DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA EKSEMINASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

PUTUSAN Nomor 92/PUU-X/2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 Kedudukan dan Pemilihan Ketua DPR dan Ketua Alat Kelengkapan Dewan Lainnya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL

Bagaimana Undang-Undang Dibuat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman

2 c. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakila

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD dan DPRD Pemilihan Pimpinan MPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POLITIK LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG MENURUT UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

KUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap


GUBERNUR JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

PROVINSI JAWA TENGAH

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TENGAH NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang Pasal 71. Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang. Pasal 6

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 109/PUU-XIV/2016 Jabatan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

-2-3. Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 4. Badan Legis

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA EKSEMINASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Penyusun: Law Center DPD RI Satya Arinanto Makhfud Rofiqul Umam Ahmad Abdul Wahab Law Center Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Jakarta, Desember 2014

DAFTAR ISI 1. Pengembalian Kewenangan DPD dalam Legislasi Eksaminasi Putusan MK Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD 1945. 2 2. KPUD Tidak Bertanggung Jawab Kepada DPRD Eksaminasi Putusan MK Perkara No. 072-073/PUU-II/2004 Tentang Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Terhadap UUD 1945 26 3. Calon Kepala Daerah Independen Eksaminasi Putusan MK Perkara Nomor 5/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. 39 4. Pembatalan Badan Hukum Pendidikan Eksaminasi Putusan MK Perkara Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 tentang Pengujian UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap UUD 1945. 53 5. Pembatalan Aifat Sebagai Ibu Kota Kabupaten Maybrat Eksaminasi Putusan MK Perkara No. 66/PUU-XI/2013 tentang Pengujian UU Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat 63 6. Pembubaran Badan Pelaksana Migas Eksaminasi Putusan MK Perkara Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 70 1

PENGEMBALIAN KEWENANGAN DPD DALAM LEGISLASI Eksaminasi Putusan MK Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Terhadap UUD 1945 I. PENGANTAR Walaupun UUD 1945 telah mengamanatkan pasal-pasal mengenai DPD RI yang memuat kedudukan dan kewenangannya serta hubungan kerjanya dengan DPR dan Presiden serta lembaga-lembaga negara lainnya, namun dalam praktik ketatanegaraan masih belum sesuai dengan amanat konstitusi tersebut. Salah satu hal sebagai contoh adalah dalam mengenai pembentukan UU. UUD 1945 memberi kewenangan dan hak tertentu kepada DPD RI, tetapi dalam praktik pembentukan UU selama ini di DPR, DPD RI hanya diberikan porsi dan peran minimal. Selanjutnya pembentukan UU menjadi kuasa DPR bersama Presiden. Berbagai upaya dan perjuangan di bidang politik dan hukum serta pendekatan kekeluargaan telah dilakukan DPD RI untuk mengubah praktik pembentukan UU ini, namun belum membuahkan hasil karena ketidakmauan DPR dan Presiden menerima saran, pendapat serta usulan DPD RI, walaupun semua saran, pendapat, dan usulan DPD RI itu mengacu kepada UUD 1945. Salah satu upaya perjuangan DPD RI adalah membawa UU MD3 dan UU P3 untuk diuji ke MK, khususnya pasal-pasal mengenai pembentukan UU. II. RINGKASAN PERKARA DAN PUTUSAN 1. Data Pemohon 1. Nama : H. Irman Gusman, S.E., M.B.A. Jabatan : Ketua DPD Alamat : Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 6, Jakarta, 10270 2. Nama : Dr. La Ode Ida Jabatan : Wakil Ketua DPD Alamat : Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 6, Jakarta, 10270 3. Nama : Gusti Kanjeng Ratu Hemas Jabatan : Wakil Ketua DPD Alamat : Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 6, Jakarta, 10270 2

2. Pokok Perkara UUD 1945 hasil perubahan telah melahirkan Pemohon sebagai lembaga baru yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum dan menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sekaligus sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya mempunyai kewenangan konstitusional tersendiri. Kelahiran Pemohon bertujuan untuk menjembatani aspirasi daerah dengan kebijakan pembangunan nasional. Pemohon diharapkan menjadi perekat yang akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut juga dimaknai sebagai optimalisasi lembaga perwakilan di Indonesia sekaligus prasyarat agar terjadinya mekanisme check and balances dalam lembaga perwakilan itu sendiri. Optimalisasi fungsi legislasi Pemohon sebagaimana mandat UUD 1945 dalam pengajuan, pembahasan, dan pemberian pertimbangan atas Rancangan Undang- Undang tertentu menjadi sangat penting. Hal tersebut selain karena untuk mekanisme check and balances dalam lembaga perwakilan, juga agar tidak terjadi apa yang dikatakan A.F Polllard dalam bukunya yang berjudul The Evolution of Parliament bahwa Dewan Perwakilan Rakyat atau apapun sebutannya, ternyata lahirnya bukan karena sistem demokrasi itu sendiri, melainkan karena kelicikan sistem feodal (Representation was not the off spring of democratic theory, but an incident of the feodal system). 3. Isi Permohonan 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; a. Menyatakan: 1) Pasal 71 huruf d; 2) Pasal 71 huruf e, sepanjang frasa...sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden ; 3) Pasal 71 huruf g, sepanjang kata...memperhatikan ; 4) Pasal 102 ayat (1) huruf d, sepanjang frasa...atau DPD ; - Pasal 102 ayat (1) huruf e; 5) Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7); 6) Pasal 150 ayat (5); 7) Penjelasan Umum, sepanjang kalimat Kedudukan DPD dalam proses pembahasan rancangan undang-undang tersebut sampai pada pembahasan tingkat pertama dan tidak turut serta dalam proses pengambilan keputusan. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3

b. Menyatakan: 1) Pasal 21 ayat (3) sepanjang kata DPD ; 2) Pasal 43 ayat (2); 3) Pasal 46 ayat (1) sepanjang frasa...atau DPD ; 4) Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4); 5) Pasal 68 ayat (5); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; C. Menyatakan: Pasal-pasal berikut dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat: 1) Pasal 71 huruf a sepanjang tidak dimaknai bahwa, membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden dan DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemeka ran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah untuk mendapat persetujuan bersama; 2) Pasal 71 huruf f sepanjang tidak dimaknai bahwa, menerima pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; 3) Pasal 107 ayat (1) huruf c sepanjang tidak dimaknai bahwa, membahas Rancangan Undang-Undang tentang APBN den gan pertimbangan DPD, bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga; 4) Pasal 143 ayat (5) sepanjang tidak dimaknai bahwa, Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemeka ran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada pimpinan DPD dan Presiden; 4

5) Pasal 144 sepanjang tidak dimaknai bahwa, Rancangan UndangUndang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan pimpinan DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; 6) Pasal 146 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden; 7) Pasal 150 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai bahwa, DPD berwenang mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah dan mengikuti seluruh kegiatan pembahasan apabila Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dan DPR; 8) Pasal 150 ayat (4) huruf a sepanjang kata fraksi tidak dimaknai DPR; 9) Pasal 151 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini DPR, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPR; c. pendapat akhir dari Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya; d. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPD yang disampaikan oleh pimpinan DPD terhadap RUU berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pen gelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; 10) Pasal 151 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai bahwa, dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden serta DPD terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah terkait, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; 11) Pasal 154 ayat (5) sepanjang tidak dimaknai bahwa, pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD atas Rancangan Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan meneruskannya kepada 5

Badan Musyawarah untuk diteruskan kepada alat kelengkapan yang akan membahasnya dengan alat kelengkapan DPD yang ditugaskan; Pasal-pasal berikut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat: 1. Pasal 18 huruf g sepanjang tidak dimaknai bahwa, rencana kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD; 2. Pasal 20 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah; 3. Pasal 21 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi; 4. Pasal 22 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, hasil penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR; 5. Pasal 23 ayat (2) sepanjang tidak dimaknai bahwa, dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; 6. Pasal 43 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. 7. Pasal 65 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai bahwa, Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada seluruh tingkat pembahasan. 8. Pasal 68 ayat (2) huruf c sepanjang tidak dimaknai bahwa, Presiden memberikan penjelasan dan DPR memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau 9. Pasal 68 ayat (2) huruf d sepanjang tidak dimaknai, Presiden memberikan penjelasan serta DPR dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana 6

dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berasal dari Presiden; 10. Pasal 68 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai, Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR atau DPD; b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden atau DPD; c. DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan kewenangan DPD; 11. Pasal 68 ayat (4) huruf a sepanjang kata fraksi tidak dimaknai DPR ; 12. Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b sepanjang tidak dimaknai bahwa, Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini DPR, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPR; c. pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPD yang disampaikan oleh pimpinan DPD terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pen gelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; d. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi; 13. Pasal 69 ayat (3) sepanjang tidak dimaknai bahwa, dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden serta DPD terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; 14. Pasal 70 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai bahwa, Rancangan Undang- Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama DPR, Presiden dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; 15. Pasal 70 ayat (2) sepanjang tidak dimaknai bahwa, Rancangan Undang- Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan Undang- Undang berkaitan den gan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, 7

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; 4. Pertimbangan Mahkamah Bahwa Pemohon mendalilkan, Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU 27/2009, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU 12/2011 telah mereduksi kewenangan legislasi Pemohon sebagai sebuah lembaga negara menjadi setara dengan kewenangan legislasi anggota, komisi, dan gabungan komisi DPR; Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU 27/2009 secara sistematis mengurangi kewenangan Pemohon sejak awal proses pengajuan RUU; Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU 27/2009 telah mendistorsi RUU yang diusulkan oleh Pemohon menjadi RUU usul DPR; serta Pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 46 ayat (1) UU 12/2011 telah merendahkan kedudukan Pemohon menjadi lembaga yang sub-ordinat di bawah DPR karena meniadakan kewenangan konstitusional Pemohon untuk dapat mengajukan RUU; Terhadap dalil permohonan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah kewenangan konstitusional DPD mengenai pengajuan RUU, telah ditegaskan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Mahkamah, kata dapat dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan pilihan subjektif DPD untuk mengajukan atau tidak mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata dapat tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mahkamah menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang 8

telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945; Mengenai Kewenangan DPD Ikut Membahas RUU Bahwa Pemohon mendalilkan, Pasal 65 ayat (3) UU 12/2011 tidak mengikutsertakan Pemohon dalam seluruh proses pembahasan RUU yang menjadi kewenangan konstitusional Pemohon; Pasal 150 ayat (3) UU 27/2009 dan Pasal 68 ayat (3) UU 12/2011 telah meniadakan kewenangan Pemohon untuk mengajukan dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang justru merupakan inti dari pembahasan RUU; Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU 27/2009, serta Pasal 68 ayat (5) UU 12/2011 telah mereduksi kewenangan Pemohon dengan mengatur bahwa pembahasan RUU tetap dilaksanakan meski tanpa keterlibatan Pemohon; Pasal 150 ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a dan huruf b UU 27/2009, serta Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, dan ayat (4) huruf a dan Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, serta ayat (3) UU 12/2011 menghilangkan kewenangan Pemohon karena setiap RUU sepanjang yang berkaitan dengan kewenangan Pemohon seharusnya dibahas oleh DPR yang diwakili oleh alat kelengkapan DPR in casu bukan fraksi, Presiden yang diwakili oleh menteri yang ditunjuk, dan Pemohon yang diwakili oleh alat kelengkapan Pemohon; Menurut Mahkamah, kewenangan DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan den gan pajak, pendidikan dan agama. Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penggunaan frasa ikut membahas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 telah menentukan secara tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Penggunaan frasa ikut membahas adalah wajar karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan pada Perubahan Pertama UUD 1945 tahun 1999, sedangkan Pasal 22D UUD 1945 disahkan pada Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Hal itu berarti bahwa, ikut membahas harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang 9

berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama DPR dan Presiden. Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi. Walaupun demikian, Mahkamah dapat memahami bahwa mekanisme pembahasan RUU dengan membahas DIM yang diajukan oleh fraksi adalah praktik pembahasan RUU sebelum perubahan UUD 1945. Selanjutnya pembahasan pada tingkat Alat Kelengkapan DPR yang sudah mengundang Presiden dan/atau sudah mengundang DPD, maka DPR dalam pembahasan DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan kelembagaan; Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pasal 147, Pasal 150 ayat (2), ayat (3) UU 27/2009 dan Pasal 65 ayat (3), Pasal 68 ayat (2), ayat (3) UU 12/2011 telah mengurangi kewenangan konstitusional DPD untuk membahas RUU sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945. Mengenai Kewenangan DPD Ikut Menyetujui RUU Bahwa Pemohon mendalilkan, Pasal 71 huruf a, huruf d, dan huruf e, UU 27/2009; Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 telah mereduksi kewenangan konstitusional Pemohon untuk ikut serta dalam memberikan persetujuan sebagai produk dari mekanisme ikut membahas suatu RUU yang terkait dengan kewenangannya; Terhadap dalil permohonan tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 22D ayat (2) UUD 10

1945 telah menentukan dengan jelas bahwa DPD hanya berwenang ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dan tidak ikut serta pada pemberian persetujuan akhir yang lazimnya dilakukan pada rapat paripurna DPR pembahasan Tingkat II. Artinya, DPD dapat saja ikut membahas dan memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang membahas RUU pada Tingkat II, tetapi tidak memiliki hak memberi persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan. Persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang, terkait dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa hanya DPR dan Presidenlah yang memiliki hak memberi persetujuan atas semua RUU. Kewenangan DPD yang demikian, sejalan dengan kehendak awal (original intent) pada saat pembahasan pembentukan DPD pada Perubahan Ketiga UUD 1945 yang berlangsung sejak tahun 2000 sampai tahun 2001. Semula, terdapat usulan bahwa kewenangan DPD termasuk memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang, tetapi usulan tersebut ditolak. Pemahaman yang demikian sejalan dengan penafsiran sistematis atas Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 dikaitkan dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengandung dua kewenangan, yaitu kewenangan untuk membahas dan kewenangan untuk menyetujui bersama antara DPR dan Presiden, sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, DPD tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang; Mengenai Keterlibatan DPD dalam Penyusunan Prolegnas Bahwa Pemohon mendalilkan, Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU 12/2011 telah meniadakan kewenangan Pemohon untuk dapat mengajukan RUU, baik di dalam maupun di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas); Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas seharusnya merupakan konsekuensi dari norma Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Dewan Perwakilan Daerah dapat men gajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan UndangUndang 11

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak akan dibahas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, norma Undang- Undang yang tidak melibatkan DPD dalam penyusunan Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan oleh UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut hukum; Mengenai Kewenangan DPD Memberikan Pertimbangan Terhadap RUU Bahwa Pemohon mendalilkan, Pasal 71 huruf f dan huruf g, serta Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 bermakna bias dan mengaburkan esensi Pemohon dalam proses pembahasan RUU yang terkait dengan kewenangannya. Selain itu, tugas Badan Anggaran dalam pembahasan RUU APBN tidak mempertimbangkan pertimbangan Pemohon; Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, makna memberikan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan dan merupakan kewenangan DPR dan Presiden untuk menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan DPD sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting adalah adanya kewajiban dari DPR dan Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, seluruh ketentuan UU 27/2009 dan UU 12/2011 yang telah mereduksi atau mengurangi kewenangan Pemohon yang ditentukan oleh UUD 1945 atau telah mengurangi fungsi, tugas, dan kewenangan DPD sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi dan sebagaimana dimaksudkan pada saat DPD dibentuk dan diadakan dalam konstitusi haruslah dinyatakan inkonstitusional dan diposisikan sebagaimana mestinya sesuai dengan UUD 1945. Lagi pula, sebuah lembaga negara yang cukup besar seperti DPD dengan anggaran biaya negara yang cukup besar adalah sangat tidak seimbang dengan kewenangan yang diberikan menurut kedua Undang- Undang a quo. Dengan anggota yang dipilih secara langsung oleh rakyat di masing- 12

masing provinsi, tetapi tanpa kewenangan yang memadai sebagaimana diatur dalam kedua Undang-Undang a quo dapat mengecewakan para pemilih di masing-masing daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, seluruh ketentuan yang mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD dalam kedua Undang-Undang a quo, baik yang dimohonkan atau yang tidak dimohonkan oleh Pemohon, tetapi berkaitan dengan kewenangan DPD harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 apabila tidak sesuai dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah. Terhadap Penjelasan Umum dan penjelasan pasal demi pasal kedua Undang-Undang a quo yang terkait dengan kewenangan konstitusional DPD, harus pula dianggap menyesuaikan dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah; 5. Amar Putusan 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu: a. Pasal 102 ayat (1): 1) huruf a sepanjang frasa den gan mempertimbangkan masukan dari DPD ; 2) huruf d sepanjang frasa '...atau DPD ; 3) huruf e sepanjang frasa '...atau DPD ; 4) huruf h; b. Pasal 147; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Pasal 102 ayat (1): 1) huruf a sepanjang frasa den gan mempertimbangkan masukan dari DPD ; 2) huruf d sepanjang frasa...atau DPD ; 3) huruf e sepanjang frasa...atau DPD ; 4) huruf h; d. Pasal 147; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 13

a. Pasal 21 ayat (3) sepanjang kata DPD ; b. Pasal 43 ayat (2); c. Pasal 45 ayat (1) sepanjang frasa... kepada DPR ; d. Pasal 46 ayat (1) sepanjang frasa... atau DPD ; e. Pasal 48 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); f. Pasal 65 ayat (3); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; a. Pasal 21 ayat (3) sepanjang kata DPD ; b. Pasal 43 ayat (2); c. Pasal 45 ayat (1) sepanjang frasa... kepada DPR ; d. Pasal 46 ayat (1) sepanjang frasa... atau DPD ; 1.15. Pasal 48 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); e. Pasal 65 ayat (3); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043), yaitu: 1) Pasal 143 ayat (5) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan den gan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah'; 2) Pasal 143 ayat (5) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak di maknai, Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan 14

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah ; 3) Pasal 144 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang- Undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemeka ran serta penggabungan daerah, pen gelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah ; 4) Pasal 144 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak di maknai, Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta pen ggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah ; 5) Pasal 146 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden ; 6) Pasal 146 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden ; 7) Pasal 148 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Tindak lanjut pembahasan rancangan undang- undang yang berasal dari DPR, DPD, atau presiden dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan ; 8) Pasal 148 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, DPD, atau presiden dilakukan melalui 2 (dua) tin gkat pembicaraan ; 9) Pasal 150 ayat (2) huruf b bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, DPD memberikan penjelasan serta Presiden dan DPR menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD ; 15

10) Pasal 150 ayat (2) huruf b tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, DPD memberikan penjelasan serta Presiden dan DPR menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD ; 11) Pasal 150 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR. b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden. DPD mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah atas rancangan undangundang yang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan den gan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah'; 12) Pasal 150 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR. b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden. c. DPD mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah atas rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah ; 13) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), yaitu: 14) Pasal 18 huruf g bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, rencana kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD 15) Pasal 18 huruf g tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, rencana kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD 16) Pasal 20 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, 16

penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah ; 17) Pasal 20 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah ; 18) Pasal 21 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi ; 19) Pasal 21 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi ; 20) Pasal 22 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, hasil penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR ; 21) Pasal 22 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, hasil penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR ; 22) Pasal 23 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat men gajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; 23) Pasal 23 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan UndangUndang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang 17

legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; 24) Pasal 43 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, DPD, atau Presiden ; 25) Pasal 43 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak d imaknai, Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, DPD, atau Presiden ; 26) Pasal 48 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden dan harus disertai Naskah Akademik ; 27) Pasal 48 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak di maknai, Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden dan harus disertai Naskah Akademik ; 28) Pasal 49 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan den gan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pen gelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; 29) Pasal 49 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak di maknai, Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta pen ggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah'; 30) Pasal 50 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta 18

penggabungan daerah, pen gelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah'; 31) Pasal 50 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak di maknai, Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemeka ran serta penggabungan daerah, pen gelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah'; 32) Pasal 68 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak di maknai, Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan UndangUndang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan UndangUndang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden; e. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan pandangan jika rancangan undangundang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPD ; 33) Pasal 68 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR, b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan UndangUndang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR, c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden, d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan UndangUndang 19

yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden, e. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan pandangan jika rancangan undangundang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPD ; 34) Pasal 68 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak di maknai, Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. DPR dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; b. DPR dan Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPD yang berkaitan dengan kewenangan DPD ; 35) Pasal 68 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; c. DPR dan Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPD yang berkaitan dengan kewenangan DPD ; 36) Pasal 70 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR, Presiden, dan oleh DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah'; 37) Pasal 70 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak d imaknai, Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR, Presiden, dan oleh DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah ; 38) Pasal 70 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak di maknai, Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali 20

berdasarkan persetujuan bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan UndangUndang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemeka ran serta penggabungan daerah, pen gelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah'; 39) Pasal 70 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak di maknai, Rancangan Undang-Undang yang sedang diba has hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemeka ran serta penggabungan daerah, pen gelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah'; 40) Pasal 71 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR, Presiden, atau DPD dalam hal Rancangan UndangUndang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemeka ran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah ; b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pen gambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. 41) Pasal 71 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak d imaknai, Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR, Presiden, atau DPD dalam hal Rancangan UndangUndang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran 21

serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah ; b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. 42) Pasal 88 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Penyebarluasan dilakukan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang- Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang ; 43) Pasal 88 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Penyebarluasan dilakukan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang- Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang ; 44) Pasal 89 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, a. Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR, DPD, dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, b. Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. c. Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi. d. (4) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. 45) Pasal 89 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, 22