BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Air merupakan salah satu senyawa kimia yang terdapat di alam secara berlimpah-limpah. Namun, ketersediaan air yang memenuhi syarat bagi keperluan manusia relatif sedikit karena dibatasi oleh berbagai faktor. Air merupakan komponen utama penyusun mahluk hidup, hampir 98% tubuh suatu mahluk hidup tersusun oleh air. Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk murni (Fardiaz, 1992). Air tawar berasal dari dua sumber yaitu air permukaan (surface water) dan air tanah (ground water). Air permukaan adalah semua air yang terdapat di atas permukaan tanah seperti sungai, danau, waduk, rawa, dan badan air lainnya (Kodoatie dan Sjarief, 2008). Perairan permukaan diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama yaitu badan air tergenang (lentik) dan badan air mengalir (lotik). Perairan tergenang meliputi rawa, danau, waduk, kolam dan sebagainya. Perairan tergenang dicirikan oleh kondisi arus yang sangat lambat (0,001 0,01 m/detik) atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu, waktu tinggal air dapat berlangsung lama. Perairan tergenang yang cukup dalam juga dicirikan adanya stratifikasi kualitas air secara vertikal tergantung kedalaman dan musim. Arus air yang lambat dan bahkan tidak ada arus sama sekali menyebabkan proses turbulensi dan pencampuran massa air serta difusi gas-gas dari atomosfer ke dalam air berlangsung sangat lambat. Perairan mengalir (lontik) seperti sungai, dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar 0,1 1,0 m/detik, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, bentang alam (topografi dan kemiringan), jenis batuan dasar, dan curah hujan. Semakin tinggi tingkat memiringan, semakin besar ukuran batuan dasar dan semakin banyak curah hujan, pergerakan air semakin kuat dan kecepatan arus semakin cepat (Effendi, 2003). Pada perairan sungai biasanya terjadi pencampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan tergenang. Sungai bagian hulu dicirikan dengan badan sungai yang dangkal dan sempit, tebing curam dan tinggi, berair jernih dan mengalir cepat. Badan sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya curam atau landai, badan air dalam, keruh, dan aliran air lambat (Mulyanto, 2007).
2.2 Pencemaran Air Pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan tidak lagi berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Effendi, 2003). 2.2.1 Sumber pencemar Sumber pencemar dapat berupa suatu lokasi tertentu (point sources) atau tak tentu/tersebar (nonpoint sources). Sumber pencemar point source misalnya saluran limbah industri dan cerobong asap pabrik. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sumber pencemar non-point source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak, misalnya limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah permukiman penduduk (domestik), dan limpasan dari daerah perkotaan. Davis dan Cornwell (1991) mengemukakan beberapa jenis pencemar dan sumbernya dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Beberapa Jenis Pencemar dan Sumbernya Jenis Pencemar Sumber Tertentu (Point Source) Limbah Domestik Limbah Industri Sumber Tak Tentu (Non-point Source) Limpasan Limpasan Daerah Daerah Pertanian Perkotaan 1. Limbah yang dapat menurunkan kadar oksigen x x x x 2. Nutrien x x x x 3. Patogen x x x x 4. Sedimen x x x x 5. Garam-garam - x x x 6. Logam yang toksik - x - x 7. Bahan organik yang toksik - x x - 8. Pencemaran panas - x - - Sumber : Davis dan Cornwell (1991)
2.2.2 Bahan pencemar Bahan pencemar adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, pencemar dikelompokkan menjadi dua, yaitu pencemar alamiah dan pencemar antropogenik. Pencemar alamiah adalah pencemar yang memasuki suatu lingkungan (misalnya badan air) secara alami, misalnya akibat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir dan fenomena alam lainnya. Pencemar antropogenik adalah pencemar yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), perkotaan dan kegiatan industri (Effendi, 2003). Berdasarkan sifat toksiknya, pencemar dibedakan menjadi dua yaitu pencemar tak toksik dan pencemar toksik (Jeffries dan Mills, 1996). Pencemar tak toksik biasanya telah berada pada ekosistem secara alami. Sifat destruktif pencemar ini muncul apabila berada dalam jumlah yang berlebihan sehingga dapat menganggu keseimbangan ekosistem melalui perubahan proses fisik-kimia perairan. Pencemar tak toksik terdiri atas bahan-bahan tersuspensi dan nutrien. Keadaan nutrien yang berlebihan dapat memacu terjadinya pengayaan (eutrofikasi) perairan dan dapat memacu pertumbuhan mikroalga dan tumbuhan air secara pesat (blooming), yang selanjutnya dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem perairan secara keseluruhan. 