BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

FUNGSI LEMBAGA PRAPERADILAN MENCEGAH PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Rifkha A. Sondakh 2

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

Lex et Societatis, Vol. II/No. 1/Januari/2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS ( STUDI KASUS SIYONO )

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

BAB VI ANALISIS. A. Tuntutan Sah atau Tidaknya Pengeledahan, Pengangkapan, Penahanan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

JURNAL SKRIPSI PERANAN DAN FUNGSI PRAPERADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

Transkripsi:

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan praperadilan serta menyelenggaran praperadilan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua hakim Pengadilan negeri dengan dibantu oleh seorang panitera dan dalam hal sah tidak nya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan diajukan oleh tersangka, keluarganya dan pihak lain atas kuasanya. Hal itu tersebut dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka perkara pidana seperti yang dimaksud dalam pasal 79, 80, 81 KUHAP berhak meminta ganti kerugian dan atau rehabilitasi. B. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut: Dalam hal melakukan pengujian terhadap keabsahan suatu penangkapan dan penahanan, hakim tetap mengutamakan asas praduga tak bersalah serta menitik-beratkan pada adanya bukti permulaan yang cukup. Dalam hal pemeriksaan di praperadilan hendak nya hakim tidak hanya melihat dari syarat formilnya saja tapi juga harus memeriksa lebih teliti atau syarat materil yg didalilkan oleh pemohon. 41

DAFTAR PUSTAKA Buku Andi Hamzah, 2005, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia. Andriyanto Seno Adji, 1998, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. Eva Achjani Zulfa, 2008, Ketika Jaman Meninggalkan Hukum, Jakarta, MAPPI- FH Universitas Indonesia. Hadari Nawawi, 2007, Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta, Gajahmada University Press. M. Yahya Harahap, 2005, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika. M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Jilid II, Jakarta, Sinar Grafika. Martiman Prodjohamidjodjo, 2004, Komentar Atas KUHAP, Jakarta, Pradnya Paramita. Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Bandung, Mandar Maju. R. Soeparmono, 2003, Praperadilan Dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam KUHAP, Bandung, Mandar Maju. Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, cetakan IV, Jakarta, Ghalia Indonesia. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press. Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Libery. Teguh Prasetyo, 2004, Sari Hukum Pidana, Yogyakarta, Mitra Prasaja. Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana,Bandung, Widya Padjajaran. 41

42 Jurnal Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, BP Fakultas Hukum Universitas Muhmmadiyah Yogyakarta. Romli Atmasasmita, Seminar Nasional: Analisis Atas RUU KUHAP 2009, Peradilan Semu USU, Tanggal 02 Februari 2011. Internet A. Samsan Nganro, Praktik Penerapan KUHAP dan Perlindungan HAM, http://anggara.org/2006/10/16/praktik-penerapan-kuhap-dan-perlindunganham/, diakses tanggal 3 Februari 2011. Penelitian KHN: Praperadilan Mengandung Banyak Kelemahan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b29bab9ef3a7/penelitiankhn-praperadilan-mengandung-banyak-kelemahan, diakses tanggal 02 Februari 2011. Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman atau UU Kekuasaan Kehakiman. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Tap. Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Wawancara Hasil wawancara dengan Sri Mumpuni SH, Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, pada 15 Juni 2011, pukul 09:05 WIB 11:05 WIB, di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dokumen Penetapan Praperadilan Nomor : 01/Pid.Pra/2007/PN.Yk.

Daftar Hasil Wawancara dengan Hakim Praperadilan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. 1. Mengenai proses awal pengajuan praperadilan; Dalam proses pengajuan praperadilan, hal pertama yang harus diperhatikan adalah mengenai keadaan pemohon. Dimana sesuai dengan yang telah diatur dalam Bab X Bagian Kesatu mulai pasal 79 sampai dengan pasal 83 KUHAP diatur pihak-pihak yang dapat mengajukan pra peradilan adalah : a) Tersangka, keluarganya melalui kuasa hukum yang mengajukan gugatan praperadilan terhadap kepolisian atau kejaksaan di pengadilan atas dasar sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan; b) Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah atau tidaknya penghentian penyidikan; c) Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah atau tidaknya penghentian penuntutan; d) Tersangka atau pihak ketiga yang bekepentingan menuntut ganti rugi tentang sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan (pasal 81 KUHAP); e) Tersangka, ahli waris atau kuasanya tentang tuntutan ganti rugi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan (pasal 95 ayat (2) KUHAP). Sesuai dengan yang telah diatur mengenai pemohon tersebut, jika pemohon dianggap dapat mengajukan praperadilan, maka pemohon membuat surat permohonan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk nantinya di register dalam register khusus tentang praperadilan. Dari permohonan tersebut, sesuai ketentuan pasal 78 ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk seorang hakim tunggal untuk memeriksa perkara pra peradilan dengan dibantu dengan seorang panitera. 2. Mengenai tahap-tahap pemeriksaan praperadilan; Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 82 KUHAP, secara garis besarnya acara pemeriksaan praperadilan adalah sebagai berikut :

a) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, Hakim yang ditunjuk untuk kemudian menentukan mengenai hari sidang; b) Hakim mendengarkan keterangan, baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang; c) Pemeriksaan itu dilakukan secara tepat, cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari, untuk kemudian Hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Namun dapat dimungkinkan mengenai jangka waktu pemeriksaan akan mengalami kemunduran, atau lebih dari tujuh hari. Hal ini dapat dikarenakan adanya kesulitan bagi hakim untuk mengagendakan hari sidang disertai dengan kesungguhan dari para pihak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal yang mungkin terjadi adalah pada hari yang telah ditentukan tersebut ada pihak yang lalai atau sengaja tidak hadir, dan tidak menggunakan haknya. Akan tetapi hal ini tidak dapat menyebabkan putusan batal demi hukum. Karena dalam KUHAP tidak dinyatakan apabila hakim melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP akan menyebabkan putusan batal demi hukum. 3. Hal-hal yang diperlukan dalam pengajuan praperadilan; Bertitik tolak dari pasal 82 ayat (1) huruf c yang mengatur pengajuan dan tata cara pemeriksaan praperadilan, hakim diminta untuk tegas menentukan tahapan persidangan praperadilan dan membuat putusan sesederhana mungkin atau bisa di gabung dengan Berita Acara Sidang asalkan putusan memuat pertimbangan hukum yang lengkap, jelas dan memadai. Memperhatikan Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur maka praperadilan dianggap gugur apabila : a) Perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan ; b) pada saat perkaranya di periksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan praperadilan belum selesai. Ketentuan pra peradilan gugur apabila pokok perkara telah masuk di Pengadilan Negeri, hal ini dimaksudkan untuk menghindari penjatuhan putusan yang berbeda. Tidak tepat kiranya apabila praperadilan tetap di periksa sementara perkara pokoknya telah masuk juga dalam tahap persidangan. Tentunya jika di paksakan bersidang dan terjadi perbedaan penjatuhan putusan antara praperadilan dengan perkara pokok, akan menimbulkan akibat hukum yang tidak baik.

Gugurnya permohonan praperadilan dapat juga di lakukan oleh pihak pemohon ketika sidang belum menjatuhkan putusan, asalkan hal tersebut di setujui termohon. 4. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu putusan praperadilan; Hakim pada dasarnya diberi fungsi oleh Undang-Undang untuk menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara. Sehingga hakim selalu dituntut untuk memberikan putusan yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. Dalam hal ini, hakim dituntut untuk menjalankan fungsinya secara adil, jujur, dan harus memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya memberi manfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Hakim dalam hal memutuskan suatu putusan praperadilan terbebas dari korektifa dan rekomendasi, baik dari eksekutif, maupun oleh pihak lain. Kebebasan dan kemandirian ini segalanya tergantung pada pribadi hakim itu sendiri. Sehingga diharapkan hakim tidak akan terpengaruh oleh siapapun dan dapat menggunakan kebebasan dan kemandiriannya dengan baik. 5. Jumlah gugatan praperadilan yang masuk di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan yang telah disidangkan; 6. Struktur persidangan gugatan praperadilan yang pernah diselenggarakan di Pengadilan Negeri Yogyakarta; Dalam hal strukturisasi persidangan gugatan praperadilan yang pernah diselenggarakan di Pengadilan Negeri Yogyakarta adalah sebagai berikut : a) Praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta dan dibantu oleh seorang Panitera (Pasal 78 ayat (2) KUHAP). b) Pada penetapan hari sidang, sekaligus memuat pemanggilan pihak pemohon dan termohon praperadilan. c) Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung permohonan praperadilan diperiksa, permohonan tersebut harus diputus. d) Pemohon dapat mencabut permohonannya sebelum Pengadilan Negeri Yogyakarta menjatuhkan putusan apabila disetujui oleh termohon. Kalau

termohon menyetujui usul pencabutan permohonan tersebut, Pengadilan Negeri Yogyakarta membuat penetapan tentang pencabutan tersebut. e) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan sedangkan pemeriksaan praperadilan belum selesai maka permohonan tersebut gugur dan dituangkan dalam bentuk penetapan. 7. Mengenai penjaminan terhadap Hak Asasi Manusia terhadap hak-hak tersangka dalam perkara pidana terkait upaya paksa dari aparat hukum, apabila; a) Orang yang ditahan tidak tepat (error in person) ; Dalam upaya untuk melakukan penjaminan atas Hak Asasi Manusia terhadap hak-hak tersangka dalam perkara pidana terkait upaya paksa dari aparat hukum dengan tersangka yang dianggap error in person, hakim dapat mengedepankan adanya asas praduga tak bersalah dalam melakukan pemeriksaannya. Selain dengan asas praduga tak bersalah, dalam pemeriksaan yang dilakukan harus berdasar pada bukti yang kuat yang diajukan di persidangan. Dimana dalam pengaturan perundang-undangan disebutkan bahwa hakim dapat menghukum terdakwa dengan minimal dua bukti. Sehingga segala pemeriksaan yang dilakukan harus disesuaikan dengan peraturan perundangundangan yang ada. Sebagaimana juga tertera dalam Pasal 17 KUHAP, maka penangkapan terhadap seorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana, haruslah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dengan demikian didapati pengertian bahwa dasar dilakukannya suatu penangkapan haruslah mendapat perhatian khusus. Karena sesuai dengan penjelasan dari Pasal 17 KUHAP, bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betulbetul melakukan tindak pidana. Jika dalam pelaksanaan pemeriksaan ditemukan adanya error in person, berdasarkan pemeriksaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka hakim praperadilan wajib membebaskan segala tuntutan yang diberikan kepada tersangka. Dalam hal ini, dapat dijelaskan mengenai kriteria suatu penangkapan yang tidak sah, yaitu ;

i. Apabila dalam melakukan penangkapan, seorang penyidik tidak menyertakan surat tugas dan surat perintah penangkapan untuk diperlihatkan kepada tersangka, selain itu jika tembusan surat penangkapan tidak diberikan kepada pihak keluarganya. ii. Apabila batas waktu penangkapan lewat satu hari maka dapat dimintakan pemeriksaan kepada praperadilan b) Dalam penggeledahan dan penyitaan barang, berkaitan dengan surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri yang dalam pelaksanaannya melampaui batas ijin yang diberikan ; Dalam hal ini, hakim sebaiknya mendasarkan pada koridor kewenangan penyelidik. Jika memang dalam pemeriksaan ditemukan adanya kesalahan koridor kewenangan penyelidik dalam proses penggeledahan dan penyitaan maka dapat diputuskan bahwa tidakan penyelidik tidak memenuhi persyaratan penangkapan yang terukur. Pada dasarnya, dapat diartikan bahwa proses pengeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari upaya paksa yang dapat dijukan kepada praperadilan. Selain dari itu dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. Dalam KUHAP suatu penahanan dianggap sah apabila memenuhi syaratsyarat formil, yakni adanya surat perintah penahanan dan sebagainya, akan tetapi didalam KUHAP juga diatur seorang dapat ditahan yakni apabila ada dugaan keras dia melakukan tindak pidana, disamping adanya suatu keadaan yang dikhawatirkan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau dikhawatirkan tersangka akan melakukan lagi tindak pidana. 8. Pemeriksaan tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh tersangka melalui praperadilan terkait upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum; Terkait adanya upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap tersangka, maka sudah menjadi hak bagi tersangka untuk memperoleh ganti rugi. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 95 KUHAP, bahwasanya ; 1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. 3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. 4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. 5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan. Dimana mengenai penetapan putusan ganti kerugian, ditambahkan dalam Pasal 96 KUHAP, yaitu; 1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan. 2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut. Dimana dasar penggabungan perkara gugatan ganti rugi diajukan Berdasarkan pasal 98 ayat (1) KUHAP, Penggabungan perkara Gugatan ganti rugi dilakukan jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan yang di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh pihak Pengadilan telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dengan adanya penggabungan perkara gugatan ganti rugi pada perkara pidana ini adalah supaya perkara gugatan pada waktu yang sama diperiksa serta diputus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Dimana penggabungan ini akan dapat menguntungkan korban karena dengan cara ini kompensasi atas kerugian terhadap korban akan dapat didapatkan dengan cepat, murah dan sederhana. 9. Waktu bagi tersangka yang dalam hal ini terkait dengan upaya paksa terhadap error in person dapat mengajukan ganti kerugian; Apabila berkas perkara telah masuk dalam Pengadilan Negeri maka pihak korban dapat mengajukan permohonan untuk mengajukan Gugatan ganti

