LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR SULAWESI BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN EKOSITEM PERAIRAN

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

2018, No Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

19 Oktober Ema Umilia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI BANGKA TENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2012 TENTANG REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 63 TAHUN 2003

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HIDROSFER V. Tujuan Pembelajaran

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2012 TENTANG REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari

BAB 6: GEOGRAFI LAUT DAN PESISIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara ( km). Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Batas Sempadan Pantai; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

2016, No.113-2- Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490); Menetapkan MEMUTUSKAN: : PERATURAN PRESIDEN TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1. Batas Sempadan Pantai adalah ruang sempadan pantai yang ditetapkan berdasarkan metode tertentu. 2. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 3. Parameter adalah unsur-unsur yang digunakan untuk menggambarkan suatu konsep. 4. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 5. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. 6. Pantai adalah daerah antara muka air surut terendah dengan muka air pasang tertinggi. 7. Hidro-oseanografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari proses-proses fisis, dinamis, dan kimiawi yang terjadi di perairan laut. 8. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhtumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.

-3-2016, No.113 9. Lahan Basah adalah suatu wilayah yang tergenang air, baik alami atau buatan, tetap atau sementara, mengalir atau tergenang, tawar, asin atau payau termasuk di dalamnya wilayah laut yang kedalamannya kurang dari 6 (enam) meter pada waktu surut terendah. 10. Terumbu Karang adalah suatu Ekosistem yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur terdiri dari polip-polip karang dan organisme-organisme kecil lain yang hidup dalam koloni. 11. Mangrove adalah vegetasi Pantai yang memiliki morfologi khas dengan sistem perakaran yang mampu beradaptasi pada daerah pasang surut dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir. 12. Lamun (Seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup dan tumbuh di laut dangkal, mempunyai akar, rimpang (rhizome), daun, bunga, dan buah dan berkembang biak secara generatif (penyerbukan bunga) dan vegetatif (pertumbuhan tunas). 13. Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut. 14. Delta adalah daratan yang terbentuk akibat proses pengendapan di muara sungai yang membentuk formasi Delta (segitiga) dan membentuk kesatuan ekosistem tersendiri. 15. Gumuk Pasir adalah ekosistem berupa bukit/gundukan pasir yang terbentuk akibat interaksi material penyusun dan aktivitas angin. 16. Beting Gisik adalah fenomena alam atau bentang alam yang terbentuk sebagai hasil proses gelombang atau proses marin masa lalu yang membentuk punggungan memanjang sejajar garis Pantai (shoreline) dan berada di belakang Pantai sekarang. 17. Topografi adalah bentuk atau keadaan permukaan bumi pada suatu kawasan atau daerah, yang dicerminkan

2016, No.113-4- oleh kondisi morfologi atau relief tertentu. 18. Biofisik adalah kondisi fisik lingkungan yang berkaitan dengan makhluk hidup. 19. Risiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. 20. Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana. 21. Ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan atau kehilangan jiwa manusia atau kerusakan lingkungan. 22. Badai adalah angin yang cukup tinggi yang datang musiman dan mempunyai daya rusak cukup tinggi. 23. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil. 24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. BAB II PENETAPAN BATAS SEMPADAN PANTAI Pasal 2 (1) Pemerintah daerah provinsi yang mempunyai sempadan Pantai wajib menetapkan arahan Batas Sempadan Pantainya dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi. (2) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang mempunyai sempadan Pantai wajib menetapkan Batas Sempadan Pantainya dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

-5-2016, No.113 Pasal 3 (1) Penetapan Batas Sempadan Pantai untuk wilayah administratif Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dilakukan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. (2) Batas Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi daerah khusus ibu kota jakarta. Pasal 4 Penetapan Batas Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dilakukan dengan tujuan untuk melindungi dan menjaga: a. kelestarian fungsi Ekosistem dan segenap sumber daya di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil; b. kehidupan Masyarakat di Wilayah Pesisir dan pulaupulau kecil dari Ancaman bencana alam; c. alokasi ruang untuk akses publik melewati Pantai; dan d. alokasi ruang untuk saluran air dan limbah. Pasal 5 Penetapan Batas Sempadan Pantai oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dilakukan berdasarkan penghitungan Batas Sempadan Pantai. Pasal 6 (1) Penghitungan Batas Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus disesuaikan dengan karakteristik Topografi, Biofisik, Hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain yang terkait. (2) Penghitungan Batas Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti ketentuan: a. perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; b. perlindungan Pantai dari erosi atau abrasi;