2.3 Indikator Pencemaran Perairan Kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain di dalam air. Menurut Sumantri (2010) indikator atau tanda bahwa air telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati secara fisis (kejernihan air atau kekeruhan, suhu, bau dan rasa), pengamatan secara kimiawi (zat kimia yang terlarut, ph) dan pengamatan secara biologis (berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air). 2.3.1 Parameter fisika a. Suhu
Perubahan suhu berpengaruh pada proses fisika, kimia dan biologi badan air. Kenaikan suhu air menurut Fardiaz (1992) akan menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut : (1) jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun. (2) kecepatan reaksi kimia meningkat. (3) kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. (4) jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya akan mati. Suhu air mempunyai pengaruh terhadap metabolisme hewan air, dimana semakin tinggi suhu pada batas-batas optimum maka metabolisme hewan air semakin meningkat. Suhu air juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam penguraian bahan-bahan organik, dimana semakin tinggi suhu maka aktivitas mikroorganisme semakin meningkat yang menyebabkan pengambilan atau pemanfaatan oksigen terlarut dalam air semakin meningkat. b. Kecerahan dan kekeruhan Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi, 2003). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyak cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dan terlarut (Davis dan Cornwell, 1991). c. Daya hantar listrik (DHL) Daya hantar listrik adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Semakin banyak garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL. d. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) dan padatan terlarut total (Total Dissolved Solid atau TDS) Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan partikel berukuran lebih besar dari 0,45 µm yang berada dalam kolom air. Padatan tersuspensi terbentuk dari partikel-partikel sedimen, bahan-bahan organik (detritus yang terkomposisi), juga sel-sel fitoplankton dan mikroorganisme hidup lainnya. Secara nyata semua perairan (sungai, danau dan laut) mengandung bahan-bahan padatan tersuspensi dan dalam beberapa keadaan didapatkan dalam konsentrasi tinggi sebagai akibat erosi tanah, pengaliran
limbah, dan lain sebagainya. Partikel-partikel sedimen yang terbentuk dari lumpur dan liat, dapat tersuspensi dalam kolom air sebagai akibat pergerakan air oleh arus dan pengadukan angin, atau tercuci masuk ke dalam perairan dari daratan melalui proses run off. Semakin tinggi konsentrasi padatan tersuspensi dalam air maka semakin tinggi tingkat kekeruhan air. Padatan tersuspensi bahan anorganik yang tinggi dapat menurunkan produktivitas primer di perairan karena menurunnya penetrasi cahaya matahari. Sementara itu, padatan tersuspensi bahan organik yang tinggi di perairan akan mendorong meningkatnya aktivitas mikroorganisme untuk menguraikannya sehingga kebutuhan oksigen terlarut akan meningkat. Padatan terlarut adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang larut air, mineral dan garam-garamnya (Fardiaz, 1992). e. Debit Debit dinyatakan sebagai laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m 3 /dt) (Asdak, 2004). 2.3.2 Parameter kimia a. ph ph suatu larutan menyatakan konsentrasi ion hidrogen dalam larutan tersebut. Makin asam larutan maka ph makin rendah dan sebaliknya makin basa maka ph makin tinggi. ph suatu perairan dapat digunakan sebagai indikasi suatu pencemaran khususnya pencemaran bahan organik. Pemecahan bahan organik oleh mikroorganisme akan menghasilkan karbon dioksida. Peningkatan karbon dioksida akan mengakibatkan penurunan nilai ph jika sistem buffer karbonat di perairan rendah. Nilai ph sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada ph yang rendah (Sumantri, 2010). b. Fosfat (PO 4 ) Salah satu bentuk fosfor di ekosistem perairan adalah persenyawaan fosfor anorganik, secara normal didapatkan dalam bentuk orto-fosfat (PO 4-3 ) yang umumnya disebut fosfat saja. Di dalam air fosfor berada dalam bentuk fosfat terlarut (fosfat organik). Fosfat di perairan berasal dari hasil perombakan
tumbuhan dan hewan yang mati, hasil ekskresi hewan air, pelapukan batuan mineral, serta masukan limbah khususnya limbah yang mengandung detergen. Limpasan dari lahan pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfat. Seperti halnya nitrat, konsentrasi fosfat di perairan merupakan indikasi tingkat kesuburan perairan dan memantau terjadinya eutrofikasi. c. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen atau DO) Tingkat kelarutan oksigen yang ada di dalam lingkungan perairan merupakan faktor yang sangat penting dalam kualitas air. Oksigen terlarut dalam air bersumber dari difusi oksigen atmosfir dan hasil fotosintesis tumbuhan dalam air. Sedangkan pengurangan oksigen terlarut disebabkan karena digunakan untuk repirasi hewan dan tumbuhan, digunakan untuk perombakan bahan-bahan organik secara biologis oleh mikroorganisme, digunakan untuk reaksi kimia anorganik, serta hilang atau terlepaskan ke atmosfir. Oksigen yang terlarut dalam air laut terdiri dari 2 bentuk senyawa, yaitu yang terikat dengan unsur lain (NO - 3, NO - 2, PO 3+ 4, H 2 O, CO 2, CO 2-3, dll) dan sebagai molekul bebas (O 2 ). Molekul oksigen (O 2 ) yang terdapat dalam air laut terlarut secara fisika, sehingga kelarutannya sangat dipengaruhi oleh suhu air. Kadar oksigen terlarut dalam air bervariasi yang dipengaruhi suhu perairan, ketinggian tempat dan tingkat turbulensi air. Semakin tinggi suhu perairan maka daya larut oksigen semakin rendah. Begitu juga semakin tinggi ketinggian tempat maka daya larut oksigen juga semakin rendah. Perairan yang turbulensinya tinggi akibat adanya arus, angin dan gelombang maka daya larut oksigen semakin tinggi. Kadar oksigen dalam air juga bervariasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke perairan. Di perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/l pada suhu 0 o C dan 8 mg/l pada suhu 25 o C. Kadar oksigen pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l (McNeely et al., 1979). d. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand atau BOD) BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada di dalam air tersebut (Wardhana, 2001). Banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme sangat tergantung pada jumlah dan jenis-jenis bahan organik yang masuk ke perairan. Bahan organik yang mudah terurai umumnya berasal dari limbah
domestik, sedangkan yang sukar terurai umumnya berasal dari limbah pertanian, pertambangan dan industri. Uji BOD mengukur jumlah oksigen yang terpakai selama 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobik, pada volume tertentu pada suhu 20 o C, dan dinyatakan dalam ppm atau mg/l. Lama inkubasi 5 hari untuk uji BOD adalah pemilihan berdasarkan arbitrary saja dimana selama waktu tersebut 70-80 % bahan-bahan organik telah teruraikan. Dekomposisi bahan organik pada dasarnya terjadi melalui dua tahap. Pada tahap pertama, bahan organik diuraikan menjadi bahan anorganik. Pada tahap kedua, bahan anorganik yang tidak stabil mengalami oksidasi menjadi bahan anorganik yang lebih stabil, misalnya amonia mengalami oksidasi menjadi nitrit dan nitrat (nitrifikasi). Pada uji BOD, hanya dekomposisi tahap pertama yang berperan, sedangkan oksidasi bahan anorganik dianggap sebagai pengganggu. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji, glukosa, aldehida, ester, dan sebagainya. Sedangkan dekomposisi bahan organik selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat (Effendi, 2003). Dengan demikian secara tidak langsung nilai BOD suatu perairan merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Davis dan Cornwell, 1991). Jika suatu perairan mengandung sedikit bahan organik, bakteri akan dapat memecahnya tanpa menimbulkan perubahan dalam hal keseimbangan oksigen dalam air. Oksigen yang terpakai akan segera diganti secara alamiah secepat pemecah aerobik memakainya. Jika dalam perairan terdapat persenyawaan organik yang berlebihan, banyaknya bakteri pemecah aerobik akan berlipat ganda karena adanya penambahan bahan organik tersebut, akibatnya akan diikuti oleh kekurangan oksigen disebabkan oksigen banyak dipakai oleh bakteri dalam memecah bahan organik tersebut. Jika karena bahan organik terlalu tinggi di perairan akibat adanya pengaliran suatu limbah maka oksigen terlarut dalam air bisa sampai nol (habis). Jika hal ini terjadi, maka organisme pengurai anaerobik akan mengambil alih proses pemecahan bahan organik tersebut dan terjadilah pembusukan dan terbentuk gas-gas yang berbau seperti methan (CH 4 ) dan hidrogen sulfida (H 2 S). e. Kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand atau COD)
COD yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menjalankan reaksi-reaksi kimia. COD pada umumnya merupakan salah satu parameter organik yang ditetapkan disamping BOD dan TOC (Total Organic Carbon) atau total jumlah organik karbon. Banyak persenyawaan organik tidak mengalami penguraian selama uji BOD 5, bahkan sama sekali tidak mengalami pemecahan, namun persenyawaan tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas air. Bakteri dapat mengoksidasi persenyawaan organik menjadi karbondioksida dan air. Zat pengoksidasi yang kuat seperti potasium dikromat juga mengoksidasi hampir semua persenywaan organik lainnya. Beberapa bahan pencemar yang biasanya menjadi pendukung bagi tingginya nilai COD adalah protein, karbohidrat, minyak, lemak, deterjen dan surfaktan. f. Logam-Logam Logam secara almiah memang ada di lingkungan perairan, dan beberapa keberadaannya bersifat esensial bagi kehidupan di perairan. Secara biologis beberapa logam dibutuhkan oleh mahluk hidup pada konsentrasi tertentu dan akan berubah fungsi menjadi racun apabila dalam jumlah berlebihan (Ridhowati, 2013). Dalam badan perairan, logam pada umumnya berada dalam bentuk ion-ion, baik sebagai pasangan ion ataupun dalam bentuk ion-ion tunggal (Palar, 2008). Sumber-sumber pencemaran logam di perairan antara lain: (a) dari batuan dan tumpahan lahar gunung berapi; (b) dari limbah industri baik industri bijih dan logam maupun industri lain yang limbahnya mengandung logam berat seperti industri pencelupan; dan (c) dari sampah dan macam-macam buangan padat. Suatu logam dapat dipandang sebagai racun apabila logam-logam tersebut konsentrasinya berada di atas yang diperkenankan. Kadar logam yang terlalu rendah dalam suatu perairan dapat menyebabkan organisme hidup di dalamnya menderita defisiensi. Akan tetapi, unsur logam dalam jumlah yang berlebihan akan bersifat racun. Hal ini disebabkan terbentuknya senyawa merkaptida antara logam berat dengan gugus SH yang terdapat dalam enzim, sehingga aktivitas enzim tidak dapat berlangsung. 2.3.3 Parameter biologi a. Fecal coliform dan total coliform
Keberadaan atau tingkat kelimpahan bakteri coliform paling umum digunakan sebagai indikator adanya kontaminasi air oleh bahan-bahan feses. Disebut sebagai bakteri coliform sebab mereka mewakili bakteri Escherichia coli, yang secara normal hidup pada pencernaan manusia. Keberadaan E. coli di perairan secara berlimpah menggambarkan bahwa perairan tersebut tercemar oleh kotoran manusia, yang mungkin juga disertai dengan cemaran bakteri patogen. Sementara itu, bakteri coliform total meliputi semua jenis bakteri aerobik, anaerobik fakultatif, dan bakteri bentuk batang yang dapat memfermentasi laktosa dan menghasilkan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35 o C. Bakteri coliform total terdiri atas Escherichia coli, Citribacter, Klebsiella, dan Esterobacter. Coliform dapat bertahan hidup hanya beberapa jam atau beberapa hari di luar inangnya, tergantung pada kondisi lingkungan. Tidak semua bakteri coliform berasal dari kotoran manusia. Perbedaan tipe coliform dapat dipisahkan dari yang satu dengan lainnya dengan uji biokimia. Coliform adalah bakteri gram-negatif yang berbentuk batang. Uji yang paling umum untuk mengetahui keberadaan coliform dalam air adalah dengan menginokulasi media cairan pertumbuhan yang sesuai. Media yang digunakan mengandung laktosa, yaitu sejenis gula yang dipermentasi oleh coliform menghasilkan asam dan gas. Pendugaan jumlah coliform yang ada dalam sampel air dilakukan dengan metode Most Probable Number (MPN). 2.4 Baku Mutu Lingkungan Hidup Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup (Suharto, 2011), sedangkan baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Pemerintah Provinsi Bali berupaya untuk mencegah dan mengendalikan pencemaran lingkungan dengan menyusun Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Kerusakan Lingkungan Hidup. 2.5 Status Mutu Air Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Penentuan status mutu air dapat menggunakan metoda STORET atau metoda indeks pencemaran. Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar. Menentukan nilai Indeks Pencemaran dengan perhitungan:...(1) Keterangan: (C i /L ij )R = konsentrasi parameter kualitas air rata-rata (C i /L ij )M = konsentrasi parameter kualitas air maksimum PI j = Indeks Pencemaran Evaluasi terhadap nilai PI adalah : a. 0 PI j 1,0 kondisi baik b. 1,0<PI j 5,0 tercemar ringan c. 5,0 <PI j 10,0 tercemar sedang d. PI j >10,0 tercemar berat