kerugian. Dan permohonan tersebut hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana. Selanjutnya berdasarkan pasal 98 ayat (1) KUHAP atas permohonan tersebut, Hakim Ketua Sidang dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidananya. Dimana pengaturan mengenai prosedur pengajuan gugatan ganti rugi yang berkaitan dengan hukum acara perdata, sebagaimana diatur dalam pasal 118 HIR disebutkan Gugatan diajukan di Pengadilan Negeri di mana Tergugat (dalam hal ini Pelaku) berdomisili. Dengan ketentuan seperti ini dalam prakteknya akan ada kemungkinan kendala dikarenakan Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara pidana tidak berwenang mengadili Gugatan. Ketidakwenangan Pengadilan Negeri ini disebabkan adanya perbedaan dasar hukum acara yang digunakan dalam perkara pidana dengan Gugatan ganti rugi. Berdasarkan hukum acara pidana, maka Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara pidana adalah tempat perkara pidana terjadi. Sehingga apabila tempat perkara pidana terjadi bukan di wilayah yang sama dengan domisili/tempat tinggal pelaku maka Gugatan ganti rugi tidak dapat diajukan di Pengadilan Negeri tempat perkara pidana diperiksa. Apabila Pengadilan Negeri tempat perkara pidana diperiksa tidak memiliki kewenangan memeriksa Gugatan ganti rugi maka Gugatan ganti rugi ditolak. Hal lain berkaitan dengan hukum acara perdata adalah kemungkinan Gugatan ganti rugi tidak dapat diterima apabila Penggugat tidak bisa membuktikan atau memenuhi unsur-unsur atau syarat-syarat yang terkait dengan isi atau substansi gugatan ganti rugi yang meliputi : a) Harus ada unsur perbuatan melawan hukum seperti melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku, bertentangan dengan kesusilaan yang baik, bertentangan dengan kepatutan serta keharusan yang harus diperhatikan dalam pergaulan masyarakat. b) Harus ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. c) Harus ada unsur kerugian yang ditimbulkan baik berupa kerugian materiil maupun kerugian imateriil. d) Harus ada unsur adanya hubungan kausal (sebab-akibat) antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan sehingga pelaku dapat dimintai pertanggung jawabannya. 10. Mengenai perlu tidaknya revisi peraturan yang mengatur mengenai wewenang hakim dalam praperadilan saat ini, khususnya mengenai pengaturan jangka waktu dan acara pemeriksaan praperadilan;

Menurut saya, perihal mengenai revisi peraturan tentang pengaturan jangka waktu dan acara pemeriksaan praperadilan tidak terlalu penting untuk dilakukan. Karena dalam pelaksanaannya saat ini, peraturan yang ada dirasa sudah sangat cukup untuk mengakomodir mengenai permasalahan yang mungkin timbul. Karena seperti yang telah saya jelaskan mengenai jangka waktu dan acara pemeriksaan praperadilan. Meskipun dalam peraturan diatur dengan jangka waktu yang sangat singkat, yaitu tujuh hari, namun dalam pelaksanaan yang telah ada, jangka waktu yang telah diaturkan telah mampu memfasilitasi bagi hakim untuk dapat menyelesaikan persidangan praperadilan. Serta tidak akan mengakibatkan putusan yang ada batal demi hukum.