2016, No.113-6- c. perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari Badai, banjir, dan bencana alam lainnya; d. perlindungan terhadap Ekosistem pesisir, seperti Lahan Basah, Mangrove, Terumbu Karang, padang Lamun, Gumuk Pasir, Estuaria, dan Delta; e. pengaturan akses publik; dan f. pengaturan untuk saluran air dan limbah. Pasal 7 (1) Penghitungan Batas Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c ditentukan berdasarkan tingkat Risiko Bencana. (2) Tingkat Risiko Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan: a. indeks Ancaman; dan b. indeks Kerentanan. (3) Indeks Ancaman dan indeks Kerentanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan menjadi: a. tinggi; b. sedang; dan c. rendah. Pasal 8 Indeks Ancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a ditentukan melalui: a. pendekatan praktis; dan/atau b. pendekatan analitik atau numerik. Pasal 9 (1) Pendekatan praktis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a merupakan pendekatan yang dilakukan berdasarkan pengalaman empiris dan historis. (2) Pendekatan praktis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan: a. rekaman atau riwayat sejarah kejadian: 1. gempa; 2. tsunami;

-7-2016, No.113 3. erosi atau abrasi; 4. Badai; dan 5. banjir dari laut; dan/atau b. keberadaan faktor Ancaman: 1. gempa; 2. tsunami; 3. erosi atau abrasi; 4. Badai; dan 5. banjir dari laut. Pasal 10 (1) Rekaman atau riwayat sejarah kejadian gempa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 1 ditentukan berdasarkan data, informasi, dan peta magnitude gempa. (2) Rekaman atau riwayat sejarah kejadian tsunami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 2 ditentukan berdasarkan data, informasi, dan peta yang menggambarkan tinggi gelombang. (3) Rekaman atau riwayat sejarah kejadian erosi atau abrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 3 ditentukan berdasarkan data, informasi, dan peta yang menggambarkan laju perubahan garis Pantai. (4) Rekaman atau riwayat sejarah kejadian Badai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 4 ditentukan berdasarkan data, informasi, dan peta yang menggambarkan kecepatan angin. (5) Rekaman atau riwayat sejarah kejadian banjir dari laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 5 ditentukan berdasarkan data, informasi, dan peta yang menggambarkan tinggi genangan yang pernah terjadi. Pasal 11 (1) Keberadaan faktor Ancaman gempa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b angka 1 ditentukan

2016, No.113-8- berdasarkan: a. zona penunjaman (subduction zone) dan zona tumbukan (collision zone); dan/atau b. sesar (fault) di dasar laut dan/atau di pesisir. (2) Keberadaan faktor Ancaman tsunami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b angka 2 ditentukan berdasarkan: a. zona penunjaman (subduction zone); b. sesar (fault) di dasar laut; dan/atau c. gunung api dasar laut. (3) Keberadaan faktor Ancaman erosi atau abrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b angka 3 ditentukan berdasarkan kondisi gelombang dominan, meliputi: a. tinggi gelombang; b. arah datang gelombang; dan/atau c. kecuraman gelombang. (4) Keberadaan faktor Ancaman Badai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b angka 4 ditentukan berdasarkan kondisi angin. (5) Keberadaan faktor Ancaman banjir dari laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b angka 5 ditentukan berdasarkan: a. pemanasan global (global warming); dan/atau b. amblesan/penurunan tanah (land subsidence). Pasal 12 (1) Pendekatan analitik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b merupakan metode penyelesaian model matematik dengan rumus-rumus aljabar yang sudah baku atau lazim. (2) Pendekatan numerik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b merupakan teknik yang dipergunakan untuk memformulasikan persoalan matematik sehingga dapat dipecahkan dengan operasi hitungan atau aritmatika biasa.

-9-2016, No.113 (3) Pendekatan analitik atau numerik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan Parameter setiap jenis Ancaman bencana. (4) Parameter setiap jenis Ancaman bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas Ancaman: a. gempa, diukur dari kekuatan gempa; b. tsunami, diukur dari tinggi gelombang dari muka air laut sebelum tsunami datang dan tinggi genangan pada lokasi dengan jarak 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat; c. erosi atau abrasi, diukur dari perubahan garis Pantai karena angkutan sedimen menyusur Pantai (long shore transport) dan perubahan garis Pantai karena angkutan sedimen tegak lurus Pantai (cross shore transport) dengan memperhitungkan kenaikan muka air laut (sea level rise); d. Badai, diukur dari kondisi angin; dan e. banjir dari laut, diukur dari laju kenaikan muka air laut. Pasal 13 (1) Indeks Kerentanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan Parameter Kerentanan bencana gempa, tsunami, erosi atau abrasi, Badai, dan banjir dari laut. (2) Parameter Kerentanan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh karakteristik Topografi, Biofisik, Hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, dan/atau ketentuan lain. Pasal 14 (1) Parameter Kerentanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) untuk jenis bencana gempa ditentukan berdasarkan karakteristik: a. Topografi; b. Biofisik; dan

