2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor

dokumen-dokumen yang mirip
IMPLEMENTASI PENGAMANAN PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kuningan)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 dari 8 26/09/ :15

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian penulis pada Lembaga

PETUNJUK TEKNIS ANTARA. NOMOR : PAS-07.HM TAHUN 2414 NOMOR : J U KNlSlO 1 llt,l201 4 BARESKRIM

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

2016, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang P

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165); 3. Undang-Undang No

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 4. Peraturan Pemer

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

2016, No Republik Indonesia Nomor 3614); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyara

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Institute for Criminal Justice Reform

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pencarian dan Pertolongan adalah segala usaha dan

2016, No Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166

, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166

PEDOMAN PELAKSANAAN RENCANA AKSI PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN NARKOBA DI LAPAS/RUTAN DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DIKLAT TEKNIS PENGAMANAN KEPALA REGU DAN PETUGAS PINTU UTAMA PADA LAPAS DAN RUTAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

2017, No Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Mengingat : Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 te

Institute for Criminal Justice Reform

Mengingat -2- : 1. Undang-Undang Kementerian Nomor Negara 39 Tahun (Lembaran 2008 Negara tentang Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lem

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENGGUNAAN BERAS REGULER DALAM PENANGGULANGAN BENCANA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENINDAKAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENINDAKAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

2011, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/PERMEN-KP/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/PMK.04/2017 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENINDAKAN DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1528, 2015 KEMENKUMHAM. Lembaga Pemasyarakatan. Rumah Tahanan Negara. Pengamanan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG PENGAMANAN PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keamanan dan ketertiban yang kondusif di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara merupakan syarat utama untuk mendukung terwujudnya keberhasilan pelaksanaan sistem pemasyarakatan; b. bahwa untuk terpeliharanya kondisi yang aman dan tertib diperlukan aturan hukum yang mengatur pengamanan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara; c. bahwa Keputusan Direktur Jenderal Bina Tuna Warga Nomor DP.3.3/18/14 tanggal 31 Desember 1974 tentang Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan sudah tidak memadai dan perlu disesuaikan dengan perkembangan penanganan gangguan keamanan dan ketertiban yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan, Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pengamanan Pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614); 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3858); 4. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 84); 5. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1473); 6. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M. 01-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.-0.0T.0101 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M. 01-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan;

-3-2015, No.1528 7. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.04-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara; Menetapkan MEMUTUSKAN: : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG PENGAMANAN PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. 2. Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut Rutan adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 3. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di dalam Lapas. 4. Tahanan adalah seorang tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di dalam Rutan. 5. Petugas Pemasyarakatan adalah Pegawai Negeri Sipil yang melaksanakan tugas di bidang Pemasyarakatan. 6. Pengamanan Lapas atau Rutan yang selanjutnya disebut Pengamanan adalah segala bentuk kegiatan dalam rangka melakukan pencegahan, penindakan dan pemulihan terhadap setiap gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas atau Rutan. 7. Satuan Pengamanan adalah unit yang memiliki tugas melakukan pencegahan, penindakan, penanggulangan dan pemulihan gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas dan Rutan. 8. Kepala Satuan Pengamanan adalah petugas pengamanan yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Lapas atau Rutan.

2015, No. -4-9. Regu Pengamanan adalah Regu yang melaksanakan tugas pengamanan baik di dalam maupun di luar Lapas atau Rutan. 10. Gangguan Keamanan dan Ketertiban adalah suatu situasi kondisi yang menimbulkan keresahan, ketidakamanan, serta ketidaktertiban kehidupan di dalam Lapas atau Rutan. 11. Pengawalan adalah kegiatan penjagaan, pengawasan, dan perlindungan terhadap Narapidana dan Tahanan yang berada di dalam dan/atau di luar Lapas atau Rutan yang melakukan aktifitas atau keperluan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Penjagaan adalah suatu bentuk kegiatan pengamanan orang dan fasilitas guna mencegah Gangguan Keamanan dan Ketertiban. 13. Penggeledahan adalah kegiatan pemeriksaan terhadap orang, barang ataupun tempat yang diduga dapat menimbulkan Gangguan Keamanan dan Ketertiban. 14. Inspeksi adalah pemeriksaan secara langsung sehubungan dengan pelaksanaan pengamanan. 15. Kontrol adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan dan pengendalian secara seksama terhadap sasaran pelaksanaan tugas pengamanan. 16. Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan negara. 17. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. BAB II PENYELENGGARAAN PENGAMANAN Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Menteri berwenang menyelenggarakan Pengamanan. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

-5-2015, No.1528 (3) Direktur Jenderal Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melimpahkan kewenangan pelaksanaan Pengamanan kepada Kepala Divisi Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. (4) Kepala Divisi Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab pelaksanaan Pengamanan kepada Kepala Lapas atau Rutan. Pasal 3 (1) Dalam menyelenggarakan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dibentuk satuan tugas keamanan dan ketertiban. (2) Pembentukan satuan tugas keamanan dan ketertiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: a. Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk satuan tugas keamanan dan ketertiban di tingkat pusat; dan b. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk satuan tugas keamanan dan ketertiban di tingkat wilayah provinsi. Pasal 4 (1) Pengamanan dilaksanakan berdasarkan klasifikasi: a. Pengamanan sangat tinggi; b. Pengamanan tinggi; c. Pengamanan menengah; dan d. Pengamanan rendah. (2) Klasifikasi Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada: a. pola bangunan; dan b. pengawasan. (3) Pelaksanaan klasifikasi Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. Pengamanan sangat tinggi dilengkapi dengan pemagaran berlapis, pos menara atas, pos bawah, penempatan terpisah, pengawasan closed circuit television, pembatasan gerak, pembatasan kunjungan dan pembatasan kegiatan pembinaan, serta pengendalian komunikasi;

2015, No. -6- b. Pengamanan tinggi dilengkapi dengan pemagaran berlapis, pos menara atas penempatan terpisah atau bersama, pengawasan closed circuit television, pembatasan gerak, pembatasan kunjungan, dan kegiatan pembinaan; c. Pengamanan menengah dilengkapi dengan pemagaran minimal 1 (satu) lapis, penempatan terpisah atau bersama, pengawasan closed circuit television, pembatasan kunjungan dan pembatasan kegiatan pembinaan; dan d. Pengamanan rendah tanpa pemagaran berlapis, penempatan terpisah dan bersama, pengawasan closed circuit television dan pembatasan kegiatan pembinaan. Pasal 5 Dalam menyelenggarakan Pengamanan terhadap Narapidana dan Tahanan wanita dilakukan dengan mengutamakan keberadaan petugas wanita. Pasal 6 Penyelenggaraan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mencakup kegiatan: a. pencegahan; b. penindakan; dan c. pemulihan. Pasal 7 Dalam melaksanakan Pengamanan pada Lapas atau Rutan harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana Pengamanan. Bagian Kedua Pencegahan Pasal 8 Pencegahan Gangguan Keamanan dan Ketertiban pada Lapas atau Rutan, meliputi: a. pemeriksaan pintu masuk; b. Penjagaan; c. Pengawalan; d. Penggeledahan;

-7-2015, No.1528 e. Inpeksi; f. Kontrol g. kegiatan Intelijen; h. pengendalian peralatan; i. pengawasan komunikasi j. pengendalian lingkungan; k. penguncian; l. penempatan dalam rangka Pengamanan; m. investigasi dan reka ulang; dan n. tindakan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 (1) Pemeriksaan terhadap pintu masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a merupakan pemeriksaan administrasi yang dilakukan terhadap orang yang akan memasuki halaman Lapas atau Rutan. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satuan Pengamanan. Pasal 10 (1) Penjagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilakukan di: a. pintu gerbang halaman; b. pintu gerbang utama; c. pintu Pengamanan utama; d. ruang kunjungan; e. lingkungan blok hunian; f. blok hunian; g. pos menara atas; h. area lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Lapas atau Rutan. (2) Penjagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Regu Pengamanan. Pasal 11 (1) Pengawalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c dilakukan terhadap Narapidana atau Tahanan pada saat: a. izin luar biasa; b. cuti mengunjungi keluarga; c. asimilasi;

