Oleh: Hafidz Abdurrahman Ramadhan adalah bulan suci, yang penuh berkah Amal shalih yang dilaksanakan di dalamnya pun dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT Tanggal 17 Ramadhan tahun pertama kenabian, al-qur an diturunkan Di bulan suci ini, Allah menjadikan satu malamnya sebagai Lailatul Qadar, dimana nilainya lebih baik daripada seribu bulan Sebelum ditetapkannya bulan Ramadhan sebagai bulan puasa, menurut Ibn Abbas, kaum Muslim sudah diperintahkan berpuasa Tiap bulan 3 hari, dan 1 Hari Asyura Setelah itu, kewajiban ini dihapus Kemudian diganti dengan puasa sebulan penuh, yaitu bulan Ramadhan ( Lihat, al-qurthubi, al-jami li Ahkam al-qur an, Tafsir Qs 2: 185) Maka, Allah SWT berfirman, Faman syahida minkum as-syahra falyashumhu 1 / 5
(Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan [Ramadhan] tersebut, maka hendaknya dia berpuasa di bulan itu) (Qs al-baqarah [02]: 185) Rukyatul Hilal dan Sebab Berpuasa Kewajiban berpuasa sebagai hukum taklifi, sebagaimana wajibnya shalat, juga diseratai hukum wahd i, yang mengatur hukum taklifi tersebut Wajibnya shalat Maghrib jatuh saat ghurub (matahari tenggelam), shalat Dhuhur jatuh saat duluk as-syams (matahari tergelincir), dan begitu seterusnya Puasa Ramadhan juga demikian, jatuh saat bulan Ramadhan tersebut ada, yang dimulai sejak fajar hingga ghurub Ketika perintah berpuasa Ramadhan tersebut dinyatakan sebagai jawaban kalimat bersyarat, Faman syahida minkum as-syahra (Siapa saja di antara kalian yang menyaksika bulan [Ramadhan] itu) (Qs 2: 185), dimana syahada (menyaksikan hingga yakin) hanya bisa dihasilkan melalui penginderaan, maka Nabi memerintah, Shumu li ru yatihi, wa afthiru li ru yatihi (Berpuasalah karena melihat [hilal Ramadhan], dan berhari rayalah karena melihat [hilah Syawal] (Hr Bukhari dan Muslim) Bukan dengan cara yang lain Karena itu, pembuktian (itsbat) Ramadhan dan Syawal dilakukan dengan melihat bulan, dengan mata kepala untuk memastikan ada dan tidaknya bulan tersebut Dijadikannya rukyatul hilal itu sebagai dasar itsbat ini pun tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama Karena hasil rukyatul hilal dengan mata kepala ini adalah qath i Kalaupun ada ikhtilaf, 2 / 5
ada pada berapa orang yang melihat; satu orang atau dua orang Termasuk, apakah hasil rukyat orang tersebut berlaku untuk satu wilayah, atau seluruh dunia Inilah yang menjadi ikhtilaf di kalangan ulama Jika kemudian, karena satu dan lain hal, hilal tersebut tidak bisa dilihat, maka Nabi saw memerintahkan, Faqduru lahu (perkirakanlah) (Hr Bukhari-Muslim) Dalam riwayat lain Nabi saw menyatakan, Fa akmilu iddata Sya ban tsalatsina yaum[an] (Maka, genapkanlah hitungan Sya ban menjadi tiga puluh hari) (Hr Bukhari) Dalam riwayat lain Nabi menyatakan, Uhshu hilal Sya ban li Ramadhan (Carilah hilal Sya ban untuk menentukan [kapan jatuhnya] Ramadhan) (Hr at-tirmidzi) Perintah Nabi, Faqduru lahu (perkirakanlah) inilah yang dijadikan dasar penggunaan perhitungan astronomi (hisab) Padahal, kalimat tersebut dijelaskan dalam hadits lain dengan akmilu iddata Sya ban (genapkanlah hingan Sya ban) Dari mana memulainya, bisa dilakukan dengan mencari anak bulan Sya ban, termasuk bulan purnama, lalu dihitung hingga 29 hari Karena bulan Qamariyah berjumlah 29 dan 30 hari Jika sampai 29 hari, maka saat matahari tenggelam di malam ke-30 bilakukan rukyatul hilal Hasilnya bisa ditemukan, dan bisa tidak Jika tidak ditemukan, maka digenapkan menjadi 30 hari Dengan cara seperti ini, Islam ini bisa dijalankan oleh orang intelek maupun awam Karena memang agama ini diturunkan untuk seluruh kalangan Hadits Nabi menyatakan, Inna ummatu umiyyah (Kit a adalah umat yang tidak bisa baca dan tulis) (Hr Bukhari) tidak bisa dijadikan sebagai illat adanya perintah rukyatul hilal, sehingga ketika illat ini tidak ada, maka rukyat pun tidak berlaku Jelas tidak Perbedaan Rukyat dan Hisab 3 / 5
Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya yang harus dijadikan patokan adalah rukyat, bukan hisab Hisab hanyalah alat untuk menentukan kapan dan di mana kira-kira rukyat bisa dilakukan, serta menemukan adanya hilal tersebut Memang ada ulama yang berpendapat sebaliknya, seperti as-subki (w 756 H) dari kalangan mazhab Syafii (Fatawa as-subki, Juz I/219-220), tetapi pendapat ini tidak dibisa dijadikan hujah Imam an-nawawi dari mazhab Syafii sendiri menolak pendapat seperti ini ( al-majmu, Juz VI/270) Karena itu, Khilafah bisa membatasi ruang perbedaan tersebut pada: Pertama, Siapa yang rukyatnya bisa diambil, apakah satu orang atau dua orang? Masing-masing mempunyai dasar Jika Khalifah menentukan satu orang yang adil sudah cukup, maka dia bisa menggunakan pendapat ini sebagai patokan Demikian juga, jika Khalifah menentukan dua orang yang adil, maka pendapat ini juga bisa dijadikan sebagai patokan Kedua, apakah satu rukyat berlaku hanya untuk wilayah tertentu, atau seluruh dunia? Masing-masing juga mempunyai dasar, meski yang paling kuat adalah pendapat yang terakhir Satu rukyat untuk seluruh dunia Dalam hal ini, Khalifah diberi hak untuk memutuskan Keputusannya pun mengikat, dan wajib dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, sebagaimana kaidah, Amru al-imam nafidz[un] dhahir[an] wa bathin[an] (Perint ah imam itu wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin) Karena keputusan dialah yang bisa mengakhiri perbedaan, sebagaimana kaidah, Amru al-imam yarfa u al-khilaf (Perintah imam bisa menghilangkan perbedaan pendapat) Bagi Khalifah sendiri sebenarnya tidak sulit untuk membuat keputusan yang akurat dan tepat dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan Pertama, selain menggunakan hasil perhitungan astronomi (hisab) yang akurat, untuk menentukan kapan, dimana dan berapa derajat kemunculanya? Khalifah juga bisa menggunakan bantuan foto satelit Kedua, untuk memastikan jatuhnya hilal Ramadhan dan Syawal, Khalifah bisa menginstruksikan kepada para ahli, termasuk pakar astronomi, ahli rukyat, dan semua pihak yang bisa menemukan hilal tersebut di seluruh dunia untuk mencari hilal Sya ban, Ramadhan dan Syawal 4 / 5
Ini hukumnya fardhu Kifayah Ketiga, setelah ditemukan, maka siapa saja yang menemukannya diambil sumpahnya, bahwa dia telah menyaksikan hilal tersebut Keempat, setelah terbukti dan valid, maka Khalifah menetapkan ( itsbat ) jatuhnya 1 Ramadhan, dan Syawal pada hari besoknya Kelima, jika tidak ada satupun laporan dari seluruh dunia, maka Khalifah pun menetapkan bahwa Sya ban digenapkan menjadi 30 hari, sehingga 1 Ramadhan jatuh pada esok lusanya Begitulah cara yang sama terhadap Syawal, maupun yang lainnya Khatimah Kesulitan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan sebenarnya karena tidak adanya kesatuan kata Karena umat Islam telah terpecah menjadi lebih dari 50 negara Maka, menyatukan kata umat Islam, sehingga awal dan akhir Ramadhan bisa disatukan, mustahil dilakukan, jika umat Nabi Muhammad saw ini tidak dipimpin oleh satu kepala negara, hidup dalam satu negara, dengan satu hukum Karena, selama negaranya banyak, kepalanya banyak, dan hukumnya juga banyak, persatuan itu hanyalah mimpi Karena itu, penyatuan awal dan akhir Ramadhan hanya bisa dilakukan, jika umat Islam hidup di bawah naungan Khilafah Jika ada yang mempertanyakan, bukankah dulu ada Khilafah, toh awal dan akhir Ramadhannya bisa berbeda-beda? Maka, fakta di masa lalu boleh saja terjadi, karena keterbatasan sains dan teknologi yang bisa menjangkau seluruh dunia Namun, sekarang dengan kecanggihan teknologi informasi, termasuk satelit, maka masalah ini dengan mudah diatasi Tinggal, ada atau tidak, yang menyatukan negara, hukum, dan kata mereka Jika Khilafah ada, maka semuanya dengan izin dan pertolongan Allah, bisa dengan mudah disatukan Wallahu a lam[] 5 / 5