2016, No.113-10- c. kebutuhan ekonomi. (2) Karakteristik Topografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan oleh kemiringan Pantai dan elevasi. (3) Karakteristik Biofisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan oleh material penyusun Pantai. (4) Karakterisitik kebutuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditentukan oleh kerugian ekonomi dari nilai pemanfaatan ruang. Pasal 15 (1) Parameter Kerentanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) untuk jenis bencana tsunami ditentukan berdasarkan karakteristik: a. Topografi; b. Biofisik; c. kebutuhan ekonomi; d. kebutuhan budaya; dan e. ketentuan lain. (2) Karakteristik Topografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan oleh kemiringan Pantai dan elevasi. (3) Karakteristik Biofisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan oleh: a. ketebalan dan kerapatan hutan Pantai; b. ketinggian Gumuk Pasir atau Beting Gisik; c. morfologi Pantai; dan d. material penyusun Pantai. (4) Karakteristik kebutuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditentukan oleh kerugian ekonomi dari nilai pemanfaatan ruang. (5) Karakteristik kebutuhan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan oleh: a. keberadaan cagar budaya; dan b. aktivitas ritual keagamaan atau kepercayaan.

-11-2016, No.113 (6) Karakteristik ketentuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditentukan oleh: a. jumlah penduduk; b. jenis dan material bangunan; dan c. benda-benda yang mudah hanyut (floating objects). Pasal 16 (1) Parameter Kerentanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) untuk jenis bencana erosi atau abrasi ditentukan berdasarkan karakteristik: a. Biofisik; b. kebutuhan ekonomi; c. kebutuhan budaya; dan d. ketentuan lain. (2) Karakteristik Biofisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan oleh: a. material penyusun Pantai; dan b. pelindung alami Pantai (vegetasi). (3) Karakteristik kebutuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan oleh kerugian ekonomi dari nilai pemanfaatan ruang. (4) Karakteristik kebutuhan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditentukan oleh: a. keberadaan cagar budaya; dan b. aktivitas ritual keagamaan, budaya, atau kepercayaan. (5) Karakteristik ketentuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan oleh keberadaan bangunan pelindung Pantai terhadap erosi atau abrasi. Pasal 17 (1) Parameter Kerentanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) untuk jenis bencana Badai ditentukan berdasarkan karakteristik: a. Biofisik; b. kebutuhan ekonomi; c. kebutuhan budaya; dan

2016, No.113-12- d. ketentuan lain. (2) Karakteristik Biofisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan oleh keberadaan Mangrove. (3) Karakteristik kebutuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan oleh kerugian ekonomi dari nilai pemanfaatan ruang. (4) Karakteristik kebutuhan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditentukan oleh: a. keberadaan cagar budaya; dan b. aktivitas ritual keagamaan, budaya, atau kepercayaan. (5) Karakteristik ketentuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan oleh posisi infrastruktur terhadap garis Pantai. Pasal 18 (1) Parameter Kerentanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) untuk jenis bencana banjir dari laut ditentukan berdasarkan karakteristik: a. Topografi; b. Biofisik; c. kebutuhan ekonomi; d. kebutuhan budaya; dan e. ketentuan lain. (2) Karakteristik Topografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan oleh elevasi. (3) Karakteristik Biofisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan oleh keberadaan material penyusun Pantai. (4) Karakteristik kebutuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditentukan oleh kerugian ekonomi dari nilai pemanfaatan ruang. (5) Karakteristik kebutuhan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan oleh: a. keberadaan cagar budaya; dan b. aktivitas ritual keagamaan, budaya, atau kepercayaan.

-13-2016, No.113 (6) Karakteristik ketentuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditentukan oleh keberadaan bangunan pelindung Pantai terhadap banjir dari laut. Pasal 19 Penghitungan Batas Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d ditentukan berdasarkan batas akhir keberadaan Ekosistem pesisir ke arah darat. Pasal 20 Penghitungan Batas Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e dan huruf f ditentukan berdasarkan jenis dan intensitas aktivitas di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 21 Penetapan Batas Sempadan Pantai untuk daerah rawan bencana di Wilayah Pesisir dapat dilakukan kurang dari hasil penghitungan dengan ketentuan wajib menerapkan pedoman bangunan (building code) bencana. Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghitungan Batas Sempadan Pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 21 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 23 Pengaturan mengenai pemanfaatan sempadan Pantai diatur lebih lanjut oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang setelah berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/kepala lembaga lain yang terkait.

2016, No.113-14- BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 24 Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku: a. ketentuan dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi, peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan peraturan daerah tentang rencana zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini; dan b. peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi, peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan peraturan daerah tentang rencana zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil yang bertentangan dengan Peraturan Presiden ini harus disesuaikan paling lambat dalam waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan Presiden ini diundangkan. Pasal 25 Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 wajib menetapkan Batas Sempadan Pantai paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan Presiden ini diundangkan. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang mengatur Batas Sempadan Pantai yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini.

-15-2016, No.113 Pasal 27 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Juni 2016 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Juni 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY