. 52 Sehubungan dengan adanya kalimat selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah..dst dalam perumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi adalah pidana tambahan yang ditentukan dalam : 1. Pasal 10 huruf b KUHP, yang meliputi : a. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP terdiri dari : 1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu 2) Hak memasuki angkatan bersenjata 3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum 4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengawas atas orang yang bukan anak sendiri 5) Hak menjalankan mata pencaharian tertentu. b. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUHP ditentukan bahwa dapat dirampas atas : 1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan 2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan. 3) Pengumuman keputusan hakim. 2. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang terdiri dari : a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. 52 Ibid., hal. 130

b. Pembayaran uang pengganti c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. 53 B. Penetapan Uang Pengganti Penetapan jumlah uang pengganti yang lebih memenuhi rasa keadilan, bahwa penetapan dan penghitungan dari jumlah Uang Pengganti kepada Terdakwa tindak pidana korupsi adalah sejumlah uang negara yang telah dirugikan setelah diperiksa dan diselidiki oleh pihak Kejaksaan. 54 Sedangkan menurut R. Wiyono adalah dengan cara menghitung seperti terdapat di dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 11 Mei 1955 Nomor 26 K/Sip/1955 dan tanggal 15 Januari 1958 Nomor 11 K/Sip/1957, meskipun cara menghitung yang terdapat didalam kedua putusan Mahkamah Agung RI tersebut adalah cara menghitung uang tebusan yang berkaitan dengan gadai tanah. 55 Dengan berpedoman pada kedua putusan Mahkamah Agung RI tersebut, cara menghitung jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana adalah sebagai berikut : negara yang dirugikan dan terpidana, masing-masing memikul setengah dari perubahan nilai mata uang, diukur dari harga emas pada waktu tindak pidana korupsi dilakukan dan pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, misalnya : Sebagai akibat dari tindak pidana korupsi yang dilakukan terpidana, negara telah menderita kerugian uang sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Harga emas pada saat tindak pidana korupsi dilakukan terpidana Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per gram, sedang harga emas pada saat pengadilan menjatuhkan putusannya Rp. 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah) per gram. Uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana adalah ½ x Rp. 45.000,-/Rp. 15.000,- x Rp.60.000.000,- = Rp. 90.000.000,-. Dengan cara perhitungan seperti di atas, terpidana tidak akan sampai dapat mengambil keuntungan dari adanya penurunan nilai mata uang. 56 53 Ibid., hal. 131 54 Wawancara dengan Bapak Arfan, Loc.Cit. 55 R.Wiyono., Loc.Cit., hal 134 56 Ibid., hal. 134

Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan :.. undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayarkan pidana tambahan berupa uang pengganti keuangan negara. Penjelasan tersebut berkaitan dengan ketentuan yang terdapat didalam Pasal 18 ayat (3) yang merupakan ketentuan lanjutan dari ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 18 ayat (2). Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (3) tersebut, dapat diketahui adanya beberapa syarat agar terpidana yang dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dapat dipidana dengan pidana penjara, yaitu : 1. Oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, artinya dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, ternyata disamping terpidana sudah tidak mempunyai lagi uang tunai untuk membayar uang pengganti, juga hasil lelang dari harta benda kepunyaan terpidana yang telah disita oleh jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti; 2. Lamanya pidana penjara oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, artinya pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana karena tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, tidak boleh melebihi ancaman maksimum pidana penjara dari ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh terpidana; 3. Lamanya pidana penjara tersebut oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : sudah ditentukan dalam putusan pengadilan, artinya pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, di dalam putusan pengadilan tersebut sudah ditentukan atau dicantumkan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap terpidana jika sampai terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti. 57 Dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (3) tersebut, untuk waktu yang akan datang, terdapat kecenderungan bahwa pengadilan pada waktu menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti 57 Ibid., hal. 134-135.

kepada pelaku tindak pidana korupsi didalam putusannya akan selalu mencantumkan pula pidana penjara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3). Jika di dalam putusan pengadilan tidak sampai dicantumkan pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), akan timbul masalah seandainya uang pengganti tidak dapat dibayar seluruhnya atau sebagian oleh terpidana. Pasal 34 huruf c undang-undang Nomor 3 / 1971 dan pasal 18 ayat (1) huruf b hanya menetapkan rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, maka dapat ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai harta si terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang di dakwakan. Maka untuk menentukan besarnya uang pengganti, pertama-tama hakim harus secara cermat memilah-milah bagian mana dari keseluruhan harta terdakwa yang berasal dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan mana yang bukan. Setelah melakukan pemilahan, hakim kemudian baru dapat melakukan perhitungan berapa besaran uang pengganti yang akan dibebani. Kedua, perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang berdasarkan sifatnya mempunyai nilai fluktuatif, yang nilainya terus berubah. Salah seorang pejabat kejagung. Yoseph Suardi Sabda saat itu menjabat sebagai Direktur Perdata mengatakan pengaturan rumusan jumlah uang pengganti dalam undang-undang korupsi yang berlaku saat ini sangat membingungkan. Disebutkan lebih baik menggunakan pemahaman bahwa uang pengganti disamakan saja dengan