2015, No. -8- d. proses peradilan; e. pemindahan; f. perawatan medis di luar Lapas atau Rutan; dan g. kebutuhan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Pengawalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Satuan Pengamanan atas izin dari Kepala Lapas atau Rutan. Pasal 12 (1) Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d meliputi: a. Penggeledahan badan; b. Penggeledahan barang; c. Penggeledahan sel; d. Penggeledahan area; dan/atau e. Penggeledahan kendaraan. (2) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: a. anggota Satuan Pengamanan dan pegawai yang ditunjuk; b. satuan tugas keamanan dan ketertiban dari Divisi Pemasyarakatan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; atau c. satuan tugas keamanan dan ketertiban dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pasal 13 (1) Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e dilakukan terhadap pelaksanaan prosedur Pengamanan di Lapas atau Rutan. (2) Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara insidentil oleh petugas pemasyarakatan yang ditunjuk oleh Kepala Lapas atau Rutan. Pasal 14 (1) Kontrol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f meliputi: a. pintu gerbang halaman; b. pintu gerbang utama; c. pintu Pengamanan utama; d. ruang kunjungan; e. lingkungan blok hunian;

-9-2015, No.1528 f. blok hunian; g. menara atas; h. pagar dalam dan luar; i. kantor; j. steril area; dan k. Pengamanan area lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Lapas atau Rutan. (2) Kontrol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara rutin oleh Kepala atau Wakil Kepala Regu Pengamanan. Pasal 15 (1) Kegiatan Intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf g dilakukan untuk mendukung pelaksanaan Pengamanan di dalam maupun di luar Lapas atau Rutan terhadap potensi timbulnya Gangguan Keamanan dan Ketertiban. (2) Kegiatan Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengumpulan informasi; b. pengelolaan informasi; dan c. pertukaran informasi. (3) Kegiatan Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Divisi Pemasyarakatan, dan Lapas atau Rutan. Pasal 16 (1) Pengendalian peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf h dilakukan dengan mengelola seluruh sarana Pengamanan dan sarana lain yang dapat menyebabkan timbulnya Gangguan Keamanan dan Ketertiban. (2) Sarana Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. senjata api; b. peralatan huru hara; c. kunci dan gembok; d. peralatan komunikasi; e. ruang kontrol; f. alat pemadam kebakaran; dan g. kendaraan. (3) Sarana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peralatan kantor;

2015, No. -10- b. peralatan bengkel kerja; c. peralatan dapur; dan d. peralatan kebersihan. (4) Pengendalian sarana Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Satuan Pengamanan. (5) Pengendalian sarana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pada bagiannya masing-masing dan melaporkan hasil pengendalian kepada Kepala Satuan Pengamanan. Pasal 17 (1) Pengawasan komunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf i dilakukan untuk mengawasi, mencatat, meneliti, dan membatasi kegiatan komunikasi Narapidana dan Tahanan dengan dunia luar. (2) Pengawasan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Satuan Pengamanan. Pasal 18 (1) Pengendalian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf j dilakukan untuk memastikan keamanan dan ketertiban di steril area dan lalu lintas orang di Lapas atau Rutan. (2) Pengendalian lingkungan di kawasan steril area sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. melarang mendirikan bangunan; dan b. melarang melakukan aktivitas lain tanpa seizin Kepala Lapas dan Rutan. (3) Pengendalian lingkungan di kawasan lalu lintas orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. membatasi gerak Narapidana dan Tahanan; dan b. membatasi area kegiatan Narapidana dan Tahanan. (4) Pengendalian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Satuan Pengamanan. Pasal 19 (1) Penguncian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf k dilakukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban Lapas atau Rutan.

-11-2015, No.1528 (2) Penguncian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. pintu gerbang halaman; b. pintu gerbang utama; c. pintu Pengamanan utama; d. kamar hunian; e. lingkungan blok hunian; f. blok hunian; dan g. ruang kantor. (3) Penguncian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Regu Pengamanan. Pasal 20 (1) Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf l dimaksudkan untuk mencegah Gangguan Keamanan dan Ketertiban yang meliputi: a. pelanggaran disiplin; b. pelarian; c. terancam jiwanya; d. membahayakan jiwa orang lain; e. memiliki potensi mengembangkan jaringan kejahatan; dan f. mengancam stabilitas keamanan negara. (2) Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di: a. sel tutupan sunyi; b. sel isolasi; dan c. blok hunian khusus. (3) Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Satuan Pengamanan dengan seizin Kepala Lapas atau Rutan. Pasal 21 (1) Investigasi dan reka ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf m dilakukan untuk mencari sebab dan alasan terjadinya Gangguan Keamanan dan Ketertiban. (2) Investigasi dan reka ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang ditunjuk oleh Kepala Lapas atau Rutan. (3) Dalam melakukan Investigasi dan reka ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Lapas atau Rutan dapat bekerja sama dengan instansi terkait.

2015, No. -12- Bagian Ketiga Penindakan Pasal 22 (1) Penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dilakukan untuk menghentikan, meminimalisir, dan melokalisir Gangguan Keamanan dan Ketertiban. (2) Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika terjadi: a. perkelahian perorangan dan massal; b. penyerangan terhadap petugas; c. percobaan pelarian; d. pelarian; e. percobaan bunuh diri; f. bunuh diri; g. keracunan massal atau wabah penyakit; dan h. pelanggaran tata tertib lainnya. Pasal 23 (1) Dalam melakukan penindakan, petugas Lapas atau Rutan wajib menggunakan kekuatan yang berkelanjutan. (2) Penggunaan kekuatan yang berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. kehadiran petugas Lapas atau Rutan; b. perintah lisan; c. kekuatan fisik teknik ringan; d. kekuatan fisik teknik keras dan melumpuhkan; dan e. kekuatan yang dapat mematikan. (3) Kehadiran petugas Lapas atau Rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dimaksudkan untuk penindakan dengan mengutamakan pendekatan persuasif dan profesional pada saat berhadapan dengan Narapidana atau Tahanan. (4) Perintah lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dimaksudkan untuk penindakan dengan memberikan perintah yang jelas dan diperhitungkan dengan baik saat berhadapan dengan Narapidana atau Tahanan yang menolak bekerja sama. (5) Kekuatan fisik teknik ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dimaksudkan untuk penindakan:

-13-2015, No.1528 a. memecah kekuatan Narapidana atau Tahanan; dan b. pembatasan gerak fisik pada saat berhadapan dengan Narapidana atau Tahanan. (6) Kekuatan fisik teknik keras dan melumpuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dimaksudkan untuk tingkat penindakan dengan menggunakan tindakan fisik dengan tujuan untuk menjatuhkan dan menyerang saat berhadapan dengan Narapidana atau Tahanan. (7) Kekuatan yang dapat mematikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dimaksudkan untuk penindakan pada saat berhadapan dengan Narapidana atau Tahanan yang membahayakan keselamatan jiwa, dilakukan dengan cara: a. menyerang ke daerah vital; dan b. menggunakan senjata api. Pasal 24 (1) Penindakan terhadap keadaan tertentu dilakukan oleh tim tanggap darurat. (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika terjadi: a. pemberontakan; b. kebakaran; c. bencana alam; dan/atau d. penyerangan dari luar. (3) Tim tanggap darurat sebagaimana di maksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi Kepala Lapas atau Rutan. (4) Tim tanggap darurat terdiri atas petugas Lapas atau Rutan yang telah mendapatkan pelatihan dan peralatan. Pasal 25 Penindakan Pengamanan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dilakukan dengan cara: a. membunyikan tanda bahaya; b. mengamankan orang, lokasi, barang atau tempat kejadian perkara; dan/atau c. mengamankan pelaku yang diduga dapat menimbulkan atau melakukan ancaman Gangguan Keamanan dan Ketertiban.