kerugian negara yang ditimbulkan. Dengan menetapkan besaran uang pengganti sama dengan jumlah kerugian negara maka sisi positifnya adalah menghindari kerepotan hakim dalam memilah dan menghitung aset terpidana karena besarannya sudah jelas serta memudahkannya pengembalian keuangan negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi. 58 Pada prakteknya, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilahmilah mana aset yang berasal dari korupsi dan mana yang bukan, karena pada perkembangannya kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat. Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang lengkap. Belum lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika harta yang akan dihitung berada di luar negeri sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu. 59 Mengenai penentuan pidana pembayaran uang pengganti berpedoman pada Surat Jaksa Agung No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009, mengenai petunjuk kepada jaksa penuntut umum dalam membuat surat tuntutan yang salah satu diantara petunjuk adalah mengenai pidana pembayaran uang pengganti yaitu : 1. Kewajiban membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi yang dirugikan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi. Amar surat tuntutan : membayar uang pengganti kepada Negara (institusi yang dirugikan) sebesar...dst. 2. Untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayar uang pengganti tetapi hanya sebagian (tidak penuh) dari pidana dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supaya ditambahkan klausul: apabila terdakwa / terpidana membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti. 3. Terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih dari satu orang supaya di dalam Amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti 58 Efi Laila Kholis, Loc.Cit, hal. 18 59 Ibid.

jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi. Kesulitan eksekusi yang terjadi baik menyangkut jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh masing-masing terdakwa/terpidana maupun terhadap terpidana yang tidak membayar (atau membayar sebagian) uang pengganti sehingga harus menjalani hukuman badan sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti tersebut. 4. Apabila tidak diketahui secara pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomani untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing terpidana/terdakwa adalah menggunakan kualifikasi turut serta dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP. 5. Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggung jawabkan disertai bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian keuangan Negara oleh Kejaksaan Agung. 60 C. Prosedur Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti Jika pengadilan sudah menjatuhkan putusannya mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, kepada terpidana diberi tenggang waktu untuk membayar uang pengganti seperti yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap tenggang waktu tersebut, jaksa sebagai pelaksana dari putusan pengadilan (Pasal 270 KUHAP), tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tidak seperti halnya jaksa dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran denda, yaitu yang ditentukan dalam Pasal 273 ayat (2) KUHAP, karena pembayaran uang pengganti berbeda dengan pembayaran denda. 60 Ibid, hal. 20-21.

Dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti maka terpidana diberi tenggang waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap untuk melunasinya, jika dalam waktru yang ditentukan tersebut telah habis maka jaksa sebagai eksekutor Negara dapat menyita dan melelang harta benda terdakwa (Pasal 18 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001 perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi). 61 Pembayaran uang pengganti merupakan pidana tambahan, sedangkan denda merupakan pidana pokok, sehingga akibatnya ketentuan-ketentuan mengenai pidana denda yang antara lain terdapat dalam Pasal 273 ayat (2) KUHAP, tidak dapat demikian saja diberlakukan untuk pembayaran uang pengganti. Meskipun jaksa tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tetapi mengingat perumusan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) menggunakan kalimat paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan, maka menurut R. Wiyono, jaksa masih dapat menentukan tahaptahap pembayaran uang pengganti, tetapi dengan syarat tahap-tahap tersebut tidak dapat melebihi tenggang waktu 1 (satu) bulan. 62 Jika tenggang waktu untuk pembayaran uang pengganti sudah lewat dan terpidana ternyata tidak membayar uang pengganti, tindak lanjutan adalah seperti yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. 63 Ketentuan yang merupakan tindak lanjut dari akibat terpidana tidak membayar 61 R.Wiyono, Loc.Cit, hal. 22 62 Ibid., hal. 132 63 Ibid.

uang pengganti tersebut, perlu diberikan penjelasan, yaitu mengenai apa yang dimaksud dengan kalimat harta bendanya dan kalimat dapat disita dalam Pasal 18 ayat (2) tersebut. Penyitaan dan pelelangan bersifat fakultatif, yaitu baru dilakukan dalam hal terpidana belum atau tidak membayar uang pengganti sejumlah yang ditentukan dalam putusan dalam waktu yang telah ditentukan seperti diatas. Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tidak perlu terlebih dahulu mendapat izin dari ketua Pengadilan Negeri setempat karena penyitaan ini bukan dalam rangka penyidikan tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan. 64 Menurut R. Wiyono yang dimaksud dengan kalimat harta bendanya dalam Pasal 18 ayat (2) adalah harta benda kepunyaan terpidana yang bukan merupakan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau harta benda kepunyaan terpidana yang bukan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, karena jika memang terbukti di sidang pengadilan, bahwa harta benda kepunyaan terpidana tersebut merupakan harta benda hasil tindak pidana korupsi dan/atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, maka pengadilan sudah tentu akan menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barangbarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP atau Pasal 18 ayat (1) huruf b, sehingga jaksa tidak perlu sampai melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dimaksud dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. 65 Dengan dipergunakannya kalimat dapat disita dalam Pasal 18 ayat (2), maka menurut hemat penulis, penyitaan yang dilakukan oleh jaksa terhadap harta 64 Efi Laila Kholis, Loc.Cit., hal 23 65 Ibid, hal. 133

benda kepunyaan terpidana tersebut sifatnya adalah fakultatif. Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian harta benda tersebut dilelang, baru dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan (Pasal 270 KUHP) jika ternyata terpidana belum atau tidak membayar uang pengganti yang jumlahnya seperti yang dimuat pada putusan pengadilan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut tidak perlu terlebih dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan persetujuan karena penyitaan ini dilakukan bukan dalam rangka penyidikan tetapi dalam rnagka pelaksanaan putusan pengadilan. Jaksa dalam melakukan penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut harus dapat memperkirakan harga dari benda yang disita, yang jika dilelang sudah dapat menutupi jumlah uang pengganti seperti yang dimuat dalam putusan pengadilan. Diharapkan jangan sampai terjadi beberapa kali dilakukan penyitaan harta benda kepunyaan terpidana, karena salah memperkirakan harga dari harta benda yang disita, yang setelah dilelang ternyata tidak dapat menutupi jumlah uang pengganti yang harus dibayar. Jika diperhatikan perumusan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, tidak salah kalau semua ada yang mempunyai pendapat bahwa cara menghitung jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana disamakan saja dengna harta benda yang diperoleh terpidana pada waktu atau selama melakukan tindak pidana korupsi. Pendapat tersebut dapat diikuti, jika seandainya pada waktu terpidana mulai melakukan tindak pidana korupsi sampai dengan pada waktu pengadilan

menjatuhkan putusannya, nilai mata uang tetap stabil, tetapi jika seandainya pada waktu terpidana mulai melakukan tindak pidana korupsi sampai pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, terjadi penurunan bahkan kemerosotan nilai mata uang, maka menurut hemat penulis pendapat itu perlu dipikirkan kembali. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bahwa pembayaran uang pengganti harus dilaksanakan oleh terpidana paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan tersebut selanjutnya jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan (Pasal 270 KUHAP) akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Terpidana akan dipanggil untuk membicarakan masalah pembayaran uang pengganti. 2. Melakukan negosiasi mengenai kesanggupan pembayaran uang pengganti dengan cara pembayaran yang dilakukan oleh terpidana secara bertahap 3. Melakukan penelusuran dan penyelidikan terhadap harta benda milik terpidana yang diduga diperoleh dari tindak pidana korupsi. 4. Apabila dalam waktu yang telah disepakati antara jaksa dan terpidana, pembayaran uang pengganti tidak dilaksanakan oleh terpidana, maka jaksa akan melakukan penyitaan terhadap harta benda milik terpidana dan mengajukan permohonan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) untuk melakukan lelang eksekusi terhadap barang yang disita tersebut. 5. Uang pengganti yang telah dibayarkan oleh terpidana atau hasil dari lelang eksekusi selanjutnya oleh jaksa disetorkan kepada Kantor Kas Negara atau Bank yang telah ditunjuk oleh negara sebagai penerimaan negara dari pembayaran uang pengganti. 6. Setelah semua penyelesaian pembayaran uang pengganti telah dilaksanakan oleh jaksa, maka kemudian jaksa membuat laporan tentang penyelesaian pembayaran uang pengganti yang disampaikan kepada pengadilan. 66 Apabila dalam praktiknya Uang Pengganti tersebut yang telah ditetapkan dan diputuskan pihak pengadilan tetapi terdakwa tidak dapat melaksanakan pembayaran Uang Pengganti sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka akan dikenakan hukuman pengganti yaitu penambahan hukuman penjara sesuai dengan perhitungan pengganti sesuai dengan jumlah Uang Pengganti yang belum dibayarkan. Apabila si terpidana meninggal dunia sebelum Uang Pengganti 66 Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, Loc.Cit.

dibayarkan maka pihak keluarga dan ahli waris terpidana tersebut bertanggung jawab atas pengembalian Uang Pengganti terpidana apabila terbukti bahwa ada harta dari keluarga atau ahli waris yang ternyata merupakan hasil dari Tindak Pidana Korupsi. 67 67 Ibid.