2015, No. -14- Bagian Keempat Pemulihan Pasal 26 (1) Pemulihan merupakan upaya untuk mengembalikan keadaaan dan memperbaiki hubungan antara petugas pemasyarakatan, Narapidana atau Tahanan, serta masyarakat. (2) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk: a. rekonsiliasi; b. rehabilitasi; dan c. rekonstruksi (3) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Lapas atau Rutan. (4) Pelaksanaan pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan pihak luar terkait. Pasal 27 (1) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara perundingan secara damai antara petugas pemasyarakatan dengan Narapidana atau Tahanan. (2) Dalam pelaksanaan perundingan harus memperhatikan prioritas pelaksanaan tugas pada Lapas atau Rutan. Pasal 28 (1) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara pemulihan kondisi. (2) Pemulihan kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemulihan kesehatan petugas maupun Narapidana atau Tahanan; b. pemulihan psikologis petugas maupun Narapidana atau Tahanan; dan c. pemulihan kondisi sosial, keamanan, dan ketertiban. Pasal 29 (1) Rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (2) huruf c dilakukan dengan cara pemulihan lingkungan fisik. (2) Pemulihan lingkungan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan;

-15-2015, No.1528 b. perbaikan kerangka kerja; dan c. perbaikan sarana dan prasarana umum. BAB III BANTUAN PENGAMANAN Pasal 30 Bantuan pengamanan terdiri atas: a. bantuan pengamanan internal; dan b. bantuan pengamanan eksternal. Pasal 31 (1) Bantuan pengamanan internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dibutuhkan pada saat kekurangan petugas Pengamanan. (2) Kepala Lapas atau Rutan menunjuk pejabat fungsional umum sebagai petugas bantuan Pengamanan internal. (3) Bantuan Pengamanan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah komando Komandan Regu Pengamanan. Pasal 32 (1) Bantuan Pengamanan eksternal dibutuhkan pada saat terjadi keadaan tertentu. (2) Bantuan Pengamanan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari instansi lain berdasarkan permintaan Kepala Lapas atau Rutan. (3) Bantuan Pengamanan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi Kepala Lapas atau Rutan. BAB IV PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Pasal 33 (1) Untuk meningkatkan kompetensi, petugas Pengamanan wajib mendapatkan pendidikan dan pelatihan. (2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pendidikan dasar pemasyarakatan; b. beladiri;

2015, No. -16- c. kesamaptaan; d. menembak; e. Intelijen; dan f. pengendalian massa. BAB V PELAPORAN Pasal 34 (1) Kepala Lapas atau Rutan wajib melaporkan pelaksanaan tugas Pengamanan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Kepala Divisi Pemasyarakatan. (2) Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Direktur Bina Keamanan dan Ketertiban. Pasal 35 (1) Dalam hal terjadinya Gangguan Keamanan dan Ketertiban, Kepala Lapas atau Rutan melaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Divisi Pemasyarakatan. (2) Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melaporkan Gangguan Keamanan dan Ketertiban kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Direktur Bina Keamanan dan Ketertiban. BAB VI PERLINDUNGAN HUKUM PETUGAS PENGAMANAN Pasal 36 Petugas Pengamanan dalam penyelenggaraan Pengamanan berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 37 Perlindungan hukum bagi petugas Pengamanan diberikan dalam bentuk bantuan hukum dalam perkara yang dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya.

-17-2015, No.1528 BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY